Jumat, 27 September 2019

RASA CUKUP DAN HIDUP YANG KEKAL


Suze Orman, seorang ahli keuangan terkemuka, menceritakan pengalaman masa kecil yang membuatnya bisa sampai seperti sekarang. Waktu itu, toko ayahnya terbakar, dan ia ingat dengan jelas ketika ayahnya berlari masuk ke dalam bangunan toko yang terbakar itu. Sang ayah menggendong mesin kasir yang panas dengan tangan kosong, lalu berlari keluar. Ayah terjerembab ke tanah, berteriak kesakitan dengan tangan terbakar dan melepuh!

Pemandangan itu mengubah Orman untuk selamanya. Kala itu, dia masih terlalu kecil untuk mengerti kejadian tersebut. Namun, ada satu konsep yang tertanam dalam pikirannya: uang itu berharga, cukup berharga untuk mengorbankan nyawamu sendiri dengan berlari masuk ke dalam toko yang terbakar, maka dari itu, jangan pernah ceroboh dengan uang. Osman memaknai bahwa momen itu menjadikannya seorang yang “hemat”, seorang manajer yang ulet: “Sejak saat itu, mendapatkan uang, uang yang banyak, telah menjadi prioritas profesional saya, sekaligus prioritas emosional saya.”

Berapa banyak orang yang punya landasan pikir seperti Suze Orman? Tentu saja tidak sedikit, sangat mungkin Anda dan saya juga begitu: Uang cukup berharga maka dari itu mengorbankan nyawa adalah harga yang pantas untuk mendapatkannya! Penghargaan manusia terhadap uang sudah lama sekali, barang kali seumur dengan keberadaan uang itu sendiri. Sejak uang dilahirkan, sejak itulah ia digandrungi, dicari, dan dicintai melebihi apa pun. Mengapa? Ya, jelas bukankah dengan banyaknya uang seseorang dapat membeli apa saja yang ia ingini? Bukankah dengan uang seseorang dihormati dan perkataannya didengar? Dengan uang pula seseorang bisa menundukkan sesamanya! Maka tidaklah sulit untuk mencari jawab, mengapa manusia bisa mengabaikan sesamanya, bahkan menolak dan membunuh. Jawabnnya karena mencintai uang!

Pantaslah Paulus mengingatkan Timotius akan bahaya mencintai uang, “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang,…”(1 Timotius 6 : 10). Uang pada dirinya bukanlah sesuatu yang jahat. Uang diciptakan agar memudahkan manusia bertransaksi. Uang juga dapat memudahkan manusia berbagi, memberi bantuan kepada sesamannya. Uang bukan barang yang jahat! Jahat atau tidaknya apa yang berkaitan dengan uang adalah sikap manusia. Sikap manusia terhadap uang bisa berpengaruh pada pikiran dan prilakunya. Menempatkan uang di atas segala-galanya (bahasa Paulus: mencintai uang), maka akan membutakan cinta kasih manusia terhadap Tuhan, sesama bahkan dirinya sendiri. Ia sama sekali tidak akan peduli dengan penderitaan orang lain meski ada di depan matanya dan meski ia banyak memiliki uang. Bukankah sikap orang kaya terhadap Lazarus yang diceritakan Yesus dalam Lukas 16:19, dan seterusnya menegaskan hal ini? Bukankah juga hari ini banyak orang bersikap seperti si kaya itu, yang sama sekali tidak peduli dengan penderitaan orang lain bahkan ketika ada di depan matanya, padahal ia punya banyak uang? Bukankah pada hari ini ada banyak orang yang tidak hanya tega membakar hutan, tetapi juga membakar suami dan anak tirinya, hanya karena lebih mencintai uang?

Jangan-jangan kita pun mempunyai kecenderungan seperti itu. Bersikap abai dengan sesama, bahkan kejam hanya demi uang! Kita sibuk mencari pembenaran untuk alasan tidak mau peduli: salah sendiri mereka malas, tidak bekerja keras makanya hidup miskin, atau cari uang itu susah maka harus bekerja keras jangan hanya bisa meminta saja, dan seterusnya. Selalu saja ada pembenaran untuk tidak mau berbagi!

Pada saat kita meresahkan uang kita, berhati-hatilah sebab mungkin itulah awalnya kita mencintai uang. Pengalaman James Smith mungkin menolong kita menyikapi uang. Suatu ketika teman Jim membutuhkan uang dan meminjam $ 300 kepadanya. Orang itu berjanji akan mengembalikannya, tetapi ternyata tidak pernah. Setelah tiga tahun kemudian, Jim bertanya kepada salah seorang temannya, “Haruskah saya menelepon dia dan meminta uang saya kembali?” Sang teman menjawabnya, “Apakah kamu merindukan uang itu, Jim?” Jim menjawab, “Tidak!” 

“Apakah kamu merindukan uang itu, Jim?” Pertanyaan ini mengajarkan James bahwa Allah memberikan uang melalui diri kita untuk menolong orang lain. Ketika uang diberikan dengan bijak dan hikmat, maka pada hakekatnya uang itu tidak hilang. James tidak rindu dengan uang $ 300-nya dan ia juga merasa tidak kehilangan.

