Kamis, 10 Juli 2025

MENJADI SESAMA MANUSIA

Barangkali ada benarnya ungkapan ini, “Dalam bencana akan tampil pahlawan dan penjarah. Meski tidak selalu begitu, namun ini fenomena yang sering terjadi dalam peristiwa bencana, selain ada korban yang menderita, ada dua reaksi yang muncul dalam masyarakat. Pertama, orang-orang yang menunjukkan keberanian, empatik, dan kepedulian mendalam terhadap korban. Mereka ini melakukan apa saja bahkan bertaruh nyawa untuk menolong dan menyelamatkan korbannya. Pahlawan! Kelompok yang lain adalah: Penjarah, yakni: orang-orang yang memanfaatkan situasi bencana untuk keuntungan pribadi. Tidak harus diartikan secara harfiah: menjarah barang-barang pada saat kebakaran hebat, atau menjarah ketika truck kontainer kecelakaan, terbalik dan hancur, yang diselamatkan bukan awak truck tetapi isi dari kontainer itu. 

 

Menjarah bisa luas: Nebeng popularitas atas peristiwa tragis, memanfaatkan situasi untuk mengerek nama baik, sampai menyunat anggaran tanggap bencana. Ada bencana ada proyek! Disadari atau tidak, korban menjadi obyek. Ia bukan lagi subyek yang harus didengar, dimengerti, dan ditolong. Ia bukan lagi sesama! Penjarah bisa tampil memakai topeng lembaga sosial atau pun agama. Atas nama altruisme dan kesalehan, ayat, dalil, teori menjadi pemoles agar topeng itu kelihatan anggun dan cantik. Sementara, moralitas luhur yang terkandung di dalam ayat-ayat suci itu diparkir dulu!

 

Yesus mengusik topeng kesalehan itu. Ia menyeruak sampai lubuk hati terdalam. Kisah perumpamaan orang Samaria yang baik hati seakan menampar keras para pemuka agama yang berlindung di balik ayat suci. Perumpamaan klasik ini diceritakan setelah diskusi antara Yesus dengan seorang ahli Taurat. Tepatnya untuk menjawab pertanyaan, “Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (Lukas 10:25). Yesus meminta penanya itu mengingat apa yang tertulis dalam hukum Taurat. Seorang ahli Taurat tentu tahu percis, yakni : Mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa, kekuatan, dan akal budi. Dan, mengasihi sesama seperti diri sendiri. Ahli Taurat itu tahu jawabannya, tetapi mengapa ia bertanya? Ya, jelas ini adalah pertanyaan penguji. Ia tidak sungguh-sungguh ingin belajar, maka ia mencari-cari celah dengan pertanyaan selanjutnya, yakni tentang siapakah sesama manusia itu.

 

Kisah itu menampilkan seorang korban perampokan yang sedang sekarat di jalan menurun dari Yerusalem ke Yerikho. Mula-mula ada seorang imam yang melewati korban itu. Alih-alih menolong, sang imam memilih berjalan di seberang jalan. Lewat lagi seorang Lewi. Lewi adalah keturunan Harun yang harus menjaga kekudusan sebab mereka ditugasi untuk merawat ritus dan kultus Bait Allah.

 

Para imam dan anak-anak Harus harus menjaga kekudusan mereka (Imamat 21-24). Perintah pertama tentang memelihara kekudusan, yakni: tidak seorang pun boleh menajiskan dirinya karena orang mati di antara saudara-saudaranya, kecuali saudara-saudaranya terdekat. (Imamat 21:1,2). Maksud perintah ini jelas, yaitu untuk memastikan kekudusan para imam pada waktu mereka melayani di Bait Suci, lebih tepat lagi di area tepat di Ruang Mahakudus itu sendiri (Imamat 21:21-23). Namun, kisah yang disampaikan Yesus sendiri terjadi bukan di Ruang Mahakudus. Imam dan orang Lewi juga tidak sedang berjalan menuju ke Yerusalem di mana Bait Suci itu berada. Ini terjadi di jalan turun dari Yerusalem ke Yerikho. Artinya, mereka usai menjalankan ritual di kultus Bait Suci itu. Sehingga, kendati pun mereka adalah orang-orang yang diwajibkan memelihara kekudusan badaniah, pada peristiwa itu tidaklah dalam kondisi wajib kudus! 

