Kamis, 08 Mei 2025

SUARA ALLAH YANG SENANTIASA MENUNTUN

Mendengar, kata sederhana namun tidak sesederhana yang kita bayangkan selama ini. Banyak studi telah dilakukan untuk mengamati seberapa banyak orang dapat efektif mendengarkan  lawan bicaranya. Hasilnya bervariasi, yang jelas tidak ada yang melampaui 50%, paling banyak berada pada angka 25%-30%! Jadi, jangan heran kalau perkataan Anda tidak ditangkap dengan utuh, malah disalah artikan oleh lawan bicara Anda. Bisa jadi, Anda pun demikian ketika mendengarkan perkataan orang lain!

 

Ada beberapa alasan mengapa orang gagal mendengarkan lawan bicaranya dengan baik, antara lain: Kurangnya perhatian, alias tidak fokus pada topik pembicaraan. Fisiknya hadir dalam obrolan itu, namun pikirannya mengembara ke mana-mana. Akibatnya, sama sekali tidak ada rasa empati terhadap topik pembicaraan. Di samping itu, ini penyakit umum, orang memiliki prasangka atau penilaian yang berpengaruh pada kemampuannya untuk mendengarkan secara obyektif.

 

Mendengar adalah ekspresi nyata dari tindakan kasih! Bukankah ketika kita mendengarkan seseorang dengan penuh perhatian dan empati, di situ kita sedang menunjukkan bahwa kita peduli dengan perasaan dan kebutuhan mereka. Bukankah Allah menegur Kain karena Ia mendengar darah Habel berteriak dari tanah karena dibunuh Kain. Bukankah Allah bertindak menyelamatkan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir dimulai ketika Ia mendengar jerit tangis penderitaan mereka? Pada pihak lain, mendengar dapat membuat orang lain merasa dihargai, dipahami, diterima dan ditolong. Mendengar dapat membangun relasi yang lebih baik, meningkatkan kepercayaan, dan menunjukkan kasih sayang kepada orang lain.  

 

Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku….dan mereka akan mendengarkan suara-Ku…” (Yohanes 10:14,16). Mendengarkan adalah kata kunci untuk relasi yang baik antara Gembala dan kawanan domba. Mendengarkan adalah ekspresi cinta dari kawanan domba terhadap gembala mereka. Mendengarkan suara Sang Gembala akan membuat kawanan domba tidak tersesat, tahu arah yang benar menuju rumput yang hijau dan air yang tenang.

 

Dalam metafor Gembala dan kawanan domba, memaksa angan kita menerawang pada bagaimana Musa menjaga dan memelihara kambing domba Yitro, mertuanya. Atau, Daud yang memelihara, melindungi dan mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan kambing domba ayahnya. Kita mengingat bagaimana Daud berceloteh di depan Raja Saul ketika ia meminta izin untuk berperang melawan Goliat, “Hambamu ini biasa menggembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang, yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya, dan melepaskan domba itu dari mulutnya…”(1 Samuel 17:34,35). Tentu saja Yesus sangat akrab dengan narasi gembala ini. Ia menjiwai dan metafor itu melekat pada diri-Nya sehingga Ia sangat ajeg mengatakan bahwa, “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya;..” (Yohanes 10:11)

 

Metafor Gembala dan kawanan domba juga memaksa kita menerawang pada kontur tanah berbukit tandus, minim air atau oase yang menyebabkan padang rumput hijau sulit dijumpai. Tidak mengherankan kalau dalam banyak kasus, para gembala kerepotan mencari domba-domba yang tersesat, terpisah dari kawanannya. Domba itu tersesat lantaran mencari air dan rumput sesuai dengan nalurinya. Ia tidak mendengar suara atau arahan dari sang gembala. Keterpisahan seekor domba dari kawanannya membuat domba tersebut sangat berisiko, berada dalam ancaman dan bahaya yang bisa saja tanpa disadarinya. 

 

Jelas dalam metafor Gembala dan kawanan domba; Yesuslah Sang Gembala dan kita adalah domba-domba-Nya. “Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri,…” (Yesaya 53:6), meski dalam konteks berbeda, narasi Yesaya ini seolah menegaskan bahwa kita juga bisa seperti domba yang sesat itu. Masing-masing kita mengambil jalan sendiri, masing-masing kita mendengarkan suara yang bukan suara dari Sang Gembala.

