Kamis, 16 Januari 2025

TUHAN TIDAK PERNAH TINGGAL DIAM

Bagaimana perasaan Anda ketika berhadapan dengan situasi genting, pada saat bersamaan ada orang yang Anda tahu mempunyai kapasitas atau kompetensi untuk dapat menolong. Anda meminta dengan sangat agar orang tersebut dapat membantu kesulitan Anda dalam kegentingan itu. Umpamanya, anak Anda tercebur dalam kolam renang orang dewasa. Anak Anda sama sekali tidak bisa berenang. Di sekitar Anda ada seorang pelatih renang dan Anda berteriak sambil menangis agar sang pelatih itu menyelamatkan anak Anda. Namun, si pelatih itu diam dan berkata, “Biarkan dulu, kita tunggu sebentar!” Bagaimana tanggapan dan reaksi Anda?

 

Banyak orang lepas kendali: kecewa, marah, bahkan memusuhi orang yang mestinya bisa diandalkan dalam saat-saat tersulit hidupnya, tetapi memilih diam. Berapa banyak orang yang kecewa pada dokter dan rumah sakit ketika mereka berharap orang yang dicintai segera ditolong, namun terlalu lama untuk dapat ditangani? Lalu, orang-orang tersebut menganggap rumah sakit dan dokter itu jelek, tidak punya hati dan seterusnya!

 

Apakah Yesus tidak punya hati ketika saat genting Ia tidak menanggapi positif permintaan ibu-Nya? Saat genting ketika dalam sebuah pesta perkawinan Yahudi mereka kehabisan anggur. Sang empunya kenduri tentu akan dipermalukan ketika hal utama dalam sebuah pesta itu habis, padahal acara pesta masih sangat panjang. Ya, lazimnya pesta perkawinan Yahudi pada masa itu digelar selama seminggu dengan banyak sekali undangan. 

 

Maria, ibu Yesus menyadari bahwa kerabatnya yang sedang merayakan pesta perkawinan dalam masalah serius. Wajar, dengan pengalaman sejak kelahiran dan sampai dewasa ada banyak tanda-tanda ajaib yang terjadi dalam diri anaknya, maka Maria meminta pertolongan dari Yesus. Mungkin saja dalam benaknya, Maria berpikir, inilah saatnya yang tepat, melalui Yesus dapat berkontribusi dalam keadaan yang gawat ini. Maka dengan tidak segan Maria berkata kepada Yesus, “Mereka kehabisan anggur!” (Yohanes 2:3). Jelas, dalam konteks kegentingan ini, Maria bermaksud agar Yesus melakukan sesuatu untuk mengatasi kehabisan anggur itu.

 

Mau apakah engkau dari Aku, ibu? Saat-Ku belum tiba!” (Yohanes 2:4). Siapa pun yang mencoba menangkap dengan halus jawaban Yesus kepada ibu-Nya, tetap saja ini bentuk penolakan. Idiom bahasa Ibrani atau Aram ini mengandung penolakan tegas. Kalimat ini sejajar dengan tanggapan Nabi Elia kepada Raja Yoram, “Apakah urusanku dengan engkau?” (2 Raja-raja 3:13). Yesus terkesan menolak diri-Nya dilibatkan dalam pemecahan masalah anggur.

 

Sekarang, Anda berada pada posisi Maria. Bagaimana perasaan Anda dan apa yang akan Anda lakukan? Saya kira Anda bisa menjawabnya sendiri. Banyak orang ketika berada pada posisi Maria, merasa punya hubungan dekat dengan Tuhan dan sedang dalam keadaan tekanan berat, genting dan berbahaya, lalu berdoa dan berseru kepada Tuhan. Dapatkah Anda punya keyakinan seperti pemazmur, “Ya TUHAN, kasih-Mu sampai ke langit, kesetian-Mu sampai ke awan…” (Mazmur 36:6).

