Analogi, yakni kiasan, metafora atau cerita pembanding sering dipakai
untuk menerangkan sebuah gagasan atau konsep yang rumit. Analogi sering
digunakan untuk menjelaskan apa itu Trinitas. Sebagai “alat bantu”, analogi
tidak selalu sempurna menjelaskan gagasan atau konsep, apalagi tentang
Trinitas. Kendati pun demikian ia telah berjasa menuntun orang kepada sebuah
pemahaman asbtrak. Seorang guru Sekolah Minggu mencoba menjelaskan Allah
Tritunggal dengan membawa sebatang Lilin dan kemudian menyalakannya di depan
anak-anak. “Coba perhatikan lilin ini”, seru guru Sekolah Minggu itu, “ lilin
ini mempunyai wujud, sinar dan panas. Ketiganya merupakan satu kesatuan. Ibarat
lilin menyala inilah Tritunggal itu!“
Ide analogi ini mirip dengan apa yang dulu dipakai Tertullianus
(155-230, Kartago/Tunisia), ia memakai anaologi matahari-sinar-panas untuk
menjelaskan una substantia, tres personae.
Baginya, Allah adalah satu, tetapi mempunyai tiga pribadi. Berbeda dari para
pemikir pada mumumnya yang menggunakan bahasa filsafat untuk menjelaskan
gagasan yang rumit, Tertullianus menggunakan bahasa atau istilah yang biasa
digunakan dalam pengadilan di Roma. Kata Latin substantiae bukan berarti “bahan” atau elemen dasar sebuah benda,
melainkan “hak milik”. Sementara persona,
tidak dimaksudkan “pribadi” sebagaimana lazim kita gunakan, melaikan “suatu pihak” dalam sebuah
perkara di pengadilan. Dengan demikian, jelaslah bahwa tiga personae dapat berbagi satu substantia. Tiga pribadi (lebih tepatnya
tiga pihak): Bapa, Anak dan Roh Kudus dapat berbagi satu hakikat (kedaulatan
ilahi). Mungkin bagi sebagian besar orang, tetap saja penjelasan Tertullianus
tidak mudah dipahami.
Trinitas memang tidak mudah dipahami. Namun, bukan berarti orang
sederhana bahkan “awam” dalam berteologi tidak dapat mengerti tentang
eksistensi Allah dalam Trinitas. Malah sebaliknya, Allah dalam Trinitai (Bapa,
Anak dan Roh Kudus) memudahkan manusia
dalam level pemahaman yang bagaimana pun dapat mengerti dan mengenal-Nya.
Manusia dan semesta alam dapat menyadari bahwa Dialah Sang Pencipta dan
Pemelihara, yang kita sapa sebagai Bapa. Bapa yang memulai segala sesuatu dan
yang memeliharanya. Dia juga adalah Sahabat setia yang mengerti penderitaan dan
persoalan hidup manusia yang menebus dan menyelamatkan manusia dari dosa,
itulah yang kita fahami sebagai Anak Allah di dalam diri Yesus Kristus. Jelas,
yang dimaksud Bapa-Anak bukanlah terminologi biologis. Dia juga yang selalu
mengingatkan manusia akan kebenaran dan menopangnya agar mampu melewati lembah
air mata, itulah Roh Kudus.
Bagaimakah Allah, Sang Saratmisteri ini menyatakan diri-Nya agar dikenal
dan mudah disapa oleh manusia? Rasanya, bukan memakai analogi atau metafora.
Bukan dengan bahasa tinggi yang membingungkan dan juga bukan melalui paparan
teori Trinitas yang jelimet. Namun,
Allah menggunakan pengalaman eksistensial nyata dalam sejarah manusia. Allah,
yang semula tidak mudah dikenal, menyebut nama-Nya saja penuh kengerian. Namun,
kini di dalam Yesus begitu dekat. Allah yang pada mulanya adalah Firman telah
menyatakan diri-Nya menjadi manusia sejati. Ia hidup dalam sejarah manusia,
bergumul, menderita dan merasakan kesulitan manusia. Dialah Yesus! Jika Allah
menyapa manusia dengan pengalaman empirik, maka manusia pun harus menyediakan
diri disapa melalui pengalaman hidupnya. Dengan kata lain, Trinitas itu hanya
bisa dipahami, dirasakan melalui pengalaman hidup!