“Apakah kamu merindukan uang itu, Jim?” Pertanyaan ini membuat Jim selama kurun waktu tiga tahun, tepat ketika sang teman meminjam uang darinya. Kala itu, ia membutuhkan uang untuk pengobatan putrinya. “Kami membutuhkan $ 500 untuk membayar tagihan kami. Pada saat yang sama, ia mendapat sebuah surat dari seseorang yang tidak dikenal. Surat itu bertuliskan, “Saya mendoakan kalian semua, dan merasa bahwa uang ini akan menolong kalian.” Dalam surat itu disertakan cek $ 500. Jim berujar, “Bahkan saya belum sempat merasakan kekhawatiran karena tagihan itu!” Ketika Allah menggunakan uang kita (pada dasarnya bukan milik kita, tapi milik-Nya sendiri), maka Allah tahu juga apa yang kita butuhkan!

Namun, berhati-hatilah bahwa prinsip ini bukanlah semacam “alat pancingan”. Bukan seperti seorang yang berkhotbah, “Jika kamu memberi seribu dollar untuk pelayanan misi saya, maka Allah akan membalas sepuluh ribu dollar!” Bukan, bukan seperti itu! Kalau seperti ini justeru bertentangan dengan ajaran Yesus mengenai uang. Mereka yang memberi – agar mendapat uang banyak sebagai balasan – adalah mereka yang dikuasai oleh ketamakan dan cinta akan uang.

Apa yang diajarkan oleh Yesus tentang uang dan kekayaan mengingatkan kita bahwa itu semua bukan tujuan atau sumber kebahagiaan, melainkan alat untuk kita peduli terhadap sesama. Hati adalah kunci di mana kita bisa memandang orang lain lebih berharga ketimbang uang atau kekayaan kita. Hanya orang dengan hati yang bisa menghargai orang lain, apa pun kondisinya, dialah yang akan mewarisi kehidupan kekal itu.   

Paulus mengingatkan hati itu, ini bukanlah soal kepelitan finasial atau ketidak pedulian kita pada uang, melainkan sikap sederhana, merasa cukup oleh karena itu mampu bersyukur dan peduli terhadap sesama. Hanya orang yang merasa cukuplah maka ia akan mampu bersyukur. Paulus tidak mengatakan bahwa uang adalah akar kejahatan. Dia berkata bahwa cintaakan uanglah akar dari kejahatan. Maka Paulus menyarankan, “Memang ibadah kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah!”(1 Timotius 6: ). Paulus menyatakan rasa puas dengan apa yang ada. Lebih dari itu kita akan tergoda untuk melayani mamon dan bukan Allah. 

Sudahkah kita puas dan cukup dengan berkat yang diberikan Tuhan? Sudahkah apa yang ada pada kita dapat menjadi saluran berkat bagi orang lain yang sedang membutuhkan-Nya? Anak-anak Kerajaan Allah pasti pandai dalam mempergunakan berkat TUHAN!

Jakarta, 27 September 2019

Kamis, 19 September 2019

MELEKAT HANYA KEPADA ALLAH

Hari-hari belakangan ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat sorotan tajam. Di samping kebakaran hutan utamanya di Sumatera dan Kalimantan, serta isu rasisme Papua. Ada banyak interpretasi gunjang-ganjingnya KPK. Ada yang menafsirkan Presiden mulai kompromi dan melunak terhadap keinginan DPR yang secara aklamasi menyetujui revisi undang-undang KPK. Ada juga yang membela sikap Presiden bahwa lembaga anti rasuah itu harus ditata ulang tidak boleh menjadi lembaga istimewa. Apa pun kontroversinya, yang jelas kehadiran KPK telah membuat tidak nyaman dan mempersempit ruang gerak para koruptor di negeri ini.

Meski berulangkali para pejabat korup yang tertangkap basah dipertontonkan, namun tetap saja pemandangan itu terus terulang. Tidak ada jeranya! Satu hal boleh disimpulkan bahwa uang dan kekayaan menggiurkan sehingga risiko hukum dan kaidah moral tidak lagi dilihat. Hal ini mirip dalam kehidupan Israel dan Yehuda dalam Perjanjian Lama, salah satunya pada zaman Nabi Amos. Berulang kali Amos mengingatkan para penguasa dan orang kaya yang menindas dan henghisap orang lemah dan miskin. Namun, alih-alih mereka mengindahkan peringatan itu, terus menindas demi kuasa dan kekayaan meski ancaman hukuman di depan mata mereka. Kuasa dan kekayaan telah membutakan mereka untuk melihat umat yang harus dikasihi!

Cerita perumpamaan yang disampaikan Yesus dalam bacaan Injil hari ini (Lukas 16:1-9) berkisah tentang praktik korup yang dilakukan oleh orang kepercayaan (oikonómos) sang pengusaha. Si bendahara atau CEO ini ditugasi mengelola seluruh urusan bisnis dari tuannya; seperti Yusuf mengelola ekonomi kerajaan Fira’un. Namun ternyata, orang yang diserahi tanggung jawab ini tidak mengerjakannya dengan baik. Ia hidup mewah dengan menghamburkan uang majikannya.

