Jumat, 11 Juni 2021

JANGAN MENYERAH MESKI TIDAK MUDAH

Jika Anda pernah berada di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD), hampir dipastikan Anda akan menyaksikan atau mendengar keluhan-keluhan pasien atau keluarganya yang merasa bahwa pelayanan rumah sakit kurang cepat, tidak mengerti kegawatan pasien, dan merasa waktu berjalan begitu lama. Pada umumnya setiap orang yang sedang dalam kondisi sakit, apalagi dalam keadaan kritis menginginkan agar dapat ditangani dengan baik dan secepat mungkin. Seolah-olah dirinya dan anggota keluarganya saja yang paling genting dan harus didahulukan untuk mendapatkan pelayanan.

 

Merasa diri harus paling didahulukan ini sejajar dengan orang yang sedang dalam kesusahan. Seolah hanya dirinyalah orang yang paling menderita, yang paling malang. Oleh karena itu perasaannya menjadi sensitif. Baperan! Mudah tersinggung, menyalahkan orang atau pihak lain dan menyalahkan keadaan bahkan menyalahkan Tuhan. Tanpa sadar, kondisi seperti ini alih-alih bertambah baik, justru semakin terjerembab pada lembah nestapa.

 

Injil yang kita baca hari ini mengajar kita untuk keluar dari sikap yang negatif ketika berada dalam kondisi sulit. Markus 5:21-43 berisi jalinan dua kisah orang-orang yang berada dalam situasi sulit bahkan kritis. Keduanya terlibat dalam tempat dan waktu yang hampir bersamaan. Yairus, seorang ayah yang dihormati sebagai kepala rumah ibadat datang kepada Yesus di pantai Danau Galilea, beberapa hari setelah Yesus kembali dari daerah orang Gadara di seberang Danau Galilea. Pada saat yang sama, seorang perempuan yang tersingkir dalam ketidakberdayaan karena sakit pendarahan mencari kesembuhan kepada Yesus juga. Yang satu meminta secara terbuka, yang lain - karena tabu kenajisan - harus mendekati-Nya secara tersembunyi.

 

Kedua kejadian itu terjalin. Tetapi tampaknya juga keduanya saling menghambat - tentu saja bukan disengaja. Bayangkan Anda sebagai Yairus, seorang ayah yang begitu mencintai putrinya. Putrinya tidak berdaya, sakit. Kritis! satu-satunya harapan hanya pada Yesus. Ia sudah mendapatkan-Nya dan Yesus bersedia untuk datang ke rumahnya. Harapan! Namun, dalam kondisi kegentingan ini, di tengah jalan ada seorang perempuan yang sudah dua belas tahun sakit pendarahan “menghambat” kecepatan Yesus untuk sampai ke rumahnya. Ditambah orang banyak yang berbondong-bondong berada di sekeliling Yesus. Bisa jadi Anda akan jengkel dan marah. Apalagi, di tengah perjalanan yang terhambat itu, menurut catatan Markus 5:35, seorang pegawai Yairus datang dan menyampaikan berita duka. Putrinya sudah meninggal, karena itu ia mengajukan pertanyaan, “Apa perlunya lagi engkau menyusah-nyusahkan Guru?”

 

Selama masih ada nyawa, selama itu orang masih boleh berharap dan Yesus dapat diminta dengan sangat supaya buru-buru datang. Mungkinkah Yesus masih sempat menyembuhkan putrinya itu seandainya tidak ada perempuan yang menjamah jumbai jubah Yesus agar ia disembuhkan? Sangat mungkin andai kata Yesus tidak membuka dialog, putri Yairus itu masih keburu untuk ditolong!

