Jumat, 21 Februari 2025

LEBIH DARI YANG BIASA

Apa yang membuat sebuah Novel menarik? Apa yang membuat Anda ketagihan menonton serial Drama Korea atau Drama China? Ya, tepat! Adanya unsur pembalasan yang setimpal. Lakon utama mengalami perlakuan persekusi, ditindas, dilecehkan, dianiaya sehabis-habisnya. Makin sengsara makin seru! Pada puncak cerita, keadaan menjadi terbalik. Kini, jagoan Anda mulai bangkit dan akhirnya dapat menguasai panggung. Happy ending!

 

Mengapa kisah-kisah itu menjadi menarik? Sebab, kisah itu memainkan perasaan, tepatnya emosi manusia. Ketika membaca atau menontonnya, di situ Anda merasa terwakili. Orang yang jahat harus menerima akibatnya, hukuman yang setimpal atau bahkan lebih. Sebaliknya, orang yang teraniaya, tertindas, dimusuhi harus menang dan mendapat kebahagiaan. Ini baru adil!

 

Apa jadinya jika pelaku antagonis tidak jadi dihukum atau malah mendapat tempat yang layak? Protes! Ya ini lumrah, ini biasa. Biasa dalam kehidupan yang terbentuk dari budaya turun-temurun yang dinamakan transaksional. Mirip seperti di pasar; saya mengeluarkan uang, kemudian saya mendapatkan barang atau jasa. 

 

Tidak ada yang salah dalam relasi transaksional. Bukankah baik, kalau kita mengingat dan berterima kasih kepada mereka yang telah membantu dan membuat kita berhasil? Bayangkan kalau kita melupakan mereka? Lupa kacang akan kulitnya! Bukankah sudah sewajarnya kalau kita membalas dengan datang pada saat teman kita punya kenduri atau kedukaan, sebab ketika kita mengalami peristiwa yang sama, si teman itu juga hadir? Dalam pergaulan sosial, hal ini lumrah, biasa bahkan ada nilai keindahan. Namun, adakah perkara yang lebih dari biasanya?

 

Apa yang lebih dari biasa, bisa lebih buruk atau bisa lebih menakjubkan. Tentu, yang kita mau bahas sekarang bukan yang lebih buruk, melainkan yang menakjubkan! Yesus mengajak kita selangkah di depan. Ini bukan perkara gagah-gagahan, melainkan solusi yang menawarkan kehidupan dan relasi yang lebih indah, lebih baik dan lebih surgawi. “Jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang berdosa pun berbuat demikian.” (Lukas 6:33). Coba perhatikan apa yang diucapkan Yesus. Dalam kesadaran jernih, pasti kita akan membenarkan-Nya. Benar, setiap orang, termasuk orang-orang yang dikategorikan berdosa mereka akan membalas setiap tindakan baik dari orang lain kepada mereka dengan kebaikan yang serupa. Begitu pula ketika mereka mendapatkan perlakuan jahat, hal serupa pun akan mereka lakukan. Jika para pendengar Yesus melakukan tindakan serupa, jelas tidak ada lebihnya dari yang lain dan tidak ada gunanya juga Yesus mengajar mereka sebab ajaran-Nya hanya mengulang yang terdahulu.

 

Dalam hal ini Yesus mengingatkan kepada para pendengar-Nya bukan sekedar untuk mencari sensasi bahwa mereka harus lebih unggul dari orang lain yang tidak mendengarkan ajaran-Nya. Namun, Yesus hendak mengembalikan cinta kasih pada esensi yang sebenarnya. Bukankah benar juga kalau kita membalas sebuah tindakan kasih dari seseorang dengan perlakuan sama, maka seperti transaksi; dia memberikan sesuatu lalu saya membayarnya lagi. Impas, tidak ada lebihnya! Dalam hal ini bukan berarti Yesus mengajak pendengar-Nya untuk berperilaku tidak tahu berterima kasih. Bukan itu pointnya.

 

Biasanya orang berpegang pada patokan ketimbalbalikan dalam bahasa Latin terungkap dalam kalimat pendek, Quid pro quo? yang berarti “Yang sudah diterima harus dibalas apa? Yesus hendak mengajak kita berpikir lebih progresif: Kalian jangan bersikap baik hanya terhadap orang yang nyata-nyata membalas atau dapat membalas kalian dengan setimpal! Mentalitas seperti ini akan menciptakan “memberi untuk menerima kembali” alias transaksional. Dampaknya, orang hanya memikirkan sebuah tindakan kebaikan yang nantinya akan dibalas dengan kebaikan. Kebaikan semacam ini tidak pernah melahirkan “terima kasih” yang murni, melainkan selalu menciptakan kewajiban untuk membalas, atau yang kita kenal balas budi.