Tentu saja, lambat laun sang tuan tahu apa yang dilakukan oleh orang kepercayaannya itu. Ia memutuskan untuk memecatnya. Jadi, disuruhnyalah CEO ini menghadap, diberitahukan kepadanya bahwa ia dipecat. Namun, masih ada kesempatan baginya untuk menyusun laporan utang-piutang dan pertanggung jawaban keuangan secara menyeluruh berikut bukti-bukti kuitansinya. Dengan sangat terkejut ia menyadari keadaannya sekarang, maka ia berpikir dalam hatinya, “Bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan dengan waktu yang sangat terbatas ini? Mencangkul, aku tidak kuat lagi. Bukankah selama ini aku bekerja menggunakan “kepala”ku, dan bukan dengan tangan? Dan orang seperti aku yang sudah punya derajat dan kedudukan, tentulah sangat memalukan kalau harus mengemis! Apa yang harus aku lakukan untuk menjamin masa depanku? Sebab pekerjaan seperti sekarang ini tidak mungkin aku pertahankan lagi!

Bendahara itu memang seorang cerdik, “Aku tahu apa yang harus aku perbuat!” Segeralahia memanggil orang-orang yang berhutang kepada tuannya. Rupa-rupanya orang-orang yang berhutang itu adalah pedagang-pedagang yang telah membeli hasil dari perusahaan itu, tetapi belum membayarnya. Surat utang setiap orang itu dicari dari arsip. Kepada orang yang berhutang itu, sang bendahara menyajikan sebuah surat utang kosong untuk diisi dengan jumlah lain. Utang orang pertama dikurangi lima puluh persen, ia cukup membayar 2.250 liter minyak (1 tempayan berisi sekitar 45 liter). Utang orang kedua dikurangi dua puluh persen. Menurut perhitungan para ahli, kedua orang yang berhutang itu mendapat reduksi sebesar 600 dinar. Ini setara dengan upah pekerja selama 600 hari. Sebuah jumlah yang besar! Tentu saja kedua orang yang berhutang itu merasa senang. Mereka memandang sang bendahara ini adalah orang baik. Kebaikannya itu akan diingat mereka sehingga mereka akan bersedia menolongnya apabila ia mengalami kesulitan. Sejak saat itu mereka akan bersahabat. Persahabatan itu diikat oleh sebuah kepentingan bersama, uang!

Mengherankan, mengapa Yesus menggunakan perumpamaan seorang koruptor. Tidak hanya itu, Yesus mengapresiasinya! Sang bendahara dipuji bukan dalam hal tindakan korupnya. Ia disebut cerdik oleh karena dalam waktu yang mendesak ia gunakan dengan sebaik-baiknya. Inilah yang hendak dibandingkan Yesus dengan “anak-anak terang”. Seolah-olah Yesus mengatakan, “Kalau ‘anak-anak dunia’ ini berusaha untuk mencapai tujuan mereka dalam perkara-perkara duniawi dan untuk membuat dirinya safedalam hidup selanjutnya di dunia ini. Seharusnya lebih lagi dengan ‘anak-anak terang’ tentulah harus mempergunakan waktu dan kesempatan yang dikaruniakan kepada mereka dengan sebaik-baiknya untuk mendapatkan keselamatan yang sesungguhnya! Jadi, bukan tindakan korupnya dari sang bendahara itu yang harus ditiru, melainkan kecerdikannya memanfaatkan waktu yang sangat pendek untuk memperoleh jaminan ketika ia dipecat nantinya.

Dalam setting korup dan dunia bisnis dan keuangan ini, Yesus selanjutnya mengingatkanpara pendengar-Nya untuk fokus bukan kepada materi yang dapat mengikat manusia sehingga lupa pada tujuan yang harus dicapai, yakni hidup dalam Kerajaan Allah; melekatkan diri kepada-Nya. Yesus menyadari bahwa ikatan duniawi: uang, kekayaan, dan kekuasaan dapat merampas posisi Allah dalam kehidupan manusia. Kata-Nya, “Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.”(Lukas 16:13). Yesus menyampaikan sebuah logika bahwa kita tidak dapat sekaligus mengejar harta duniawi dan Kerajaan Allah bersama-sama. Mamon mengacu kepada kekayaan atau roh kekayaan. 

Dengan pernyataan-Nya, Yesus menegaskan bahwa Mamonadalah musuh Allah, karena ia dapat merampas posisi Allah dalam kehidupan manusia. Ini menjadi masalah dalam budaya Yahudi. Mengapa? Mereka percaya bahwa uang dan kekayaan itu bukan musuh, melainkan tanda Allah memberkati mereka. Mengapa Yesus menyebutkan Mamon sebagai tuhan?

Uang dan kekayaan bisa tampil menyerupai tuhan. Pertama, uang melindungi hidup kita karena cakupannya yang panjang. Dengan uang Anda bisa membeli polis asuransi, jaminan kesehatan, gaya hidup dan tempat tinggal yang lebih baik, dll. Kedua, tidak bisa dipungkiri bahwa pengaruh uang sangat besar – semua orang menghormati uang. Orang bisa tidak suka dengan orang kaya, tetapi banyak orang akan menghormati uang orang kaya: “Uang bicara dan orang mendengar.” Ketiga, kekayaan seolah memberikan apa yang kita inginkan dari Allah – rasa aman, kenyamanan dan kebahagiaan. Di sinilah letaknya, mengapa banyak orang cenderung “melayani” uang!

Masalah utamanya bukanlah pada uang, kekayaan atau barang, melainkan hati kita. Hati yang melekat pada uang, kekayaan atau barang. Kita bisa saja miskin tetapi masih menjadi budak Mamon. Sebaliknya, kita bisa saja kaya tetapi memiliki hati yang melekat pada Allah sehingga mau menggunakan uang dan kekayaan itu sebagai alat untuk menyatakan Kerajaan Allah. Masalah yang ada di permukaan, yang kelihatan itu tidaklah terlalu penting. Hati kitalah yang menjadi masalah utama. Yesus membandingkan Allah dan Mamon karena Ia tahu bahwa kita mengejar keduanya.