 

Dalam peristiwa ini, baik imam maupun orang Lewi tidak ada alasan untuk mengabaikan korban yang sekarat itu. Sekalipun mereka beranggapan bahwa korban itu telah mati. Namun, mereka memilih untuk tidak berbuat apa pun terhadap korban! Sebaliknya tidak dengan orang ketiga yang lewat, yakni seorang Samaria. Orang Israel terbiasa mendengar urut-urutan seperti ini : Imam, orang Lewi, dan orang-orang Israel. Ini berkaitan dengan strata sosial tentang kekudusan yang mereka kenal. Bisa saja para pendengar kisah perumpamaan ini yang sebagian besar adalah rakyat jelata Israel berharap, “mungkin orang ketiga yang tampil sebagai penolong dari korban yang sekarat itu adalah dari kalangan mereka, yakni orang Israel!

 

Sialnya, Yesus tidak memakai orang Israel, alih-alih seorang Samaria! Ya, Samaria yang oleh strata kesalehan mereka tidak ada dalam hitungan. Mereka dipandang merupakan bagian dari bangsa kafir yang tidak menjaga hukum-hukum Allah dengan ketat. Mereka lebih tepat dikelompokkan pada bangsa kafir! Orang Samaria dianggap sebagai keturunan orang-orang yang melakukan penyembahan berhala setelah bangsa Asyur menaklukkan kerajaan utara (2 Raja-raja 17:5-6). Lagi-lagi ini tamparan keras pada topeng kesalehan bangsa yang ekslusif yang memandang sesama adalah dari kalangan mereka sendiri. Samaria yang sering dicibir kini menjadi figur yang mewujudkan belarasa Allah. Ya, barangkali karena Si Samaria itu tidak mengenal hukum kekudusan badani, andai pun korban itu telah jadi mayat, tidak ada risiko baginya untuk melanggar kekudusan itu. Sepertinya benar, orang-orang yang merasa diri kudus, bersih justru enggan mengulurkan tangan mereka, takut najis!

 

Sepertinya yang bukan itu, pasti ada dorongan kuat dalam batin Si Samaria ini sehingga ia mau mengulurkan tangannya, membalut luka-lukanya, menyirami dengan minyak dan anggur, kemudian menaikkannya ke atas keledai tunggangannya sendiri, lalu membawanya ke tempat penginapan. Di sana ia merawatnya. Tidak sampai di situ, ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan sebagai jaminan untuk merawat si korban dan jika kurang ia akan menggantinya ketika kembali. Pahlawan!

 

Apa yang menggerakkan hati Si Samaria ini? Belas kasihan! Walaupun ia hidup di tengah bangsa yang tidak ketat memelihara hukum. Namun benar seperti yang tertulis dalam kitab Musa bahwa hukum itu bukan berada di langit atau di seberang lautan, “Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu, untuk dilakukan.” (Ulangan 30:14). Samaria telah membuka moralitas hukum yang telah tertutup oleh legalisme formal dan dijadikan topeng dan tameng untuk menahan kebajikan.

 

Siapakah sesama manusia? Barangkali pertanyaan ini tertuju kepada kita juga. Bukankah kita juga terampil menggunakan topeng-topeng kesalehan? Tahu dengan jelas apa yang Tuhan mau kita perbuat, tetapi alasan-alasan yang terkesan rasional dipakai sebagai benteng untuk tidak melakukan tindakan kasih. Atau lebih mengerikan lagi kita bisa tampil sebagai penjarah dalam kemalangan orang lain. Sibuk mencari celah untuk mendapat kredit di tengah penderitaan orang lain. Atas nama kemiskinan melakukan propaganda ini dan itu. Pertanyaannya, apakah itu berangkat dari hati yang berbelaskasih seperti orang Samaria itu?

