Coba ingat-ingat, kapan terakhir Anda marah? Marah yang bukan biasa-biasa saja tetapi sampai ke ubun-ubun, puncak kemarahan! Puncak kemarahan adalah titik maksimum di mana seseorang merasakan kemarahan yang teramat kuat dan tidak dapat dikendalikan lagi. Pada puncak kemarahan seseorang dapat berperilaku destruktif, agresif, bahkan melakukan tindakan kekerasan.
Masing-masing orang punya alasan dan penyebab yang berbeda ketika ia mencapai puncak kemarahan. Secara umum ada beberapa faktor penyebab memuncaknya kemarahan, antara lain: stres dan tekanan yang berkepanjangan, pelbagai kegagalan dalam meraih keinginan sehingga menjadi frustasi, trauma atau pengalaman buruk di masa lalu, dan perasaan diperlakukan tidak adil. Anda dapat melanjutkannya lagi.
Diperlakukan tidak adil adalah fenomena umum yang memicu puncak kemarahan. “Οτε δε ο υιος σου ουτος,..” (Baru saja datang anakmu itu… Lukas 15:30) Inilah puncak kemarahan Si Sulung. Ia merasa diperlakukan tidak adil! Ia tidak mau memanggil “adikku” apalagi namanya. Ada alasan yang tampaknya sangat logis. Dengan panjang lebar Si Sulung menjelaskan bahwa dirinya sudah seperti doulos, kacung yang melayani, selalu melaksanakan perintah tuannya. Ia menggambarkan betapa setia dan taat dirinya terhadap bapaknya. Ia berbicara tentang kesalehan dirinya sendiri, pada saat yang sama ia memaparkan betapa bobroknya perilaku Si Bungsu!
Dengan menolak adiknya sebagai saudaranya, maka sejalan dengan itu ia menolak pula ayahnya yang sebenarnya. Sikap Si Sulung ini serupa dengan orang-orang Farisi yang tidak senang Yesus bergaul dengan para pemungut cukai dan kumpulan orang berdosa. Mereka selalu merasa lebih saleh, lebih suci, pendeknya, “Aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan penzinah, dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari penghasilanku!” (Lukas 18:11,12).
Perhatikan mentalitas Farisi yang digambarkan melalui sikap Si Sulung. Ya, inilah mentalitas budak! Melakukan segala perintah agar di ujungnya mendapatkan imbalan. Menjalankan kewajiban agama dengan mentalitas budak membuat seseorang mudah terperangkap dalam kecenderungan untuk mengkultuskan hukum. Padahal kultus hukum dapat menghancurkan relasi. Orang-orang yang menyembah dan mengutamakan hukum pada akhirnya dapat membenci Allah yang justru mengasihi orang-orang berdosa. Sebab, orang-orang yang mengkultuskan hukum akan berpikir, “Buat apa saya susah-susah menjalankan hukum Allah, menjaga kesucian, padahal Allah menyayangi para pendosa?”
Lalu, untuk apa hukum-hukum itu, kalau ujungnya Allah mengasihi orang-orang berdosa? Hukum-hukum itu jelas tetap berguna, yang perlu dibenahi adalah bagaimana motivasi dan pemahaman (mind set) seseorang ketika menjalankan hukum-hukum agama itu. Apakah sebagai alat untuk mendapatkan upah dari Tuhan atau sebagai jalan di mana relasi persekutuan dengan Allah itu semakin intim dan sebagai sarana di mana seseorang menyatakan kasihnya kepada Allah.
Meski kemarahan Si Sulung telah memuncak, Sang Ayah tetap tenang. Sang Ayah tidak mencela tindakan Si Sulung dan ia tidak menyatakannya bersalah. Sang Ayah tidak benar-benar menanggapi kemarahan Si Sulung. Ia tidak meragukan karya bakti dan kesetiaan Si Sulung. Tetapi Ayah, dengan terang benderang menekankan kebersamaan yang mereka nikmati bersama, baik sebagai penghuni rumah bersama maupun sebagai pemilik dan pewaris harta. Ayah itu seolah berkata, “Nak, engkau tidak pernah mati, tidak pernah hilang! Relasi kita tidak pernah terganggu. Kita ini bersekutu erat satu dengan yang lain. Segala miliku adalah milikmu!” Di tataran ini jelas: hukum, pengabdian, kesetiaan bukan beban yang diletakkan pada bahu umat manusia. Pada pihak lain, bukan juga menjadi piutang yang harus dibayar oleh Allah ketika manusia tuntasmenyelesaikannya. Ini merupakan wujud dan sarana pernyataan cinta agar relasi itu semakin karib. Sayang, seperti kebanyakan orang, Si Sulung menanggapinya sebagai sebuah beban dan alat untuk meminta imbalan!
