Sebagai pengikut-pengikut Kristus (baca: Kristen), kita hidup berdampingan dengan pemeluk keyakinan lain. Bahkan dalam statistik, jumlah orang Kristen di negeri ini tergolong minoritas. Ada banyak kelompok lain, yang tidak sama seperti kita. Di antara mereka, banyak yang mengambil sikap curiga, menjaga jarak bahkan sikap bermusuhan. Tak terhitung rasanya kekerasan - baik verbal, maupun fisik - terjadi di negeri ini. Namun, jangan pula kita menutup mata, tidak sedikit kawan-kawan kita yang “berbeda” itu melakukan kebaikan, menjalin persahabatan bahkan seolah tanpa jarak. Ada juga tokoh dunia yang diilhami oleh ajaran dan teladan Yesus. Mahatma Gandhi, nyaris sempurna menerjemahkan khotbah di Bukit dalam kehidupan pribadi maupun perjuangannya dalam membela negara.
Kita bisa saja bersyukur ada orang-orang yang meski tidak menyatakan diri sebagai pengikut Kristus tetapi dalam kehidupan mereka mencerminkan ajaran dan sikap Yesus. Namun, ada banyak juga yang menanggapinya dengan sikap picik, sama seperti sikap Yohanes dan tentu saja murid-murid yang lain. Mereka menganggap bahwa karya keselamatan di dalam Kristus sebagai milik dan monopoli mereka. Keselamatan dalam Kristus itu milik gereja. Yohanes dan murid-murid yang lain, begitu pula dengan sebagian besar warga gereja merasa mempunya hak paten dan royalti dari keselamatan dalam Kristus Yesus!
Kita mengingat pemberitaan firman minggu lalu yang di dalamnya masih memperdebatkan siapa yang terbesar di antara para murid. Yesus menegur dan mengajar mereka kata-Nya, “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Markus 9:35). Tampaknya Yohanes memahami maksud Yesus. Seharusnya para murid tidak mencari kehormatan diri sendiri, tetapi mengutamakan kehendak Allah di dalam Kristus. Meski mengerti, orang yang memahami kata-kata Yesus belum tentu bertobat, sehingga ia mau berbuat sesuai dengan kata-kata yang dipahaminya itu. Hal ini tampak dalam jawaban Yohanes. Dengan menyebut Yesus Guru, Yohanes mengakui keunggulan Yesus. Namun, ia tetap menganggap dirinya dan para murid Yesus itu termasuk golongan yang terbesar. Itulah kesimpulan yang mau tidak mau dapat kita tari dari perkataannya, “Kami melihat seorang yang bukan pengikut kita mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” (Markus 9:38)
Pemakaian kata “kita” sebagai gabungan Engkau (Yesus) dan kami (para murid) sungguh-sungguh punya maksud. Maksudnya di sini: kalau orang itu tidak menghormati para murid Yesus, bagaimana tindakannya membawa manfaat bagi Yesus? Benar, yang penting nama Yesus. Tetapi nama itu tidak dapat dipisahkan dari golongan murid-murid Yesus. Maka pernyataan Yohanes tetap punya tendensi “siapa yang terbesar”, dalam hal ini ditarik dari pribadi menjadi kelompok. Ia menganggap kelompok merekalah yang terbesar itu karena dekat dengan Yesus yang besar.
Yesus konsisten dengan narasi terdahulu. Ia melarang par murid menghalangi perbuatan seperti itu. Alasannya, “Sebab tidak seorang pun yang telah mengadakan mukjizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku.” (Markus 9:39). Tampaknya pemberitahuan Yohanes dan tanggapan Yesus tidak nyambung. Di satu pihak para murid, dalam hal ini diwakili Yohanes, di lain pihak Yesus terus-menerus mendesak para murid agar membenahi diri dan bertobat. Para murid mengkhayal adanya sebuah perarakan keagungan spektakuler menyambut mereka, karena itu perhatian mereka diarahkan pada pertanyaan siapa yang akan berjalan di depan. Tetapi Yesus berbicara mengenai perjalanan penuh penderitaan: di waktu dekat orang akan berubah, mengumpat, mencaci maki, menganiaya dan menyalibkan-Nya.