 

Jakarta, 10 Juli 2025 Minggu Biasa XV Tahun C

 

 

Kamis, 03 Juli 2025

DITUNJUK, DIUTUS, DAN DIPERLENGKAPI

Usianya masih sangat belia ketika ia menjadi anggota Parlemen Inggris, 21 tahun! Seperti nasihat Paulus kepada Timotius, William Wilberforce tidak pernah menganggap usia yang muda sebagai alasan untuk menyuarakan kebenaran. Wilberforce yang terlahir dan dibesarkan dalam keluarga kaya tidak terlena dengan fasilitas milik orang tuanya. Buku-buku karya George Whitefield, seorang pendeta Inggris terkenal dan John Newton, mantan penjual budak yang memilih menjadi pendeta, Amazing Grace adalah karya yang merefleksikan perubahan radikal dalam hidup Newton telah begitu kuat berpengaruh dan menggelora dalam dada Wilberforce.

 

Wilberforce menjadi seorang Kristen yang taat dan berintegritas. Tekadnya bulat, menggunakan kekuasaannya sebagai anggota parlemen untuk memperjuangkan keadilan sosial. Pada 1789, ia mulai mengampanyekan penghapusan perdagangan budak di Inggris. Lihat, betapa kuatnya pengaruh John Newton dalam diri Wilberforce! Ia tidak sendiri, perjuangannya dibantu oleh Thomas Clarkson dan kelompok Clapham Sect, sebuah kelompok Kristen evangelical yang sangat peduli terhadap isu-isu sosial. Mungkin inilah cara mereka menerjemahkan perkataan Paulus, “Bertolong-tolonganlah kamu menanggung bebanmu! Demikianlah kamu menanggung hukum Kristus… Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menyerah.” (Galatia 6:2,9).

 

Wilberforce menghadapi perlawanan sengit dari mereka yang memiliki kepentingan ekonomi dalam perdagangan budak. Ia harus menghadapi argumen-argumen yang menentang penghapusan perdagangan budak, termasuk klaim bahwa budak-budak dapat dipelihara dan terjamin jauh lebih baik ketimbang mereka yang hidup di Afrika! Setelah dua puluh tahun berjuang, Parlemen Inggris mengesahkan Undang-Undang Perdagangan Budak pada tahun 1807. Undang-undang itu menyatakan bahwa Inggris melarang terlibat dalam perdagangan budak. Beberapa bulan sebelum kematiannya, tepatnya pada 1833, Wilberforce dapat tersenyum lebar karena di seluruh wilayah Kekaisaran Inggris dinyatakan bebas dari perbudakan! Wilberforce dikenang sebagai seorang pejuang keadilan sosial yang gigih dan berdedikasi. Ia menunjukkan bahwa satu orang dapat membuat perbedaan besar dalam sejarah dengan memperjuangkan apa yang benar dan adil. Warisannya terus menginspirasi orang-orang untuk memperjuangkan keadilan sosial dan hak asasi manusia di seluruh dunia!

 

Untuk mewujudkan keadilan sosial harus ada orang yang rela menyerahkan diri, berjuang bahkan berdarah-darah. Untuk membebaskan umat dari penderitaan akibat dosa harus ada nabi-nabi yang diutus. Untuk membebaskan Israel dari tanah pembuangan ke sebuah negeri pengharapan yang berlimpah susu dan damai sejahtera, harus ada orang seperti Yesaya yang bersedia keluar dari zona nyaman! Untuk memulihkan kelemahan manusia yang dicengkeram oleh kuasa jahat dan keserakahan sesamanya, maka Yesus mengutus murid-murid-Nya. Mereka diutus untuk membawa damai sejahtera dan menyatakan cinta kasih Allah yang sedang menyapa siapa saja yang sedang letih-lesu dan berbeban berat.

 

Yesus mengerti situasi “taman bermain” ke mana utusan-Nya itu harus pergi. Kata-Nya, “Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala.” (Lukas 10:3). Tepat, ini bukan taman bermain! Tempat main domba – apalagi anak domba – jelas bukan di kawanan serigala, tetapi di padang yang berumput hijau dan air yang tenang! Ini, mengisyaratkan situasi bukan hanya tantangan, tetapi real bahaya! Mungkin kita bertanya, “Jangan-jangan Yesus bercanda?” Apalagi tidak boleh membawa uang dalam pundi-pundi. Padahal, kalau bawa banyak uang masalahnya mudah selesai. Benar uang bukan segalanya, tetapi segala sesuatu perlu uang. Benar, uang tidak dibawa mati, tetapi uang dapat mengubah hukuman mati. Inilah makna uang di dunia serigala!