 

Nyatanya, Anda bergulat sendiri. Tuhan sepertinya diam dan tidak peduli! Benarkah Tuhan diam dan tidak peduli dengan urusan Anda? Meski menolak dan tampak kasar jawaban Yesus terhadap permintaan ibu-Nya, Maria tidak seperti kebanyakan orang yang mudah marah, kecewa dan meninggalkan imannya ketika menghadapi pergumulan dan penolakan. Maria, dalam Injil Yohanes adalah sosok manusia pertama yang tetap percaya dan berpikir positif meski diperhadapkan dengan penolakan. Keyakinannya tetap teguh, sikap positif dan percayanya itu dinyatakan kepada para pelayan, “Apa yang dikatakan-Nya kepadamu, lakukanlah itu!” (Yohanes 2:5).

 

Perhatikan apa yang diperbuat Maria. Sikap percaya dan positif terhadap Yesus ia tularkan kepada para pelayan itu. Kita tidak mungkin bisa meneruskan dan menurunalihkan iman, tanpa kita sendiri punya sikap iman yang benar. 

 

Yesus yang semula terlihat menolak, seolah tidak peduli dengan urusan kegentingan pesta perkawinan, ternyata Dia memberi solusi. Di sini kita melihat bahwa Yesuslah yang punya “kendali”. “Saat-Ku belum tiba”, bisa saja ditafsirkan jauh ke depan pada saat nanti peristiwa salib yang akan menyatakan kemuliaan-Nya. Namun, dalam momen ini kita bisa memahaminya, bahwa saat yang dilihat Maria dan juga tuan rumah pesta, tidak sama seperti momentum tepat yang dilihat Yesus. Bisa jadi dalam urusan pergumulan dan kegentingan Anda inilah momentum yang paling tepat Tuhan mengangkat dan menolong Anda. Anda seperti orang yang akan tenggelam, dengan meronta dan tangan ke atas mencari apa saja yang dapat dipegang. Koq, Tuhan tidak ada, dan aku dibiarkan-Nya sendiri!

 

Pelatih renang itu bukan tidak peduli. Ia mengamati sampai berapa lama anak yang nyaris tenggelam itu berhenti meronta. Dan, benar saja pada saat yang tepat, sang pelatih itu dengan sigap nyebur masuk kolam dan berhasil menyelamatkan anak itu. Anda pasti tahu, mengapa seolah sang pelatih itu menunda pertolongan. Ya, tepat! Supaya penyelamatan itu efektif! Barang kali hal ini sama seperti umat Tuhan yang lama di buang ke Babel. Tujuh puluh tahun! Tentu saja mereka menjerit, meronta, dan memohon pertolongan Tuhan. Pada waktunya, Tuhan memulihkan mereka. Berita yang dibawa Nabi Yesaya adalah berita pemulihan. sesungguhnya Tuhan ingin umat itu bersinar memancarkan kebenaran, menyala seperti suluh. Allah yang sepertinya tinggal diam, ternyata sedang merancangkan keselamatan yang besar. Umat itu dipulihkan, mereka tidak lagi seperti perempuan yang ditinggalkan suaminya!

 

Kita kembali ke pesta pernikahan, jangan lama-lama nanti hidangannya keburu dingin! Kini, saya ajak Anda pada posisi para pelayan. Tampaknya pelayan sudah terpapar oleh virus positif dari Maria sehingga mereka benar-benar melakukan tepat seperti apa yang dikatakan Maria. Mereka mengisi enam tempayan yang masing-masing berisi delapan puluh sampai seratus dua pulih liter air. Tempayan atau gentong-gentong ini lazim ada di sana untuk keperluan pembasuhan kaki. Ya, sebelum masuk rumah, kaki yang berdebu harus dibasuh lebih dahulu. Terbayangkah mereka mencari air ratusan liter agar semua gentong itu penuh? Mudahkah mencari air sebanyak itu? Benar mereka hanya pelayan yang harus menurut pada majikan atau kerabatnya, namun setidaknya mereka juga bertanya dalam hatinya. Mungkin persediaan air harus lebih banyak karena akan ada lebih banyak tamu yang datang, dan mereka harus membasuh kaki mereka masing-masing. Sama sekali tidak terpikir bahwa air itu adalah solusi untuk kegentingan yang dihadapi oleh sang empunya pesta!

