Jumat, 29 Mei 2015

KARYA TRINITAS YANG MEMBARUI: DARI ATAS KE DALAM


Analogi, yakni kiasan, metafora atau cerita pembanding sering dipakai untuk menerangkan sebuah gagasan atau konsep yang rumit. Analogi sering digunakan untuk menjelaskan apa itu Trinitas. Sebagai “alat bantu”, analogi tidak selalu sempurna menjelaskan gagasan atau konsep, apalagi tentang Trinitas. Kendati pun demikian ia telah berjasa menuntun orang kepada sebuah pemahaman asbtrak. Seorang guru Sekolah Minggu mencoba menjelaskan Allah Tritunggal dengan membawa sebatang Lilin dan kemudian menyalakannya di depan anak-anak. “Coba perhatikan lilin ini”, seru guru Sekolah Minggu itu, “ lilin ini mempunyai wujud, sinar dan panas. Ketiganya merupakan satu kesatuan. Ibarat lilin menyala inilah Tritunggal itu!“

Ide analogi ini mirip dengan apa yang dulu dipakai Tertullianus (155-230, Kartago/Tunisia), ia memakai anaologi matahari-sinar-panas untuk menjelaskan una substantia, tres personae. Baginya, Allah adalah satu, tetapi mempunyai tiga pribadi. Berbeda dari para pemikir pada mumumnya yang menggunakan bahasa filsafat untuk menjelaskan gagasan yang rumit, Tertullianus menggunakan bahasa atau istilah yang biasa digunakan dalam pengadilan di Roma. Kata Latin substantiae bukan berarti “bahan” atau elemen dasar sebuah benda, melainkan “hak milik”. Sementara persona, tidak dimaksudkan “pribadi” sebagaimana lazim kita  gunakan, melaikan “suatu pihak” dalam sebuah perkara di pengadilan. Dengan demikian, jelaslah bahwa tiga personae dapat berbagi satu substantia. Tiga pribadi (lebih tepatnya tiga pihak): Bapa, Anak dan Roh Kudus dapat berbagi satu hakikat (kedaulatan ilahi). Mungkin bagi sebagian besar orang, tetap saja penjelasan Tertullianus tidak mudah dipahami.

Trinitas memang tidak mudah dipahami. Namun, bukan berarti orang sederhana bahkan “awam” dalam berteologi tidak dapat mengerti tentang eksistensi Allah dalam Trinitas. Malah sebaliknya, Allah dalam Trinitai (Bapa, Anak dan Roh Kudus) memudahkan  manusia dalam level pemahaman yang bagaimana pun dapat mengerti dan mengenal-Nya. Manusia dan semesta alam dapat menyadari bahwa Dialah Sang Pencipta dan Pemelihara, yang kita sapa sebagai Bapa. Bapa yang memulai segala sesuatu dan yang memeliharanya. Dia juga adalah Sahabat setia yang mengerti penderitaan dan persoalan hidup manusia yang menebus dan menyelamatkan manusia dari dosa, itulah yang kita fahami sebagai Anak Allah di dalam diri Yesus Kristus. Jelas, yang dimaksud Bapa-Anak bukanlah terminologi biologis. Dia juga yang selalu mengingatkan manusia akan kebenaran dan menopangnya agar mampu melewati lembah air mata, itulah Roh Kudus.

Bagaimakah Allah, Sang Saratmisteri ini menyatakan diri-Nya agar dikenal dan mudah disapa oleh manusia? Rasanya, bukan memakai analogi atau metafora. Bukan dengan bahasa tinggi yang membingungkan dan juga bukan melalui paparan teori Trinitas yang jelimet. Namun, Allah menggunakan pengalaman eksistensial nyata dalam sejarah manusia. Allah, yang semula tidak mudah dikenal, menyebut nama-Nya saja penuh kengerian. Namun, kini di dalam Yesus begitu dekat. Allah yang pada mulanya adalah Firman telah menyatakan diri-Nya menjadi manusia sejati. Ia hidup dalam sejarah manusia, bergumul, menderita dan merasakan kesulitan manusia. Dialah Yesus! Jika Allah menyapa manusia dengan pengalaman empirik, maka manusia pun harus menyediakan diri disapa melalui pengalaman hidupnya. Dengan kata lain, Trinitas itu hanya bisa dipahami, dirasakan melalui pengalaman hidup!

