Kamis, 18 April 2024

TUHAN GEMBALAKU

Yesus dan orang-orang Israel pada zaman-Nya tentu tidak asing dengan metafor gembala. Mereka tidak hanya mengerti tetapi amat sadar akan pentingnya peran gembala dalam hidup mereka. Gembala identik dengan pemimpin. Dalam kaitannya dengan umat Allah, gembala adalah mereka yang dipercayai untuk memimpin umat Israel. Intinya, umat Israel percaya bahwa hanya Tuhan sendirilah Sang Gembala sesungguhnya.

 

Tuhan adalah Gembala yang telah membawa umat Israel bebas dari perbudakan di Mesir. Sang Gembala menuntun mereka melalui Laut Merah, memberi makan di padang gurun, memimpin mereka dalam gurun itu menuju tanah perjanjian. Ia menunjukkan kepada mereka jalan hidup melalui sepuluh perintah-Nya. Tuhan memberikan kepada mereka gembala-gembala di sepanjang sejarah mereka, untuk menuntun mereka di jalan yang benar. Musa, Yosua, Daud, Salomo, Yesaya, Yehezkiel dan masih banyak lagi yang lain. Di antara mereka ada yang sungguh-sungguh mencerminkan mandat Tuhan, tetapi tidak kurang juga tampil bagaikan perampok dan gembala upahan.

 

Εγω ειμαι ο ποιμην ο καλος. “Akulah gembala yang baik!” Kata “baik” terjemahan dari καλος. “Kalos” punya dimensi sangat luas, tidak sekedar “baik”. Kata ini dapat diterjemahkan “mulia”, “indah”, ”ideal”, “sempurna”, “menakjubkan”. Ketika Yesus menyatakan diri-Nya gembala yang baik dengan dimensi yang sangat luas itu, berarti ada kriteria pembandingnya. Apa itu? Ya, jelas kebalikan dari kalos, yakni: gembala yang tidak mulia, tidak indah, tidak sempurna, dan tidak menakjubkan! Kriteria ini menunjuk kepada “pencuri yang masuk tidak melalui pintu, tetapi dengan memanjat dari tempat lain dan perampok” (Yohanes 10:1) dan “seorang upahan” (Yohanes 10:12).

 

Seorang pencuri atau perampok, jelas sedari awal punya niat menjadikan kawanan domba itu sebagai obyek untuk pemenuhan kebutuhan mereka. Namanya juga perampok dan pencuri, mereka akan menggunakan segala macam cara untuk mendapatkan domba-domba itu. Tidak segan untuk melukai dan membunuh para penjaga domba-domba itu dan akhirnya juga membantai domba-domba itu untuk kebutuhan mereka. Para pencuri dan perampok adalah gambaran dari para penguasa Israel yang mengeksploitasi umat Allah itu untuk kepentingan diri mereka. Mereka tidak segan memeras, menindas bahkan membunuh rakyat jelata yang tidak berdaya. Nyatanya, metafor perampok dan pencuri domba ini ada di sepanjang zaman bahkan sampai hari ini. Hari ini kita bisa menyaksikan masih banyak pemimpin yang mengeksploitasi rakyatnya untuk kepentingan kekuasaan diri mereka. Manipulasi pajak, penguasaan lahan, mafia tanah, diskriminasi dan tebang pilih kasus-kasus pidana, arogansi di ruang publik yang cenderung menganggap rendah rakyat biasa adalah bentuk-bentuk modern dari perampok dan pencuri!

 

Seorang “upahan”, rasanya tidak ada yang salah dan tidak adil juga kalau kita menyamakan seorang upahan dengan seorang perampok atau pencuri. Seorang gembala upahan adalah orang yang butuh bekerja. Dari pekerjaannya mereka mendapatkan nafkah untuk menghidupi diri dan keluarganya. Jelas, ada tanggung jawab di bahunya, yakni: dapur ngebul, dan kehidupan yang layak. Seorang upahan sepertinya tidak ada niat untuk merampok dan menikmati daging dari domba-domba itu. Hanya saja fokus dan kepedulian utamanya bukan pada kawanan domba yang dipercayakan kepada mereka, melainkan pada nyawa dan penghidupan mereka sendiri. Maka mereka bukanlah gembala ideal atau sempurna!