 

Sesudah semua gentong itu penuh, Yesus memerintahkan pada pelayan itu untuk mencedok dan membawanya kepada pemimpin pesta. Apakah saat itu air sudah berubah menjadi anggur atau belum? Tidak ada yang tahu! Sekali lagi saya mengajak Anda pada posisi pelayan. Apakah Anda tidak berpikir bahwa ini adalah tindakan konyol? Gentong untuk membasuh kaki lazim diisi air biasa. Sesudah penuh, lalu diminta dicedok dan dikasih tunjuk kepada pemimpin pesta. Seolah-olah kekonyolan dalam menghadapi saat genting. Namun, si pelayan itu berhasil mengesampingkan semua anggapan negatif. Dan, ia melakukanya tepat seperti apa yang dikatakan Maria!

 

Bisa jadi Anda merasa sendiri, dan Tuhan tidak peduli ketika menghadapi situasi genting. Mungkin juga Anda merasa tidak ada jawaban dari Tuhan untuk masalah Anda. Belajar dari Maria, bersikaplah positif bahwa Tuhan pasti punya rencana dan waktu yang tepat. Ia tidak akan membiarkanmu bergulat dan bergumul sendiri. Ia pasti menolong! Belajar dari pelayan, lakukan saja apa yang Tuhan mau, jangan pernah malu atau merasa konyol. Selama Anda melakukan dan hidup berjalan dalam kehendak-Nya, nantikanlah Anda akan melihat sebuah kemuliaan yang mendatangkan sukacita. Sukacita dalam kehidupanmu yang tidak akan pernah berhenti, seperti sukacita anggur dalam perjamuan kawin!

 

 

Jakarta, 16 Januari 2025. Minggu II Sesudah Epifani, tahun C

Jumat, 10 Januari 2025

BAPTISAN : HIDUP BERKENAN KEPADA-NYA

“Baptisanmu tidak sah, cuma dipercik. Tahukah kamu kata ‘baptis’ itu kata Yunani βάπτισμα (baptisma) yang berasal dari kata "βαπτίζω" (baptizō) yang berarti ‘menyelupkan’, ‘merendam’, atau ‘menenggelamkan’! Mengapa cuma dipercik, apakah sudah tidak ada air lagi?” Begitu kira-kira percakapan polemik dari kelompok Kristen yang ngotot bahwa baptisan yang sah itu adalah dengan cara ditenggelamkan dalam air. Kalau hanya percik berarti harus diulang, sama seperti beberapa waktu lalu yang terjadi di NTT oleh seorang pengkhotbah terkenal. Lalu, apakah kelompok yang mempraktikkan pembaptisan secara percik diam saja? Tentu saja tidak! Ada banyak argumen yang mendukung bahwa baptisan percik juga alkitabiah. 

 

Ini merupakan salah satu contoh polemik yang terjadi di seputar baptisan. Polemik yang lain pun banyak, misalnya batas usia, tempat pembaptisan, baptisan roh dan yang lainnya. Lalu, apakah dampak dari polemikyang terjadi di seputar baptisan itu? Apakah kesaksian sebagai komunitas Kristen semakin hebat dan nama Tuhan semakin diagungkan, serta Injil semakin semarak diberitakan? Kenyataannya tidak seperti itu. Pertentangan antara kelompok yang berbeda ini semakin meruncing. Masing-masing merasa paling benar dan paling alkitabiah. Di sinilah kita kehilangan banyak energi untuk memberitakan kesaksian tentang cinta kasih Allah dalam Kristus. Kita kehilangan banyak waktu untuk memaknai kembali hal yang sangat mendasar dalam sebuah peristiwa baptisan.

