Kamis, 23 September 2021

KITA DAN MEREKA

Sebagai pengikut-pengikut Kristus (baca: Kristen), kita hidup berdampingan dengan pemeluk keyakinan lain. Bahkan dalam statistik, jumlah orang Kristen di negeri ini tergolong minoritas. Ada banyak kelompok lain, yang tidak sama seperti kita. Di antara mereka, banyak yang mengambil sikap curiga, menjaga jarak bahkan sikap bermusuhan. Tak terhitung rasanya kekerasan - baik verbal, maupun fisik - terjadi di negeri ini. Namun, jangan pula kita menutup mata, tidak sedikit kawan-kawan kita yang “berbeda” itu melakukan kebaikan, menjalin persahabatan bahkan seolah tanpa jarak. Ada juga tokoh dunia yang diilhami oleh ajaran dan teladan Yesus. Mahatma Gandhi, nyaris sempurna menerjemahkan khotbah di Bukit dalam kehidupan pribadi maupun perjuangannya dalam membela negara.

 

Kita bisa saja bersyukur ada orang-orang yang meski tidak menyatakan diri sebagai pengikut Kristus tetapi dalam kehidupan mereka mencerminkan ajaran dan sikap Yesus. Namun, ada banyak juga yang menanggapinya dengan sikap picik, sama seperti sikap Yohanes dan tentu saja murid-murid yang lain. Mereka menganggap bahwa karya keselamatan di dalam Kristus sebagai milik dan monopoli mereka. Keselamatan dalam Kristus itu milik gereja. Yohanes dan murid-murid yang lain, begitu pula dengan sebagian besar warga gereja merasa mempunya hak paten dan royalti dari keselamatan dalam Kristus Yesus!

 

Kita mengingat pemberitaan firman minggu lalu yang di dalamnya masih memperdebatkan siapa yang terbesar di antara para murid. Yesus menegur dan mengajar mereka kata-Nya, “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Markus 9:35). Tampaknya Yohanes memahami maksud Yesus. Seharusnya para murid tidak mencari kehormatan diri sendiri, tetapi mengutamakan kehendak Allah di dalam Kristus. Meski mengerti, orang yang memahami kata-kata Yesus belum tentu bertobat, sehingga ia mau berbuat sesuai dengan kata-kata yang dipahaminya itu. Hal ini tampak dalam jawaban Yohanes. Dengan menyebut Yesus Guru, Yohanes mengakui keunggulan Yesus. Namun, ia tetap menganggap dirinya dan para murid Yesus itu termasuk golongan yang terbesar. Itulah kesimpulan yang mau tidak mau dapat kita tari dari perkataannya, “Kami melihat seorang yang bukan pengikut kita mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” (Markus 9:38)

 

Pemakaian kata “kita” sebagai gabungan Engkau (Yesus) dan kami (para murid) sungguh-sungguh punya maksud. Maksudnya di sini: kalau orang itu tidak menghormati para murid Yesus, bagaimana tindakannya membawa manfaat bagi Yesus? Benar, yang penting nama Yesus. Tetapi nama itu tidak dapat dipisahkan dari golongan murid-murid Yesus. Maka pernyataan Yohanes tetap punya tendensi “siapa yang terbesar”, dalam hal ini ditarik dari pribadi menjadi kelompok. Ia menganggap kelompok merekalah yang terbesar itu karena dekat dengan Yesus yang besar. 

 

Yesus konsisten dengan narasi terdahulu. Ia melarang par murid menghalangi perbuatan seperti itu. Alasannya, “Sebab tidak seorang pun yang telah mengadakan mukjizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku.” (Markus 9:39). Tampaknya pemberitahuan Yohanes dan tanggapan Yesus tidak nyambung. Di satu pihak para murid, dalam hal ini diwakili Yohanes, di lain pihak Yesus terus-menerus mendesak para murid agar membenahi diri dan bertobat. Para murid mengkhayal adanya sebuah perarakan keagungan spektakuler menyambut mereka, karena itu perhatian mereka diarahkan pada pertanyaan siapa yang akan berjalan di depan. Tetapi Yesus berbicara mengenai perjalanan penuh penderitaan: di waktu dekat orang akan berubah, mengumpat, mencaci maki, menganiaya dan menyalibkan-Nya.

 

Di sini Yesus tidak menyatakan secara umum bahwa semua orang yang mengusir setan dalam nama-Nya akan bersikap tekun, sebaliknya Ia menyebut waktu dan saatnya. Tidak lama lagi kalayak akan mengumpat-Nya (Markus 9:31), maka seharusnya para murid bersyukur karena dalam minggu-minggu yang genting itu akan ada orang yang tetap mengambil sikap bersahabat. Para murid mengkhawatirkan kehormatan mereka. Sebaliknya, Yesus melihat titik terang di jalan kehinaan, via dolorosa itu. Siapa yang bersiap menghadapi saat ia ditinggalkan semua orang, akan menyambut gembira seorang sahabat meskipun dia berbeda, bukan dari kelompok sendiri! Sebaliknya, siapa saja yang mengira bahwa dirinya sedang mempersiapkan kursi-kursi kehormatan malah akan merasa jengkel jika salah seorang sahabat tidak ikut antusias.

