Kamis, 19 November 2015

BERKARAKTER RAJAWI DI TENGAH DERITA

Hari Minggu ini, Gereja-gereja merayakan Hari Raya Kristus Raja. Ungkapan Yesus Raja tersirat dalam Kitab Wahyu. “…dan dari Yesus Kristus, Saksi yang setia, yang pertama bangkit dari antara orang mati dan yang berkuasa atas rja-raja bumi ini.” (Wahyu 1:5). Selain kekuasaan-Nya di atas raja-raja bumi, Wahyu menyebut bahwa kekuasaan Kristus itu Alfa dan Omega, huruf pertama dan terakhir abjad Yunani. Status apa sebenarnya yang sedang dibicarakan Wahyu tentang Kristus? Wahyu mau mengatakan bahwa Kristus sebagai Raja dengan kuasa di atas segala kuasa dan kekuasaan-Nya dari sejak semula sampai selama-lamanya.

Adakah di bumi ini yang mempunyai kekuasaan setara dengan itu? Andaikata pun ada, kira-kira apa yang akan dilakukan seseorang dengan kekuasaan seperti itu? Belajar dari kekuasaan raja-raja di bumi , apa yang terjadi ketika Daud diberi kuasa? Masihkah kita ingat kisah Daud dengan Bersyeba, kemelut di dalam keluarga yang bersumber dari ketidakberesan menata keharmonisannya dengan para istri dan anak-anaknya. Salomo yang begitu berkuasa pada zamannya, Alkitab mencatat begitu banyak istri dan gundik-gundiknya. Tragis di akhir kekuasaanya, Salomo jauh dari hikmat Tuhan yang dulu membuatnya begitu tenar. Dan akhirnya, ia pun jatuh. Dalam era modern, nyaris semua orang yang berkuasa begitu kuat, cenderung menggunakan kekuasaan untuk memenuhi kepentingan dan nafsu kedagingan sendiri. Balas dendam kerap dilakukan. Kejadian terakhir dapat kita saksikan ketika aksi teror merebak di Paris, Perancis. Pembalasan pun terjadi. Jet-jet tempur dan mesin-mesin perang dikerahkan untuk membombardir musuh sebagai pembalasan terhadap mereka.

Berbeda, Yesus menanpakkan karakter lain.  Yesus melakukan apa yang Dia katakan. Dia dipukul dan diludahi namun Dia tidak membalas, padahal Dia punya kapasitas untuk membalas. Dia disiksa namun tidak melawan. Dia mengasihi mereka yang membenci-Nya dan mengampuni mereka yang menghakimi-Nya. Yesus tidak meminta dan mengajarkan agar orang-orang melakukan sesuatu yang Dia sendiri tidak pernah atau akan melakukannya. David Augsburger berkata, “Yesus memilih jalan salib untuk memerlihatkan cara Allah berurusan dengan kejahatan manusia, bukan dengan cara membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan dengan kasih yang memberi diri dan tidak mendendam.” Bayangkan, Allah di dalam Yesus dengan kekuasaan tidak terbatas serta melampaui ruang dan waktu kalau digunakan hanya untuk pemuasan diri-Nya sendiri?

Kristus Raja adalah tema yang menutup setiap tahun liturgi kita. Suara kitab Wahyu ini digemakan justeru di tengah penderitaan orang-orang Kristen di bawah kekuasaan Roma. Maksudnya jelas, bukan supaya menggugah umat berdoa meminta Sang Raja Adikodrati itu turun tangan lalu kemudian membalaskan derita dan kepedihan terhadap kekaisaran Roma. Wahyu menyapa umat agar tetap memiliki semangat, pengharapan dan kekuatan untuk menapaki jalan yang tidak mudah itu. Di samping itu, Wahyu juga hendak mengingatkan umat Tuhan agar meneladani karakter Yesus itu. Penderitaan tidak dicari-cari, namun kalau toh itu menimpa kita, hal itu tidak memudarkan iman, pengharapan dan kasih kita kepada Allah. Dalam kerangka itulah, mengutip William Barclay, kata kunci yang dipakai Wahyu adalah hupomone. Sikap yang tabah dalam menjalani penderitaan, tetapi juga berusaha mengubah hal yang sedang terjadi (penderitaan itu) menjadi keagungan. Yesus menjalani kondisi itu dan akhirnya, melalui penderitaan bahkan kematian-Nya, Ia memperoleh kemuliaan itu.

Dengan apa yang dilakukan Yesus, maka bagi murid-murid-Nya panggilan untuk hidup secara hupomone atau tawakal sangat mungkin dilakukan. Benar, keyakinan kita, seperti lagu anak-anak Sekolah Minggu bahwa kita adalah “anak Raja”. Namun, bukan bermental manja, bahwa semua rengekkan keinginan serta-merta terjadi dipenuhi. Anak Raja, mestinya juga harus mempunyai karakter seperti Sang Raja itu. Bukan untuk mengumbar nafsu duniawi, melainkan untuk hidup di dalam kemuliaan-Nya.