 

Ini bukan menyepelekan tata cara dan sumber otoritas Alkitab yang menjadi acuan dalam pelayanan baptisan. Namun, porsi untuk merenungkan kembali hakikat atau makna dari sebuah baptisan akan tersita ketika kita sibuk berpolemik di ranah syareat. Benar, dalam Alkitab setidaknya ada beberapa pola mengenai baptisan. Dalam gereja mula-mula terkesan ada dua macam baptisan, yakni: baptisan air dan baptisan Roh sebagai dua hal yang terpisah. Ada yang mula-mula dibaptis dengan air, setelah itu menerima baptisan Roh, seperti yang terekam dalam bacaan kita hari ini (Lukas 3:16). Ada yang sebaliknya, mula-mula menerima baptisan Roh, setelah itu dibaptis dengan air (Kisah Rasul 10:44-47).

 

Perkembangan selanjutnya, ada ketetapan utuh dan satu mengenai baptisan (Efesus 4:5, 1 Korintus 12:13) hal ini sejalan dengan apa yang diterima oleh Yesus ketika Ia dibaptis. Peristiwa baptisan Yesus jelas. Ia dibaptis dengan air dan kemudian Roh Kudus turun ke atas-Nya, lalu suara surgawi menyatakan bahwa Ia berkenan.

 

Mari kita perhatikan dan belajar dari hakikat baptisan melalui peristiwa pembaptisan Yesus menurut Injil Lukas. Peristiwa pembaptisan Yesus oleh Gereja Timur dirayakan sebagai Hari Epifani, hari penampakan Tuhan. Peristiwa baptisan Yesus ini adalah pernyataan Yesus di hadapan publik, sekaligus pengukuhan Yesus Kristus dalam memulai perjalanan pelayanan-Nya mengemban misi Allah untuk menyelamatkan dunia.

 

Lukas mencatat dengan jeli. Pada peristiwa baptisan itu Yesus berdoa. Ini penting bagi Lukas. Selanjutnya, berkali-kali Lukas mencatat Yesus selalu berdoa sebelum mengawali langkah atau tahapan pelayanan-Nya. Lukas bercerita bahwa pada peristiwa Yesus dibaptis, langit tidak terkoyak, melainkan terbuka. Pada saat berdoa itulah langit terbuka dan Roh Kudus turun ke atas Yesus dalam rupa mirip seperti burung merpati. Lalu, suara langit itu didengar-Nya.

“Engkaulah Anak-Ku yang terkasih, kepada-Mulah Aku berkenan.” (Lukas 3:22). Perhatikan kalimat itu, hanya Yesus yang mendengar. Perkataan suara langit itu ditujukan kepada-Nya dan bukan untuk orang banyak yang ada di situ. Lalu, apa artinya? Suara itu bagaikan aba-aba bagi Yesus untuk memulai kiprah-Nya. Yohanes telah menyiapkan jalan bagi-Nya, sebentar lagi ia akan undur dan kini, Yesus yang dinantikan itu memulai karya-Nya!

 

Pernyataan suara Allah dan turunnya Roh Kudus menyatakan bahwa Yang Adikodrati itu akan menyertai Dia dalam segenap lampah pelayanan-Nya betapa pun embara hidup-Nya penuh dengan derita mengerikan. Suara dari langit itu mengingatkan kita pada teks Yesaya 42:1 “Lihatlah, itu hamba-Ku yang Kupilih, yang Kukasihi, yang kepadanya Aku berkenan.” Dalam tutur Lukas 3:22 ditegaskan bahwa, status Yesus yang adalah “Anak-Ku” sedangkan Yesaya “hamba-Ku”. Maka, kalau kita menghubungkannya, kita dapat memahaminya sebagai berikut: “Yesus adalah Anak sekaligus hamba Allah yang harus mewujudkan rencana dan misi Bapa. Ia harus taat, walau pun nantinya Ia menderita dan mati!

 

Benar saja, nantinya Yesus harus menghadapi penderitaan dan mati dengan cara yang mengerikan. Disalibkan! Status “Anak dan Hamba yang kepada-Nya Allah berkenan” tidak membebaskan-Nya luput dan steril dari penderitaan dan kematian. Namun, Roh Kudus yang hadir dalam peristiwa baptisan itu akan tetap hadir dan menyertai-Nya dengan memberi kekuatan dan penghiburan. Ini percis seperti janji pengharapan dari Allah kepada Israel di pembuangan yang akan kembali ke tanah perjanjian. Bahwa Allah, yang karena kasih-Nya berkenan menebus mereka. Mereka adalah umat kepunyaan Allah sendiri. Mereka diminta untuk tidak takut meskipun harus menyeberang melalui sungai-sungai, arus sungai tidak akan menghanyutkan mereka. Atau melalui api, mereka tidak akan hangus terbakar (Yesaya 43:1-7). Bahkan lebih dari itu, seperti yang pemazmur ungkapkan bahwa umat Tuhan yang setia dan berkenan itu akan melihat keagungan Tuhan dalam badai sekalipun (Mazmur 29).

 

Belajar memahami peristiwa baptisan Yesus, membawa kita memahami bahwa dalam baptisan itu seharusnya kita sujud berdoa, sama seperti Yesus berdoa agar Allah berkenan dalam kehidupan kita. Ketika Yesus berdoa untuk memulai lakon pelayanan-Nya, sudah selayaknyalah ketika kita dibaptis dan menanggapi karya kasih Allah di dalam Yesus Kristus juga berdoa untuk memulai komitmen hidup baru kita di dalam kasih dan rahmat-Nya. Dalam hal inilah peristiwa baptisan menjadi momentum untuk kita melibatkan diri dalam karya Allah untuk dunia di mana kita ada. Sama seperti Yesus melaksanakan karya-Nya setelah melalui peristiwa baptisan, maka jadikanlah peristiwa baptisan kita sebagai momentum untuk mempersembahkan hidup kita bagi kemuliaan Allah. Itulah sebabnya gereja mengajak kita setiap ibadah Minggu untuk mengingat kembali janji baptis kita dalam Pengakuan Iman.

 

Baptisan Yesus juga mengingatkan pada baptisan kita. Yesus diteguhkan Allah dan disertai Roh Kudus. Maka, kehidupan yang kita jalani di dalam Tuhan telah diteguhkan-Nya dan kita semua disertai oleh Roh Kudus untuk dapat menjadi saksi dan berkat bagi orang-orang di sekitar kita. Peneguhan dan pertolongan Roh Kudus tidak membebaskan kita dari pergumulan. Sama seperti Yesus yang bergumul, menderita sengsara dan mati, tetapi semua yang dijalani-Nya punya makna dan menjadi berkat. Bisa jadi, seperti perjalanan Israel, yang telah ditebus Allah tetap harus menyeberangi sungai-sungai dan melewati api. Menyeberangi sungai pasti basah. Bisa saja Tuhan mengizinkan kita melewati lembah air mata, namun Roh Kudus akan menolong kita untuk tidak hanyut dalam kesedihan. Melewati api, pasti panas. Namun, janji Tuhan api itu tidak akan menghanguskan kita. 

 

Jadi, ketimbang energi dan waktu kita habiskan untuk berpolemik tentang baptisan. Bukankah lebih bermanfaat jika kita memakainya untuk memberi makna dan menjadikannya momentum untuk hidup berkenan kepada Allah? Mungkin dulu ketika dibaptis Anda tidak sempat berdoa sungguh-sungguh meminta agar Tuhan berkenan, meneguhkan dan Roh Kudus menyertai. Tidak ada kata terlambat! Bukankah setiap ibadah Minggu kita diajak kembali untuk mengingat janji baptis kita? Pakailah kesempatan itu dengan bijak agar kehidupan kita berkenan kepada-Nya!

 

Jakarta, 10 Januari 2025. Minggu Pembaptisan Tuhan, tahun C