 

Terjadilah penundaan, lalu datang kematian! Apakah Tuhan datang terlambat? Dan harapan itu telah direnggut oleh kematian? Ternyata tidak! Yesus sendiri meneguhkan agar Yairus tidak gentar dan tetap percaya. Iman sangat dekat dengan harapan. Orang beriman adalah mereka yang selalu punya harapan di tengah-tengah situasi di mana sudah tidak ada lagi pengharan. Kematian! Iman berarti bahwa kematian pun tidak menghilangkan harapan bahwa Allah “bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup” (Markus 12:27)

 

Yesus berkata kepada perempuan itu, “Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan selamat dan sembuhlah dari penyakitmu! Kepada Yairus, “Jangan takut, percaya saja”. Dengan sengaja Yesus mengaitkan iman yang dinyatakan di muka umum dan iman yang diminta di depan umum. Orang banyak yang melihat kekuatan iman itu, langsung dipanggil juga bersama dengan Yairus untuk percaya kepada Yesus. Itu sudah cukup. Satu-satunya yang diperlukan: percaya kepada Yesus. Itu cukup, tidak hanya bagi kehidupan (dalam hal ini kehidupan perempuan yang sakit pendarahan), tetapi juga di waktu mati (kematian putri Yairus), untuk hidup dan mati, cukup kita percaya kepada Yesus.

 

Kepada perempuan itu, Yesus mengatakan bahwa imannya telah menyelamatkannya. Dalam kasus anak Yairus, peranan iman itu dinyatakan Yesus sebelumnya, “Percaya saja!” Dari pernyataan Yesus jelaslah iman merupakan faktor utama dalam menyelesaikan masalah yang tidak mudah. Iman itu meski berada di “dalam” diri seseorang, akan terlihat dari tindakan yang dilakukan orang tersebut. Karena imannya, perempuan itu menjamah jumbai jubah Yesus. Karena imannya, Yairus melakukan saja apa yang diminta Yesus.

 

Iman kedua orang ini sangat jelas terlihat dari tindakannya. Mereka tidak menyerah di tengah banyaknya orang berbondong-bondong di sekitar Yesus. Mereka terus berjuang walau pun diperhadapkan dengan kondisi yang sangat sulit.

 

Belajar dari perempuan yang dua belas tahun sakit pendarahan dan Yairus, maka iman itu tercermin dari tindakan mereka yang tidak kenal menyerah. Bagaimana dengan iman kita? Apakah tercermin dari tindakan atau usaha kita yang tidak gampang menyerah meski kondisi yang menurut orang banyak tidak mungkin? 

 

Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya selalu baru tiap pagi; besar kesetian-Mu!” (Ratapan 3:22-23). Ayat ini tentu saja banyak diingat orang bahkan kita terbiasa melantunkan syair yang berdasarkan ayat ini. Namun, tahukah Anda dalam konteks seperti apa ayat ini disampaikan Nabi Yeremia? Ya, sesuai namanya kitab “Ratapan”, mestinya berisi kelu kesah dan deraian air mata. Benar, situasi zaman itu, umat Allah hidup dalam penderitaan. Sebagai umat pilihan Allah, kini mereka menjadi bangsa pesakitan, umat buangan di Babel. Namun, meskipun demikian, sang nabi dapat melihat bahwa di tengah-tengah situasi suram, nyaris tanpa harapan, ia masih bisa melihat kasih setia Tuhan yang selalu baru setiap pagi.

 

Situasi suram bisa menghinggapi siapa saja tanpa kecuali. Hanya orang-orang yang berimanlah yang dapat melihat kasih Tuhan di tengah pusaran kemelut dan berjuang terus untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik!

 

 

Jakarta, 11 Juni 2021

IA BERSAMAMU DI BURITAN

“Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa!” Itu reaksi murid-murid Yesus ketika dicengkram ketakutan luar biasa ketika berhadapan. Padahal, bukankah mereka para nelayan yang terbiasa berhadapan dengan perubahan-perubahan cuaca mendadak, gelombang bahkan badai, sedangkan Yesus, Guru mereka hanyalah anak seorang tukang kayu. Ya, bisa saja gelombang dan badai itu bukan badai biasa. Dahsyat!