Apa sih yang membuat kita mengalami kesulitan untuk hidup mempunyai karakter seperti karakter Kristus itu? Pertama, adalah pemahaman yang keliru tentang konsep Raja atau Kerajaan yang selalu dihubungkan dengan kekuasaan, prestasi, kemakmuran. Dan kekuasaan itu yang mendorong seseorang berlaku egois. Pemikiran dan sikap egois sangat mudah menghampiri kita terutama pada saat-saat yang sulit dalam hidup kita. Tengok kembali ketika kita sakit, kita mengharapkan seluruh perhatian tercurah kepada kita. Kita menjadi mudah tersinggung, marah dan memberontak. Ketika mengalami ketertindasan dan tekanan, kita menjadi lebih mudah menyalahkan pihak lain dan memosisikan diri sebagai korban.

Kristus, dalam seluruh karya-Nya dapat mengubah potensi buruk itu menjadi energi handal menghadapi penderitaan bahkan dalam keadaan seperti itu Ia dapat mengubah keegoisan menjadi kemurahan hati. Kedua, kita gagal menempatkan Yesus sebagai sentral kehidupan kita. Sebaliknya, memberi ruang yang begitu banyak terhadap kepentingan, keegoisan dan hawa nafsu. Bukan hal mustahil, pada masa sekarang pun penderitaan, kesulitan dan penganiayaan dialami oleh umat Tuhan. Masalahnya, dalam menghadapi itu, apakah kita juga memiliki karakter Kristus? Salah satunya adalah mengubah keegoisan menjadi kemurahan hati.

Miroslav Volf, teolog kelahiran Kroasia menggambarkan bagaimana seorang Kristen harus mampu meneladani bahkan membiarkan dirinya dikuasai oleh Kristus. Jika Kristus itu Raja kita, mestinya setiap orang Kristen akan merasakan kehidupan yang lebih dari cukup. “Jika kita didiami oleh Kristus,” katanya, “Kristus yang telah menjadi miskin agar kita menjadi kaya, maka kita akan menjadi kaya. Berapapun yang kita miliki, kita akan selalu menjadi orang-orang yang lebih dari cukup….Tetapi sebaliknya, tanpa menjadi lebih dari cukup, maka keinginan kita akan selalu melebih apa yang kita miliki, dan kita akan merasa selalu capek dan terus kekurangan.”

Volf seakan mengingatkan kita bahwa Kristus Raja itu memenuhi bahkan memerkaya kita. Namun, sering kita tidak memahami dan merasakannya. Kristus memerkaya kita bukan dengan semua yang kita inginkan dapat segera terjawab dan dipenuhi. Namun, dengan cara-Nya yang ajaib, kita akan dapat merasakan kekayaan-Nya yang melimpah itu justeru dalam kesederhanaan kita. Itulah sebenarnya kunci kebahagiaan. Pandanglah orang-orang yang kita anggap kaya raya dan berkuasa, yang terus memburu kekayaan dan kekuasaan. Ini sebenarnya cerminan bahwa mereka masih tetap miskin, merasa kurang di tengah kekayaan dan kekuasaannya.

Kita menjadi lebih dari cukup bukan karena simpanan, harta atau rekening di bank yang menumpuk atau karena kesuksesan kita, tetapi karena Kristus tinggal di dalam kita. Sehingga dampaknya, apa yang kita miliki menjadi besar, bermakna, dan kemudian kita dapat mensyukurinya. Hal inilah yang kemudian membuat kita tidak hanya sanggup menghadapi kesulitan, tetapi juga tidak mustahil  sanggup memberi pengorbanan dengan apa yang kita miliki. Di luar Kristus, Raja kita, kita menjadi orang-orang yang terus merasa berkekurangan dan selalu mencari identitas dan kebahagiaan di dalam kefanaan; keinginan kita melebihi apa yang kita inginkan, di sinilah letak masalahnya. Kita akan terus menjadi orang yang miskin dan mengiba. Selanjutnya, Volf menggambarkan mereka yang didiami oleh Kristus sebagai “orang kaya”.

Seorang yang kaya melihat masa depan dengan iman. Dia dapat memberi dan tidak menahan-nahan karena takut kekurangan, melainkan percaya akan janji Allah bahwa Allah menjaga dirinya. Biarpun terbatas dan terancam, seorang kaya terus memberi, karena hidupnya “dilindung oleh Kristus” dalam kekekalan, keamanan, dan kemurahan Allah, yakni Tuhan kita atas kemarin, hari ini dan selama-lamanya.

Seorang yang kaya secara rohani adalah mereka yang “lebih dari cukup” yang sadar bahwa dirinya didiami oleh Kristus, Sang Raja sesungguhnya itu. Mereka akan sanggup menyeberang dari keegoisan kepada kemurahan karena mereka tidak takut untuk kekurangan. Allah di dalam Kristus, Raja yang sesungguhnya itu bersama kita dan hadir bagi kita, Ia lebih dari sanggup menyediakan kebutuhan kita. Pertanyaannya sekarang, apakah benar kita telah membuka diri dan memberi tempat yang paling istimewa untuk Kristus, sehingga Ia dengan leluasa dapat menggendalikan hidup kita. Ataukah, Kristus Raja hanya sebagai salah satu perayaan liturgi gerejawi belaka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar