Barangkali ada benarnya ungkapan ini, “Dalam bencana akan tampil pahlawan dan penjarah. Meski tidak selalu begitu, namun ini fenomena yang sering terjadi dalam peristiwa bencana, selain ada korban yang menderita, ada dua reaksi yang muncul dalam masyarakat. Pertama, orang-orang yang menunjukkan keberanian, empatik, dan kepedulian mendalam terhadap korban. Mereka ini melakukan apa saja bahkan bertaruh nyawa untuk menolong dan menyelamatkan korbannya. Pahlawan! Kelompok yang lain adalah: Penjarah, yakni: orang-orang yang memanfaatkan situasi bencana untuk keuntungan pribadi. Tidak harus diartikan secara harfiah: menjarah barang-barang pada saat kebakaran hebat, atau menjarah ketika truck kontainer kecelakaan, terbalik dan hancur, yang diselamatkan bukan awak truck tetapi isi dari kontainer itu.
Menjarah bisa luas: Nebeng popularitas atas peristiwa tragis, memanfaatkan situasi untuk mengerek nama baik, sampai menyunat anggaran tanggap bencana. Ada bencana ada proyek! Disadari atau tidak, korban menjadi obyek. Ia bukan lagi subyek yang harus didengar, dimengerti, dan ditolong. Ia bukan lagi sesama! Penjarah bisa tampil memakai topeng lembaga sosial atau pun agama. Atas nama altruisme dan kesalehan, ayat, dalil, teori menjadi pemoles agar topeng itu kelihatan anggun dan cantik. Sementara, moralitas luhur yang terkandung di dalam ayat-ayat suci itu diparkir dulu!
Yesus mengusik topeng kesalehan itu. Ia menyeruak sampai lubuk hati terdalam. Kisah perumpamaan orang Samaria yang baik hati seakan menampar keras para pemuka agama yang berlindung di balik ayat suci. Perumpamaan klasik ini diceritakan setelah diskusi antara Yesus dengan seorang ahli Taurat. Tepatnya untuk menjawab pertanyaan, “Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (Lukas 10:25). Yesus meminta penanya itu mengingat apa yang tertulis dalam hukum Taurat. Seorang ahli Taurat tentu tahu percis, yakni : Mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa, kekuatan, dan akal budi. Dan, mengasihi sesama seperti diri sendiri. Ahli Taurat itu tahu jawabannya, tetapi mengapa ia bertanya? Ya, jelas ini adalah pertanyaan penguji. Ia tidak sungguh-sungguh ingin belajar, maka ia mencari-cari celah dengan pertanyaan selanjutnya, yakni tentang siapakah sesama manusia itu.
Kisah itu menampilkan seorang korban perampokan yang sedang sekarat di jalan menurun dari Yerusalem ke Yerikho. Mula-mula ada seorang imam yang melewati korban itu. Alih-alih menolong, sang imam memilih berjalan di seberang jalan. Lewat lagi seorang Lewi. Lewi adalah keturunan Harun yang harus menjaga kekudusan sebab mereka ditugasi untuk merawat ritus dan kultus Bait Allah.
Para imam dan anak-anak Harus harus menjaga kekudusan mereka (Imamat 21-24). Perintah pertama tentang memelihara kekudusan, yakni: tidak seorang pun boleh menajiskan dirinya karena orang mati di antara saudara-saudaranya, kecuali saudara-saudaranya terdekat. (Imamat 21:1,2). Maksud perintah ini jelas, yaitu untuk memastikan kekudusan para imam pada waktu mereka melayani di Bait Suci, lebih tepat lagi di area tepat di Ruang Mahakudus itu sendiri (Imamat 21:21-23). Namun, kisah yang disampaikan Yesus sendiri terjadi bukan di Ruang Mahakudus. Imam dan orang Lewi juga tidak sedang berjalan menuju ke Yerusalem di mana Bait Suci itu berada. Ini terjadi di jalan turun dari Yerusalem ke Yerikho. Artinya, mereka usai menjalankan ritual di kultus Bait Suci itu. Sehingga, kendati pun mereka adalah orang-orang yang diwajibkan memelihara kekudusan badaniah, pada peristiwa itu tidaklah dalam kondisi wajib kudus!
