Mendengar, kata sederhana namun tidak sesederhana yang kita bayangkan selama ini. Banyak studi telah dilakukan untuk mengamati seberapa banyak orang dapat efektif mendengarkan lawan bicaranya. Hasilnya bervariasi, yang jelas tidak ada yang melampaui 50%, paling banyak berada pada angka 25%-30%! Jadi, jangan heran kalau perkataan Anda tidak ditangkap dengan utuh, malah disalah artikan oleh lawan bicara Anda. Bisa jadi, Anda pun demikian ketika mendengarkan perkataan orang lain!
Ada beberapa alasan mengapa orang gagal mendengarkan lawan bicaranya dengan baik, antara lain: Kurangnya perhatian, alias tidak fokus pada topik pembicaraan. Fisiknya hadir dalam obrolan itu, namun pikirannya mengembara ke mana-mana. Akibatnya, sama sekali tidak ada rasa empati terhadap topik pembicaraan. Di samping itu, ini penyakit umum, orang memiliki prasangka atau penilaian yang berpengaruh pada kemampuannya untuk mendengarkan secara obyektif.
Mendengar adalah ekspresi nyata dari tindakan kasih! Bukankah ketika kita mendengarkan seseorang dengan penuh perhatian dan empati, di situ kita sedang menunjukkan bahwa kita peduli dengan perasaan dan kebutuhan mereka. Bukankah Allah menegur Kain karena Ia mendengar darah Habel berteriak dari tanah karena dibunuh Kain. Bukankah Allah bertindak menyelamatkan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir dimulai ketika Ia mendengar jerit tangis penderitaan mereka? Pada pihak lain, mendengar dapat membuat orang lain merasa dihargai, dipahami, diterima dan ditolong. Mendengar dapat membangun relasi yang lebih baik, meningkatkan kepercayaan, dan menunjukkan kasih sayang kepada orang lain.
“Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku….dan mereka akan mendengarkan suara-Ku…” (Yohanes 10:14,16). Mendengarkan adalah kata kunci untuk relasi yang baik antara Gembala dan kawanan domba. Mendengarkan adalah ekspresi cinta dari kawanan domba terhadap gembala mereka. Mendengarkan suara Sang Gembala akan membuat kawanan domba tidak tersesat, tahu arah yang benar menuju rumput yang hijau dan air yang tenang.
Dalam metafor Gembala dan kawanan domba, memaksa angan kita menerawang pada bagaimana Musa menjaga dan memelihara kambing domba Yitro, mertuanya. Atau, Daud yang memelihara, melindungi dan mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan kambing domba ayahnya. Kita mengingat bagaimana Daud berceloteh di depan Raja Saul ketika ia meminta izin untuk berperang melawan Goliat, “Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya, dan melepaskan domba itu dari mulutnya…”(1 Samuel 17:34,35). Tentu saja Yesus sangat akrab dengan narasi gembala ini. Ia menjiwai dan metafor itu melekat pada diri-Nya sehingga Ia sangat ajeg mengatakan bahwa, “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya;..” (Yohanes 10:11)
Metafor Gembala dan kawanan domba juga memaksa kita menerawang pada kontur tanah berbukit tandus, minim air atau oase yang menyebabkan padang rumput hijau sulit dijumpai. Tidak mengherankan kalau dalam banyak kasus, para gembala kerepotan mencari domba-domba yang tersesat, terpisah dari kawanannya. Domba itu tersesat lantaran mencari air dan rumput sesuai dengan nalurinya. Ia tidak mendengar suara atau arahan dari sang gembala. Keterpisahan seekor domba dari kawanannya membuat domba tersebut sangat berisiko, berada dalam ancaman dan bahaya yang bisa saja tanpa disadarinya.
Jelas dalam metafor Gembala dan kawanan domba; Yesuslah Sang Gembala dan kita adalah domba-domba-Nya. “Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri,…” (Yesaya 53:6), meski dalam konteks berbeda, narasi Yesaya ini seolah menegaskan bahwa kita juga bisa seperti domba yang sesat itu. Masing-masing kita mengambil jalan sendiri, masing-masing kita mendengarkan suara yang bukan suara dari Sang Gembala.