Manusia mempunyai pemahaman dasar bahwa Allah pastilah merupakan figur Mahapengasih, Mahapengampun, Mahapemurah Mahakuasa dan sebagainya. Namun, bagaimanakah Sang Mahapengasih, Mahapengampun,  Mahapemurah, Mahakuasa itu wujudnya? Bukankah ini semua hanya ide-ide abstrak saja dan siapa pun juga dapat menerjemahkan ide-ide abstrak itu menurut maunya sendiri? Jelas, Allah tidak mau manusia berspekulasi. Sekali lagi Dia ingin dikenal dan manusia mengerti kehendak-Nya. Caranya? Allah yang pada mulanya adalah Firman kemudian menjelma menjadi manusia. Yesus itulah Sang Firman Hidup. Yesus memeragakan apa yang abstrak itu menjadi nyata. Bila manusia meyakini bahwa Allah adalah Mahapengasih, pengampun, pemurah, dan seterusnya, manusia dapat melihatnya dengan kasat mata dalam diri Yesus. Sepanjang hidup-Nya, Ia adalah firman yang berjalan, firman yang hidup itu. Sehingga suatu kali, Yesus berkata, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkan Bapa itu kepada kami. Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diriKu sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam AKu, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.” (Yohanes 14:9-10).

Selanjutnya, ketika karya-Nya sebagai firman yang hidup itu telah selesai maka Yesus kembali kepada Bapa-Nya. Kini, Ia mengutus Roh Kudus yang adalah Roh Allah sendiri untuk menyatakan penegasan kepada manusia agar apa yang telah dikerjakan-Nya dimeteraikan dalam hati. Roh Kudus jugalah yang dapat membuat orang menjadi percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. “…dan tidak ada seorang pun, yang dapat mengaku “Yesus adalah Tuhan”, selain oleh Roh Kudus.(1 Korintus 12:3b).  Roh Kudus yang sama melengkapi setiap orang percaya dengan karunia agar dapat menjadi saksi-saksi Tuhan yang hidup.

Sederhananya, Trinitas adalah cara kreatif Allah dalam rangka karya keselamatan bagi dunia. Mestinya, bahasa dan cara Allah berkarya ini mudah ditangkap oleh manusia. Manusia yang mengalami karya kasih Allah ini, dialah yang telah dapat merasakan Kerajaan Allah. Responnya, bersyukur dengan mau terlibat meneruskan  cinta kasih Allah ini kepada sesamanya. Untuk dapat terlibat dalam Kerajaan Allah, maka seseorang harus mau mengalami pembaruan dalam dirinya.

Dalam percakapan Yesus dengan Nikodemus (lengkapnya di Yohanes 13:1-21), seseorang tidak akan mengalami hidup dalam Kerajaan Allah tanpa mengalami kelahiran kembali. Dan kelahiran kembali itu merupakan karya Roh Kudus! Jawab Yesus, “AKu berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk dalam Kerajaan Allah.” (Yohanes 3:5). Kerajaan Allah dalam Injil Yohanes adalah “hidup”. Hidup seperti apa? Hidup yang sungguh-sungguh hidup, hidup yang kekal! Siapa yang ingin mengalami kehidupan yang sesungguhnya, maka ia harus menjadi manusia baru. Masuk dalam Kerajaan Allah bukan hanya sekedar menjadi penikmat, melainkan berpartisipasi dalam Kerajaan Allah. Seperti Apa? Seperti yang Yesus lakukan dalam hubungannya dengan Trinitas, Ia melakukannya dengan ketaatan total! Atau dalam bahasa Paulus tidak lagi hidup menuruti keinginan nafsu duniawi, melainkan tunduk di bawah Roh, "Sebab jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati, tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup." (Roma 8:13)

