Kamis, 21 November 2024

KRISTUS, RAJA DI ATAS SEGALA RAJA

Kamus Merriam-Webster mengartikan kata “raja” salah satunya dengan definisi: “seorang yang memegang posisi terkemuka, terutama seorang kepala di antara para pesaing”. Kata terkemuka dan pesaing menjadi menarik ketika dihubungkan dengan kekuasaan. Bukankah orang yang berkuasa akan mudah mengendalikan orang lain dengan kewenangannya? Maka tidaklah mengherankan kalau sejarah dunia selalu diwarnai oleh orang-orang yang bersaing untuk menjadi yang terkemuka, berkuasa dan punya otoritas!

 

“Apakah Engkau raja orang Yahudi?” Pertanyaan interogasi dilakukan sang Wali Negeri Pilatus kepada Yesus, pesakitan yang serahkan para pemuka Yahudi. Raja yang dimaksud Pilatus jelas menunjuk pada raja mesianik yang akan membebaskan Israel dari penjajahan Romawi. Kalau tuduhan itu benar, Yesus akan dihukum sebagai pemberontak terhadap Kekaisaran Romawi. Ini berarti Yesus menjadi pesaing kaisar yang terkemuka itu. Ingat dalam definisi raja, pesaing harus berada dalam kendali orang yang terkemuka, dalam hal ini Kaisar Roma!

 

Yesus balik bertanya kepada Pilatus, apakah hal itu merupakan kecurigaan dirinya sendiri. Wali negeri itu mengelak, “bangsamu sendiri dan imam-imam kepala yang telah menyerahkan Engkau kepadaku” (Yohanes 18:35). Kata “bangsa-Mu” menunjuk kepada orang-orang Farisi dan para imam yang sudah berulang kali berusaha menangkap dan membunuh Yesus.

 

Dalam Injil Yohanes persoalan Raja menjadi tema utama dalam pemeriksaan oleh Pilatus. Jika dalam Injil Sinoptik, Yesus terkesan tutup mulut atas tuduhan-tuduhan yang ditimpakan kepada-Nya, Yohanes berbeda. Beberapa pertanyaan Pilatus memberi kesempatan kepada Yesus untuk menjelaskan sifat kerajaan-Nya. Dalam interogasi pertamanya, Yesus tidak menyangkal bahwa Ia adalah Raja. Yesus menegaskan bahwa Kerajaan-Nya tidak berasal dari dunia ini. Oleh karenanya, Ia tidak menggunakan cara-cara yang lazim di pakai oleh dunia, yakni: kekerasan senjata atau intrik politik untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan itu. Pemerintahan Yesus berbeda dengan pemerintahan bangsa-bangsa!

 

Sebagai Raja kebenaran, Yesus menantang Pilatus untuk mendengarkan kesaksian-Nya. Apa yang disampaikan Yesus? Yesus menegaskan bahwa Ia lahir atau datang dari Allah dengan misi untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran : alètheia (harfiah berarti penyingkapan rahasia) di dalam dunia ini. Inilah fungsi atau tugas utama diri-Nya sebagai Raja, yakni menyingkapkan kepada manusia tentang misteri Allah yang telah dilihat dan didengar-Nya (Yohanes 8:26).

 

Di sinilah letak pengertian Yesus sebagai Raja. Ia datang bukan seperti raja-raja atau penguasa-penguasa di dunia ini yang kerajaannya dibangun atas dasar penaklukkan bahkan penindasan. Dibangun dalam kemegahan semu dengan memaksa orang untuk menyerahkan harkat dan martabat mereka. Yesus bukan seperti itu! Ia disebut Raja oleh karena Dialah yang paling tahu rahasia Ilahi, yang tidak lain adalah cinta kasih Allah kepada manusia.

 

Penjelasan Yesus memuncak dalam sebuah pernyataan yang menjadi ujian terhadap Pilatus. Kini, posisinya terbalik. Kalau tadi Yesus yang diinterogasi, sekarang Pilatus diperhadapkan pada pertanyaan. Apakah Pilatus termasuk dalam kelompok anak-anak Allah yang mau mendengarkan dan menerima kesaksian-Nya tentang Allah? Bagi Yesus sederhana, mereka yang mau mendengarkan dan menerima-Nya adalah mereka yang diberikan Bapa kepada-Nya. Dengan pertanyaan, “Apakah kebenaran itu?” (Yohanes 18:38), Pilatus tidak punya niat untuk melakukan percakapan lebih dalam lagi tentang kebenaran. Sebaliknya, secara sinis ia menolak anugerah kesaksian Yesus tentang Allah. Sama seperti para pemuka Yahudi yang menyerahkan-Nya, begitu pula Pilatus tidak berasal dari Allah.