 

Cinta kasih melebihi itu, ada sesuatu yang benar-benar kita berikan lebih dari yang bisa orang itu balas. Salah satunya adalah tindakan mengasihi orang yang membenci dan memusuhi kita.

Mengasihi para pembenci dan musuh jelas tidak mudah. Namun, bukan berarti tidak bisa! Mari kita belajar dari kisah Yusuf bersama saudara-saudaranya. Kisah ini sangat menakjubkan, tidak kalah dari Drama Korea atau Drama China meski ujungnya sama-sama happy ending, namun ada perbedaan menarik. Kejahatan dan kebiadaban dari saudara-saudara Yusuf tidak harus dibalas setimpal. Yusuf, Si Tukang Mimpi itu memilih untuk melihat perkara yang baik dan positif di balik tragedi yang menimpa dirinya. Ia tidak membiarkan hatinya diliputi oleh dendam dan kebencian. Perlu diingat bahwa permusuhan dalam keluarga biasanya lebih langgeng ketimbang bermusuhan dengan orang lain, apalagi kalau sudah menyangkut harta waris. Namun, kisah Yusuf dan saudara-saudaranya sebuah anomaly positif.

 

Perlakuan keji dari saudara-saudaranya diganti oleh perspektif karya penyelamatan dan pemeliharaan Allah terhadap sebuah bangsa. Yusuf melihat bahwa di balik liku-liku duka yang dia alami ternyata ada rancangan besar Ilahi bukan hanya terhadap dirinya, tetapi keturunan Yakub yang akan menjadi jawaban janji Allah terhadap Abraham. Dengan melihat rancangan Allah yang lebih besar, Yusuf mampu mengenyahkan kabut pekat kepahitan hatinya di masa lalu. Sehingga ia tidak lagi melihat saudara-saudaranya sebagai musuh yang harus dienyahkan. Tangannya terulur dan ia memberikan mukanya untuk mencium satu per satu saudaranya!

 

Ketika hatimu dipenuhi oleh cinta-Nya, maka engkau tidak lagi melihat musuh dan pembencimu sebagai sasaran untuk melampiaskan dendam. Tanganmu akan tergerak memeluk, pipimu tak akan kau buang untuk menghindar dari ciumannya.  Para musuh dan pembencimu akan terlihat seperti saudaramu sendiri yang memerlukan kehangatan cintamu. Ketika hatimu dipenuhi cinta-Nya, engkau tidak akan memperhitungkan lagi kesalahan dan besarnya penderitaan yang pernah kamu terima darinya. Engkau akan seperti Yesus yang tidak pernah mengungkit dan memperhitungkan kesalahanmu. Tetapi, memelukmu dengan erat sambil berbisik di telingamu, “Aku mengasihimu, dan untukmu Aku merelakan nyawa-Ku!”

 

Yesus meminta kita lebih dari yang biasa, untuk lebih mengasihi dengan kasih yang benar bukan sekedar tuntutan, tetapi Dia telah memberi kita bekal yang lebih dari cukup. Bekal itu adalah pengurbanan-Nya sendiri. Dia tahu siapa kita. Yesus mengasihi kita dengan tanpa syarat. Ia mengasihi kita walaupun kita sering kali jatuh bangun bahkan memberontak kepada-Nya. Namun, kasih-Nya tetap tidak berkurang. Tentu, Ia ingin kita meneruskannya kepada yang lain, sekalipun kepada mereka yang membenci dan memusuhi kita. Ini baru lebih dari yang biasa!

 

Jakarta, 21 Februari 2025, Minggu VII setelah Epifani, tahun C

 

 

 

 

Kamis, 13 Februari 2025

KEBAHAGIAAN SEKARANG DAN MENDATANG

Pecinta kebugaran tubuh pasti mengenal Ade Rai, seorang mantan juara dunia Binaraga yang bahkan di usia lebih dari lima puluh tahun, otot dan penampilannya tidak kalah dari pemuda dua puluh tahunan. Namun, kali ini saya tidak ingin menceritakan pola makan dan Latihan beban yang dilakukannya setiap hari. Di balik tubuh kekar itu ternyata Ade Rai punya segudang ilmu filosofi yang menarik untuk kita simak.