Allah Trinitas telah berkarya, kini tinggal kita merespon dengan cara membuka diri untuk senantiasa diperbarui oleh karya Roh Kudus agar dapat berpartisipasi dalam Kerajaan-Nya. Tanpa Roh Kudus, tidak mungkin kita megalami kelahiran baru. Setiap orang membutuhkan penyataan Allah yang membarui dan menguduskan agar tidak hidup seperti Raja Uzia. Semula raja ini hidup selalu mencari Tuhan. Namun, setelah menjadi kuat, ia menjadi sombong dan berpaling meninggalkan Allah. Raja Uzia akhirnya meninggal dalam keadaan tragis, sakit kusta dalam pengasingan. Tidak seorang pun di antara kita imun dari dosa, walau pun telah menyatakan diri sebagai orang Kristen. Untuk itu, kita harus terus mengasah kepekaan diri agar mampu menyimak dan mengindahkan suara Roh Kudus.

Kamis, 21 Mei 2015

KARYA ROH KUDUS BAGI DUNIA

Amy le Feuvre pernah bercerita tentang Raja bijaksana yang memimpin negeri yang sangat indah. Negeri di mana matahari selalu bersinar dan rakyatnya senantiasa bahagia. Negeri itu dikelilingi oleh sungai. Di sisi lain, ada negeri yang keadaannya berbanding terbalik dari negeri itu. Negeri itu sangat jarang mengalami hangatnya sinar mentari. Hanya ada musim hujan dan angin dingin yang menusuk tulang. Negeri itu dipimpin oleh seorang raja yang lalim yang selalu menyengsarakan rakyatnya.

Raja bijak sangat prihatin dan ingin menolong. Maka dibangunnyalah sebuah jembatan panjang di atas sungai untuk kemudian mengajak orang-orang yang kesusahan di negeri seberang untuk hidup di negerinya yang damai. Namun, ada keganjilan terjadi. Tidak ada satu pun rakyat yang mau datang menyeberang ke negerinya itu. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak menemukan jembatan yang dimaksud. Mereka juga beralasan sangat merepotkan untuk menyeberang dan beberapa di antara mereka mengeluh bertempat tinggal jauh dari jembatan itu.

Setelah mengetahui kendala itu, Raja bijak mengirim tiga orang hambanya ke negeri seberang sebagai penunjuk jalan menuju jembatan itu dan bercerita tentang negeri di seberang jembatan itu. Dua dari tiga hambanya itu sangat berbakat, sedang yang satu lagi merasa dirinya paling bodoh, tapi bagaimanapun ia mencintai rajanya dan berjanji akan berbuat yang terbaik.

Hamba yang pertama mulai pergi ke negeri itu dengan bernyanyi, gadis itu mempunyai suara yang sangat indah. Ke mana pun ia pergi, orang banyak berkumpul untuk menikmati nyanyiannya. Ia bernyanyi tentang si Raja Bijak dan negeri bahagia di seberang. Nyanyiannya membuat pendengarnya ingin pergi ke negeri seberang. Tetapi anehnya, ketika ia berhenti bernyanyi orang-orang juga berhenti berkeinginan untuk pergi ke seberang. Beberapa hanya peduli dan menikmati nyanyiannya dan bukan pesannya.

Hamba kedua, mampu menjangkau lebih bannyak orang. Ia berbakat menulis. Ia menulis pesannya sehingga orang-orang yang jauh dapat membaca pesannya. Mereka menyukainya karena tulisan gadis itu memberikan kekuatan yang mampu menyentuh hati dalam setiap kata yang terangkai menjadi kalimat. Kedua hamba  ini terus bernyanyi dan menulis.