 

Protes, gugatan atau apa pun namanya, bukankah juga sering kali kita lontarkan kepada Tuhan mana kala badai kehidupan itu menerjang kita. Badai itu bisa berupa usaha yang bangkrut, pemutusan hubungan kerja, anggota keluarga yang sakit parah atau bahkan meninggal, teman baik menipu dan berkhianat, kebakaran yang menghabiskan rumah tempat tinggal , “Tuhan Engkau tidak peduli lagi kalau aku binasa!”, atau “Tuhan sudah tidak sayang, kini aku berhadapan dengan badai kehidupan yang mencekam. Aku sendirian, Tuhan!” Atau dalam versi halusnya, “Ya Tuhan, bukankah Engkau Allah Mahakuasa, mengapa ini semua menimpa saya?”

 

Benarkah ketika kemalangan tiba, Tuhan diam saja? Benarkah ketika situasi tidak terkendali, kita dibiarkannya sendirian? 

 

Mari kembali ke kisah para murid bersama Yesus dalam perahu yang ditimpa badai. Yesus bukan tidak ada. Ia ada di buritan sedang tidur! Apakah Ia kelelahan setelah sepanjang hari melayani orang banyak yang berbondong-bondong sehingga tidak ada waktu untuk istirahat dan di buritan itu Ia “tepar” kelelahan? Ataukah Ia memang sengaja membiarkan para murid-Nya berjuang dengan skill mereka sendiri karena mereka berlatar belakang nelayan? Ataukah…? 

 

Faktanya, di tengah goncangan badai itu, Yesus sedang tertidur di buritan. Buritan, sesuai namanya berasal dari kata bahasa Jawa, buri yang artinya “belakang”. Buritan letaknya dibagian belakang kapal atau perahu. Berbeda dari mobil yang kendali kemudinya berada di depan, kapal atau perahu berada di belakang. Pada bagian buritan perlu diberikan penguatan-penguatan karena bagian buritanlah yang mengalami pukulan ombak atau gelombang yang paling berat. Yesus berada di buritan, tempat di mana kendali kapal diletakkan dan tempat di mana beban pukulan ombak terberat ada di situ. Posisi-Nya yang berada di buritan seolah mengisyaratkan bahwa Dialah sebenarnya yang mengendalikan pergerakan kapal. Ia yang menjadi pengendali kapal mereka. Yesus tetap tertidur ketika badai kencang itu menerpa kapal mereka. Sebuah pertanda bahwa badai apa pun tidak bisa menyentuh keberadaan-Nya, karena Dialah yang mengendalikan segala sesuatu. Namun, sayang ini tidak disadari oleh para murid.

 

“Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa!” Protes ini tidak ditanggapi Yesus. Bagi Dia tidak perlu ada tanda S.O.S (save our soul). Mengapa tidak? Karena bagaimana pun juga Dia berkuasa atas badai itu dan akan meredakan pada akhirnya. Yesus tertidur, kemudian mereka bangunkan. Yesus menegur mereka karena seharusnya mereka tidak perlu takut. Yesus telah memberi mereka perintah untuk berlayar ke seberang. Perintah itu tidak mungkin bisa dihalangi oleh apa pun juga termasuk badai sekali pun. Apa yang diperintahkan-Nya harus terjadi. Yesus membuktikan dengan menunjukkan diri-Nya dapat menghalau badai. Selanjutnya, badai itu reda. Danau itu menjadi teduh dan tenang. Kini, murid-murid-Nya menyadari siapa gerangan yang berada bersama dengan mereka yang tertidur di buritan itu. Dia melakukan perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh Allah sendiri, yakni perintah penciptaan yang hanya dilakukan dengan ucapan saja seperti yang digubah oleh pemazmur yang hari ini kita daraskan bersama (Mazmur 107).

 

Melalui kuasa yang dinyatakan-Nya, Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah sendiri. Itu juga yang dinyatakan oleh catatan mengenai rasa takut yang menimpa semua orang yang menyaksikan peristiwa itu: “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya.” (Markus 4:41) Seharusnya, para murid sejak awal tidak perlu merasa takut, andai kata pun badai itu punya kuasa, maka kuasanya tidak melebih Dia yang tidur di buritan itu!