Bagi Yesus, tidaklah mungkin seseorang mengejar keduanya dengan kualitas yang sama; melayani Allah dan Mamon. Mengapa? Karena keduanya memiliki tujuan yang berbeda. Allah ingin agar kita menolak Mamon dan hanya mengasihi dan mempercayai-Nya, agar kita memperoleh damai sejahtera yang sesungguhnya. Mamon ingin agar kita menolak Allah dan terus-menerus berjuang mengejar kebahagiaan melalui uang. Kita tidak dapat pergi ke Timur dan Barat secara bersamaan; begitu pula tidak dapat melihat ke atas dan ke bawah secara bersamaan.

Mamon mengaku bahwa dirinya dapat memberi kedamaian dan kebahagiaan. Allah menjanjikan kedamaian dan kebahagiaan. Kepada siapa kita melekatkan diri tergantung dari sikap hati dan iman kita. Ketika kita mengalami perjumpaan dengan Allah dan merasakan cinta kasih-Nya, di situlah kita akanmengerti mengapa Yesus menyatakan bahwa kita harus melekatkan diri kepada Allah.

Jakarta, 19 September 2019

Kamis, 12 September 2019

CARI ATAU BIARKAN

Semua orang pasti punya pengalaman kehilangan. Kehilangan berdampak psikis-emosional bagi orang yang mengalaminya. Seberapa dekat seseorang merasa memiliki dan mencintai orang atau barang, sejauh itu pula rasa sakit yang menimpanya ketika yang dimilikinya tersebut hilang. Seseorang akan mengalami sakit dan depresi luar biasa ketika ia kehilangan suami yang dicintainya. Kasus lain, boleh jadi Anda tidak akan bisa tidur tenang bila telepon seluler Anda raib dari genggaman, padahal di dalamnya ada begitu banyakdata penting yang Anda simpan. Sebaliknya, mungkin saja Anda tidak merasa terganggu ketika kehilangan beberapa lembar uang puluhan ribu.

Mencari atau mengabaikan? Tergantung! Seberapa penting dan berharganya seseorang atau barang, sejauh itu kita akan mempertahankannya bahkan mencarinya sampai dapat ketika ia hilang dalam jangkauan kita. “Mencari yang hilang” itulah perumpamaan yang dipakai Yesus dalam Lukas 15 untuk menggambarkan kepedulian Allah dan begitu berharganya setiap orang di hadapan-Nya. Melalui dua perumpamaan (Lukas 15:1-10), Yesus mengajarkan bahwa Allah bukanlah Tuhan pasif yang diam dalam singgasana-Nya untuk menerima hormat dan pujian. Ia tidak hanya menaruh belas kasihan terhadap manusia, apabila manusia itu mencari dan mendekat kepada-Nya. Lebih jauh dari itu, Allah adalah Tuhan yang terus mencari manusia untuk dikasihi dan diselamatkan-Nya.

Seperti situasi kondisi manusia pada saat kehilangan sesuatu yang berharga, demikian juga Allah akan teramat sedih. Ia menangis! Ia menyesali sama seperti peristiwa Musa menerima dua loh batu berisi Taurat TUHAN sementara umat Israel menyembah patung anak lembu emas. Hati-Nya hancur! Hati yang hancur itu ternyata tidak berhenti dalam murka. Ia mencari dan mengasihi. Selanjutnya, Allah yang teramat sedih melakukan apa pun juga untuk mencari dan meraih kembali yang terhilang. Ia mengutus Anak-Nya sendiri untuk mencari yang hilang dan tersesat itu.

Bayangkanlah Anda mempunyai 100 ekor domba, lalu hilang seekor. Apa yang akan Anda lakukan? Mencari atau membiarkannya? Bisa jadi yang paling masuk akal adalah membiarkannya. Mengapa? Bukankah sebuah risiko lebih besar untuk meninggalkan yang 99 ekor demi 1 ekor yang hilang? Bagaimana nanti yang 99 ekor ketika ditinggal, akan amankah mereka? Bukankah dengan mudah pencuri atau binatang buas akan mengambil kawanan domba yang tanpa gembala itu. Lagi pula, membiarkan yang seekor hilang, toh nanti dari yang 99 ekor itu pasti ada yang beranak lagi!

Gembala yang baik mengenal domba-dombanya. Hatinya melekat pada setiap domba gembalaannya. Apabila sore hari ia menghitung domba gembalaannya dan ada yang kurang, maka hatinya akan terus memikirkan domba yang hilang itu. Ia akan mengerahkan segala dayanya untuk mencari dan membawa pulang domba yang hilang itu. Sebab biasanya domba itu tidak tahu jalan pulang, sehingga pada akhirnya mati kelaparan, kehausan atau diterkam binatang buas. Usaha mencari domba yang hilang bagi seorang gembala yang baik sudah menjadi karakter dalam hati mereka. Sebab itu si gembala akan meninggalkan domba-domba yang lain – setelah menitipkannya kepada sesamagembala, atau kawanan domba itu dikumpulkan terlebih dahulu di dalam gua. Gembala itu tidak akan berhenti sebelum ia menemukan domba yang hilang itu. Sekali pun setelah berjam-jam lamanya mungkin saja ia penat dan nyaris putus asa.