Bagaimana dengan si hamba ketiga yang merasa kecil dan bodoh? Dia tidak bisa bernyanyi, begitu pula ia tidak bisa menulis. Ia tidak bisa  menjangkau dan memukau orang banyak. Tetapi hatinya penuh cinta untuk rajanya. Ia bercerita tentang Raja Bijaksana kepada orang-orang yang mau mendengarkannya. Benar bahwa gadis itu tidak pintar, tetapi ia terus bercerita ke sana ke mari sambil terus menunjukkan arah ke jembatan itu. Sehingga anak-anak kecil pun dapat menemukan arah menuju ke jembatan itu. Gadis itu pun menawarkan tangannya dan menggandeng mereka menuju pada jembatan itu. Orang-orang tua dan perempuan-perempuan akan bersandar ke tangannya dan berjalan tertatih menuju jembatan itu. Ia akan berbisik secara lembut kepada yang sedang menangis. Ia menghibur, memberi kekuatan dan pengharapan. Ia akan menjelaskan dengan sabar kepada yang belum mengerti. Ya, bahkan berulang-ulang kepada mereka yang bebal. Kata mereka, gadis itu menjelaskannya dengan sangat baik. Ia memahami bahasa kami, ia tahu kekuatiran dan kegelisahan kami. Ia sama sekali tidak membingungkan! Gadis itu hanya tahu satu jembatan dan hanya pada jembatan itu ia menunjuk dan ia selalu berbicara tentang Raja yang bijaksana itu.

Pada akhirnya, di negeri seberang nan damai itu si gadis yang merasa dirinya tidak pandai, dikelilingi banyak orang! Suara lembutnya telah mampu membawa banyak orang berjumpa dengan Raja bijaksana! Raja tersenyum dan menyambut mereka dengan sukacita!
“Bahasa” sering kali menjadi hambatan komunikasi antara sesama manusia. Apalagi komunikasi manusia dengan Yang Ilahi. Maksud TUHAN yang begitu mulia dengan cinta-Nya yang begitu besar terhadap manusia tidak mudah dapat ditangkap oleh manusia. Maka tidaklah mengherankan kalau Allah memakai pelbagai cara komunikasi agar manusia memahami-Nya. Ibrani 1:1 mencatat, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi,..” Namun, apa yang terjadi? Sekalipun Allah sudah memakai komunikasi dengan bahasa manusia, tetap saja manusia tidak mau menuju ke “arah jembatan” itu. Allah tidak menyerah, Ibrani meneruskannya, “…maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya,…” Melalui Anak-Nya, Yesus Kristus, Allah telah menyatakan diri sepenuhnya, agar manusia mengenal-Nya. Dialah firman yang hidup itu.

Tidak sampai di situ. Setelah tugas-Nya usai, Sang Anak yang telah menerjemahkan wacana menjadi krida harus kembali ke pada Bapa, Ia mengutus Roh Kudus agar manusia mampu mengerti karya kasih Allah itu. Benar, Roh Kudus berkarya bukan hanya pada masa Perjanjian Baru dan sesudahnya saja, peran Roh Allah dalam Perjanjian Lama juga tidak bisa kita abaikan begitu saja. Roh Kudus menolong para nabi dan pemimpin umat agar mampu dan lurus dalam menjalankan tugas panggilan mereka.  Namun, peran Roh Kudus begitu nyata dan intens dalam kesaksian, pelayanan dan kehidupan orang percaya setelah peristiwa Pentakosta. Roh Kudus berkarya agar para murid mengerti apa yang telah tertulis dalam Kitab Suci mengenai Yesus Kristus. Roh Kudus memberi keberanian kepada para murid untuk berkata-kata tentang hidup dan pelayanan Yesus dan Roh Kudus jugalah yang melengkapi para murid dengan pelbagai karunia untuk meneruskan karya Yesus Kristus di dunia ini.