 

Yesus tegas menolak sikap eklusivisme, seolah-olah karya-Nya hanya dibatasi oleh sekelompok pengikut-Nya saja. Ia bukan hanya milik sebuah komunitas, aliran, bahkan agama tertentu. Ia hadir dan menyatakan kasih-Nya bagi seluruh umat manusia dan karya keselamatan-Nya dapat diteruskan oleh setiap orang; baik yang menyatakan dirinya sebagai Kristen atau mereka yang diilhami oleh ajaran dan sikap Yesus. Di mana pun seseorang melakukan perbuatan yang diilhami oleh Yesus untuk melakukan perbuatan baik sesungguhnya ia sedang meluhurkan dan memuliakan Yesus. Jangan kita baru menghargai kebaikan “mereka” ketika kemurahannya ditujukan kepada kita sendiri. Tetapi bergembiralah atas setiap tindakan kebaikan mereka kepada siapa pun, lebih-lebih kalau tindakannya itu diilhami oleh Yesus sendiri.

 

Yesus telah mencela sikap eklusivisime yang merupakan latar belakang pertanyaan Yohanes. Kini, Ia juga menjawab langsung pertanyaan mengenai tindakan seseorang yang percaya, tetapi belum menjadi pengikut. “Sesungguhnya barang siapa memberikan kepadamu secangkir air dalam nama-Ku, oleh karena kamu pengikut Kristus, ia tidak akan kehilangan upahnya,” (Markus 9:41). Secangkir air jauh kurang nilainya dari pada “mengikut kita”. Tetapi yang penting di sini bukan apa yang diberikan kepada para rasul, melainkan alasan pemberian itu. Asalkan orang mengakui para hamba Kristus sebagai utusan Dia, sekalipun yang memberi mereka secangkir air untuk pelepas dahaga maka orang tersebut tidak akan kehilangan upahnya.

 

Kelihatannya orang yang mengusir setan dalam nama Yesus itu tidak bersikap menghina atau memusuhi para murid. Ia bahkan patuh, ketika para murid melarangnya mengusir setan selama ia belum termasuk dalam kumpulan para murid. Meskipun demikian, Yesus melarang sikap para murid itu. Sebab, orang itu akan tercegah ikut mengumpat Yesus bersama orang banyak. Memang ia tidak mengikut Yesus bersama dengan para murid, tetapi Yesus mengenalnya dan dari jarak yang jauh pun Ia dapat melindunginya, sehingga ia tetap mendapat anugerah Allah.

 

Selain mengajak kita untuk terbuka terhadap karya penyelamatan melalui orang di luar kelompok kita, teks Injil hari ini membuat kita waspada terhadap dosa di dalam kelompok sendiri; gereja. Seorang Kristen pun dapat menjadi batu sandungan hingga menyebabkan sesama umat yang lemah menjadi goncang dan kehilangan imannya. Seorang Kristen juga dapat membuat dirinya jatuh. Untuk mencegahnya, kita diberi pilihan yang lebih baik kendati terasa berat: mengambil tindakan “preventif” yang mungkin menyakitkan tetapi jauh lebih baik dari pada siksaan kekal. Lebih baik berlatih agar akar-akar kejahatan dicabut dalam diri kita dan kita hidup bahagia dalam Kerajaan Allah, dari pada tanpa mencabutnya untuk selama-lamanya terpisah dari Allah.

 

Jakarta, 23 September 2021

Jumat, 17 September 2021

MENYAMBUT DAN BUKAN DISAMBUT

Salah satu hasrat manusia adalah menjadi seorang pembesar atau terkemuka. Betapa tidak, seorang pembesar akan selalu mendapat perlakuan istimewa: pertama dan diutamakan. Kata Yunani protosmenggambarkan dengan tepat status dan perlakuan terhadap seorang pembesar. Protos, berarti “orang-orang terkemuka” (Markus 6:21). Penguasa, bangsawan, orang kaya, dan orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat sering kali disebut protos. Protos juga dapat berarti “pertama” dalam arti urutan (pertama, kedua, ketiga, dst). Dengan demikian, orang-orang terkemuka akan selalu didahulukan, dipertamakan. Siapa sih yang tidak ingin menjadi protos? Status dan perlakuan yang istimewa inilah yang mendorong manusia dari segala tempat dan abad berlomba-lomba menjadi orang yang terkemuka.

 

Seorang pembesar atau terkemuka selalu ada tempat, meski harus menyingkirkan tempat orang lain. Di mana dan ke mana pun seorang pembesar akan selalu disambut. Ya, sambutan istimewa! Dalam pola pikir seperti inilah kita maklum kalau para murid pun tidak steril dari keinginan menjadi protos. Maka tidak mudah bagi mereka untuk memahami jalan derita dan pelayanan. Berulang Yesus mengingatkan jalan derita yang harus dilalui-Nya, alih-alih mereka mendengarkan suara-Nya, hasrat diri nyatanya lebih dominan. Bahkan, jika kita mengingat beberapa bulan lalu (dalam Minggu Transfigurasi) ditegaskan oleh suara surgawi sendiri bahwa para murid ini harus mendengarkan suara-Nya. Nyatanya, ketika mereka turun gunung, yang diingat adalah kemuliaan itu sehingga dalam perjalanan mereka bertikai memperebutkan siapa yang paling utama.

 

Yesus seolah mendiamkan pertikaian dalam perjalanan itu. Tetapi sesungguhnya tidak. Ia menggunakan-Nya sebagai bahan ajar. Lalu, sesampainya di rumah itu, Ia memeluk seorang anak kecil sambil mengatakan bahwa, “Barang siapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.  Dan barang siapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”(Markus 9:37). Yesus mengajarkan, alih-alih menjadi orang yang disambut, para murid harus menyambut siapa pun, terutama orang-orang yang paling sederhana, hina dan berada di tempat paling akhir.