 

Dalam konteks dunia di mana kita berada jelas banyak sekali suara-suara yang menuntut perhatian dan bahkan menggoda kita untuk melenceng dari tuntunan Sang Gembala Agung itu. Kita tidak lagi bisa membedakan mana suara Tuhan dan mana suara yang berasal dari nafsu kedagingan kita. Suara-suara itu bergema melalui iklan, propaganda, promosi, berbagai platform media sosial. Suara-suara itu menghanyutkan dan menenggelamkan kita dalam ayunan ambisi dan hedonisme. Kita semakin menjauh dan sesat di belantara dunia ini. Terbuai!

 

Sejauh mana kita menuruti suara ambisi hedonis, sejauh itu kita menjauh dari Sang Gembala. Lalu, apakah Sang Gembala itu juga menjauh, seperti lantunan syair; “Aku jauh…Engkau jauh, aku dekat… Engkau dekat…”? Untungnya, Sang Gembala tidak seperti itu! Buktinya? Kita masih mengingat Kleopas dan temannya yang menjauh dari Yerusalem menuju Emaus karena kecewa, Yesus Sang Gembala baik itu menyusul mereka. Ia bagaikan gembala yang mencari kembali domba sesat itu. Petrus dan teman-temannya yang kembali pada kehidupan lama mereka menjadi nelayan di Danau Tiberias, Yesus paranin mereka. Ia memulihkan, meneguhkan dan memberi arah baru bagi para murid itu! Ini lebih dari memberikan nyawa-Nya, Yesus tidak bosan-bosannya merangkul, memeluk dan mengasihi mereka bahkan ketika mereka mencoba mencari arah dan tuntunan lain!

 

Ini jelas, kuncinya ada pada kita! Suara dan tuntunan itu terus bergema. Ia tidak jauh, gema-Nya bahkan ada dalam hati kita. “Di mana Dia ku-dengar? Di dalam hatiku!” Penggalan syair karya A.H. Ackley (NKB.87) dengan tepat menggambarkan suara Sang Gembala yang dapat kita dengar di dalam hati kita. Jadi sekarang, tinggal bagaimana kita menanggapi suara tuntunan Sang Gembala itu; apakah kita mengeraskan dan menutup pintu hati kita lantaran akan mengganggu ambisi yang sedang kita kejar? Ataukah kita membuka pintu hati seluas-luasnya agar Dia bertakhta di dalam hati kita? Dia yang mengendalikan dan kita membiarkan diri dituntun oleh-Nya karena kita meyakini bahwa tuntunan-Nya bukan hanya terjadi dan berlaku di dunia ini saja, melainkan sampai pada keabadian!

 

Ya, bukankah Sang Anak Domba yang menjadi kurban Paskah itu juga yang menjadi Gembala dalam kehidupan kekal? Mengherankan, bayangkan anak domba sekaligus menjadi gembala! “Sebab Anak Domba yang di tengah-tengah takhta itu, akan menggembalakan mereka ke mata air kehidupan. Dan Allah akan menghapus segala air mata dari mata mereka.” (Wahyu 7:17). Ya, tepat apa yang dikatakan dalam surat Ibrani, bahwa Imam Besar yang kita punya adalah Imam Besar yang mengurbankan diri-Nya sendiri – Ia seperti Gembala yang memberikan nyawa-Nya – untuk keselamatan kawanan domba gembalaan-Nya. Itulah Anak Domba sekaligus Gembala! 

 

Jadi, bukalah hati dan dengarkan tuntunan suara-Nya yang mengarahkan kita bukan hanya kini dan di sini, tetapi juga yang akan melampaui maut dan memberi kehidupan abadi. Bukan suara-suara ambisi hedonis yang memberi kesenangan sesaat yang harus kita dengarkan. Tetapi tuntunan suara-Nya yang jauh memberikan kebahagiaan dan damai sejahtera hakiki!

 

Jakarta, 8 Mei 2025, Minggu Paskah ke-IV, tahun C

 

 

Jumat, 02 Mei 2025

GEMBALAKANLAH DOMBA-DOMBA-KU

“Aku sudah tidak bisa lagi bertahan dalam pekerjaan ini, lebih baik kembali pada pekerjaan lama!” Demikian gerutu seorang pekerja yang sedang penat karena tekanan pekerjaan yang membebaninya. Ya, ada beberapa alasan mengapa orang ingin kembali pada pekerjaan lamanya. Alasan itu, antara lain: Kenyamanan dan familiaritas, pekerjaan lama sering kali sudah familiar dan memberi rasa nyaman. Hubungan dengan kerabat dan dunia kerja bukan hal asing lagi. Sebaliknya, dalam pekerjaan baru yang sedang ditekuni tidak menemukan visi yang jelas, tantangan berat, dan merasa diri tidak kompeten.