Dalam konteks dunia di mana kita berada jelas banyak sekali suara-suara yang menuntut perhatian dan bahkan menggoda kita untuk melenceng dari tuntunan Sang Gembala Agung itu. Kita tidak lagi bisa membedakan mana suara Tuhan dan mana suara yang berasal dari nafsu kedagingan kita. Suara-suara itu bergema melalui iklan, propaganda, promosi, berbagai platform media sosial. Suara-suara itu menghanyutkan dan menenggelamkan kita dalam ayunan ambisi dan hedonisme. Kita semakin menjauh dan sesat di belantara dunia ini. Terbuai!
Sejauh mana kita menuruti suara ambisi hedonis, sejauh itu kita menjauh dari Sang Gembala. Lalu, apakah Sang Gembala itu juga menjauh, seperti lantunan syair; “Aku jauh…Engkau jauh, aku dekat… Engkau dekat…”? Untungnya, Sang Gembala tidak seperti itu! Buktinya? Kita masih mengingat Kleopas dan temannya yang menjauh dari Yerusalem menuju Emaus karena kecewa, Yesus Sang Gembala baik itu menyusul mereka. Ia bagaikan gembala yang mencari kembali domba sesat itu. Petrus dan teman-temannya yang kembali pada kehidupan lama mereka menjadi nelayan di Danau Tiberias, Yesus paranin mereka. Ia memulihkan, meneguhkan dan memberi arah baru bagi para murid itu! Ini lebih dari memberikan nyawa-Nya, Yesus tidak bosan-bosannya merangkul, memeluk dan mengasihi mereka bahkan ketika mereka mencoba mencari arah dan tuntunan lain!
Ini jelas, kuncinya ada pada kita! Suara dan tuntunan itu terus bergema. Ia tidak jauh, gema-Nya bahkan ada dalam hati kita. “Di mana Dia ku-dengar? Di dalam hatiku!” Penggalan syair karya A.H. Ackley (NKB.87) dengan tepat menggambarkan suara Sang Gembala yang dapat kita dengar di dalam hati kita. Jadi sekarang, tinggal bagaimana kita menanggapi suara tuntunan Sang Gembala itu; apakah kita mengeraskan dan menutup pintu hati kita lantaran akan mengganggu ambisi yang sedang kita kejar? Ataukah kita membuka pintu hati seluas-luasnya agar Dia bertakhta di dalam hati kita? Dia yang mengendalikan dan kita membiarkan diri dituntun oleh-Nya karena kita meyakini bahwa tuntunan-Nya bukan hanya terjadi dan berlaku di dunia ini saja, melainkan sampai pada keabadian!
Ya, bukankah Sang Anak Domba yang menjadi kurban Paskah itu juga yang menjadi Gembala dalam kehidupan kekal? Mengherankan, bayangkan anak domba sekaligus menjadi gembala! “Sebab Anak Domba yang di tengah-tengah takhta itu, akan menggembalakan mereka ke mata air kehidupan. Dan Allah akan menghapus segala air mata dari mata mereka.” (Wahyu 7:17). Ya, tepat apa yang dikatakan dalam surat Ibrani, bahwa Imam Besar yang kita punya adalah Imam Besar yang mengurbankan diri-Nya sendiri – Ia seperti Gembala yang memberikan nyawa-Nya – untuk keselamatan kawanan domba gembalaan-Nya. Itulah Anak Domba sekaligus Gembala!
Jadi, bukalah hati dan dengarkan tuntunan suara-Nya yang mengarahkan kita bukan hanya kini dan di sini, tetapi juga yang akan melampaui maut dan memberi kehidupan abadi. Bukan suara-suara ambisi hedonis yang memberi kesenangan sesaat yang harus kita dengarkan. Tetapi tuntunan suara-Nya yang jauh memberikan kebahagiaan dan damai sejahtera hakiki!
Jakarta, 8 Mei 2025, Minggu Paskah ke-IV, tahun C