Apa yang membuat sebuah Novel menarik? Apa yang membuat Anda ketagihan menonton serial Drama Korea atau Drama China? Ya, tepat! Adanya unsur pembalasan yang setimpal. Lakon utama mengalami perlakuan persekusi, ditindas, dilecehkan, dianiaya sehabis-habisnya. Makin sengsara makin seru! Pada puncak cerita, keadaan menjadi terbalik. Kini, jagoan Anda mulai bangkit dan akhirnya dapat menguasai panggung. Happy ending!
Mengapa kisah-kisah itu menjadi menarik? Sebab, kisah itu memainkan perasaan, tepatnya emosi manusia. Ketika membaca atau menontonnya, di situ Anda merasa terwakili. Orang yang jahat harus menerima akibatnya, hukuman yang setimpal atau bahkan lebih. Sebaliknya, orang yang teraniaya, tertindas, dimusuhi harus menang dan mendapat kebahagiaan. Ini baru adil!
Apa jadinya jika pelaku antagonis tidak jadi dihukum atau malah mendapat tempat yang layak? Protes! Ya ini lumrah, ini biasa. Biasa dalam kehidupan yang terbentuk dari budaya turun-temurun yang dinamakan transaksional. Mirip seperti di pasar; saya mengeluarkan uang, kemudian saya mendapatkan barang atau jasa.
Tidak ada yang salah dalam relasi transaksional. Bukankah baik, kalau kita mengingat dan berterima kasih kepada mereka yang telah membantu dan membuat kita berhasil? Bayangkan kalau kita melupakan mereka? Lupa kacang akan kulitnya! Bukankah sudah sewajarnya kalau kita membalas dengan datang pada saat teman kita punya kenduri atau kedukaan, sebab ketika kita mengalami peristiwa yang sama, si teman itu juga hadir? Dalam pergaulan sosial, hal ini lumrah, biasa bahkan ada nilai keindahan. Namun, adakah perkara yang lebih dari biasanya?
Apa yang lebih dari biasa, bisa lebih buruk atau bisa lebih menakjubkan. Tentu, yang kita mau bahas sekarang bukan yang lebih buruk, melainkan yang menakjubkan! Yesus mengajak kita selangkah di depan. Ini bukan perkara gagah-gagahan, melainkan solusi yang menawarkan kehidupan dan relasi yang lebih indah, lebih baik dan lebih surgawi. “Jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang berdosa pun berbuat demikian.” (Lukas 6:33). Coba perhatikan apa yang diucapkan Yesus. Dalam kesadaran jernih, pasti kita akan membenarkan-Nya. Benar, setiap orang, termasuk orang-orang yang dikategorikan berdosa mereka akan membalas setiap tindakan baik dari orang lain kepada mereka dengan kebaikan yang serupa. Begitu pula ketika mereka mendapatkan perlakuan jahat, hal serupa pun akan mereka lakukan. Jika para pendengar Yesus melakukan tindakan serupa, jelas tidak ada lebihnya dari yang lain dan tidak ada gunanya juga Yesus mengajar mereka sebab ajaran-Nya hanya mengulang yang terdahulu.
Dalam hal ini Yesus mengingatkan kepada para pendengar-Nya bukan sekedar untuk mencari sensasi bahwa mereka harus lebih unggul dari orang lain yang tidak mendengarkan ajaran-Nya. Namun, Yesus hendak mengembalikan cinta kasih pada esensi yang sebenarnya. Bukankah benar juga kalau kita membalas sebuah tindakan kasih dari seseorang dengan perlakuan sama, maka seperti transaksi; dia memberikan sesuatu lalu saya membayarnya lagi. Impas, tidak ada lebihnya! Dalam hal ini bukan berarti Yesus mengajak pendengar-Nya untuk berperilaku tidak tahu berterima kasih. Bukan itu pointnya.