 

Di beberapa podcast, Ade Rai banyak berbicara tentang kebahagiaan yang sifatnya bukan artifisial. Ia bercerita tentang seekor kucing muda yang berusaha menangkap ekornya sendiri. Mengapa kucing muda itu berusaha menangkap ekornya sendiri? Konon, ia pernah mengikuti kuliah dari “Sekolah Filsafat Kucing” yang mengajarkan tentang kebahagiaan. Bagi para kucing, kebahagiaan itu terletak pada ekornya, berhasil menangkapnya maka paripurnalah kebahagiaan itu!

 

Di tengah keasyikan kucing muda itu mengejar-ngejar ekornya, muncullah seekor kucing tua yang bijaksana. Kucing tua itu mengamati dengan seksama perilaku kucing muda. Setelah cukup kelelahan, kucing muda itu berhenti. “Mengapa kamu mengejar ekormu sendiri?” Tanya kucing tua. “Dalam pelajaran di sekolah filsafat kucing, di situlah letak kebahagiaan bagi semua kucing!” Jawab si kucing muda sambil menghela nafas.

 

“Dulu, aku melakukannya juga. Aku pikir, jika aku berhasil menangkapnya, aku akan menemukan kebahagiaan di sana. Tetapi, sekarang aku sadar bahwa aku tidak perlu mengejar ekorku lagi, karena aku tahu, ke mana pun aku pergi, ekorku akan mengikuti aku!” Lalu, kucing tua itu bangkit dan berjalan pergi dengan mengebaskan ekornya.

 

Dalam batas tertentu, kita mirip dengan kucing muda. Kita mengejar “ekor” kita sendiri dan meyakini bahwa di situlah letak kebahagiaan. Padahal, kebahagiaan itu telah ada dalam diri kita. Kita terlalu fokus dengan pencapaian materi atau uang karena, berpikir bahwa kita akan menjadi benar-benar bahagia ketika banyak uang dan harta benda. Atau kita mengejar jabatan dan takhta karena, kita melihat bukankah orang-orang yang berkuasa leluasa mengatur ini dan itu? Kita berpikir bahwa hanya ketika kita mencapai tujuan-tujuan ini maka kita merasa puas dan bahagia. Tidak salah bahwa dalam orang dengan uang, harta yang banyak dan punya jabatan dapat merasakan bahagia. Namun, sungguhkah sumber kebahagiaan yang sejati itu ada di sana? Betulkah orang yang banyak uang dan jabatan tinggi hatinya tidak pernah gundah gulana? 

 

Yesus bukanlah kucing tua yang bijaksana. Namun, ajarannya kali ini sama bijaknya dengan si kucing tua itu. Barang kali para pendengar-Nya waktu itu sangat haus untuk menjadi orang-orang yang berduit dan punya jabatan. Mereka bosan menjadi jelata, blangsak dan melarat ditambah tekanan penderitaan dari penguasa. Andai kita juga ada di situ dan menjadi bagian dari mereka tentu saja berharap apa yang dulu pernah diucapkan Yesus akan terjadi di sini, yakni: Tahun pembebasan dan rahmat Allah akan terjadi dari diri Yesus yang telah menyatakan sendiri sebagai penggenapan nubuat Nabi Yesaya. Mengikut-Nya bukankah logis berangan menjadi kaya, makmur, sukses dan tersohor?

 

Namun, kali ini Yesus tidak membawa itu! Seperti si kucing tua, Yesus tidak menawarkan “ekor” diri sendiri yang harus dikejar. Bukan kekayaan, kuasa, berpengaruh yang harus diburu. Di situ bukan sumber kebahagiaan! Lalu, apa? Yesus tahu bahwa mereka yang mengikuti-Nya adalah mereka yang benar-benar lapar, miskin dan tersisih alias marjinal! Ingat loh ini versi Injil Lukas. Lukas menceritakan bahwa mereka yang miskin dan menderita adalah real seperti itu, bukan miskin secara rohani! Nah, kepada mereka ini Yesus menyebutnya sebagai orang-orang yang berbahagia.

 

Koq bisa, miskin, lapar, menderita dan berduka disebut bahagia? Di sini Yesus mau mengajak pendengar-Nya bahwa mereka juga dapat berbahagia. Kebahagiaan itu tidak berasal dari luar, yakni : harta benda, uang, posisi jabatan dan kehormatan. Bukan itu! Sekali pun mereka miskin, mereka punya kesempatan yang sama untuk berbahagia. Ingat loh bukan berarti orang kaya dan pejabat tertutup kemungkinannya untuk berbahagia.