 

Lalu, apakah seharusnya para murid itu tidak membangunkan Yesus, dan dalam keadaan bagaimana pun mereka harus fokus untuk tetap berlayar? Kesimpulan ini bertentangan dengan kenyataan bahwa Yesus tidak hanya menegur mereka, tetapi juga Ia meredakan badai. Di pihak lain, sepertinya mukzijat itu tidak diperlukan untuk kelanjutan perjalanan itu, tetapi diperlukan untuk memperkuat iman para murid. Di sinilah kita bisa mengerti bahwa mukjizat itu terjadi dengan disertai teguran (Markus 4:40). Teguran itu langsung Yesus sampaikan begitu Ia dibangunkan dan dikukuhkannya di hadapan semua orang setelah badai itu reda.

 

Apakah salah membangunkan Yesus yang tertidur untuk memohon pertolongan kepada-Nya? Apakah salah kalau doa-doa kita juga seperti “membangunkan” Yesus untuk menghentikan badai kehidupan kita? Teks Injil yang kita baca tidak secara eksplisit menyatakan jawaban atas pertanyaan itu. Kita hanya menyimak bahwa Yesus menegur para murid dan teguran itu berisi ketidakpercayaan para murid atas kehadiran-Nya bersama-sama dengan mereka. Namun, bagaimana pun tidak boleh membangunkan Yesus karena takut (Markus 4:40: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”)

 

Rasa takut dan tidak percaya itu diredakan oleh tanda dan mukjizat, dengan maksud supaya untuk seterusnya bila melaksanakan perintah Yesus mereka lebih yakin akan kuat kuasa-Nya. Padahal sehari sebelumnya, Yesus telah menyampaikan perumpamaan yang mengandung peringatan mengenai merosotnya iman pada masa penindasan atau penganiayaan (Markus 4:16-17). Melalui mukjizat ini, Yesus kembali membangun iman mereka yang goyah.

 

Badai reda dan danau tenang kembali. Mereka melanjutkan perjalanan untuk pemberitaan Injil. Mereka berlayar terus ke seberang sesuai dengan perintah-Nya. Hati mereka bukannya lega karena bahaya sudah tersingkirkan, tetapi mereka merasa malu karena dalam bahaya itu mereka tidak yakin akan sampai pada tempat tujuan sesuai dengan apa yang dimaksud Yesus.

 

Dari kisah ini, mestinya kita belajar untuk tidak “membangunkan” Yesus, menggugat, mengklaim, bahkan meprotes-Nya hanya karena kita sedang berhadapan dengan ancaman dan kesulitan hidup. Badai itu! Bisa jadi, Yesus juga akan menegur kita sama seperti yang dilakukan-Nya terhadap para murid-murid-Nya. Benar hal ini tidak mudah. Kita sudah terbiasa dengan pernyataan-pernyataan, “Buat apa punya Tuhan yang berkuasa, kalau kita tidak bisa membuktikan keperkasaan-Nya dalam menaklukkan badai kehidupan yang sedang melanda kita?” Atau pernyataan bahwa, “Kita adalah anak-anak-Nya, anak Raja yang selalu harus dilindungi dan dijaga sedemikian rupa hingga tidak tersentuh oleh badai kehidupan!”

 

Dalam konteks ini Yesus menginginkan agar para murid belajar percaya bahkan dalam situasi yang kristis sekalipun. Badai! Ia menghendaki para murid itu menyadari bahwa Yesus ada dalam bahtera mereka, bahkan di tempat yang paling strategis: buritan yang dalam posisi itu terdapat kendali. Yesus sang Jurumudi yang mengendalikan segala sesuatu. 

 

Jika kapal atau bahtera itu sering dihubungkan dengan kehidupan, keluarga, gereja, atau apa pun juga dalam aspek kehidupan kita, maka yakinlah bahwa Yesus, Sang Jurumudi itu ada di buritan. Ia mengendalikan segala sesuatu. Tinggal kini sikap kita: mematuhi perintah-Nya dan percayalah!

 

 

Jakarta, 11 Juni 2021