 

Markus 9:30 mengisahkan perjalanan Yesus melintasi Galilea dengan tidak mau diketahui orang lain. Kemungkinan Yesus mengambil jalan melingkar, melalui ladang-ladang gandum. Apa tujuan Yesus melintasi Galilea itu? Pertanyaan ini timbul dalam hati orang yang tahu bahwa Yesus sedang dalam perjalanan menuju tempat lain. Akan tetapi, Dia tidak mau hal itu diketahui orang. Andai orang-orang tahu bahwa Yesus sedang bepergian ke tujuan baru di luar wilayah Galilea, kemungkinan besar segera mereka akan berbondong-bondong mengikuti-Nya, Yesus sudah populer sebagai pengajar dan penyembuh kala itu.

 

Dalam Yohanes 7: 1-13, mencatat bahwa saudara-saudara Yesus juga ingin supaya Dia mengembangkan kariernya dengan mencari ketenaran di kota besar, Yerusalem. Jelas pemikiran seperti itu keliru. Yesus menuju Yerusalem bukan untuk meningkatkan ketenaran, melainkan perjalanan yang menuju penyerahan dan maut. Itu harus terjadi - demikian pemberitahuan penderitaan yang pertama - dan itu akan terjadi, atas kerelaan Yesus sendiri (demikian pemberitahuan penderitaan yang kedua).

 

Dalam pengajaran-Nya kepada para murid (Markus 9:31), Yesus menjelaskan alasan yang membuat Dia merahasiakan tujuan perjalanan-Nya (meninggalkan Galilea menuju daerah lain) adalah untuk memenuhi ketaatan-Nya kepada Bapa. Ia (Anak Manusia) akan diserahkan ke tangan manusia: mereka akan membunuh Dia. Namun, Dia akan bangkit lagi dari antara orang mati. Maka perjalanan melintasi Galilea itudapat dikatakan perjalanan menuju maut. Karena itu, orang lain jangan sampai mengetahui tujuan perjalanan tersebut. Sebab, kehadiran mereka dapat menjadi penghalang.

 

Bagi para murid (Markus 9:32), perkataan Yesus itu gelap, “mereka tidak mengenal perkataan itu” (harafiah). Para murid buta akan maksud Yesus, kendati Yesus telah menjelaskannya kepada mereka. Kata-kata Yesus, tidak hanya kurang jelas bagi mereka, tetapi juga artinya sama sekali tersembunyi (Lukas 9:45). Jelaslah, bahwa hati manusia perlu dibuka supaya betul-betul mengenal rahasia Injil. Kebutaan para murid ini ditunjukkan dengan sibuk bertikai mengenai siapa yang paling terkemuka. Kita dapat menengarai penyebab kebutaan ini adalah ambisi atau hasrat yang menginginkan mereka menjadi protos.

 

Setelah rombongan Yesus tiba di Kapernaum dan berada di rumah, mungkin rumahnya Simon. Di situ Yesus bertanya, “Apa yang kamu perbincangkan tadi di tengah jalan?” Pertanyaan inilah yang menjadi titik tolak pengajaran Yesus. Dia berada di Kapernaum untuk yang terakhir kalinya. Maka percakapan ini merupakan acara perpisahan di tempat tinggal sendiri. Yesus tidak datang ke Kapernaum untuk beristirahat. Dia sedang menuju Yerusalem - jalan penderitaan. Bagi Yesus, perjalanan menuju penderitaan-Nya adalah perkara paling utama.

 

Para murid membisu, tidak menjawab pertanyaan Yesus. Mereka tidak berani mengatakan bahwa pertengkaran mereka berkisar tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Mereka menyadari bahwa Sang Guru sanggup menyelidiki hati mereka. Tatapan mata dan pertanyaan Yesus sudah cukup menjadi teguran buat mereka bahwa pembicaraan mereka sama sekali di luar realitas Sang Guru.

 

Kini, Yesus “duduk” dan memanggil (phônein) murid-murid-Nya. Kata kerja “memanggil” tidak mengandung arti “memanggil atau mengundang orang menghadiri rapat (proskalein), tetapi memanggil orang dengan menyebut namanya. Undangan pribadi untuk tampil ke depan ini membuat hati mereka berdebar. Siapa di antara para murid yang paling besar? Pada saat pertanyaan itu hendak dibahas secara terbuka, ternyata Simon, Andreas, Yakobus, dan yang lainnya disuruh maju. Apakah kedua belas murid ini yang paling besar di antara semua murid-Nya?

 

Para murid terkejut, sekaligus penuh harap kalau-kalau dirinyalah yang dimaksudkan Yesus. Namun, betapa terkejutnya lagi, ketika Yesus mengatakan, “Jika seorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaknya ia menjadi yang terakhir dari semua dan pelayan dari semuanya!” Kedua belas murid - dan juga orang-orang lain - ingin disebut sebagai orang yang utama, ingin berdiri di depan. Keinginan inilah yang melahirkan pertikaian para murid di perjalanan. Kalau kita meminjam catatan Yakobus (bacaan II), mereka bertikai karena sibuk memikirkan dan memperjuangkan kepentingan dan hawa nafsunya sendiri, bukan hikmat yang dari atas sehingga melahirkan kekacauan dan pertengkaran. Tetapi kini Yesus memutarbalikkan keinginan itu. Benar, ada tempat terhormat di dekat Yesus, tetapi tempat itu diduduki dia yang bersedia mengambil tempat paling rendah, tempat seorang pelayan yang tidak punya bawahan, yang menjadi “yang terakhir dari semuanya”, karena melayani dan menolong semuanya.

 

Ternyata, Yesus tidak memanggil satu pun dari kedua belas murid-Nya dengan maksud menjawab pertanyaan siapa di antara mereka yang terbesar. Yesus hanya memberi mereka keterangan mengenai jalan yang harus ditempuh untuk menjadi yang terbesar. Tetapi, Yesus tidak berhenti di situ. Ia menunjukkan tokoh terbesar.