Betapa gembiranya ketika sang gembala itu dapat menemukan domba yang hilang dari kawanannya. Kegembiraan akan meledak. Ia memeluknya, meletakkan di bahunya dan segera membawanya pulang. Sesudah kembali kepada teman-temannya, tentu saja ia menceritakan pengalaman yang menegangkan itu. Itulah petualangan yang menegangkan dari seorang gembala. Moral cerita yang hendak disampaikan bukanlah tentang pertaruhan atau pengabaian 99 ekor domba yang ditinggalkan demi mencari satu yang hilang. Melainkan, kegembiraan luar biasa ketika domba yang hilang itu berhasil ditemukan. Hal yang sama juga terjadi ketika ada seorang manusia berdosa – hilang – kemudian dapat diraih kembali, bertobat dan mendapatkan hidup yang kekal. Demikian juga perumpamaan tentang dirham yang hilang mempunyai moral cerita yang sama.

Allah yang gembira dan bersukacita karena yang hilang telah ditemukan: yang berdosa telah bertobat. Itulah Allah yang diperkenalkan Yesus. Namun, ternyata tidak mudah diterima begitu saja, khususnya bagi kalangan yang menganggap diri lebih tahu, lebih dekat dan lebih saleh; ahli Taurat dan orang Farisi. Kultus ibadah yang dibangun mereka mustahil kalau Allah itu mencari, menyapa dan bergaul dengan para pendosa. Cukuplah bagi mereka bahwa Allah akan mengganjar seseorang dengan kehidupan yang penuh berkat ketika ia menjalani kehidupan saleh sesuai syareat Taurat dan turunannya. Sebaliknya, Allah akan melaknat orang-orang berdosa. Maka tidaklah mengherankan keyakinan seperti ini melahirkan pandangan negatifterhadap kaum pendosa. Mereka memandang rendah orang-orang yang tidak mengenal Taurat Allah dan menghindari bergaul dengan mereka. Maka tidaklah mengherankan, mereka yang menganggap diri lebih saleh mencela tindakan Yesus yang bergaul dengan orang-orang berdosa.

Yesus menyambut mereka, bahkan Ia makan bersama-sama dengan mereka. Ini menandakan bukan hanya Yesus mau bergaul dengan mereka, tetapi lebih jauh dari itu; menerima keberadaan mereka. Yesus mau bergaul dan menerima mereka bukan berarti Yesus menyetujui perilaku mereka. Bukan pula karena Yesus lebih suka orang-orang jahat ketimbang orang-orang baik. Bukan begitu! Namun, Yesus merangkul mereka supaya mereka bertobat dan memperoleh hidup. Sebab Ia bersukacita atashidup manusia dan tidak berkenan kepada kebinasaan. Alih-alih turut bersukacita, para ahli Taurat dan orang Farisi justru menolak mendengarkan panggilan Yesus atas penyelamatan orang-orang berdosa.

Sangat mungkin, hari ini kita seperti ahli Taurat dan orang Farisi yang mencibir orang-orang berdosa dan memandang diri sebagai orang saleh. Kita menutup pintu rapat-rapat untuk bergaul dengan mereka. Bahkan tidak jarang kita pun menghakimi mereka. Sayangnya, kita lupa bahwa kita pun tidak luput dari cacat cela. Kita juga lupa bahwa Tuhan mengasihi bereka seperti Tuhan mengasihi kita. Mereka yang kita anggap buruk, ternyata di mata Tuhan sama berharganya, sehingga Tuhan juga mencari dan berusaha menemukan merekan. Bukankah alangkah baiknya, jika kita juga turut bersukacita kalau Tuhan menjamah hidup mereka? 

Allah yang mencari, memeluk, merangkul dan mengasihi orang berdosa. Paulus adalah sosok yang mengalami perumpamaan “yang hilang” itu. Ia berkisah kepada Timotius, “…aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihi-Nya…”(1 Timotius 1:13). Paulus seorang ahli Taurat dan orang Farisi di bawah didikan rabi Gamaliel. Ia merasa paling saleh dan punya kewajiban menumpas orang-orang murtad dan berdosa. Kini, setelah Sang Gembala Agung itu menangkapnya, akhirnya Paulus menjadi alat di tangan-Nya untuk mencari mereka yang hilang. Sama seperti Paulus, kita pun dipanggil-Nya untuk menyatakan kasih Allah bagi semua orang. 

Mencari atau membiarkan, jika ada di antara kita yang “hilang”. Jauh lebih mudah membiarkan orang lain menjauh dari Tuhan ketimbang berusaha meraihnya kembali. Jauh lebih mudah menghakimi orang berdosa ketimbang mengajaknya kembali pada jalan Tuhan. Namun, jauh lebih mulia apabila kita bersedia dipakai-Nya untuk menjadi sahabat orang berdosa yang menghantar pada pertobatan!

Karang Sembung, 12 September 2019

Rabu, 11 September 2019

ANDA, SAYA, KITA SEMUA ADALAH KELUARGA.

Kisah Paulus, Filemon dan Onesimus yang terekam dalam Surat Rasul Paulus kepada Filemon sangat menarik untuk dijadikan contoh bahwa di dalam Kristus semua diterima sebagai anggota keluarga. Menariknya lagi, ini bukan sekedar basa-basi, namun begitu nyata! Paulus yang dipenjarakan karena pekerjaan Tuhan tidak pernah merasa kesepian. Selalu saja ada orang yang Tuhan kirim untuk mendampingi dan membantunya dalam pekabaran Injil. 

