Kamis, 27 Maret 2025

YESUS MENERIMA ORANG BERDOSA

Coba ingat-ingat, kapan terakhir Anda marah? Marah yang bukan biasa-biasa saja tetapi sampai ke ubun-ubun, puncak kemarahan! Puncak kemarahan adalah titik maksimum di mana seseorang merasakan kemarahan yang teramat kuat dan tidak dapat dikendalikan lagi. Pada puncak kemarahan seseorang dapat berperilaku destruktif, agresif, bahkan melakukan tindakan kekerasan.

 

Masing-masing orang punya alasan dan penyebab yang berbeda ketika ia mencapai puncak kemarahan. Secara umum ada beberapa faktor penyebab memuncaknya kemarahan, antara lain: stres dan tekanan yang berkepanjangan, pelbagai kegagalan dalam meraih keinginan sehingga menjadi frustasi, trauma atau pengalaman buruk di masa lalu, dan perasaan diperlakukan tidak adil. Anda dapat melanjutkannya lagi.

 

Diperlakukan tidak adil adalah fenomena umum yang memicu puncak kemarahan. “Οτε δε ο υιος σου ουτος,..” (Baru saja datang anakmu itu… Lukas 15:30) Inilah puncak kemarahan Si Sulung. Ia merasa diperlakukan tidak adil! Ia tidak mau memanggil “adikku” apalagi namanya. Ada alasan yang tampaknya sangat logis. Dengan panjang lebar Si Sulung menjelaskan bahwa dirinya sudah seperti doulos, kacung yang melayani, selalu melaksanakan perintah tuannya. Ia menggambarkan betapa setia dan taat dirinya terhadap bapaknya. Ia berbicara tentang kesalehan dirinya sendiri, pada saat yang sama ia memaparkan betapa bobroknya perilaku Si Bungsu!

 

Dengan menolak adiknya sebagai saudaranya, maka sejalan dengan itu ia menolak pula ayahnya yang sebenarnya. Sikap Si Sulung ini serupa dengan orang-orang Farisi yang tidak senang Yesus bergaul dengan para pemungut cukai dan kumpulan orang berdosa. Mereka selalu merasa lebih saleh, lebih suci, pendeknya, “Aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan penzinah, dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari penghasilanku!” (Lukas 18:11,12). 

 

Perhatikan mentalitas Farisi yang digambarkan melalui sikap Si Sulung. Ya, inilah mentalitas budak! Melakukan segala perintah agar di ujungnya mendapatkan imbalan. Menjalankan kewajiban agama dengan mentalitas budak membuat seseorang mudah terperangkap dalam kecenderungan untuk mengkultuskan hukum. Padahal kultus hukum dapat menghancurkan relasi. Orang-orang yang menyembah dan mengutamakan hukum pada akhirnya dapat membenci Allah yang justru mengasihi orang-orang berdosa. Sebab, orang-orang yang mengkultuskan hukum akan berpikir, “Buat apa saya susah-susah menjalankan hukum Allah, menjaga kesucian, padahal Allah menyayangi para pendosa?”

 

Lalu, untuk apa hukum-hukum itu, kalau ujungnya Allah mengasihi orang-orang berdosa? Hukum-hukum itu jelas tetap berguna, yang perlu dibenahi adalah bagaimana motivasi dan pemahaman (mind set) seseorang ketika menjalankan hukum-hukum agama itu. Apakah sebagai alat untuk mendapatkan upah dari Tuhan atau sebagai jalan di mana relasi persekutuan dengan Allah itu semakin intim dan sebagai sarana di mana seseorang menyatakan kasihnya kepada Allah.

 

Meski kemarahan Si Sulung telah memuncak, Sang Ayah tetap tenang. Sang Ayah tidak mencela tindakan Si Sulung dan ia tidak menyatakannya bersalah. Sang Ayah tidak benar-benar menanggapi kemarahan Si Sulung. Ia tidak meragukan karya bakti dan kesetiaan Si Sulung. Tetapi Ayah, dengan terang benderang menekankan kebersamaan yang mereka nikmati bersama, baik sebagai penghuni rumah bersama maupun sebagai pemilik dan pewaris harta. Ayah itu seolah berkata, “Nak, engkau tidak pernah mati, tidak pernah hilang! Relasi kita tidak pernah terganggu. Kita ini bersekutu erat satu dengan yang lain. Segala miliku adalah milikmu!” Di tataran ini jelas: hukum, pengabdian, kesetiaan bukan beban yang diletakkan pada bahu umat manusia. Pada pihak lain, bukan juga menjadi piutang yang harus dibayar oleh Allah ketika manusia tuntasmenyelesaikannya. Ini merupakan wujud dan sarana pernyataan cinta agar relasi itu semakin karib. Sayang, seperti kebanyakan orang, Si Sulung menanggapinya sebagai sebuah beban dan alat untuk meminta imbalan!

 

Dalam puncak kemarahan Si Sulung, Sang Ayah tetap mengajaknya ikut serta dalam kegembiraan, “Kita patut bersukacita!” katanya. Ayah tampil sebagai penyelenggara pesta penuh sukacita. Baginya pesta itu penting sekali, ini mengukuhkan relasi dan penerimaan! Meski dalam kemarahan Si Sulung menyebut adiknya dengan “anakmu”, Ayahnya mengajak dia menyebut, “adikmu”. Melalui kata ini, Ayah mengingatkan bagaimana pun juga Si Bungsu itu adalah adiknya. Ya, adik yang telah mati menjadi hidup kembali, yang telah hilang dan didapat kembali!

 

Bagaimana pun tokoh utama dalam perumpamaan ini adalah Sang Ayah. Ayah yang dipersonifikasikan dalam wujud Manusia Yesus yang menerima orang-orang berdosa. Tentu, Yesus menolak kompromi dengan dosa. Tidak berarti menerima orang berdosa sejalan dengan permisif terhadap dosa-dosa yang mereka lakukan.Bukan begitu! Penerimaan adalah awal dari sebuah pertobatan. Apakah ketika Si Bungsu kembali ke rumah ayahnya itu benar-benar karena bertobat? Sepertinya tidak. Ia hanya kehabisan uang dan tempat di mana ia menghambur-hamburkan harta orang tuanya sedang dalam bencana kelaparan. Terpaksa ia bekerja di peternakan babi yang oleh hukum Yahudi haram. Bahkan, ia yang sedang kelaparan itu pun tidak bisa mengisi perutnya dengan makanan babi. Menyakitkan! Coba Anda bayangkan, ketika uangnya masih banyak, hidup dalam kemewahan, apakah Si Bungsu ini ingat akan ayahnya? Apakah ia ingat akan kewajibannya mengurus orang tua sampai mati?

 

Sang Ayah tampaknya tidak peduli, motivasi apa yang ada dalam diri anaknya sehingga ia mau kembali. Bahkan, sebelum sampai rumah pun Sang Ayah sudah melihat dari kejauhan. Ia menyambutnya, berjalan bersama menuju rumahnya agar anak durhaka ini tidak menjadi bahan cibiran para tetangganya. Ketika membuka mulut, mencoba mengeluarkan apa yang telah dirancangkannya, rupanya Ayah telah tahu. Ayah memotong kata-katanya tepat sebelum Si Bungsu minta diterima sebagai orang upahan. Si Bungsu tidak sampai hati pula meneruskan rumusan yang telah disiapkannya. Hatinya luluh menyaksikan kasih ayahnya yang begitu besar! Ayah tidak pernah memutuskan relasi dengan anak yang pernah melukai dan meninggalkannya, alih-alih begitu rindu dengannya, sehingga ia mengubur masa lampau itu dan menemukan kembali kehidupan cinta yang sesungguhnya.

 

Si Bungsu menemukan kembali dekapan kasih sayang ayahnya. Bagaimana dengan Si Sulung? Apakah ia tetap tegar dalam kemarahannya? Ataukah ia turut masuk ke dalam rumah dan merayakan pesta bersama dengan Sang Ayah? Sayang, Lukas tidak menyelesaikan ceritanya. Bagi Lukas cukup sudah menggambarkan kasih Bapa melalui Yesus Kristus yang menyambut setiap orang berdosa kembali kepada-Nya. Namun, kisah yang tampaknya belum selesai ini memberi ruang buat kita. Kita ini bagai Si Sulung dan seperti kelompok Farisi yang datang kepada Yesus menggugat-Nya menerima dan bergaul dengan kelompok orang berdosa. Tidak mudah bagi kita menerima dan turut dalam kegembiraan pesta bersama dengan orang-orang berdosa. Sama seperti Si Sulung, mentalitas kita adalah mentalitas budak yang menuntut upah dan imbalan dalam setiap pelayanan dan ibadah serta perbuatan baik. Kita menjadi orang-orang yang gampang menuntut dan menuding orang lain lebih buruk.

 

Di sisi lain, ada juga Farisi seperti Paulus. Ia turut dalam pesta sukacita. Perjumpaannya dengan Yesus yang bangkit bukan pada waktu ia menyesali dosa-dosanya, alih-alih sedang mengejar orang-orang percaya. Ia sedang berpesta pora membantai pengikut Yesus! Perjumpaannya dengan Yesus, membuat dia berbalik dan mengundang orang-orang berdosa untuk turut dalam pesta Anak Domba Allah! Paulus kini menjadi orang yang memberitakan damai sejahtera. Ia yang mewartakan bahwa Allah mendamaikan manusia melalui Yesus Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka (2 Korintus 5:19). Mestinya, setiap orang percaya dapat bersukacita menyambut siapa pun, termasuk orang berdosa yang kembali kepada Allah. Orang percaya menjadi pelayan pendamaian bagia semua orang tanpa kecuali!