 

Di tengah kelompok dua belas murid yang ingin menjadi terbesar, Ia menempatkan seorang anak kecil. Dipeluk-Nya anak itu. Bukan tanpa maksud begitu saja Yesus mendudukkan anak-anak kecil ke dalam kedudukan “orang besar”. Mereka (anak-anak kecil) adalah “yang paling kecil” - tubuhnya menunjukkan itu -, mereka juga belum mengerti apa-apa, belum punya kedudukan atau status apa pun. Dengan menempatkan seorang anak kecil di pusat, Yesus hendak menjelaskan perkataan-Nya mengenai “yang terakhir dari semuanya” dan “pelayan dari semuanya”.

 

Dengan menempatkan anak kecil itu di tengah-tengah para murid, Yesus lebih dahulu hendak menunjukkan kepada mereka tempat yang seharusnya mereka pilih, yakni tempat yang paling sederhana, yang paling hina, tempat seorang anak kecil yang belum punya status, belum berarti apa-apa, dan yang menurut pemahaman masyarakat luas belum masuk dalam hitungan. Sambil memeluk anak kecil itu, Yesus mengatakan, “Barang siapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku, dan barang siapa menyambut Aku, bukan (hanya) Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.”

 

Ucapan ini sulit untuk dipahami, terutama karena mau tidak mau ungkapan “menyambut” dan “dalam nama-Ku” sering dikaitkan dengan perkataan yang Yesus ucapkan pada waktu pengutusan kedua belas rasul (Markus 6:11; Matius 10:14, 40-41; Lukas 9:5; 10:8-10). Maka kita sering kali tertarik untuk menghubungkan perkataan Yesus dalam Markus 9:37 ini dengan cara umat Israel menyambut para murid. Di situ para murid yang mengemban tugas perutusan dari Yesus disambut.

 

Namun, yang menjadi pokok perhatian dalam Markus 9:37, bukan bagaimana para murid disambut atau diperlakukan. Itu yang mereka pikirkan sendiri : bagaimana kita akan disambut, dan siapa yang dinobatkan paling besar? Bukan itu! Sebaliknya, Yesus membelokkan (Jakob Van Bruggen), saya lebih suka memakai kata meluruskan. Jadi dalam hal ini, Yesus meluruskan pikiran dan perhatian mereka. Para murid tidak dipanggil untuk mengatur cara orang menyambut mereka, tetapi merekalah yang harus menyiapkan sambutan terhormat bagi orang lain. Masyarakat tidak harus melayani mereka, tetapi merekalah yang harus melayani masyarakat! Ini sama seperti, sebagaimana para hamba menantikan kedatangan tuan mereka dan sebagaimana para pelayan yang lebih rendah pangkatnya juga menantikan kedatangan anak-anak kecil, begitu pula para murid yang ingin menjadi terbesar harus siap menjadi pelayan bagi semua. Mereka bahkan harus bersedia untuk dalam nama Yesus menyambut (dan mengajar) anak-anak, yang belum punya arti apa-apa. Sama seperti Tuhan tidak merasa hina di depan mata para murid yang ingin terkemuka, begitu pula para murid seharusnya tidak merasa hina menerima dan menyambut siapa saja dalam nama Yesus.

 

Murid-murid Yesus, termasuk kita tidak dipanggil untuk berjalan di muka dan menerima penghormatan, tetapi untuk menyambut orang-orang yang paling kecil sekalipun dan menggendong mereka selaku pelayan. Dengan cara itulah seorang murid menjadi besar dalam kerajaan surga.

 

 

Jakarta, 17 September 2021

Kamis, 09 September 2021

APA KATAMU TENTANG AKU?

Apa katamu tentang aku? Kalimat tanya ini menginginkan jawaban yang berupa pendapat orang yang ditanya itu tentang dirinya. Sepasang muda-mudi yang sedang dimabuk asmara, sang kekasih meminta pendapat dari pacarnya tentang dirinya. Sudah dapat diduga akan mengalir dengan deras dari mulutnya puja dan puji. Hal ini, berbeda ketika pertanyaan serupa dilontarkan setelah sepasang suami-istri hidup bersama bertahun-tahun lamanya. Perbedaan itu setidaknya bahwa pendapat kita sangat dipengaruhi oleh suasana hati dan pengharapan kita. Meski tidak mengabaikan juga pengenalan yang lebih mendalam.

 

Hal senada ditanyakan Yesus kepada para murid-Nya, “Tetapi, apa katamu, siapa Aku ini?”  Inilah kali pertama Yesus menantang murid-murid-Nya untuk menyampaikan pendapat mereka sendiri. Bukan kata orang! Tentu saja setelah sekian lama para murid bersama-sama dengan Yesus: tinggal bersama-Nya, mendengar pengajaran-Nya, dan menyaksikan apa yang diperbuat-Nya, setidaknya mereka punya pendapat sendiri yang tidak sekedar ikut-ikutan kata orang.

 

Petrus tampil dan menjawab, “Engkau adalah Mesias!” Mesias kata lain dari Kristus, berarti “Yang diurapi”. Dalam tradisi Perjanjian Lama, para imam dan raja-raja Israel diurapi dengan minyak (Keluaran 29:7,21; 1 Samuel 10:1). Hanya satu kali dalam Perjanjian Lama, ada nabi yang diurapi, yakni nabi Elisa (1 Raja-raja 19:16). Di luar itu, gelar mesias juga pernah disematkan untuk raja Koresh, raja Persia yang berperan dalam pembebasan orang Israel dari pembuangan di Babel (Yesaya 45:1).