Paulus dilihat secara jasmani, boleh dibilang sebatang kara. Alkitab tidak pernah menceritakan orang tuanya siapa, tidak ada bukti bahwa ia menikah dan oleh karena itu pastilah dia tidak mempunyai anak. Coba kita bayangkan, seorang yang sebatang kara, sudah tua dan sisa hidupnya ada di dalam penjara, bagaimana kira-kira perasaannya? Tentu saja bagi kebanyakan orang, ini malapetaka. Kondisi seperti ini tidak diinginkan oleh siapa pun! Namun ternyata tidak bagi Paulus. Penjara tidak dapat membatasi dirinya untuk terus menyebarkan Injil Kristus. Di dalam penjara bahkan Paulus banyak menghasilkan surat-surat pastoral untuk banyak jemaat Kristen mula-mula, di antaranya Filipi, Efesus, Kolose dan Filemon. Paulus tidak pernah meratapi diri sebagai seorang yang paling malang di rundung duka dan nestapa. Tidak! Justru di tempat itulah Tuhan memakai Paulus dengan luar biasa.

Di sisi lain, Tuhan menghadirkan orang-orang sederhana untuk membantu pelayanan Paulus, di antaranya Timotius, Filemon, dan Onesimus. Timotius begitu dekat dengan Paulus. Ia sudah seperti anaknya sendiri. Di dalam penjara Timotius sering menemani dan membantu dalam penulisan surat-surat Paulus. Tidaklah mengherankan jika Paulus menyiapkan Timotius untuk menjadi penerusnya kelak. Di temani Timotius, Paulus menuliskan surat kepada Filemon. Siapa Filemon? Nama Filemon dalam bahasa Yunani berarti “Penuh Kasih”. Ia adalah seorang warga kota Kolose. Di kota tersebut, Filemon merupakan orang terkemuka, orang kaya dengan memiliki banyak budak. Filemon tidak hanya kaya dalam materi, tetapi juga dalam iman. Bersama Apfia, isterinya, ia membuka pintu rumahnya untuk pertemuan-pertemuan ibadah. Sejak awal kekristenan, ibadah di rumah merupakan  cikal-bakal pertumbuhan sebuah jemaat. 

Onesimus salah seorang budak Filemon. Namun sayang, sang budak melakukan tindakan tercela. Ia mencuri dan melarikan diri. Rupanya Onesimus tahu risiko yang harus ia hadapi ketika tertangkap. Mati! Ya, menurut tradisi waktu itu, jika seorang budak kedapatan mencuri uang atau barang dari tuannya makai a harus dihukum mati. Tidak diceritakan apakah Filemon mengerahkan orang-orangnya untuk mencari Onesimus atau tidak. Yang jelas Onesimus, dalam pelariannya berjumpa dengan Paulus dalam penjara. Dalam penjara itulah Paulus menggunakan kesempatan dengan baik. Ia memberitakan Injil kepada hamba yang kabur ini. Hasilnya luar biasa! Bahkan Paulus menganggap Onesimus seperti anaknya sendiri (Filemon 10). Di penjara itulah Onesimus yang kemungkinan besar hidup sebatang kara mendapatkan keluarga baru, Paulus layaknya sebagai bapaknya sendiri. Di lain pihak, Paulus tidak memanfaatkan Onesimus untuk kepentingannya sendiri. Paulus berusaha memulihkan hubungan Onesimus dengan tuannya.

Onesimus, budak, sebatang kara, dan tersangka dalam sebuah perkara benar-benar telah mendapat perlindungan dan memulai sesuatu yang baru, menjadi anak Tuhan! Paulus berhasil mengembalikan arti nama Onesimus (dalam bahasa Yunani berarti “berguna”). Onesimus kini benar-benar menjadi hamba yang berguna. Ia siap menghadapi apa juga termasuk ketika Paulus memintanya untuk kembali kepada sang majikan, Filemon.

Paulus sebagai seorang rasul dan pemimpin tidak serta merta menggunakan wewenang yang dia miliki untuk menekan Filemon supaya menerima si budak yang telah melakukan tindakan pidana. Namun, niat yang baik itu harus dilakukan dengan cara-cara yang baik, yakni memohon kesediaan Filemon. Di sinilah kita belajar untuk tidak menggunakan dan memanfaatkan kewenangan yang ada pada kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Dalam keluarga sering kali orang tua merasa punya kewenangan untuk mengatur anak-anaknya sehingga anak-anak tidak punya kesempatan untuk menyampaikan keinginannya.

Seharusnya seperti inilah sebuah jemaat Kristen, sebuah gereja. Gereja harus mampu menghadirkan suasana keluarga. Tidak ada lagi orang yang merasa terasing dan diasingkan. Tidak ada orang yang merasa punya kewenangan atau kuasa di atas yang lain. Lihatlah, Paulus, Filemon, Onesimus: strata sosial yang ada pada waktu itu menunjukkan, Paulus sebagai pemimpin spiritual, Filemon orang kaya terkemuka dan Onesimus seorang hamba yang bermasalah. Namun, ketika mereka ada dalam jemaat Tuhan, mereka adalah keluarga, kedudukan mereka sama, yakni sebagai orang-orang yang layak menerima kasih karunia Tuhan dan orang-orang yang diutus untuk menyebarkan cinta kasih Tuhan.