 

“Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya!” (Yohanes 10:11). Yesus adalah gembala yang baik karena kualitasnya yang berbeda dari para pemimpin Israel yang mengeksploitasi umat Allah. Ia berbeda dari mereka yang hanya mencari upah untuk kelangsungan hidup diri dan keluarganya. Yesus menyerahkan nyawa-Nya untuk menyelamatkan domba-domba-Nya. Ia mengutamakan keselamatan umat-Nya ketimbang nyawa-Nya sendiri!

 

Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya”. Kualitas inilah yang tidak terdapat pada gembala-gembala lain dalam tradisi Israel. Gembala yang memberikan nyawa-Nya merupakan tema unik sekaligus kualifikasi yang hanya melekat pada Yesus. Kelak Yesus membuktikan-Nya melalui kisah sengsara dan kematian-Nya di kayu salib.

 

Selain menyerahkan nyawa-Nya, kualifikasi Gembala baik itu tercermin dari relasi yang dibangun dengan domba-domba-Nya. Hubungan Yesus, Sang Gembala dengan domba-domba-Nya bukanlah transaksi, melainkan relasi. Ya, Yesus membangun relasi dengan para pengikut-Nya tepat seperti relasi diri-Nya dengan Sang Bapa. Relasi Yesus dengan para pengikut-Nya saling mengenal: Sang Gembala mengenal nama satu per satu dari kawanan domba-Nya. Dengan gada dan tongkat-Nya, Ia membimbing, mengarahkan, memimpin. Ia memelihara dan memberkati dengan rumput di padang yang hijau dan air yang tenang. Ia melindungi dan menuntun di lembah kekelaman. Pada pihak lain, kawanan domba itu mendengarkan suara dari Sang Gembala!

 

Ya, ini bukan transaksi tetapi relasi antara Sang Gembala dan kawanan domba gembalaan-Nya. Relasi yang terus mengenal lebih dalam. Dalam tradisi Kitab Suci, mengenal seseorang menurut namanya berarti berkembang dalam pemahaman terhadap pribadi orang tersebut. Mengenal kekuatan, keistimewaan dan juga kelemahan-kelemahannya, kebutuhan-kebutuhan yang mesti dilengkapi. Ketika Sang Gembala mengatakan bahwa Ia mengenal domba-domba-Nya, itu artinya Ia mengenal dengan baik siapa kita sesungguhnya. Ia bersedia melengkapi setiap kekurangan kita dan Ia tahu bagaimana seharusnya kita berkembang! 

 

Yesus adalah Gembala yang baik, bahkan paling baik. Ia menyediakan segala sesuatu yang kita perlukan. Namun, apakah kita juga pernah mempertanyakan terhadap diri kita sendiri, bahwa kalau aku mempunyai seorang Gembala yang paling baik, gembala ideal, gembala yang sempurna dan menakjubkan, maka aku harus berusaha menjadi domba yang paling baik, domba ideal, domba yang sempurna dan menakjubkan. Bukankah menjadi tidak ideal kalau Gembalanya super baik dan sempurna tetapi domba-dombanya nakal tidak karuan!

 

Mendengar adalah kunci relasi yang baik. Yesus mengatakan bahwa domba-domba-Ku mengenal suara-Ku! Sudahkah kita menjadi domba-domba yang mendengar dan fokus hanya pada suara Sang Gembala itu? Atau, justru kita enggan mendengar suara-Nya dan sibuk mengikuti suara-suara lain. Sama seperti umat Allah di padang gurun yang enggan mendengar suara Tuhan. Mereka menutup rapat telinga dan hati mereka terhadap suara dan tuntunan Tuhan, dan membuka lebar-lebar untuk mendengar suara keegoisan sendiri!