 

 

 

Jakarta, 27 Maret 2025, Minggu Prapaskah IV Tahun C

Kamis, 20 Maret 2025

YESUS PEMBERI KESEMPATAN

Raut wajah tak bisa menyembunyikan kegundahan hatinya. Hampir sepuluh tahun ia mendekam di Lapas Batu, Nusakambangan. Pembunuhan brutal satu keluarga yang memaksanya mendekam di sana. Tidak banyak lagi waktu tersisa, eksekusi hukuman mati akan segera menjemputnya. “Andai waktu dapat diulang!” Gumamnya dalam gelisah.

 

Kesempatan! Ia terasa begitu sempit dan singkat ketika kematian hanya tinggal sesaat lagi. Ironis, ia juga sering diabaikan mana kala hidup terasa baik-baik saja. Berapa sering kita terjebak dalam posisi itu. Merasa sesal dan ingin waktu dapat diulang. Namun, ketika kesempatan itu terbuka, nyatanya tidak ada hal yang berubah. Berapa kali kita punya tekad, resolusi di awal tahun? Berapa kali jidat kita dioles abu tanda salib saban memasuki masa Raya Paskah sebagai tanda komitmen pertobatan, nyatanya? 

 

Ya, nyatanya tidak banyak berubah. Tutur kata yang seenaknya sendiri, tidak mau mengerti dan memahami posisi orang lain, pikiran dan ambisi yang melulu memperjuangkan ego diri, perilaku yang semena-mena tetap saja mewarnai keseharian. Resolusi hanya di catatan memori dan abu salib hanya goresan di jidat supaya orang tahu bahwa kita adalah manusia-manusia yang sedang menjalani pertobatan!

 

Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan sia-sia!” Barang kali kata itu relevan dan tepat. Analogi yang menggambarkan kejengkelan Sang Pencipta yang telah menyediakan pelbagai fasilitas agar umat-Nya hidup dalam kehendak-Nya dan menghasilkan buah, artinya berguna bagi ciptaan yang lain dan memuliakan nama-Nya. Benar, Allah itu Maha baik dan Maha Sabar. Namun, bukan berarti manusia yang diciptakan segambar dengan-Nya mempergunakan kesempatan kesabaran dan kebaikan Allah itu dengan semaunya.

 

Bertindak semaunya karena berpikir bahwa Tuhan itu sabar dan baik, lalu merasa sebagai umat pilihan-Nya adalah juga cara berpikir umat Israel di masa lampau. Berulang kali Allah melalui nabi-nabi-Nya mengingatkan mereka. Bahkan secara khusus Paulus mengingatkan kepada Jemaat Korintus untuk menjadikan Israel sebagai sebuah peringatan untuk mawas diri (1 Korintus 10:1-13). Lihat, Tuhan tidak pernah kompromi dengan dosa! 

 

Hari ini kembali kita mendengar peringatan yang disampaikan Nabi Yesaya, “Baiklah orang fasik meninggalkan jalannya dan orang jahat meninggalkan rancangannya. Baiklah ia kembali kepada TUHAN, maka Ia akan menyayanginya, dan kepada Allah kita, sebab Ia memberi pengampunan dengan limpahnya.”(Yesaya 55:7). Pengampunan dengan limpah! Jelas ditujukan bagi orang-orang yang serius bertobat dan mencari TUHAN. Serius dengan dirinya bukan membanding-bandingkan dengan orang lain lalu mencari pembenaran dan merasa lebih baik ketimbang orang lain.

 

Hari ini, ketika kita masih dapat menghirup nafas, berarti masih diberi kesempatan. Kesempatan itu bukan karena kebaikan kita, tetapi ada yang memberi! “Tuan, biarkanlah dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!” (Lukas 13:8,9). Yesus bagaikan tukang kebun itu. Ia bersedia menjamin dengan mengurbankan diri-Nya menjadi pelayan yang merawat “pohon ara” itu.  

 

Pohon ara itu adalah kita! Yesus pasang badan buat kita agar tidak dibinasakan. Tidak hanya sampai di situ. Pelbagai cara Ia lakukan. Mencangkul dan memberikan pupuk adalah gambaran bahwa Ia sungguh-sungguh merawat, memberikan nutrisi yang dibutuhkan dan bahkan melindungi kita. Pelbagai cara Ia menghadirkan kita dalam komunitas orang percaya agar dapat tumbuh dan berbuah. Dengan cara-Nya yang unik Ia juga menghadirkan orang-orang yang mengingatkan, membina, menuntun kita. Perjumpaan-perjumpaan unik melalui sesama memberikan kesempatan kepada kita agar iman dan pertobatan itu sungguh-sungguh nyata, bukan sekedar teori dan dogmatik belaka.