 

Kata Simon Petrus kepada mereka: ‘Aku pergi menangkap ikan.’ Kata mereka kepadanya: ‘Kami pergi juga dengan engkau.’” (Yohanes 21:3). Dialog singkat memberi kesan kuat bahwa Petrus yang dulu disebut Batu Karang itu ingin kembali menekuni perkerjaan lamanya, menangkap ikan. Menjadi nelayan! Aura kepemimpinannya belum luntur sepenuhnya. Terbukti, enam temannya masih mengikuti langkahnya.

 

Masuk akal kalau kita geregetan dan memandang sinis sikap Petrus dan keenam temannya itu. Bukankah mereka telah mengalami perjumpaan dengan Yesus yang bangkit itu? Minimal dua kali mereka berhadapan muda dengan Yesus dan Yesus telah memberikan mandat mengutus mereka, “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu!” Yesus mengutus mereka bukan dengan tangan hampa. Mereka diberi kuasa dengan menghembuskan Roh Kudus! Jelas, Yesus mengutus mereka bukan ke danau Galilea untuk kembali menangkap ikan. Bukankah dulu, Ia memanggil mereka di danau itu untuk menjadi penjala-penjala manusia? Jadi, di mana iman kebangkitan itu? Ke mana perginya iman Paskah itu?

 

Sabar, sebelum geregetan dan sinis menjadi lebih akut, mungkin kita bisa berada dalam posisi mereka. Iman Paskah itu tidak serta-merta membuat Petrus kembali sekokoh batu karang dan teman-temannya berapi-api memberitakan kebangkitan itu. Sebagaimana Anda dan saya, setiap kali kita mengalami guncangan hebat dalam kehidupan ini, pemulihannya juga bertahap. Ini manusiawi! Tahapan yang menuju pada progres positif itu dapat kita lihat dalam setiap perjumpaan Yesus yang bangkit dengan murid-murid-Nya. Perjumpaan pertama ditandai dengan ketakutan luar biasa dari para murid sehingga mereka mengunci diri dalam sebuah ruangan. Mereka takut terhadap orang-orang Yahudi. Yesus muncul di tengah-tengah mereka dengan membawa damai sejahtera dan memperlihatkan luka-luka-Nya. Sayang, pada waktu itu Tomas tidak hadir bersama dengan mereka.

 

Ketidakhadiran Tomas membuka jalan untuk perjumpaan kedua. Benar, mereka masih berada dalam ruangan yang sama, tetapi kali ini sama sekali tidak ada gambaran bahwa mereka dilanda oleh ketakutan alih-alih mereka belajar untuk memberi kesaksian. Ya, kesaksian itu mereka tunjukan kepada Tomas. Sayang, Tomas tidak mau menerima mentah-mentah kesaksian teman-temannya itu. Namun, lagi-lagi ini membuka jalan untuk mereka, khususnya Tomas mengalami perjumpaan dan pemulihan. Dampak dari perjumpaan kedua ini, mereka semakin dipulihkan dari trauma ketakutan yang mengguncang mereka. Di sinilah terkenal pengakuan Tomas: “Ya, Tuhanku dan Allahku”. Perjumpaan ini pula yang menegaskan pernyataan Yesus: “Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya!”

 

Terbukti, mereka telah mengalami progres pemulihan. Mereka tidak lagi mengunci diri dengan depresi ketakutan. Mereka keluar dan beraktivitas layaknya semua orang yang harus berinteraksi, berelasi dan mencari penghidupan. Meskipun demikian, mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Seperti orang siuman, mereka bangun tetapi tidak tahu ada di mana dan mau ke mana. Bukankah, dalam kondisi seperti ini adalah wajar kalau kembali kepada dunia dan pekerjaan lama mereka, yakni : Galilea dan menjadi nelayan?

 

Di titik inilah perjumpaan dengan Yesus yang bangkit untuk ketiga kalinya terjadi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa perjumpaan kali ini bukan lagi menghilangkan ketakutan mereka, melainkan meneguhkan kembali visi dan misi-Nya untuk segera dikerjakan para murid, khususnya Petrus. Dialog Yesus yang bangkit dengan Petrus sangat kaya untuk digali. Kali ini kita akan melihat dari tugas pengutusan yang diberikan Yesus kepadanya. Kita, masih ingat dalam perjumpaan pertama ketika Yesus menyatakan pengutusan kepada para murid: “Seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu!” 