 

Kebahagiaan menurut Yesus mengalir dari hati yang meyakini kebenaran dan yang dapat mempertahankannya. Bisa saja mereka miskin namun tidak berbahagia, bisa saja mereka menahan lapar namun tidak berguna dan kehilangan kebahagiaan itu ketika dengan alasan kemiskinan dan kelaparan,mereka merampok dan menjarah; menjadikannya kedok agar orang lain berbelaskasihan. Namun, berbeda ketika orang karena mempertahankan kebenaran, ia bertahan melakukan kehendak Allah, tidak mencuri, tidak merampok, dan tidak menggunakan kemiskinannya sebagai alasan untuk berbuat kriminal, di situlah ia adalah orang yang benar-benar bahagia. Yeremia menyebutnya “Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!” (Yeremia 17:7) Kebahagiaan itu tidak usah dikejar karena ada di dalam dirinya sendiri, dan tentunya TUHANlah yang akan mengganjari dengan kebaikan-Nya.

 

Sebaliknya, orang yang mencari kebahagiaan di luar, ia tidak peduli dengan prinsip kebenaran. Kompromi dan mungkin juga mengandalkan koneksi. Bisa jadi, ia akan tertawa, terlihat gembira dan bersenang-senang. Lagi, Yeremia mengingatkan “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri dan yang hatinya menjauh dari TUHAN! (Yeremia 17:5). Hal serupa diingatkan Yesus dalam Lukas 6:24-26.

 

Menjadi jelas, Yesus tidak mengajarkan kepada para pengikut-Nya agar berusaha hidup sebagai orang-orang miskin, lapar dan tertindas. Atau, memusuhi orang-orang kaya dan penguasa. Bukan itu! Siapa pun dapat menjadi pengikut Yesus, baik miskin atau pun kaya. Namun, soal kebahagiaan bukanlah terletak pada seberapa banyak materi yang ada dalam genggaman tangan kita atau seberapa tinggi pangkat dan jabatan kita. Melainkan soal seberapa berani kita mempertaruhkan kebenaran yang terus berdengung di kedalaman sanubari kita. Jika suara kebenaran itu menjadi pandu bagi hidup kita, entah miskin, lapar, tertindas atau kaya raya dan berkuasa akan menjamin kebahagiaan hari ini dan esok; baik sekarang maupun di masa yang akan datang.

 

Coba bayangkan, sekarang Anda miskin dan lapar, namun Anda bertahan bahwa dengan kemiskinan dan kelaparan Anda. Lalu Anda punya prinsip: Saya akan tetap berbuat baik, saya tidak akan menyalahkan siapa pun, saya bukanlah orang yang paling menderita, saya sangat dikasihi Tuhan dan Tuhan pasti akan membuka jalan dan memberi kekuatan. Maka saya akan bekerja keras dengan talenta yang Tuhan sudah berikan kepada saya! Bukankah jauh di kedalaman hati Anda – meski hidup masih saja tetap sulit – ada senyum kecil buat Tuhan. Ini kebahagiaan otentik! Kebahagiaan kecil ini kelak akan menolongmu saat Yesus mengenalimu sebagai hamba-Nya, “Baik sekali engkau hamba-Ku yang setia, masuklah dalam kebahagiaan kekal bersama-Ku!”

 

Atau bayangkan ini, Anda seorang kaya raya dan terpandang. Anda bertahan dalam prinsip kebenaran yang telah Anda terima dari Tuhan, maka Anda akan menjalankan usaha dengan bersih, jauh dari suap dan markup, Anda tidak lagi memperhitungkan karyawan sebagai aset atau barang, tetapi berbagi rezeki dan benar-benar memanusiakan mereka, Anda ogah diajak kong kali kong, Anda tidak memanipulasi laporan pajak, walaupun pengelolaan pajak hari ini amuradul. Bukankah Anda akan lega, hati tenang karena tidak ada yang ditutup-tutupi. Ini bahagia! Yakinlah kebahagiaan ini juga akan menjamin Anda di masa mendatang ketika Tuhan menempatkanmu sebagai “domba” yang ada di sebelah kanan-Nya. Jadi, berhentilah mengejar ekormu!

 

 

Jakarta, 13 Februari 2025, Minggu VI Sesudah Epifani, tahun C