 

Pemahaman mesias dalam Perjanjian baru erat kaitannya pada raja yang akan datang untuk mendirikan kembali kejayaan takhta Daud. Mesias adalah gelar resmi untuk tokoh utama yang dinanti-nantikan oleh orang Yahudi. Pengharapan ini rupanya telah berurat akar tidak terkecuali para murid Yesus. Dalam bingkai inilah Petrus menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias. Jelas ini berbeda dari apa yang sebenarnya sedang terjadi pada Yesus. Yesus sedang menggenapi apa yang dikatakan dinubuatkan oleh nabi Yesaya. Mesias hamba yang menderita! 

 

Ya, Yesus adalah Mesias yang menapakinya dengan jalan menghamba. Ia tidak membuka mulut-Nya terhadap orang-orang yang menganiaya-Nya. Bahkan, dalam bacaan pertama hari ini (Yesaya 50:4-9) ketika Ia dipermalukan “orang-orang yang mencabut janggutku..” Ia diam. Tidak terbayang janggut - pada waktu itu dalam budaya Timur Tengah - yang melambangkan maskulinitas dicabut dan dihilangkan, menjadi tontonan di depan umum; ini sejajar dengan menampar pipi, meludahi dan menodai. Penghinaan!

 

Sikap diamnya sang hamba, di bagian lain sama seperti anak domba yang digiring ke tempat pembantaian untuk disembelih. Ketika diadili dengan tuduhan rekayasa pun tidak ada yang membela-Nya. Sesudah ditahan dan dijatuhi  keputusan yang tidak adil, Ia “diambil” untuk dijatuhi hukuman mati. Dalam kematian pun Sang Hamba masih tetap dihina: Ia dikuburkan di antara orang-orang jahat, sekalipun Ia sama sekali tidak termasuk di antara mereka. Derita yang dialami-Nya itu adalah hukuman yang seharusnya diperuntukan bagi orang-orang yang memberontak kepada Allah. Yesus sedang menapaki jalan itu. Jalan hamba yang menderita!

 

Jalan Mesias seperti inilah yang hendak Yesus sampaikan kepada orang banyak, khusus para murid-Nya. Namun, respons para murid yang diwakili oleh Petrus berbeda. Petrus - dapat dipastikan para murid yang lain - tidak dapat menerima. Penolakan Petrus disebabkan utamanya karena keinginannya menjadikan Yesus sesuai dengan ambisinya. Bukankah ada banyak di antara kita sama seperti orang banyak yang berbondong-bondong mencari dan mengikut Yesus karena ingin menyaksikan dan menikmati kehebatan-Nya? Bukankah kita juga sama seperti Petrus yang punya ambisi menjadikan Yesus sesuai dengan keinginan kita? Kita tidak rela untuk membiarkan Yesus berkarya sebagaimana Ia sendiri memenuhi kehendak Bapa-Nya. Kita tidak rela membiarkan Dia yang mengendalikan hidup kita, alih-alih kita yang suka mengatur diri-Nya.

 

Petrus tidak rela kalau Yesus menjadi Mesias yang menderita, ini tidak sesuai dengan konsepnya. Dalam mempertahankan ambisinya itu Petrus bahkan berani menarik Yesus ke samping dan menegur Yesus. “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” (Markus 8:33). Mengherankan Yesus menyebut Iblis dalam hardikannya terhadap Petrus. Kalimat hardikan ini mengingatkan kita pada peristiwa Yesus dicobai Iblis dalam tahap awal pelayanan-Nya. Dalam Injil Matius, ketika Yesus dicobai dikatakan bahwa Roh membawa-Nya ke padang gurun untuk dicobai Iblis (Matius 4;1). Dalam kisah itu Iblis disebut sebagai pencoba atau penggoda karena memang ia mencobai Yesus.

 

Iblis mencobai atau menggoda Yesus untuk mempergunakan kuasa-Nya demi kepentingan-Nya sendiri. Tetapi Yesus dengan tegas menolaknya. Yesus menghardik Iblis itu. Hari ini kita membaca hardikan yang sama terhadap Petrus. Petrus disebut Iblis bukan karena pada saat itu ia sedang dirasuki oleh Iblis, tetapi oleh karena apa yang dipikirkan dan dikatakannya itu merupakan aksi mencobai atau menggoda Yesus. Petrus mencegah Yesus untuk menempuh jalan sengsara - hal ini bagi Yesus sangat mungkin bahkan mudah! Yesus punya kapasitas untuk itu. Yesus sangat mungkin bisa memenuhi harapan Petrus, namun Ia tidak menggunakannya. 

 

Dengan ulahnya seperti itu, Petrus menjadi seorang pembujuk Yesus. Ia menghasut Yesus untuk tidak mengerjakan ketaatan-Nya terhadap kehendak Bapa. Bukankah hal ini sejajar dengan apa yang dilakukan si Iblis di padang gurun? Yesus menggunakan hardikan yang sama, baik di padang gurun maupun terhadap Petrus. Yesus pun akan menghardik kita, manakala kita menjadikan-Nya sarana pemenuhan ambisi kita!

 

Hardikan Yesus yang begitu keras itu mengungkapkan sikap-Nya terhadap penggoda yang dapat menggagalkan rencana penyelamatan Allah yang sedang dikerjakan-Nya. Kalau saja Yesus menuruti apa yang disarankan Petrus, Ia gagal melakukan kehendak Bapa untuk menghadirkan Kerajaan Allah. Sebaliknya, bila Ia mau mewujudkan pengharapan orang Yahudi termasuk Petrus, Yesus akan mulia, dielu-elukan sebagai raja yang berkuasa. Ia akan terbebas dari penderitaan, tetapi gagal melakukan kehendak Bapa-Nya. 