Dalam puncak kemarahan Si Sulung, Sang Ayah tetap mengajaknya ikut serta dalam kegembiraan, “Kita patut bersukacita!” katanya. Ayah tampil sebagai penyelenggara pesta penuh sukacita. Baginya pesta itu penting sekali, ini mengukuhkan relasi dan penerimaan! Meski dalam kemarahan Si Sulung menyebut adiknya dengan “anakmu”, Ayahnya mengajak dia menyebut, “adikmu”. Melalui kata ini, Ayah mengingatkan bagaimana pun juga Si Bungsu itu adalah adiknya. Ya, adik yang telah mati menjadi hidup kembali, yang telah hilang dan didapat kembali!
Bagaimana pun tokoh utama dalam perumpamaan ini adalah Sang Ayah. Ayah yang dipersonifikasikan dalam wujud Manusia Yesus yang menerima orang-orang berdosa. Tentu, Yesus menolak kompromi dengan dosa. Tidak berarti menerima orang berdosa sejalan dengan permisif terhadap dosa-dosa yang mereka lakukan.Bukan begitu! Penerimaan adalah awal dari sebuah pertobatan. Apakah ketika Si Bungsu kembali ke rumah ayahnya itu benar-benar karena bertobat? Sepertinya tidak. Ia hanya kehabisan uang dan tempat di mana ia menghambur-hamburkan harta orang tuanya sedang dalam bencana kelaparan. Terpaksa ia bekerja di peternakan babi yang oleh hukum Yahudi haram. Bahkan, ia yang sedang kelaparan itu pun tidak bisa mengisi perutnya dengan makanan babi. Menyakitkan! Coba Anda bayangkan, ketika uangnya masih banyak, hidup dalam kemewahan, apakah Si Bungsu ini ingat akan ayahnya? Apakah ia ingat akan kewajibannya mengurus orang tua sampai mati?
Sang Ayah tampaknya tidak peduli, motivasi apa yang ada dalam diri anaknya sehingga ia mau kembali. Bahkan, sebelum sampai rumah pun Sang Ayah sudah melihat dari kejauhan. Ia menyambutnya, berjalan bersama menuju rumahnya agar anak durhaka ini tidak menjadi bahan cibiran para tetangganya. Ketika membuka mulut, mencoba mengeluarkan apa yang telah dirancangkannya, rupanya Ayah telah tahu. Ayah memotong kata-katanya tepat sebelum Si Bungsu minta diterima sebagai orang upahan. Si Bungsu tidak sampai hati pula meneruskan rumusan yang telah disiapkannya. Hatinya luluh menyaksikan kasih ayahnya yang begitu besar! Ayah tidak pernah memutuskan relasi dengan anak yang pernah melukai dan meninggalkannya, alih-alih begitu rindu dengannya, sehingga ia mengubur masa lampau itu dan menemukan kembali kehidupan cinta yang sesungguhnya.
Si Bungsu menemukan kembali dekapan kasih sayang ayahnya. Bagaimana dengan Si Sulung? Apakah ia tetap tegar dalam kemarahannya? Ataukah ia turut masuk ke dalam rumah dan merayakan pesta bersama dengan Sang Ayah? Sayang, Lukas tidak menyelesaikan ceritanya. Bagi Lukas cukup sudah menggambarkan kasih Bapa melalui Yesus Kristus yang menyambut setiap orang berdosa kembali kepada-Nya. Namun, kisah yang tampaknya belum selesai ini memberi ruang buat kita. Kita ini bagai Si Sulung dan seperti kelompok Farisi yang datang kepada Yesus menggugat-Nya menerima dan bergaul dengan kelompok orang berdosa. Tidak mudah bagi kita menerima dan turut dalam kegembiraan pesta bersama dengan orang-orang berdosa. Sama seperti Si Sulung, mentalitas kita adalah mentalitas budak yang menuntut upah dan imbalan dalam setiap pelayanan dan ibadah serta perbuatan baik. Kita menjadi orang-orang yang gampang menuntut dan menuding orang lain lebih buruk.
Di sisi lain, ada juga Farisi seperti Paulus. Ia turut dalam pesta sukacita. Perjumpaannya dengan Yesus yang bangkit bukan pada waktu ia menyesali dosa-dosanya, alih-alih sedang mengejar orang-orang percaya. Ia sedang berpesta pora membantai pengikut Yesus! Perjumpaannya dengan Yesus, membuat dia berbalik dan mengundang orang-orang berdosa untuk turut dalam pesta Anak Domba Allah! Paulus kini menjadi orang yang memberitakan damai sejahtera. Ia yang mewartakan bahwa Allah mendamaikan manusia melalui Yesus Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka (2 Korintus 5:19). Mestinya, setiap orang percaya dapat bersukacita menyambut siapa pun, termasuk orang berdosa yang kembali kepada Allah. Orang percaya menjadi pelayan pendamaian bagia semua orang tanpa kecuali!
Jakarta, 27 Maret 2025, Minggu Prapaskah IV Tahun C