Bagaimana kehidupan gereja kita? Apakah di sini kita juga merasakan kesehatian, kepedulian, kesetaraan dan menghindari pementingan diri sendiri? Apakah di gereja kita semua orang sudah tidak lagi merasa kesepian dan tidak mempunyai teman bicara? Apakah kita hanya sibuk berkumpul dengan sesamaanggota keluarga secara fisik saja, sehingga menutup pintu untuk orang lain dapat masuk? Sepertinya gereja Tuhan tidak dibangun dalam fondasi seperti ini! Kita semua adalah satu keluarga. Ya, keluarga Allah di mana Yesus Kristus bertakhta sebagai kepala-Nya. Oleh karena itu : Saya, Anda, dan Kita semua adalah keluarga!

Selamat merayakan Bulan Keluarga!

Kamis, 05 September 2019

MELEPAS KEMELEKATAN

Kota Berlin, 1927 ada sekelompok mahasiswa dan seorang profesor suatu universitas mengunjungi sebuah rumah makan. Seorang pelayan menerima pesanan demi pesanan, termasuk permintaan-permintaan khusus. Hebatnya, ia tidak memerlukan kertas untuk mencatat begitu banyak pesanan itu. Kelompok mahasiswa itu berpikir menu yang akan mereka terima pasti berantakan. Ajaib, sesudah beberapa waktu menunggu, semua pesanan diterima persis seperti yang mereka pesan.

Setelah makan malam, di pinggir jalan luar rumah makan itu, mahasiswa psikologi dari Rusia, Bluma Zeigarnik, menyadari syalnya tertinggal di dalam rumah makan itu. Buru-buru, dia masuk kembali dan bertemu dengan pelayan yang memiliki ingatan luar biasa itu. Ia bertanya kalau-kalau pelayan itu melihat syalnya. Si pelayan memandang dengan tatapan kosong. Pelayan itu sama sekali tidak mengingat Zeigarnik duduk di sebelah mana, apalagi memerhatikan syalnya. “Bagaimana mungkin engkau lupa?” Zeigarnik bertanya dengan nada tinggi, “Bukankah baru saja kami menyaksikan keajaiban ingatanmu yang luar biasa?” Pelayan itu menjawab dengan singkat, “Saya menyimpan pesanan di kepala saya – sampai selesai disajikan.”

Bersama mentornya, Kurt Lewin, Zeigarnik membahas perilaku “aneh” dari sang pelayan tadi. Mereka sepakat bahwa setiap orang berfungsi kurang lebih seperti pelayan itu. Kita jarang melupakan tugas yang menjadi tanggungjawab kita. Pikiran dan konsentrasi kita hanya tertuju kepada hal yang menurut kita adalah paling utama. Kita membiarkannya terus ada di dalam kesadaran kita dan tidak mengizinkannya pergi, menarik-narik kita seperti anak kecil, sampai kita memberikan perhatian penuh. Sang peneliti meminjam namanya, kemudian orang mengenal dengan istilah efek Zeigarnik. Tentu saja bertahun-tahun kemudian orang menemukan selalu ada pengecualian dari efek Zeigarnik.Di mana ada sebagian kecil manusia mempunyai pikiran sangat jernih ketika mengerjakan lusinan proyek.

Meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Kurt Lewin; efek Zeigarnik, pada umumnya manusia dan mungkin juga termasuk kita tidak bisa multi tasking, yakni mengerjakan dan berkonsentrasi terhadap beberapa minat atau proyek pada waktu yang bersamaan. Kita fokus pada sebuah masalah lalu yang lainnya kurang mendapat perhatian serius atau malah terabaikan sama sekali. Fokus pada suatu persoalan akan menolong kita mengerjakan dan menangani persoalan itu dengan serius.

Jika dalam persoalan sehari-hari kita membutuhkan fokus yang jelas agar bisa mengerjakan pekerjaan dengan serius, apalagi dalam urusan mengikut Tuhan. Dalam perjalanan-Nya menuju Yerusalem, Yesus mengingatkan mereka yang berduyun-duyun mengikuti-Nya (Lukas 14:25). Catatan Lukas mengisyaratkan bahwa Yesus berjalan menuju Yerusalem berarti Ia sedang menuju kepada penderitaan dan kematian-Nya. Yesus sendiri sedang fokus terhadap misi Bapa yang harus dikerjakan-Nya sampai paripurna. Namun, orang banyak itu tidak menyadari akan apa yang harus ditanggung Yesus. Mereka hanya antusias dan berharap dapat melihat pelbagai mukjizat yang dilakukan Yesus itu.

Harapan palsu itulah yang hendak dilawan Yesus. Yesus tidak berusaha mengerahkan segala tenaga-Nya untuk menghimpun kekuatan massa dan mencari sebanyak mungkin dukungan untuk selanjutnya dipakai sebagai kekuatan politikmelawan imperium Romawi atau para pemuka Yahudi yang sering mencari-cari kesalahan-Nya. Tidak! Dia tidak sedang mencari pendukung fanatikyang mengkultuskan-Nya. Sebaliknya, Yesus menghendaki mereka yang mau mengikuti-Nya tahu persis tugas dan tanggung jawab yang harus dikerjakanserta risiko yang akan dihadapi mereka. Yesus menghendaki kebulatan tekad yang terjadi di dalam hati dengan demikian mereka yang mengikuti-Nya bersedia meninggalkan segala sesuatu yang melekat. Sebagaimana Ia fokus menuntaskan pelayanan-Nya di Yerusalem dan selanjutnya Golgota, demikian juga para pengikut-Nya harus mempunyai kebulatan tekad yang sama!