Biasanya orang berpegang pada patokan ketimbalbalikan dalam bahasa Latin terungkap dalam kalimat pendek, Quid pro quo? yang berarti “Yang sudah diterima harus dibalas apa?” Yesus hendak mengajak kita berpikir lebih progresif: Kalian jangan bersikap baik hanya terhadap orang yang nyata-nyata membalas atau dapat membalas kalian dengan setimpal! Mentalitas seperti ini akan menciptakan “memberi untuk menerima kembali” alias transaksional. Dampaknya, orang hanya memikirkan sebuah tindakan kebaikan yang nantinya akan dibalas dengan kebaikan. Kebaikan semacam ini tidak pernah melahirkan “terima kasih” yang murni, melainkan selalu menciptakan kewajiban untuk membalas, atau yang kita kenal balas budi.
Cinta kasih melebihi itu, ada sesuatu yang benar-benar kita berikan lebih dari yang bisa orang itu balas. Salah satunya adalah tindakan mengasihi orang yang membenci dan memusuhi kita.
Mengasihi para pembenci dan musuh jelas tidak mudah. Namun, bukan berarti tidak bisa! Mari kita belajar dari kisah Yusuf bersama saudara-saudaranya. Kisah ini sangat menakjubkan, tidak kalah dari Drama Korea atau Drama China meski ujungnya sama-sama happy ending, namun ada perbedaan menarik. Kejahatan dan kebiadaban dari saudara-saudara Yusuf tidak harus dibalas setimpal. Yusuf, Si Tukang Mimpi itu memilih untuk melihat perkara yang baik dan positif di balik tragedi yang menimpa dirinya. Ia tidak membiarkan hatinya diliputi oleh dendam dan kebencian. Perlu diingat bahwa permusuhan dalam keluarga biasanya lebih langgeng ketimbang bermusuhan dengan orang lain, apalagi kalau sudah menyangkut harta waris. Namun, kisah Yusuf dan saudara-saudaranya sebuah anomaly positif.
Perlakuan keji dari saudara-saudaranya diganti oleh perspektif karya penyelamatan dan pemeliharaan Allah terhadap sebuah bangsa. Yusuf melihat bahwa di balik liku-liku duka yang dia alami ternyata ada rancangan besar Ilahi bukan hanya terhadap dirinya, tetapi keturunan Yakub yang akan menjadi jawaban janji Allah terhadap Abraham. Dengan melihat rancangan Allah yang lebih besar, Yusuf mampu mengenyahkan kabut pekat kepahitan hatinya di masa lalu. Sehingga ia tidak lagi melihat saudara-saudaranya sebagai musuh yang harus dienyahkan. Tangannya terulur dan ia memberikan mukanya untuk mencium satu per satu saudaranya!
Ketika hatimu dipenuhi oleh cinta-Nya, maka engkau tidak lagi melihat musuh dan pembencimu sebagai sasaran untuk melampiaskan dendam. Tanganmu akan tergerak memeluk, pipimu tak akan kau buang untuk menghindar dari ciumannya. Para musuh dan pembencimu akan terlihat seperti saudaramu sendiri yang memerlukan kehangatan cintamu. Ketika hatimu dipenuhi cinta-Nya, engkau tidak akan memperhitungkan lagi kesalahan dan besarnya penderitaan yang pernah kamu terima darinya. Engkau akan seperti Yesus yang tidak pernah mengungkit dan memperhitungkan kesalahanmu. Tetapi, memelukmu dengan erat sambil berbisik di telingamu, “Aku mengasihimu, dan untukmu Aku merelakan nyawa-Ku!”
Yesus meminta kita lebih dari yang biasa, untuk lebih mengasihi dengan kasih yang benar bukan sekedar tuntutan, tetapi Dia telah memberi kita bekal yang lebih dari cukup. Bekal itu adalah pengurbanan-Nya sendiri. Dia tahu siapa kita. Yesus mengasihi kita dengan tanpa syarat. Ia mengasihi kita walaupun kita sering kali jatuh bangun bahkan memberontak kepada-Nya. Namun, kasih-Nya tetap tidak berkurang. Tentu, Ia ingin kita meneruskannya kepada yang lain, sekalipun kepada mereka yang membenci dan memusuhi kita. Ini baru lebih dari yang biasa!
Jakarta, 21 Februari 2025, Minggu VII setelah Epifani, tahun C