 

Menghadapi godaan ini, Yesus berkata, “hupage opiso mou, satana!” LAI menerjemahkannya, “Enyahlah Iblis!” Barangkali lebih tepat, “Pergilah ke belakang-Ku, hai Penggoda!” Kalimat hardikan ini merupakan sebuah perintah keras kepada Petrus untuk mengikuti Yesus di belakang. Ya, sebagai murid posisinya bukan di depan tetapi mengikut di belakang. Petrus harus mengitkuti-Nya termasuk nantinya dalam penderitaan yang harus dijalaninya. Yesus menempatkan Petrus pada posisi yang sebenarnya: bukan ambisinya yang mau mengatur Tuhan, melainkan ia harus mau diatur. Petrus belum memahami benar tentang Mesias yang harus dijalani Yesus. Oleh karena itulah kita bisa memahami kalau Yesus melarang keras Petrus dan murid-murid lainnya memberitakan bahwa Ia mesias. Sebab, Petrus dan teman-temannya harus memahami utuh Mesias seperti apa yang sedang dijalani Yesus. Barulah setelah peristiwa kebangkitan Yesus Petrus dan murid-murid yang lain mengerti tentang Mesias itu.

 

“Apa katamu tentang Aku?” Pertanyaan ini juga ditujukan kepada kita. Tentu saja jawaban yang dikehendaki Yesus bukan sekedar menyenangkan untuk didengar atau mewakili ambisi kita. Jawaban itu harus berangkat dari pemahaman utuh mengenai apa yang dikerjakan Yesus. Jawaban itu seharusnya bukan berakhir dengan hardikan Yesus. Melainkan, pemahaman yang benar akan karya cinta kasih Kristus dan kita berada pada posisi “di belakang-Nya!”

 

Jakarta, 9 September 2021 

Kamis, 02 September 2021

KETABAHAN DALAM BERHARAP

Pernahkah Anda bertanya, “Mengapa orang yang punya bakat alami sering kali gagal mencapai potensi mereka, sementara orang lain yang tidak terlalu berbakat - biasa-biasa saja - justru bisa menggapai hal-hal yang menakjubkan?”

 

Angela Duckworth - seorang psikolog perintis - dalam bukunya setebal 400 halam lebih, GRIT: The Power of Passion and Perseverance, menunjukkan bahwa rahasia untuk pencapaian yang luar biasa bukanlah bakat, tetapi perpaduan istimewa antara Hasrat (passion) dan kegigihan (perseverance) yang ia sebut sebagai “ketabahan” (grit).

 

Berdasarkan penelitiannya melalui pelbagai metode, wawancara dengan orang-orang yang berprestasi tinggi, serta pengalamannya sendiri, Duckworth menunjukkan bahwa kecenderungan kita terpaku hanya pada bakat alam, itu salah: dari segi pencapaian, yang lebih penting adalah usaha yang kita lakukan dan reaksi kita terhadap hambatan yang terjadi dalam mencapai sesuatu. Kemudian Duckworth menjelaskan bahwa ketabahan itu bisa dipelajari sekaligus menawarkan rumusan baru bagi keberhasilan baik individu atau pun kesuksesan kolektif.

 

Tingkat ketabahan seseorang akan terlihat ketika ia berhadapan dengan tantangan atau kesulitan. Apakah ia cukup bertahan dan sanggup menghadapinya atau bertekuk lutut sambil mengeluh dan menyalahkan pihak atau orang lain? Paul G Stoltz menyebut daya tahan menghadapi tantangan itu dengan Adversity Quotient (AQ). Menurutnya ada tiga tingkatan kecerdasan seseorang dalam menghadapi kesulitan. Tingkat pertama, Quiter adalah orang yang berhenti mencapai tujuan ketika kesulitan datang menghampirinya. Dia memutuskan berhenti dan menyerah. 

 

Kelompok kedua, Campers (sifat orang yang berkemah). Kelompok ini punya daya tahan yang sedang-sedang saja. Mereka puas dengan pencapaian yang selama ini diperolehnya. Kelompok ini tidak menyukai tantangan. Ibarat pendaki yang di tengah perjalanan enggan meneruskan mencapai puncak karena mereka lihat ada banyak kesulitan yang harus dilalui. Mereka memilih memasang tenda dan cukup berkemah di lereng gungung.

 

Kelompok terakhir adalah Climbers, sifat seorang pendaki gunung sejati. Climbers  adalah orang-orang yang memiliki AQ tinggi dengan kemampuan dan kecerdasannya untuk dapat menghadapi kesulitan. Mereka menjadikan kesulitan itu sebagai kesempatan merahi sesuatu yang bernilai tinggi.

 

Jika kita amati apa yang dikemukakan oleh Duckworth dan Stoltz bukan hanya terjadi di dunia science, bisnis, pendidikan, entrepreuner dan sejenisnya. Namun, bisa kita jumpai dalam kehidupan iman atau spiritualitas kita. Ada kelompok orang yang mulanya antusias menyambut mendengar firman Tuhan. Ia yakin sekali dengan imannya bahwa Tuhan mengasihi dan memanggilnya dalam ladang pelayanan. Namun, ketika tantangan menghadangnya, ada orang mempertanyakan dan mengkritik pelayanannya atau keinginan dalam doanya tidak terjawab, ia memilih untuk berhenti. Ya, bukan hanya berhenti dari pelayanan tetapi juga dari keanggotaan gereja bahkan memilih meninggalkan Tuhan! 