 

Seperti Bapa mengutus Aku. Pengutusan Bapa terhadap Yesus itu ditanggapi holistik, menyeluruh baik dalam kata yang berupa ajaran, pernyataan dan pemberitaan Injil Kerajaan Allah maupun dalam perilaku kehidupan Yesus itu, dalam bentuk empati, pemulihan dan pengusiran setan. Yesus telah berhasil melaksanakan mandat dari Bapa-Nya itu dengan menjadi Gembala Baik yang memberikan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi domba-domba-Nya. Dalam pemahaman ini, tentu saja ketika Yesus meneguhkan kembali visi dan misi-Nya kepada Petrus, Ia ingin Petrus menanggapi dan menjalaninya seperti apa yang sudah Ia peragakan.

 

Sama seperti Yesus menanggapi mandat dari Bapa-Nya dengan cinta kasih dan bukan dengan beban berat, tentu saja Ia berharap Petrus dapat menerimanya dengan kasih yang serupa. Maka, pertanyaan tentang “Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” menjadi relevan. 

 

Petrus telah belajar dari kegagalannya. Ia tidak memberikan jawaban yang sama seperti dahulu, “Tentu, saya akan memberikan nyawaku untuk-Mu!” ia telah belajar untuk menjadi rendah hati. Kini ia mengenali kelemahan-kelemahannya dan dorongan-dorongan yang ada dalam dirinya, yang dapat ia jawab, “Engkau tahu bahwa aku mengasihi-Mu!” Yesus memintanya, “Gembalakanlah domba-domba-Ku!” Petrus sedih karena Yesus mengulang pertanyaan yang sama sampai tiga kali.

 

Dalam kesedihan yang memulihkan itu Petrus dipanggil untuk menggembalakan domba-domba Yesus. Iya, bukan domba-dombanya sendiri! Tugas untuk menggembalakan itu pertama-tama ditujukan untuk ‘anak-anak domba’, dapat diartikan bukan saja anak-anak secara fisik yang masih polos, tetapi juga mereka yang papa, miskin, cacat dan terpinggirkan. Tugas menggembalakan atau lebih tepat disebut pemeliharaan dengan cara memberi makan, tentu saja tidak harus diartikan secara harfiah, meski tidak bisa diabaikan. Petrus diminta untuk memberi perhatian kepada mereka, untuk ada bersama-sama mereka sama seperti dulu Yesus berada di tengah-tengah orang terpinggirkan, lapar dan menderita.

 

Selanjutnya, Petrus diminta untuk menggembalakan domba-domba dewasa. Petrus diminta untuk memberi arah yang jelas bagi kawanan domba dewasa itu. Ia harus dapat membimbing atau menyupervisi ke tempat-tempat di mana mereka bisa mencari makan sendiri.

 

Lalu, dengan cara bagaimana Petrus harus memberi makan dan mengarahkan mereka? Jelas, dengan kekuatan sendiri tidak mungkin ‘batu karang’ itu dapat bertahan. Tidak ada cara lain, kecuali dengan Yesus! Sebab, dalam diri dan firman-Nya, Yesus adalah makanan bagi semua domba-domba-Nya. Petrus dipanggil untuk menuntun orang-orang yang berkembang dalam iman pada arah yang benar. Satu-satunya pedoman untuk itu adalah firman-Nya sendiri. Petrus dipanggil untuk mengikuti dan meneladani Gembala Baik itu dengan cara menuntun kawanan, mencuci kaki orang lain, memberi mereka makan, dan untuk memberikan hidupnya bagi mereka yang dipercayakan kepadanya.

 

Petrus adalah kita, Petrus adalah gereja-Nya yang terus tumbuh, diutus ke dalam dunia yang penuh tantangan. Pemulihan itu tidak hanya berlaku bagi Petrus. Ia memulihkan kita juga. Sama seperti Petrus, kita juga pernah gagal dalam beriman. Kita pernah merasa tidak tahu lagi harus melakukan apa. Kita pernah ingin kembali kepada hidup lama kita. Kita adalah Petrus yang dicintai dan dipulihkan. Kini, Ia ingin kita sepertiPetrus yang siap untuk memberi diri bagi sebanyak mungkin orang sehingga mengenal Sang Gembala Agung yang penuh kasih karunia itu!

 

Jakarta, 2 Mei 2024 Minggu Paskah III, Tahun C