Pentakosta, merupakan momentum di mana Roh Kudus itu nyata membakar semangat para murid dalam tugas kesaksian. Pentakosta sudah lama dikenal dan dirayakan masyarakat Yahudi. Perayaan itu sendiri pada mulanya mempunyai dua makna utama. Pertama, peringatan historis pemberian Taurat Tuhan kepada Musa di Gunung Sinai dan Kedua, peringatan pengucapan syukur atas hasil panen. Pada waktu Paskah, homer pertama (360 liter) dari panen gandum dipersembahkan kepada Allah. Kemudian, pada hari Pentakosta (lima puluh hari sesudah Paskah), dua ketul roti dipersembahkan sebagai ucapan syukur atas selesainya penuaian dan pengumpulan hasil tuaian. Nama Pentakosta sendiri berarti “yang kelima puluh”. Dikatakan demian, sebab perayaan itu jatuh pada hari yang kelima puluh, satu minggu dari minggu-minggu setelah Paskah. Sebagaimana perayaan Paskah, Petakosta dirayakan dengan meriah dan mewajibkan setiap laki-laki Yahudi yang tinggal dalam radius 20 mil sekitar Yerusalem harus datang untuk menghadiri hari raya itu. Maka tidaklah mengherankan kalau dalam Kisah Para Rasul 2:5 mencatat, “Waktu itu di Yerusalem diam orang-orang Yahudi yang saleh dari segala bangsa di bawah kolong langit.” Mereka datang dari pelbagai penjuru untuk mengucap syukur atas Taurat dan pemeliharaan Tuhan berupa hasil panen.

Saat itulah Roh Kudus yaitu Roh Penghibur yang dijanjikan Yesus dalam Yohanes 16:4-15 tercurah, ditandai dengan bunyi gemuruh dari langit seperti tiupan angin keras dan lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran hinggap di atas mereka yang sedang berkumpul. Kisah Rasul mencatat bahwa mereka dipenuhi oleh Roh Kudus. Kemudian mereka berbicara dalam bahasa-bahasa lain menyampaikan kesaksian. Bagaimana respon pendengarnya? Mereka tercengan. Sebab mereka tahu bahwa para murid berasal dari Galilea tetapi sekarang mereka dapat berbicara dalam bahasa-bahasa ibu mereka. Sehingga  orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea, Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia, Kirene, pendatang dari Roma, orang Kreta dan orang Arab mengerti apa yang diucapkan para murid. Injil, jembatan manusia dengan Allah dimengerti oleh pelbagai bangsa.

Roh Kudus mengaruniakan kepada para murid bahasa untuk dimengerti oleh pendengarnya. Roh Kudus menyapa para pendatang yang berziarah ke Yerusalem itu dalam bahasa ibunya masing-masing. Dari sini kita dapat mengerti bahwa Allah tidak menuntut manusia untuk dapat mengerti bahasa-Nya. Melainkan, sebaliknya Dia mau hadir dan dikenal dalam konteks budaya masing-masing. Roh Kudus berkarya bagi dunia agar dunia (baca: pelbagai budaya; ras, bahasa, tradisi, dll) mengenal Kabar Baik, kasih Allah di dalam Kristus Yesus.

Meminjam cerita le Feuvre, kita diperkaya dan dipermudah untuk mengenal-Nya. Ada nyanyian-nyanyian gerejawi yang berisi tentang “Raja Bijaksana” itu. Yang menjadi masalah, apakah kita menikmatinya hanya “lagu” nya saja, itu pun pada waktu menyanyikannya saja? Apakah syair-syairnya menolong kita menghantar pada “Jembatan” yang menghubungkan kita dengan-Nya lalu merasakan kedamaian itu? Demikian juga pada kita ada tulisan-tulisan tentang “Raja Bijaksana” itu, yakni Kitab Suci kita. Apa yang kita lakukan dengannya? Apakah sekedar “bacaan wajib”, ataukah melalui itu, kita dihantar juga pada “Jembatan” itu. Kemudian, Roh Kudus, bagaikan gadis yang dengan sabar terus bercerita menunjukkan “Jembantan” itu, yang tangannya selalu terbuka menatang yang penat dan menguatkan yang lemah. Ia ada di hati kita, sudahkah kita merasakan kehadiran-Nya?