 

Ketabahan dan pengharapan adalah hal yang penting dalam kehidupan iman, bahkan ia merupakan ekspresi iman itu sendiri. Dalam bacaan pertama minggu ini, kita melihat sang nabi harus terus mengingatkan Israel untuk tidak berhenti dalam ketabahan dan berharap. Pembuangan memang menyakitkan namun ketika mereka mampu bertahan, mereka akan melihat pemulihan itu bakal terjadi. Sebentar lagi mereka akan melihat pemulihan itu terjadi. Yang diminta Sang Nabi hanya satu, bahwa umat TUHAN itu jangan tawar hati (Yes.35:4). Hal ini sangat berbeda kalau dibandingkan dengan perempuan Siro-Fenesia (bacaan ketiga). Kita dapat menemukan gambar ketabahan yang begitu baik ketika ia memerjuangkan pemulihan bagi anaknya. 

 

Tradisi teologi kita menyimpulkan bahwa pembuangan Israel ke Babel adalah bagian hukuman dari Allah. Padahal tidak serta-merta Allah menjatuhkan penghukuman. Pasti ada sebabnya. Dan, sebelum memberikan penghukuman itu, Allah melalui para nabi-Nya memberikan peringatan. Berulang kali peringatan itu tidak digubris dan akhirnya malapetaka itu tiba. Penghukuman Allah berlangsung, mereka hidup dalam pembuangan. Meski demikian, melalui para nabi-Nya – termasuk Yesaya – tidak hanya menyampaikan kabar duka; penghukuman. Tetapi juga kabar baik, yakni pemulihan. Hanya saja umat diajak untuk terus tabah menantikan zaman pemulihan itu.

 

Yesaya 35: 4-7 berada dalam konteks berita pemulihan. Sang Nabi berseru kepada mereka yang tidak hanya cemas dan tawar hati, melainkan juga putus asa bahkan lemah, lesu tiada pengharapan! Jika kita baca, ayat 5-10 merupakan puncak berita kenabian yang memandang ke masa depan orang-orang beriman. Pesan ini jelas-jelas memberikan penghiburan, harapan dan kesukaan yang unik dan luar biasa. Oleh karena itu sering para pakar menyimpulkan bahwa bagian ini merupakan penutup dari Yesaya I, yang pada intinya berita kabar baik (Injil) yang dapat membangkitkan iman dan harapan yang gemilang bagi umat yang sedang dalam penderitaan dalam konteks zamannya. Dari pihak umat hanya diminta adanya iman yang teguh, jangan bimbang dan takut serta terus tabah menanti pembebasan dan pelepasan dari belenggu penderitaan itu.

 

Tanda-tanda dari pemulihan itu menunjuk pada pemulihan yang nyata. Pertama-tama disebutkan kelepasan bagi golongan orang-orang dengan kelemahan fisik permanen dan tidak mungkin dapat disembuhkan lagi secara normal. Mereka diwakili oleh orang-orang buta, tuli, lumpuh dan bisu. Kelemahan-kelemahan fisik seperti itu menunjukkan keadaan manusia yang tidak berdaya sama sekali, selain hanya merindukan belas kasihan orang atau pihak lain. Kelepasan dari kelemahan fisik ini dipandang penting sekali. Mengapa? Ya, tentu saja karena mereka tidak bisa bergerak dengan leluasa. Pastilah untuk pemulihan itu Israel menanti dan berharap. Namun, seberapa tabah mereka hidup dalam pengharapan itu jelaslah ini merupakan perkara yang lain.

 

Relatif lama kurun waktu yang dijalani Israel kalau kita menghubungkan pewartaan Sang Nabi dengan penggenapannya melalui apa yang dilakukan oleh Yesus. Ada rentang waktu sekitar tujuh abad antara zaman Raja Ahas atau Hizkia di mana Sang Nabi bernubuat sampai kepada Yesus. Ya, tentu saja dalam kurun waktu yang panjang itu, Allah dengan pelbagai cara menghibur dan menguatkan.

 

Penggenapan pemulihan itu terjadi dalam karya Yesus. Mengapa kita yakin bahwa nubuat Nabi Yesaya ini sepenuhnya dinyatakan di dalam Yesus? Ya, karena kita melihat Yesus mengerjakan pemulihan itu dengan detil. Ia menyembuhkan banyak orang dengan kelemahan fisik yang pada zaman-Nya sulit untuk dikembalikan pada kondisi normal: buta dicelikkan, orang lumpuh berjalan, bisu dan tuli dibebaskan. Lengkap! Maka tidaklah mengherankan kalau karya-Nya dinanti banyak orang. Namun, meski demikian ada kelompok-kelompok Yahudi tidak bisa menerima-Nya. Alih-alih bersyukur atas penggenapan zaman baru yang sedang terjadi, mereka sibuk mencari celah untuk menolak dan menyingkirkan-Nya.

 

Yesus pergi ke daerah Tirus tepat setelah terjadi perdebatan sengit dengan sekelompok orang Farisi tentang adat istiadat Yahudi. Hengkangnya Yesus ke Tirus yang notabene daerah non-Yahudi dan di sana Ia menemukan seorang perempuan dengan keteguhan iman yang luar biasa.  Momen ini seolah mau mengkonfirmasi kebenaran ajaran-Nya bahwa bukan dengan menaati sejumlah peraturan seseorang itu disebut lebih saleh atau lebih beriman dan bisa mengatur keberpihakan Allah. Tidak! Melainkan seberapa teguhnya dia percaya dan mewujudkannya dalam sebuah tindakan. Hal ini ditampilkan dalam drama perjumpaan Yesus dengan seorang ibu yang berjuang agar anaknya yang kerasukan setan dapat dipulihkan oleh Yesus.

 

Semula Yesus berharap bahwa kedatangan-Nya ke Tirus tidak diketahui oleh banyak orang. Namun ternyata keberadaan-nya di sana tidak dapat dirahasiakan. Yesus menjadi seorang Guru dan penyembuh yang terkenal, bahkan sampai ke negeri “asing”. Berita kedatangan itu segera tersebar ke seluruh penjuru kota.  Di antara orang yang mendengar kedatangan-Nya, ada seorang perempuan Yunani keturunan Siro-Fenesia. Ini artinya, si perempuan itu tidak berkebangsaan Yunani, tetapi berkebudayaan Yunani. Anak perempuannya menderita akibat kerasukan roh jahat. 