 

Meskipun demikian, Pilatus menarik kesimpulan yang tepat bahwa serangkaian kegiatan yang dilakukan Yesus yang dipakai sebagai alat bukti tuduhan makar, tidak terbukti. Yesus bukanlah seorang Raja yang berniat mengadakan pemberontakan terhadap Kaisar. Dengan begitu, Pilatus juga berniat membebaskan Yesus dari hukuman mati. Lalu, apa yang salah dengan Pilatus? Bukankah kita juga sering diperhadapkan pada situasi dilema? Memilih tegas atau kompromi? 

 

Pilatus telah nyaman sebagai Wali Negeri. Ia harus menjaga keseimbangan hubungan dengan pemerintah pusat, dalam hal ini Kaisar Roma, begitu juga dengan negeri di mana ia menjadi walinya. Pemberontakan yang terjadi di wilayahnya sudah bisa merepotkannya dan membuatnya dicap sebagai orang yang tidak kompeten dalam mengurus negeri. Meskipun ia tahu Yesus tidak bersalah dan ia begitu dekat dengan Raja Kebenaran, Pilatus tetaplah Pilatus yang memilih untuk kompromi. Sikap mendua inilah yang menjadi akar kegagalan Pilatus untuk mendengar, setia dan membela Yesus sampai akhir!

 

Hari Minggu ini adalah Minggu terakhir dalam kalender tahun gerejawi kita. Artinya, ketika kita setia mengikuti tahun gerejawi yang mengikuti alur pelayanan Tuhan Yesus, kita telah belajar banyak. Pelajaran itu mulai dari masa penantian (adven), kelahiran, pembaptisan, pelayanan dan akhirnya sampai penghujung, yang kita namakan Minggu Kristus Raja. Yesus sebagai Raja Kebenaran telah menjalankan tugas-Nya, yakni menyingkapkan rahasia, tabir Ilahi kepada umat manusia. Ia telah menyatakan firman Allah bahkan di dalam diri-Nya adalah firman yang hidup, firman yang diperagakan dan melalui diri-Nya tidak ada yang tersembunyi!

Lalu, bagaimanakah sikap kita? Menerima dan menyambut-Nya sebagai Raja Kebenaran? Atau seperti Pilatus yang mendua hati?

 

Pilatus bisa dengan tepat menggambarkan diri kita. Ia begitu dekat dengan Raja Kebenaran. Bisa bersoal-jawab dan tidak hanya itu, Pilatus bahkan tidak menemukan sedikit pun kesalahan apalagi tuduhan makar terhadap Yesus. Hatinya telah condong pada kebenaran itu, maka ia berusaha untuk membebaskan Yesus. Namun, Pilatus tidak berdaya dengan tuntutan massa yang mengingini agar Yesus tetap dihukum mati. Betulkah Pilatus tidak berdaya terhadap tuntutan orang banyak? Di permukaan tampaknya seperti itu. Namun, bukankah keputusan itu ada pada sikap hatinya? Hati yang ingin nyaman, tidak mau menanggung risiko, ingin terus berkuasa dan dihormati, ini sebenarnya yang membuat dia enggan menerima Yesus sebagai Raja Kebenaran itu.

 

Pilatus bisa mencerminkan kita. Kita begitu dekat dengan Raja Kebenaran, kita membicarakan dan mengajarkannya, kita sering memuja-Nya dalam doa dan ibadah. Bisa jadi karena kita terdesak kebutuhan ekonomi, demi usaha lancar, tidak enak dengan perasaan teman, tidak mau dijauhi sahabat, demi kestabilan, demi ketenteraman, dan seterusnya, akhirnya kita tidak berani mengakui Yesus sebagai Raja kita. Ini semua alasan tampaknya logis dan manusiawi. Namun, sama seperti Pilatus, bukankah kunci kendalinya ada di hati kita. Jika hati dan iman kita mengatakan, “Yesus adalah Raja dalam hidupku!” maka, semua akan kita jalani dengan kesetiaan. Di mana pun kita akan menjadikan-Nya Raja. Dalam hal ini kita akan tunduk pada kebenaran yang telah diajarkan dan diperagakan-Nya.

 

Ketika hati dan iman kita mengatakan bahwa Yesus adalah Raja, maka dalam kegiatan ekonomi, bisnis, pertemanan, keluarga, pelayanan, pekerjaan, dan di mana pun juga, kita akan menjadikan-Nya Raja. Maka semua yang bertentangan dengan kehendak dan pernyataan-Nya kita akan menolaknya. Itulah yang seharusnya terjadi : Yesus Kristus adalah Raja di atas segala raja!