 

Sama seperti Israel di padang gurun menuju tanah perjanjian. Kita semua sedang menuju “negeri perjanjian” itu. Kita sedang mengembara di gurun dunia. Suara siapa yang kita dengar? Suara siapa yang kita andalkan untuk dapat memandu kita sampai di negeri kekal itu? Sebagai domba-domba yang baik, mestinya yang kita dengarkan itu adalah suara Sang Gembala!

 

Bagaimana dengan kita? Apakah kita termasuk domba-domba yang baik karena digembalakan oleh Gembala Agung yang sempurna itu? Lalu, apa kualitas domba yang baik itu? Sama seperti kualitas Gembala baik akan tampak dalam kata, ajaran dan tindakan, demikian juga kawanan domba-Nya akan terlihat dalam kata dan perbuatan. Kasih yang diajarkan dan diperagakan oleh figur Sang Gembala akan tercermin jelas dalam diri kawanan domba-Nya. Kasih yang membuang jauh keegoisan dan kemunafikan. Bahkan, seperti Sang Gembala itu sendiri yang rela menyerahkan nyawa-Nya, para domba-Nya tidak mustahil akan melakukan hal serupa!

 

Nyawa adalah prioritas paling utama dalam diri setiap makhluk hidup termasuk manusia. Prioritas utama itu telah diserahkan oleh Sang Gembala demi domba-domba-Nya. Maka, setiap kawanan domba yang mendengar suara Sang Gembala tidak akan segan menanggalkan prioritas utama itu dalam hidup demi kasihnya kepada sesamanya. Kasih itu akan menjadi tanda kualitas domba-domba yang digembalakan oleh Sang Gembala Agung. Kasih yang bukan pura-pura, hanya ada di mulut, tetapi kasih yang nyata dalam perbuatan!

 

Jakarta, 17 April 2024 Minggu Paskah ke-4 Tahun B

Rabu, 10 April 2024

SAKSI KEBANGKITAN TUHAN

Catatan Luios M. Bermejo, dalam karyanya Misteri dan Makna Kebangkitan Yesus, Makam Kosong, Petrus merupakan murid Yesus yang imannya tumbuh pelan dan menyakitkan. Hal ini kontras dengan Tomas yang disebut Didimus itu. Iman Tomas, yang semula tidak percaya menjadi beriman secara mendadak setelah berjumpa dengan Yesus yang bangkit.

 

Koq bisa Petrus diberi label imannya tumbuh pelan dan menyakitkan? Mari kita mengingat lagi peristiwanya sebelum penyaliban Yesus. Peristiwa dua setengah hari terakhir masih segar dalam ingatan Petrus. Pada perjamuan malam terakhir itu, Yesus telah meramalkan dengan tepat penyangkalan Petrus, termasuk peristiwa kecil yang akan mengiringinya, yakni ayam berkokok. Petrus membantahnya. Sekali-kali ia tidak akan menyangkal! Dengan diam Yesus menerima pernyataan kesetiaan Petrus. Meskipun nyatanya benar Petrus tiga kali menyangkal-Nya!

 

Masih segar dalam ingatan Petrus, tiga kali ia menyangkal di halaman imam besar. Tatapan mata Yesus yang tajam dan penuh pemahaman bertemu tanpa bicara di halaman imam besar yang redup sebelum Yesus sepenuhnya ditelan oleh kegelapan. Sekarang, Petrus merasa amat hina karena pengecut. Imannya yang ada di kakinya runtuh berkeping-keping!