 

Lantas, jika Yesus telah memberi kesempatan dan menyediakan yang terbaik, apa yang seharusnya kita lakukan? Seperti pohon yang mendapatkan perlakuan dan perawatan terbaik, maka berbuah itu adalah sebuah keniscayaan. Tidak ada lagi alasan untuk tidak menghasilkan buah. Pertobatan sebatas wacana dan argumentasi hanyalah pertobatan semu yang pada akhirnya akan menghianati makna dari pertobatan itu sendiri.

 

Yesus sangat serius dengan kita. Inilah yang mestinya mendorong kita untuk serius dengan pertobatan diri sendiri, bukan sibuk menghakimi orang lain. Keseriusan Yesus tampak ketika Ia menanggapi dua peristiwa tragis yang menimpa orang-orang Galilea dan para pekerja yang mengerjakan proyek saluran air. Kedua peristiwa itu erat kaitannya dengan Pilatus, penguasa Galilea di bawah imperium Romawi. Kelompok Zelot – Galilea terkenal dengan gerakan radikalnya yang menentang kolonial Romawi. Mereka tidak segan-segan menghunus badi, menusukannya pada pihak lawan dan melakukan pemberontakan terhadap penguasa kafir itu. Pilatus tentu terpanggil untuk menertibkan kelompok pemberontak ini. Salah satunya dengan cara menumpas saat mereka sedang melakukan ritual kurban persembahan di Bait Allah. Ini berakibat darah mereka tercampur dengan darah hewan kurban. Mengerikan! 

 

Peristiwa kedua, ada delapan belas orang yang tertimpa Menara di dekat Siloam. Mereka mati ketika sedang mengerjakan proyek pembangunan saluran air. Pilatus punya proyek mulia, membenahi suplai air untuk penduduk kota. Sayangnya, pendanaan untuk proyek itu diambil dari uang persembahan untuk Bait Allah. Delapan belas orang ini binasa saat berkerja pada proyek yang mencederai kekudusan Bait Allah. Tragis!

 

Kematian mengerikan dan tragis itulah yang dengan mudah orang menghubungkannya dengan dosa yang sudah diperbuat. Kematian itu dipandang setimpal dengan dosa-dosa mereka. Bukankah kita juga punya kecenderungan cara pikir yang sama? Sangat mudah menghubungkan penderitaan yang dialami seseorang dengan dosa yang dilakukannya: penderitaan itu adalah hukuman! Bagaimana reaksi dan tanggapan Yesus? Yesus menolak! Yesus mengingatkan bahwa orang-orang yang mati dengan cara mengerikan itu tidak berarti bahwa mereka lebih berdosa ketimbang orang-orang lain. Sebaliknya, bukan berarti bahwa orang yang baik-baik saja dan mati secara wajar bebas dari dosa. Alih-alih menghakimi peristiwa tragis orang lain sebagai hukuman, Yesus mengajak para murid-Nya untuk serius dengan pertobatan mereka sendiri, dan bagaimana mereka dapat menghasilkan buah pertobatan itu.

 

Keseriusan dengan pertobatan diri sendiri akan mengubah cara pandang kita terhadap kesempatan yang Tuhan masih sediakan. Tidak banyak waktu untuk kita membicarakan aib dan keburukan orang lain. Ada target yang harus kita capai, yakni: berbuah! Tahun depan jika tidak berbuah, kita ditebang-Nya, kita menjadi orang-orang yang tidak berguna! Tahun depan adalah gambaran kesempatan yang Tuhan berikan buat kita. Tahun depan bisa berarti sungguh-sungguh satu tahun ke depan. Namun, bisa juga bulan depan, minggu depan atau besok segera berakhir. 

 

Betapa serius dan singkatnya waktu yang ada di depan kita untuk berbenah diri, maka pakailah kesempatan itu dengan baik. Jangan pernah menyia-nyiakan waktu yang Tuhan berikan kepada kita. Tidak seorang pun yang berkuasa untuk memutar kembali waktu yang telah berjalan.

 

Bertobat dan berubahlah bukan karena takut ancaman, tetapi lakukanlah dengan ucapan syukur karena Tuhan masih memberi kesempatan. Berterima kasihlah karena Dia telah mengurbankan diri-Nya untuk merawat, menjaga dan melindungi kita. Berbuahlah dengan gembira dan sukacita!

 

 

Jakarta, 20 Maret 2025, Minggu Pra-Paskah III