 

 

Jakarta, 21 November 2024, Minggu Kristus Raja, Tahun B

Kamis, 14 November 2024

SEGALA KEMEGAHAN AKAN RUNTUH

Bila Anda ditanya, bangunan apa yang paling tinggi di dunia saat ini? Burj Khalifa – Dubai, Uni Emirat Arab! Benar, gedung ini memiliki ketinggian 828 meter yang terdiri dari 163 lantai. Konstruksinya dimulai 2004 dan gedung ini diresmikan pada 2010. Tinggi, megah dan indah meski menyimpan berjuta kisah pilu dari para buruh yang membangunnya!

 

Sejak zaman Menara Babel, manusia berlomba mendirikan bangunan-bangunan tinggi yang megah. Piramida Agung Giza di Mesir pada zamannya adalah bangunan tertinggi yang bertahan lebih dari 3800 tahun hingga dikalahkan oleh Katederal Lincoln pada 1311. Berikutnya pada 1439 kemegahan katederal Lincoln tumbang dengan munculnya Katederal Strasbourg di Perancis. Bangunan ini pemegang rekor sampai 1874.

 

Pada zamannya, Bait Allah merupakan bangunan spektakuler. Ide pembangunan digulirkan oleh Daud dan direalisasikan oleh Salomo, putranya. Salomo mendatangkan ahli-ahli bangunan dari luar negeri, detail rencana dan pembangunannya dapat kita baca dalam 1 Tawarikh 28 dan 29. Namun, Bait suci yang begitu megah hanya bertahan selama 400 tahun. Kemegahannya luluh lantak dihancurkan pasukan Babel pada 587 SM!

 

Kehancuran Bait Suci menjadi ratapan bagi umat Israel. Setelah meratap, mereka kembali membangun Bait Suci itu pada 538 SM. Walaupun penuh dengan tantangan, Bait Suci itu kembali berdiri. Mereka menyelesaikannya pada 515 SM, 23 tahun!

 

Setelah 500 tahun, Herodes Agung tidak puas dengan kemegahan Bait Suci itu. Ia membangun kembali Bait Suci itu sesuai dengan pola dasar yang dulu dibangun oleh Salomo. Herodes juga memperluasnya. Mengapa Herodes berhasrat membangun dan memperluas Bait Suci. Ada dua alasan utama. Pertama, secara politis pembangunan Bait Suci ini dapat mengangkat nama Herodes, baik di hadapan penguasa Romawi maupun di hadapan orang Yahudi. Kedua, secara ekonomis perluasan kompleks Bait Suci dapat menampung lebih banyak peziarah yang memberikan keuntungan finansial. 

 

Untuk keperluan pembangunan itu, Herodes Agung memfasilitasi seribu orang imam dilatih untuk menjadi tukang kayu dan tukang batu yang mumpuni. Bagian bangunan utama diselesaikan sekitar tahun 9 SM. Pembangunan terus berjalan hingga selesai tahun 64 SM. Lebih dari 50 tahun Bait Suci direstorasi dan dikerjakan oleh para ahli khusus di bidangnya. Maka tidak mengherankan kalau hasil dari restorasi Bait Suci ini dikagumi oleh murid-murid Yesus!

 

Sejak Menara Babel sampai hari ini, manusia membangun kemegahan tidak jauh dari motif politis dan ekonomi: memegahkan diri dan mencari keuntungan! Sejalan dengan kebanggaan semu dan kefanaan materi, satu demi satu kemegahan itu runtuh. Satu kemegahan di susul dengan kemegahan lainnya. Satu rekor akan tumbang dengan rekor yang baru. Dan, ujungnya kita tahu bahwa semua pada saatnya akan berakhir!

 

Kemegahan Bait Suci yang direstorasi Herodes Agung itu akan segera lenyap, itulah tanggapan Yesus ketika para murid-Nya yang sedang terpesona dengan kemegahan dan keindahannya. “Kau lihat gedung-gedung yang besar ini? Tidak satu batu pun akan dibiarkan di atas batu yang lain; semua akan diruntuhkan.” (Markus 13:2). Tegas, Yesus menyatakan nubuat yang sebelumnya Ia sampaikan dengan kiasan kutukan pohon ara yang tidak berbuah (Markus 11:20). Seperti pohon ara itu kering dan mati, demikian pula Bait Suci akan mengalami kehancuran.

 

Kehancuran Bait Suci bukan karena salah konstruksi atau penggunaannya tidak sesuai dengan pola dasar. Bukan! Bangunan adalah benda mati dan tidak dapat disalahkan. Ini berkaitan dengan motivasi, tujuan dan fungsi dari pembangunan Bait Suci itu. Sama seperti pohon ara yang diharapkan menghasilkan buah, Bait Suci adalah fasilitas di mana manusia mengalami perjumpaan dengan-Nya. Dampak dari perjumpaan itu, manusia termotivasi untuk melakukan kehendak-Nya. 

 

Dalam peristiwa pentahbisan Bait Suci, Salomo mendapat peringatan dari Allah, jika Salomo dan keturunannya berbalik dari Allah dan tidak berpegang pada perintah-Nya, Tuhan akan melenyapkan Israel dari tanahnya, lalu dibuang dari hadapan-Nya dan Bait Allah akan menjadi reruntuhan (1 Raja-raja 9:6-8). Nubuat dan peringatan yang sama disampaikan Nabi Mikha oleh karena kejahatan umat Allah itu, “Sion akan dibajak seperti ladang, dan Yerusalem akan menjadi timbunan puing, dan gunung Bait Suci akan menjadi bukit yang berhutan.” (Mikha 3:9).

 

Segala kemegahan yang dibuat manusia akan lenyap meskipun mengatasnamakan untuk kemuliaan Tuhan. Tuhan tidak tidur, Ia melihat setiap perilaku manusia. Bahkan, Ia dapat melihat motivasi dan hasrat yang ada dalam hati manusia. Kemegahan yang dibangun untuk memegahkan diri dan mengeruk keuntungan, dalam waktu singkat mungkin kita juga akan mengaguminya, sama seperti para murid. Namun, waktu akan membuktikan, kemegahan seperti itu akan segera runtuh.

 

Lalu, apakah ada kemegahan yang tetap bertahan? Mari kita mengikuti narasi selanjutnya dari kisah Yesus bersama para murid. Para murid gusar dan bertanya kepada Yesus. Di bukit zaitun itu, Yesus mengatakan kepada Petrus, Yakobus, Yohanes dan Andreas adalah lebih penting untuk bersikap waspada ketimbang mencari tahu kapan waktunya terjadi. Yesus mengingatkan agar mereka waspada jangan sampai ada orang yang menyesatkan mereka dengan mengaku diri sebagai Mesias. Kedua, Yesus mengingatkan agar mereka tidak cemas dan gelisah ketika mendengar deru perang. Orang Yahudi beranggapan bahwa keruntuhan Bait Suci dan perang besar adalah tanda akhir zaman tiba. Semuanya itu memang harus terjadi, tetapi bukan tanda akhir zaman itu tiba. Mereka akan menderita untuk itu mereka harus siap sedia. Waspada!

 

Kemegahan bukan terletak pada kehebatan bangunan gedung yang dapat diruntuhkan dalam waktu sekejap. Kemegahan itu akan terlihat dalam kewaspadaan dan tetap setia di tengah badai penderitaan. Kemegahan akan terlihat ketika dalam kesulitan, kita tidak memilih jalan mudah seperti yang ditawarkan oleh mesias-mesias palsu yang menggunakan nama-Nya sambil mengajarkan kemudahan dan kemakmuran semu! Kemegahan itu akan terlihat ketika para murid mengikuti jejak-Nya. Mau menempuh jalan sengsara untuk sebuah ketaatan. Terbukti, kemegahan itu sampai hari ini tetap bertahan. Keagungan Yesus bukan terletak ketika Ia melakukan pelbagai kehebatan-Nya, justru sebaliknya: ketika Ia rela mati, merendahkan diri-Nya dalam ketaatan kepada Bapa!

 

Di tengah arus dunia yang terus mencari dan mengukuhkan kemegahan semu, kita diajak untuk mencari dan mengukuhkan kemegahan sejati. Dalam hal inilah kewaspadaan menjadi penting agar tipu daya dunia tidak menggeser apa yang hakiki dan sejati. Ibrani 10:25 menawarkan solusi untuk kewaspadaan itu, “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.”

 

Bagaimana dengan persekutuan dan ibadah kita? Apakah menolong untuk kita waspada dan mengingatkan untuk terus berada di dalam karya Tuhan? Ataukah sedang terseret oleh arus dunia yang punya kecenderungan memegahkan diri dengan hal-hal yang spektakuler? Waspadalah!

 

Jakarta, 14 November 2024. Minggu Biasa Tahun B