 

Begitu mendengar kedatangan Yesus, Sang Ibu bergegas menemui-Nya. Sudah dapat diduga, ia telah banyak mendengar “kehebatan” Yesus sebagai seorang penyembuh. Tentu saja ia datang dengan penuh pengharapan bahwa Yesus akan menyembuhkan anaknya dengan mengusir roh jahat itu.

 

Apa yang terjadi ketika Sang Ibu ini menyampaikan pengharapannya? Yesus justru menjawabnya, “Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” Terdengar kasar dan cenderung menolak. Apa arti sebenarnya dari ungkapan ini? Apakah Yesus benar-benar menghina perempuan itu dengan menyebutnya anjing? Apakah Dia benar-benar seperti kebanyakan orang-orang Yehudi yang memilah bahwa orang-orang di luar komunitas mereka sebagai orang-orang yang najis?

 

Bagi orang Yahudi, anjing termasuk binatang najis. Mereka tidakakan membiarkan anjing masuk ke rumahnya dan berbaring di bawah meja makan, sementara ia dan anak-anaknya sedang makan. Kalimat jawaban yang dilontarkan Yesus jelas tidak diambil dari konteks apalagi kebiasaan orang Yahudi, sebab pastilah mereka tidak akan makan sementara di dekatnya ada seekor anjing. Yesus seringkali menggunakan pengalaman atau tepatnya konteks budaya dari orang yang sedang diajak bicara dengan-Nya. 

 

Perempuan ini seorang Yunani berkebangsaan Siro-Fenisia. Perumpamaan yang diucapkan Yesus itu diambil dari kebiasaan orang Yunani – bukan Yahudi – yang menganggap anjing bukanlah binatang yang najis, melainkan peliharaan yang biasa ada di dalam rumah. Jadi, perempuan ini tentu saja tidak merasa terhina dan Yesus tidak bermaksud menghinanya.

 

Yesus pernah mengatakan bahwa Ia diutus untuk menyelamatkan domba-domba yang hilang di antara orang Israel (Matius 15:24). Ia datang pertama-tama untuk orang Israel. Hal ini juga yang menjadi alasan bagi Paulus dalam pewartaannya mencari rumah ibadat orang Yahudi lebih dahulu. Kalau diterima ia mengajar di situ, kalau tidak ia pergi dan mengajar kepada orang-orang bukan Yahudi. Maksud perumpamaan yang Yesus sampaikan kepada Sang Ibu itu ialah: biarlah orang-orang Yahudi dahulu mengalami semua yang diwartakan Yesus, setelah itu barulah bangsa-bangsa yang lain. Masalahnya, apakah perempuan ini memahami soal bahwa Yesus harus datang untuk orang Israel lebih dahulu? Kemungkinan besar tidak! Tetapi kalau bicara soal rumah tangga dan keprihatinan terhadap anak, para ibu adalah ahlinya.

 

Perempuan itu menanggapi perumpamaan Yesus dalam arti praktis, bukan teologis. Ia menjawabnya, “Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak” (ay.30). Ia memang menyampaikan apa yang terjadi dalam kehidupan nyata. Benar bahwa orang tidak akan mengambil makanan yang disediakan untuk anak-anak dan memberikannya kepada anjing. Jika demikian, anak-anak tidakakan bisa makan, tetapi anjinglah yang akan makan dan kenyang. Hal seperti ini tidak pantas dilakukan; anak-anak yang harus didahulukan ketimbang anjing. Baru setelah mereka kenyang, sisa makanan bisa diberikan kepada anjing-anjing itu. Tetapi anjing di bawah meja memakan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.

 

Walaupun perempuan ini kemungkinan besar tidak memahami perumpamaan Yesus dalam konteks Yahudi, tetapi jelaslah ia menempatkan diri pada posisi “anjing”, dan dalam posisi seperti itu ia tidak merasa terhina. Ia menantikan dengan aktif kalau-kalau ada remah yang dijatuhkan oleh “anak-anak tuannya”. Ia sudah cukup puas menerima remah-remah itu. Remah-remah itu lebih dari cukup untuk memulihkan anaknya yang sedang menderita. Sang Ibu ini menunjukkan bukan hanya ia punya keyakinan dan pengharapan bahwa Yesus sangat mampu memulihkan kondisi anaknya, tetapi juga ia punya daya tahan atau dalam bahasa Paul G Stoltz sebagai Adversity Quotient  yang tinggi. Dampaknya, tidak lekas menyerah!

 

Bagi Yesus perkataan perempuan itu menunjukkan kepercayaan atau iman. Iman yang dinyatakan dalam tindakan yang tidak mudah menyerah. Iman yang menurut Yakobus terlihat dalam tindakan atau perbuatan, karena iman tanpa perbuatan pada hakikatnya adalah mati. Dampaknya, luar biasa. Dasyat! Yesus mengatakan kepadanya bahwa setan telah keluar dari anaknya. Mendengar perkataan Yesus, perempuan itu segera pulang. Ia mendapati anaknya berbaring di tempat tidur dan tidak ada lagi setan yang merasukinya.

 

Bagaimana dengan iman kita? Setangguh ap akita tetap berharap kepada Tuhan khususnya dalam masa pandemik yang belum juga kunjung reda? Tabah, berserah dan terus berharap itulah yang memungkinkan kita dapat melihat secercah cahaya dalam kegelapan atau kehidupan di balik bayang-bayang kematian.



Jakarta, 2 September 2021