Dalam peristiwa ini, baik imam maupun orang Lewi tidak ada alasan untuk mengabaikan korban yang sekarat itu. Sekalipun mereka beranggapan bahwa korban itu telah mati. Namun, mereka memilih untuk tidak berbuat apa pun terhadap korban! Sebaliknya tidak dengan orang ketiga yang lewat, yakni seorang Samaria. Orang Israel terbiasa mendengar urut-urutan seperti ini : Imam, orang Lewi, dan orang-orang Israel. Ini berkaitan dengan strata sosial tentang kekudusan yang mereka kenal. Bisa saja para pendengar kisah perumpamaan ini yang sebagian besar adalah rakyat jelata Israel berharap, “mungkin orang ketiga yang tampil sebagai penolong dari korban yang sekarat itu adalah dari kalangan mereka, yakni orang Israel!
Sialnya, Yesus tidak memakai orang Israel, alih-alih seorang Samaria! Ya, Samaria yang oleh strata kesalehan mereka tidak ada dalam hitungan. Mereka dipandang merupakan bagian dari bangsa kafir yang tidak menjaga hukum-hukum Allah dengan ketat. Mereka lebih tepat dikelompokkan pada bangsa kafir! Orang Samaria dianggap sebagai keturunan orang-orang yang melakukan penyembahan berhala setelah bangsa Asyur menaklukkan kerajaan utara (2 Raja-raja 17:5-6). Lagi-lagi ini tamparan keras pada topeng kesalehan bangsa yang ekslusif yang memandang sesama adalah dari kalangan mereka sendiri. Samaria yang sering dicibir kini menjadi figur yang mewujudkan belarasa Allah. Ya, barangkali karena Si Samaria itu tidak mengenal hukum kekudusan badani, andai pun korban itu telah jadi mayat, tidak ada risiko baginya untuk melanggar kekudusan itu. Sepertinya benar, orang-orang yang merasa diri kudus, bersih justru enggan mengulurkan tangan mereka, takut najis!
Sepertinya yang bukan itu, pasti ada dorongan kuat dalam batin Si Samaria ini sehingga ia mau mengulurkan tangannya, membalut luka-lukanya, menyirami dengan minyak dan anggur, kemudian menaikkannya ke atas keledai tunggangannya sendiri, lalu membawanya ke tempat penginapan. Di sana ia merawatnya. Tidak sampai di situ, ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan sebagai jaminan untuk merawat si korban dan jika kurang ia akan menggantinya ketika kembali. Pahlawan!
Apa yang menggerakkan hati Si Samaria ini? Belas kasihan! Walaupun ia hidup di tengah bangsa yang tidak ketat memelihara hukum. Namun benar seperti yang tertulis dalam kitab Musa bahwa hukum itu bukan berada di langit atau di seberang lautan, “Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan.” (Ulangan 30:14). Samaria telah membuka moralitas hukum yang telah tertutup oleh legalisme formal dan dijadikan topeng dan tameng untuk menahan kebajikan.
Siapakah sesama manusia? Barangkali pertanyaan ini tertuju kepada kita juga. Bukankah kita juga terampil menggunakan topeng-topeng kesalehan? Tahu dengan jelas apa yang Tuhan mau kita perbuat, tetapi alasan-alasan yang terkesan rasional dipakai sebagai benteng untuk tidak melakukan tindakan kasih. Atau lebih mengerikan lagi kita bisa tampil sebagai penjarah dalam kemalangan orang lain. Sibuk mencari celah untuk mendapat kredit di tengah penderitaan orang lain. Atas nama kemiskinan melakukan propaganda ini dan itu. Pertanyaannya, apakah itu berangkat dari hati yang berbelaskasih seperti orang Samaria itu?
Jakarta, 10 Juli 2025 Minggu Biasa XV Tahun C