 

Ya, Yesus tidak sedang bercanda. Ia serius mengutus para murid-Nya ke tempat “berbahaya”. Sejumlah syarat disampaikan pada para murid, tujuannya bukan untuk mencelakakan mereka. Namun dengan cara itu, Yesus sedang sungguh-sungguh memperlengkapi mereka. Mereka harus mengosongkan segala sesuatu agar dapat diisi oleh bekal perlengkapan yang sesungguhnya. Mereka harus mengisi dengan bekal diri Yesus sendiri. Tepat! Mereka harus mencontoh pada Sang Guru. Lihat, Yesus hadir di dunia ini membawa pesan Illahi; Firman yang menjadi manusia, nyaris tidak membawa apa-apa selain kain lampin yang membalut tubuh mungil itu di Betlehem. Dalam perjalanan pelayanan pun Ia mengatakan kepada orang yang mau mengikut-Nya, “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sangkar, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” Bekal yang dipandang baik dan utama oleh dunia ini harus dikosongkan. Setelah kosong barulah diisi dengan perlengkapan yang sungguh-sungguh utama dalam tugas misi itu. Mereka diminta untuk tidak mengandalkan perkara duniawi, tetapi berharap semata-mata pada Tuhan. Mereka tidak boleh berharap pada imbalan, karena mereka telah mendapatkannya. Lagi pula imbalan yang sesungguhnya adalah ketika mereka yang dilayani itu dapat tersenyum lebar!

 

William Wilberforce telah membuktikannya. Getaran jiwanya menjawab “iya” untuk sebuah penunjukkan bahwa ia harus berjuang mendatangkan damai sejahtera bagi anak-anak manusia yang tertindas karena perbudakan. Buku-buku dan khotbah-khotbah yang ia dengar seakan suara Tuhan sendiri yang mengetuk pintu hatinya agar mau berjuang. Dalam perjalanan perjuangannya, ia tidak mengandalkan nama keluarga yang terpandang dan kekayaan orang tuanya. Dalam perjuangannya, ia benar-benar masuk dalam “kawanan serigala”, parlemen yang haus akan uang dan kekuasaan. Kapan pun Wilberforce dapat dilibas dan dienyahkan! Namun lihatlah, dua puluh tahun ia berjuang dan akhirnya, sebelum menutup mata untuk selama-lamanya, ia dapat tersenyum! Ya, dia tersenyum bukan karena orang-orang menghargainya sebagai pejuang keadilan sosial yang hebat. Tetapi, karena banyak anak manusia yang mengalami pembebasan dan hak-haknya dikembalikan sebagai anak manusia yang sekaligus gambar Allah! William Wilberforce tidak seperti para murid yang kembali dari tugas perutusan mereka. Mereka pamer dan bangga bahwa setan-setan telah dikalahkan. Sayang, Yesus tidak membutuhkan laporan seperti itu, alih-alih Ia mengatakan, “… tetapi bersukacitalah karena namamu terdaftar di surga.” (Lukas 10:20b).

 

Jika panggilan itu datang pada William Wilberforce melalui pengaruh dua pendeta, Whitefield dan Newton, bukankah hal yang sama juga terjadi pada diri setiap orang Kristen! Setiap saat kita mendengar khotbah, renungan, pembinaan, dan apa pun itu, suara Dia yang memanggil terus didengungkan. Lalu, bagaimana kita menanggapinya? Tidakkah kita tergugah untuk meneruskan cinta kasih Tuhan itu? Tidakkah kita ingin orang lain juga merasakan cinta kasih Tuhan yang selama ini kita rasakan. Tidak inginkah kita melihat tatanan dunia baru yang penuh keadilan dan damai sejahtera? Atau masihkah kita menyampaikan argumen alasan-alasan yang tampaknya rasional tetapi sesungguhnya mencerminkan keengganan untuk pergi menjadi utusan-Nya. 

 

 

Jakarta, 3 Juli 2025 Minggu Biasa XIV Tahun C