Kamus Merriam-Webster mengartikan kata “raja” salah satunya dengan definisi: “seorang yang memegang posisi terkemuka, terutama seorang kepala di antara para pesaing”. Kata terkemuka dan pesaing menjadi menarik ketika dihubungkan dengan kekuasaan. Bukankah orang yang berkuasa akan mudah mengendalikan orang lain dengan kewenangannya? Maka tidaklah mengherankan kalau sejarah dunia selalu diwarnai oleh orang-orang yang bersaing untuk menjadi yang terkemuka, berkuasa dan punya otoritas!
“Apakah Engkau raja orang Yahudi?” Pertanyaan interogasi dilakukan sang Wali Negeri Pilatus kepada Yesus, pesakitan yang serahkan para pemuka Yahudi. Raja yang dimaksud Pilatus jelas menunjuk pada raja mesianik yang akan membebaskan Israel dari penjajahan Romawi. Kalau tuduhan itu benar, Yesus akan dihukum sebagai pemberontak terhadap Kekaisaran Romawi. Ini berarti Yesus menjadi pesaing kaisar yang terkemuka itu. Ingat dalam definisi raja, pesaing harus berada dalam kendali orang yang terkemuka, dalam hal ini Kaisar Roma!
Yesus balik bertanya kepada Pilatus, apakah hal itu merupakan kecurigaan dirinya sendiri. Wali negeri itu mengelak, “bangsamu sendiri dan imam-imam kepala yang telah menyerahkan Engkau kepadaku” (Yohanes 18:35). Kata “bangsa-Mu” menunjuk kepada orang-orang Farisi dan para imam yang sudah berulang kali berusaha menangkap dan membunuh Yesus.
Dalam Injil Yohanes persoalan Raja menjadi tema utama dalam pemeriksaan oleh Pilatus. Jika dalam Injil Sinoptik, Yesus terkesan tutup mulut atas tuduhan-tuduhan yang ditimpakan kepada-Nya, Yohanes berbeda. Beberapa pertanyaan Pilatus memberi kesempatan kepada Yesus untuk menjelaskan sifat kerajaan-Nya. Dalam interogasi pertamanya, Yesus tidak menyangkal bahwa Ia adalah Raja. Yesus menegaskan bahwa Kerajaan-Nya tidak berasal dari dunia ini. Oleh karenanya, Ia tidak menggunakan cara-cara yang lazim di pakai oleh dunia, yakni: kekerasan senjata atau intrik politik untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan itu. Pemerintahan Yesus berbeda dengan pemerintahan bangsa-bangsa!
Sebagai Raja kebenaran, Yesus menantang Pilatus untuk mendengarkan kesaksian-Nya. Apa yang disampaikan Yesus? Yesus menegaskan bahwa Ia lahir atau datang dari Allah dengan misi untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran : alètheia (harfiah berarti penyingkapan rahasia) di dalam dunia ini. Inilah fungsi atau tugas utama diri-Nya sebagai Raja, yakni menyingkapkan kepada manusia tentang misteri Allah yang telah dilihat dan didengar-Nya (Yohanes 8:26).
Di sinilah letak pengertian Yesus sebagai Raja. Ia datang bukan seperti raja-raja atau penguasa-penguasa di dunia ini yang kerajaannya dibangun atas dasar penaklukkan bahkan penindasan. Dibangun dalam kemegahan semu dengan memaksa orang untuk menyerahkan harkat dan martabat mereka. Yesus bukan seperti itu! Ia disebut Raja oleh karena Dialah yang paling tahu rahasia Ilahi, yang tidak lain adalah cinta kasih Allah kepada manusia.
Penjelasan Yesus memuncak dalam sebuah pernyataan yang menjadi ujian terhadap Pilatus. Kini, posisinya terbalik. Kalau tadi Yesus yang diinterogasi, sekarang Pilatus diperhadapkan pada pertanyaan. Apakah Pilatus termasuk dalam kelompok anak-anak Allah yang mau mendengarkan dan menerima kesaksian-Nya tentang Allah? Bagi Yesus sederhana, mereka yang mau mendengarkan dan menerima-Nya adalah mereka yang diberikan Bapa kepada-Nya. Dengan pertanyaan, “Apakah kebenaran itu?” (Yohanes 18:38), Pilatus tidak punya niat untuk melakukan percakapan lebih dalam lagi tentang kebenaran. Sebaliknya, secara sinis ia menolak anugerah kesaksian Yesus tentang Allah. Sama seperti para pemuka Yahudi yang menyerahkan-Nya, begitu pula Pilatus tidak berasal dari Allah.