Manusia mempunyai pemahaman dasar bahwa Allah pastilah merupakan figur
Mahapengasih, Mahapengampun, Mahapemurah Mahakuasa dan sebagainya. Namun,
bagaimanakah Sang Mahapengasih, Mahapengampun, Mahapemurah, Mahakuasa itu wujudnya? Bukankah
ini semua hanya ide-ide abstrak saja dan siapa pun juga dapat menerjemahkan
ide-ide abstrak itu menurut maunya sendiri? Jelas, Allah tidak mau manusia
berspekulasi. Sekali lagi Dia ingin dikenal dan manusia mengerti kehendak-Nya.
Caranya? Allah yang pada mulanya adalah Firman kemudian menjelma menjadi
manusia. Yesus itulah Sang Firman Hidup. Yesus memeragakan apa yang abstrak itu
menjadi nyata. Bila manusia meyakini bahwa Allah adalah Mahapengasih,
pengampun, pemurah, dan seterusnya, manusia dapat melihatnya dengan kasat mata
dalam diri Yesus. Sepanjang hidup-Nya, Ia adalah firman yang berjalan, firman
yang hidup itu. Sehingga suatu kali, Yesus berkata, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau
berkata: Tunjukkan Bapa itu kepada kami. Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di
dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku
katakan dari diriKu sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam AKu, Dialah yang
melakukan pekerjaan-Nya.” (Yohanes 14:9-10).
Selanjutnya, ketika karya-Nya sebagai firman yang hidup itu telah
selesai maka Yesus kembali kepada Bapa-Nya. Kini, Ia mengutus Roh Kudus yang
adalah Roh Allah sendiri untuk menyatakan penegasan kepada manusia agar apa
yang telah dikerjakan-Nya dimeteraikan dalam hati. Roh Kudus jugalah yang dapat
membuat orang menjadi percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. “…dan tidak ada seorang pun, yang dapat mengaku “Yesus adalah Tuhan”,
selain oleh Roh Kudus.(1 Korintus 12:3b).
Roh Kudus yang sama melengkapi setiap orang percaya dengan karunia agar
dapat menjadi saksi-saksi Tuhan yang hidup.
Sederhananya, Trinitas adalah cara kreatif Allah dalam rangka karya
keselamatan bagi dunia. Mestinya, bahasa dan cara Allah berkarya ini mudah
ditangkap oleh manusia. Manusia yang mengalami karya kasih Allah ini, dialah
yang telah dapat merasakan Kerajaan Allah. Responnya, bersyukur dengan mau
terlibat meneruskan cinta kasih Allah
ini kepada sesamanya. Untuk dapat terlibat dalam Kerajaan Allah, maka seseorang
harus mau mengalami pembaruan dalam dirinya.
Dalam percakapan Yesus dengan Nikodemus (lengkapnya di Yohanes 13:1-21),
seseorang tidak akan mengalami hidup dalam Kerajaan Allah tanpa mengalami
kelahiran kembali. Dan kelahiran kembali itu merupakan karya Roh Kudus! Jawab
Yesus, “AKu berkata kepadamu,
sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat
masuk dalam Kerajaan Allah.” (Yohanes 3:5). Kerajaan Allah dalam Injil
Yohanes adalah “hidup”. Hidup seperti apa? Hidup yang sungguh-sungguh hidup,
hidup yang kekal! Siapa yang ingin mengalami kehidupan yang sesungguhnya, maka
ia harus menjadi manusia baru. Masuk dalam Kerajaan Allah bukan hanya sekedar
menjadi penikmat, melainkan berpartisipasi dalam Kerajaan Allah. Seperti Apa?
Seperti yang Yesus lakukan dalam hubungannya dengan Trinitas, Ia melakukannya
dengan ketaatan total! Atau dalam bahasa Paulus tidak lagi hidup menuruti keinginan nafsu duniawi, melainkan tunduk di bawah Roh, "Sebab jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati, tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup." (Roma 8:13)
Allah Trinitas telah berkarya,
kini tinggal kita merespon dengan cara membuka diri untuk senantiasa diperbarui
oleh karya Roh Kudus agar dapat berpartisipasi dalam Kerajaan-Nya. Tanpa Roh
Kudus, tidak mungkin kita megalami kelahiran baru. Setiap orang membutuhkan
penyataan Allah yang membarui dan menguduskan agar tidak hidup seperti Raja
Uzia. Semula raja ini hidup selalu mencari Tuhan. Namun, setelah menjadi kuat,
ia menjadi sombong dan berpaling meninggalkan Allah. Raja Uzia akhirnya
meninggal dalam keadaan tragis, sakit kusta dalam pengasingan. Tidak seorang
pun di antara kita imun dari dosa, walau pun telah menyatakan diri sebagai orang
Kristen. Untuk itu, kita harus terus mengasah kepekaan diri agar mampu menyimak
dan mengindahkan suara Roh Kudus.