Di sini Yesus tidak menyatakan secara umum bahwa semua orang yang mengusir setan dalam nama-Nya akan bersikap tekun, sebaliknya Ia menyebut waktu dan saatnya. Tidak lama lagi kalayak akan mengumpat-Nya (Markus 9:31), maka seharusnya para murid bersyukur karena dalam minggu-minggu yang genting itu akan ada orang yang tetap mengambil sikap bersahabat. Para murid mengkhawatirkan kehormatan mereka. Sebaliknya, Yesus melihat titik terang di jalan kehinaan, via dolorosa itu. Siapa yang bersiap menghadapi saat ia ditinggalkan semua orang, akan menyambut gembira seorang sahabat meskipun dia berbeda, bukan dari kelompok sendiri! Sebaliknya, siapa saja yang mengira bahwa dirinya sedang mempersiapkan kursi-kursi kehormatan malah akan merasa jengkel jika salah seorang sahabat tidak ikut antusias.
Yesus tegas menolak sikap eklusivisme, seolah-olah karya-Nya hanya dibatasi oleh sekelompok pengikut-Nya saja. Ia bukan hanya milik sebuah komunitas, aliran, bahkan agama tertentu. Ia hadir dan menyatakan kasih-Nya bagi seluruh umat manusia dan karya keselamatan-Nya dapat diteruskan oleh setiap orang; baik yang menyatakan dirinya sebagai Kristen atau mereka yang diilhami oleh ajaran dan sikap Yesus. Di mana pun seseorang melakukan perbuatan yang diilhami oleh Yesus untuk melakukan perbuatan baik sesungguhnya ia sedang meluhurkan dan memuliakan Yesus. Jangan kita baru menghargai kebaikan “mereka” ketika kemurahannya ditujukan kepada kita sendiri. Tetapi bergembiralah atas setiap tindakan kebaikan mereka kepada siapa pun, lebih-lebih kalau tindakannya itu diilhami oleh Yesus sendiri.
Yesus telah mencela sikap eklusivisime yang merupakan latar belakang pertanyaan Yohanes. Kini, Ia juga menjawab langsung pertanyaan mengenai tindakan seseorang yang percaya, tetapi belum menjadi pengikut. “Sesungguhnya barang siapa memberikan kepadamu secangkir air dalam nama-Ku, oleh karena kamu pengikut Kristus, ia tidak akan kehilangan upahnya,” (Markus 9:41). Secangkir air jauh kurang nilainya dari pada “mengikut kita”. Tetapi yang penting di sini bukan apa yang diberikan kepada para rasul, melainkan alasan pemberian itu. Asalkan orang mengakui para hamba Kristus sebagai utusan Dia, sekalipun yang memberi mereka secangkir air untuk pelepas dahaga maka orang tersebut tidak akan kehilangan upahnya.
Kelihatannya orang yang mengusir setan dalam nama Yesus itu tidak bersikap menghina atau memusuhi para murid. Ia bahkan patuh, ketika para murid melarangnya mengusir setan selama ia belum termasuk dalam kumpulan para murid. Meskipun demikian, Yesus melarang sikap para murid itu. Sebab, orang itu akan tercegah ikut mengumpat Yesus bersama orang banyak. Memang ia tidak mengikut Yesus bersama dengan para murid, tetapi Yesus mengenalnya dan dari jarak yang jauh pun Ia dapat melindunginya, sehingga ia tetap mendapat anugerah Allah.
Selain mengajak kita untuk terbuka terhadap karya penyelamatan melalui orang di luar kelompok kita, teks Injil hari ini membuat kita waspada terhadap dosa di dalam kelompok sendiri; gereja. Seorang Kristen pun dapat menjadi batu sandungan hingga menyebabkan sesama umat yang lemah menjadi goncang dan kehilangan imannya. Seorang Kristen juga dapat membuat dirinya jatuh. Untuk mencegahnya, kita diberi pilihan yang lebih baik kendati terasa berat: mengambil tindakan “preventif” yang mungkin menyakitkan tetapi jauh lebih baik dari pada siksaan kekal. Lebih baik berlatih agar akar-akar kejahatan dicabut dalam diri kita dan kita hidup bahagia dalam Kerajaan Allah, dari pada tanpa mencabutnya untuk selama-lamanya terpisah dari Allah.
Jakarta, 23 September 2021