Meskipun demikian, Pilatus menarik kesimpulan yang tepat bahwa serangkaian kegiatan yang dilakukan Yesus yang dipakai sebagai alat bukti tuduhan makar, tidak terbukti. Yesus bukanlah seorang Raja yang berniat mengadakan pemberontakan terhadap Kaisar. Dengan begitu, Pilatus juga berniat membebaskan Yesus dari hukuman mati. Lalu, apa yang salah dengan Pilatus? Bukankah kita juga sering diperhadapkan pada situasi dilema? Memilih tegas atau kompromi?
Pilatus telah nyaman sebagai Wali Negeri. Ia harus menjaga keseimbangan hubungan dengan pemerintah pusat, dalam hal ini Kaisar Roma, begitu juga dengan negeri di mana ia menjadi walinya. Pemberontakan yang terjadi di wilayahnya sudah bisa merepotkannya dan membuatnya dicap sebagai orang yang tidak kompeten dalam mengurus negeri. Meskipun ia tahu Yesus tidak bersalah dan ia begitu dekat dengan Raja Kebenaran, Pilatus tetaplah Pilatus yang memilih untuk kompromi. Sikap mendua inilah yang menjadi akar kegagalan Pilatus untuk mendengar, setia dan membela Yesus sampai akhir!
Hari Minggu ini adalah Minggu terakhir dalam kalender tahun gerejawi kita. Artinya, ketika kita setia mengikuti tahun gerejawi yang mengikuti alur pelayanan Tuhan Yesus, kita telah belajar banyak. Pelajaran itu mulai dari masa penantian (adven), kelahiran, pembaptisan, pelayanan dan akhirnya sampai penghujung, yang kita namakan Minggu Kristus Raja. Yesus sebagai Raja Kebenaran telah menjalankan tugas-Nya, yakni menyingkapkan rahasia, tabir Ilahi kepada umat manusia. Ia telah menyatakan firman Allah bahkan di dalam diri-Nya adalah firman yang hidup, firman yang diperagakan dan melalui diri-Nya tidak ada yang tersembunyi!
Lalu, bagaimanakah sikap kita? Menerima dan menyambut-Nya sebagai Raja Kebenaran? Atau seperti Pilatus yang mendua hati?
Pilatus bisa dengan tepat menggambarkan diri kita. Ia begitu dekat dengan Raja Kebenaran. Bisa bersoal-jawab dan tidak hanya itu, Pilatus bahkan tidak menemukan sedikit pun kesalahan apalagi tuduhan makar terhadap Yesus. Hatinya telah condong pada kebenaran itu, maka ia berusaha untuk membebaskan Yesus. Namun, Pilatus tidak berdaya dengan tuntutan massa yang mengingini agar Yesus tetap dihukum mati. Betulkah Pilatus tidak berdaya terhadap tuntutan orang banyak? Di permukaan tampaknya seperti itu. Namun, bukankah keputusan itu ada pada sikap hatinya? Hati yang ingin nyaman, tidak mau menanggung risiko, ingin terus berkuasa dan dihormati, ini sebenarnya yang membuat dia enggan menerima Yesus sebagai Raja Kebenaran itu.
Pilatus bisa mencerminkan kita. Kita begitu dekat dengan Raja Kebenaran, kita membicarakan dan mengajarkannya, kita sering memuja-Nya dalam doa dan ibadah. Bisa jadi karena kita terdesak kebutuhan ekonomi, demi usaha lancar, tidak enak dengan perasaan teman, tidak mau dijauhi sahabat, demi kestabilan, demi ketenteraman, dan seterusnya, akhirnya kita tidak berani mengakui Yesus sebagai Raja kita. Ini semua alasan tampaknya logis dan manusiawi. Namun, sama seperti Pilatus, bukankah kunci kendalinya ada di hati kita. Jika hati dan iman kita mengatakan, “Yesus adalah Raja dalam hidupku!” maka, semua akan kita jalani dengan kesetiaan. Di mana pun kita akan menjadikan-Nya Raja. Dalam hal ini kita akan tunduk pada kebenaran yang telah diajarkan dan diperagakan-Nya.
Ketika hati dan iman kita mengatakan bahwa Yesus adalah Raja, maka dalam kegiatan ekonomi, bisnis, pertemanan, keluarga, pelayanan, pekerjaan, dan di mana pun juga, kita akan menjadikan-Nya Raja. Maka semua yang bertentangan dengan kehendak dan pernyataan-Nya kita akan menolaknya. Itulah yang seharusnya terjadi : Yesus Kristus adalah Raja di atas segala raja!
Jakarta, 21 November 2024, Minggu Kristus Raja, Tahun B