Dalam kerangka inilah kemudian Yesus berkata kepada mereka yang mau mengikuti-Nya, “Jika seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudaranya laki-laki dan perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku”(Lukas 14:26). Mungkin saja kita heran dan bertanya-tanya. Mengapa Yesus yang mengajarkan untuk mengasihi musuh sekali pun, koqsekarang mengajarkan untuk membenci ikatan emosional dan kerabat yang paling tinggi: keluarga? Tidak tahukah Yesus bahwa Hukum Taurat ke-5 mengajarkan untuk menghormati ayah dan ibu? Bagaimana mungkin Ia yang mengajarkan bahwa pasangan yang sudah disatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia, tetapi kini harus dibenci?

Apa yang disampaikan Yesus tentang “membenci” dalam konteks ini mempunyai makna yang berbeda. Membenci di sini tidak sama seperti kita membenci orang jahat. Bukan begitu! Meski ditulis dalam bahasa Yunani, kita harus mengingat bahwa konteks penulisan Injil ini punya akar budaya Semit. Yahudi termasuk rumpun Semit. Kata Yunani miseodalam kalimat yang disampaikan Yesus bermakna “to love less or reject something in the matter of choice.Dengan demikian, “miseo”yang dikatakan Yesus harus dipahami bahwa, orang yang “membenci” orang tuanya, pasangannya, anak-anaknya dan saudara-saudaranya, bahkan nyawanya sendiri demi Kerajaan Allah, ialah orang-orang yang fokus, mengutamakan, mementingkan nilai-nilai ilahi daripada nilai-nilai atau ikatan-ikatan yang berlaku di dunia. Atau dengan bahasa lain, “Jika ikatan-ikatan yang ada di dunia ini begitu penting: hormat pada orang tua, mengasihi pasangan, anak, kerabat, dan saudara. Maka betapa mutlak dan lebih pentingnya lagi mengasihi dan mengikut Tuhan!

Miseoyang diucapkan Yesus harus diletakkan dalam konteks kemelekatan. Manusia memiliki kecenderungan “melekat” dan “terikat” pada hal-hal yang berhubungan erat dengan dirinya. Terhadap apa dan siapa yang paling memungkinkan manusia melekatkan diri? Tidak lain adalah keluarga dan kerabat, di samping uang dan harta benda. Hal-hal inilah tempat rasa nyaman dan aman manusia dibangun. Inilah tempat keegoisan manusia dibangun dan hal-hal seperti inilah yang hendak dibongkar Yesus. Sebab, itu semua sangat mungkin merampas fokus utama yang seharusnya ditujukan kepada diri-Nya.

Namun, perlu disadari bahwa melepaskan kemelekatan tidak identikdengan melepaskan tanggung jawab kita terhadap ikatan-ikatan sosial yang ada. Kita dapat bersikap tidak melekat terhadap orang-orang dan materi di sekitar kita, tetapi bukan berarti membuang dan mencampakkan orang-orang terdekat dan materi yang harus kita kelola. Bukan! Ketidak-melekatan dapat diwujudkan dengan sikap lapang dada, tidak bergantung dan tidak terobsesi.

Berusaha tidak melekat terhadap ikatan-ikatan sosial dan materi tentu saja bukan perkara mudah. Apalagi tawaran-tawaran hedonisme kekinian. Ada banyak orang dapat meninggalkan ikatan kekeluargaan hanya karena uang dan kedudukan. Banyak orang yang tidak bisa lepas dari ikatan gaway, narkoba, judi dan kesenangan lainnya. Bahkan, bersedia meninggalkan keluarga dan kerabat demi apa yang disukainya. Nah, apabila untuk itu saja manusia bisa meninggalkan ikatan kekerabatan, seharusnya untuk yang lebih serius dan demi Kerajaan Allah serta kehidupan kekal mestinya kita semua dapat melakukannya.

Kembali ke efek Zeigarnik. Kita diingatkan, tidak mudah untuk menaruh banyak fokus dalam benak kita. Kita harus memilih yang paling utama. Selanjutnya serius dengan itu. Ketika kita mengutamakan mengikut Yesus dan serius dengan komitmen yang tinggi melakukan apa yang dikehendaki-Nya, percayalah ikatan-ikatan keluarga dan kerabat tidak pernah akan kita benci. Sebaliknya, kita akan semakin mengasihi dan menyayangi mereka. Mengutamakan fokus pada Kristus dan mengikuti-Nya dengan setia seakan kita mendapatkan “master key” untuk membuka semua pintu-pintu kamar dalam rumah kita. Dengan mengikut Yesus, Anda dan saya akan tahu bagaimana ketulusan cinta kasih itu. Dengan mengikut Yesus, Anda dan saya akan mengerti dan mengalami apa yang namanya pengampunan. Dengan mengikut Yesus Anda dan saya akan tahu apa itu panjang sabar, kasih setia, kebajikan dan seterusnya. Mengapa? Oleh karena Dialah firman yang hidup itu, yang tidak hanya mengajarkan tetapi mencontohkan-Nya dengan penuh kuasa. Kini, yang diperlukan adalah lepaskanlah ikatan-ikatan yang menghambat fokus kita pada Kristus!

Jakarta, 5 September 2019