 

Semua kenangan menyedihkan itu berkecamuk dalam pikirannya ketika Petrus berada tepat di depan Yesus. Yesus melangkah maju dan tanpa mengatakan apa-apa – kata-kata apa yang dibutuhkan apabila kedua-duanya telah mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh keduanya? – memeluk Petrus yang gemetar dalam dekapan yang penuh pengertian, tanpa satu teguran apa pun, dan tanpa menyebut sedikit pun peristiwa-peristiwa yang memalukan di masa lampau itu. Sama sekali tidak! Pelukan yang erat tanpa kata-kata antara dua orang yang hampir seusia. Yesus tersenyum, tetapi Petrus menangis lagi! Dua hari sebelumnya, sesudah mendengar ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya dan tiba-tiba menyadari besarnya perbuatannya, ia luluh dan menangis. Sekarang, ia menangis lagi! Masih terbayang akan pembualannya yang sia-sia dan kelemahan-kelemahannya yang merendahkannya sekarang menyerangnya dengan kekuatan hebat. Petrus tidak berani mengangkat matanya – yang penuh dengan air mata – untuk menangkap pandangan Yesus. Petrus penuh dengan seonggok perasaan-perasaan yang berlawanan : malu, bingung, menyesal, direndahkan, tidak pantas – dan di bawah itu semua, cinta sejati terhadap Yesus.

 

Pelukan Yesus tidak disertai kata-kata tetapi merupakan kesaksian pengampunan yang kuat atas apa yang pernah dilakukan oleh Petrus. Tetapi Petrus tidak akan pernah melupakan bahwa, sementara murid-murid lain telah bersalah karena meninggalkan Yesus di taman Getsemani, ia menjadi satu-satunya orang yang bersalah karena menyangkal-Nya dengan jelas. Dan di atas kehancuran kegagalan yang mendatangkan kendala dan merendahkan itulah, Petrus menerima anugerah iman Paskah yang gemilang sekaligus sebuah mandat untuk menggembalakan domba-domba-Nya!

 

Pemulihan itu begitu ajaib, tidak hanya Petrus, semua murid-murid mengalami pemulihan. Yesus memulihkan para murid melalui kehadiran-Nya. Ia menunjukkan luka-luka-Nya. Tidak hanya itu, Yesus mempersilahkan mereka untuk meraba luka-luka itu! Kini, iman itu masuk melalui rasa, yakni dengan melihat dan meraba. Namun, maksud penulis Injil Lukas bukan hanya menggambarkan sifat-sifat fisik Yesus yang sudah bangkit, tetapi menekankan kesamaan pribadi Yesus yang sudah bangkit. Yang ada di depan mereka adalah orang yang sama yang mati pada hari Jumat itu, dan kini menampakkan diri pada hari Minggu. Bukan hantu! Ada unsur kelanjutan tubuh antara Yesus yang melayani orang banyak dan Yesus yang bangkit! Dia yang bangkit itu memberi pesan, “Kamu adalah saksi dari semuanya ini!” (Lukas 24:48).

 

Mari kita kembali kepada Petrus. Suatu ketika Petrus dan Yohanes hendak pergi ke Bait Suci. Di pintu gerbang indah, mereka berjumpa dengan seorang yang lumpuh sejak lahir. Orang lumpuh itu meminta sedekah. Petrus menjawab, “Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!” (Kisah Para Rasul 3:6). Seketika itu, orang lumpuh itu berjalan dan melompat-lompat! Peristiwa itu menggemparkan lantaran orang lumpuh itu terus mengikuti Petrus dan Yohanes, lalu orang banyak yang terheran-heran mengerumuni mereka di Serambi Salomo. Melihat orang banyak itu, lalu bangkitlah Petrus memberi kesaksian.

 

Peristiwa di Serambi Salomo ini adalah hal penting bagi kehidupan jemaat perdana. Yesus ketika masih bersama-sama dengan mereka pernah menyampaikan pengajaran-Nya di tempat ini (Yohanes 10:23). Para murid di kemudian hari juga menjadikan tempat ini semacam tempat pertemuan mereka untuk mengenang kembali apa yang pernah mereka lakukan bersama dengan Yesus (Kisah Para Rasul 5:2). Tempat itu bukan hanya untuk menunjukkan kaitan para murid dengan tradisi Yahudi, melainkan untuk mengenang kembali mereka dengan karya Yesus. Pada kesempatan itu Petrus bersaksi. Apa yang disampaikannya?

 

Pertama, Petrus menegaskan bahwa peristiwa itu, yakni penyembuhan orang yang lumpuh sejak lahir, bukanlah karena kekuatan dan kesaktiannya. Apa yang disaksikan oleh banyak orang secara kasat mata perlu dikaji dengan cermat. Petrus tidak menganggap diri memiliki kekuatan seperti Simon Magus (Kisah Para Rasul 8:9). Ia juga menolak bahwa peristiwa itu merupakan buah dari kesalehan dirinya bersama Yohanes. Mengapa Petrus menyatakan demikian? Apakah ia lupa akan janji Yesus: Mintalah, maka engkau akan diberi? Petrus pasti menyadari akan kekuatan iman. Ia sadar bahwa dalam peristiwa itu kekuatan iman turut bekerja dan erat hubungannya dengan doa. Namun, dalam kesempatan ini yang menjadi arah pemikiran Petrus adalah kesaksian! Petrus sadar, ia hanya menjadi saksi, bukan pelaku utama mukjizat itu. Petrus menjadi saksi karya Allah yang menyembuhkan! Mukjizat itu terjadi karena Allah sendiri, Petrus adalah alat di tangan-Nya, maka bukan kekuatan Petrus sendiri yang tampak, melainkan Allah yang mengerjakan hal-hal besar itu.

 

Petrus menegaskan bahwa peristiwa tersebut erat kaitannya dengan peristiwa dan karya Yesus Kristus yang kini bangkit mulia, dan pada kesempatan itu menunjukkan kuasa kebangkitan-Nya yang dapat membangkitkan orang lumpuh meskipun kelumpuhan itu dialami sejak lahir. Sebagaimana dirinya yang tidak disalahkan oleh Yesus, Petrus tidak menyalahkan para pendengarnya dalam hal kematian Yesus, tetapi ia mau menegaskan bahwa karya Allah tidak bisa gagal. Karya itu bagaimana pun juga terlaksana sesuai dengan rencana dan kehendak-Nya! 

 

Peristiwa Yesus kemudian menjadi peristiwa karya Allah yang menyelamatkan siapa saja yang mau percaya kepada-Nya. Pada kesempatan ini Petrus mau menunjukkan makna kebangkitan Yesus sebagai pemenuhan karya Allah yang menyelamatkan tersebut. Inilah yang menjadi fokus utama kesaksian Petrus. Petrus mengimani sabda Yesus yang membangkitkan tersebut, maka ia juga berani mengucapkannya atas nama Yesus. Inilah yang seharusnya menjadi pusat kesaksian umat Kristiani.

 

Hari ini kita telah belajar bagaimana seorang Petrus dengan masa lalunya yang telah dipulihkan. Kesaksiannya merupakan buah dari pemulihan itu. Tuhan Yesus tahu dengan baik masa lalumu. Mungkin dulu engkau pernah menyangkal dan menghianatinya, atau engkau telah bertindak memalukan, memuakkan, dan menjijikan. Seperti Dia berdiri di hadapan Petrus dan menatap wajahnya. Hal yang sama Ia lakukan, bukan untuk menghakimimu, bukan untuk mempermalukanmu. Namun, Ia ingin memulihkanmu! Mari, sambutlah Dia! Tidak usah banyak kata, Ia tahu isi hatimu. Yang perlu engkau lakukan, pegang tangan yang terluka itu, peluk tubuh-Nya dan rasakan bekas luka lambung-Nya. Itulah yang memulihkanmu!

 

Sekarang, sama seperti Ia meminta Petrus dan murid-murid yang lain untuk menjadi saksi-Nya. Ia juga ingin kamu menjadi saksi-Nya. Ya, saksi kebangkitan-Nya. Kesaksian bukadengan memamerkan prestasi dan kesalehanmu, tetapi bahwa di dalam nama-Nya ada kebangkitan dan hidup. Di dalam nama-Nya kasih Allah terus mengalir sampai sekarang!

 

Jakarta, 10 April 2024. Minggu Paskah ke-3 tahun B.