Rabu, 24 Agustus 2016

GKI, SUDAHKAH MENJADI GEREJA YANG MENGINDONESIA?


Archandra Tahar dan Gloria Natapradja Hamel adalah dua nama yang sempat menjadi trending topic di berbagai media sosial beberapa minggu belakangan ini. Archandra Tahar dalam kacamata Presiden Joko Widodo mempunyai kompetensi akademis dan praktisi mumpuni dalam bidang perminyakan, maka sang Presiden memintanya untuk pulang ke tanah air mengambil alih kursi kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dari Sudirman Said. Namun, sayangnya ternyata kepandaian dan sederet prestasi yang sudah ditorehkannya di negeri Paman Sam tidak bisa begitu saja membuatnya nyaman menjadi orang nomor satu di kementrian ESDM. Kewarganegaraannya dipertanyakan! Pasalnya, pada 2012 ia telah memeroleh paspor dari negara di mana ia menimba ilmu dan berkarier, USA. Pembelaan diri yang menyatakan bahwa ia sungguh-sungguh orang Padang dan pembelaan beberapa menteri termasuk Menkopolhukam yang baru, Wiranto tidak bisa memertahankannya sebagai Menteri ESDM. Indonesia tidak mengenal dwi kewarganegaraan, dan Tahar pun harus mendapat rekor sebagai Menteri yang paling pendek menjabat, tidak lebih dari 20 hari!

Lain lagi yang menimpa Gloria Natapradja Hamel, jerih lelahnya setelah berbulan-bulan mengikuti
latihan Paskibraka tidak bisa menjaminnya ikut bersama dengan 67 temannya dalam kirab dan pengibaran bendera di Istana Merdeka. Meskipun, Presiden Joko Widodo memutuskan Gloria masuk kembali ke dalam pasukannya pada petang hari dalam acara penurunan bendera, tetap saja ia harus menelan pil pahit yang bernama kecewa. Keindonesiaannya diragukan karena ia terlahir dari benih seorang ayah berkebangsaan Perancis.

Banyak pengamat dan tokoh berbicara. Ada yang menyayangkan kecerobohan apparat negara dalam proses penyeleksian menteri atau anggota paskibraka. Namun, tidak sedikit pula yang melihat kewarganegaraan dalam hal ini keindonesiaan seseorang bukan semata-mata ditunjukkan oleh secarik kerta legalitas, melainkan jauh di balik itu. Di mana di dalam dada seseorang tertanam kecintaan yang luar biasa terhadap tanah air yang diwujudkan dengan rela berkorban, berjuang dan mempersembahkan apa yang terbaik untuk ibu pertiwi. Ironis, pada pihak lain, justeru ada yang berteriak-teriak “pribumi asli” namun, idealisme dan perjuangan justeru berkiblat pada kepentingan asing, entah itu pemodal atau aliran faham radikalisme keagamaan. Atau juga berkoar-koar paling nasionalis namun ternyata realitas membuktikan dirinya seorang koruptor! Dalam tataran ini kita bertanya, “Mana yang mengindonesia?”

Rupanya, perdebatan keindonesiaan memang tidak sederhana atau sesempit yang kita bayangkan. Sama tidak sederhananya ketika sekelompok orang yang menamakan diri Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee, gereja yang beretnis Tionghoa  memutuskan mengganti nama menjadi Gereja Kristen Indonesia. Bayangkan, sebuah entitas yang menyandang dua gelar identitas “asing” (etnisitas Tionghoa dan kristianitas) tiba-tiba memilih nama Gereja Kristen Indonesia dan bukan Gereja Kristen Di Indonesia. Hal ini jelas berbeda, Gereja Kristen Di Indonesia itu berarti orang-orang Kristen yang berkumpul di Indonesia mendirikan sebuah Gereja. Sedangkan Gereja Kristen Indonesia bermakna warga negara Indonesia yang menghayati dan menyatakan iman Kristennya di Indonesia. Pemikiran ini timbul dari refleksi sebagai berikut. Pertama, Gereja harus menemukan jati dirinya di tengah kehidupan suatu bangsa di mana ia hidup. Kedua, bertolak dari pertimbangan pertama ini, gereja menemukan kenyataan bahwa hampir seluruh anggotanya, gereja adalah orang-orang berwarganegara Indonesia dan berbahasa Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari penerapan hasil konferensi Meja Bundar (27 Desember 1949) dan Perdjandjian Republik Indonesia – Republik Rakjat Tiongkok (22 April 1955). Ketiga, bertolak dari hal pertama dan kedua, gereja menyadari bahwa dirinya harus terbuka bagi segala golongan etnik, yang dalam konteks Indonesia, gereja harus terbuka bagi segala golongan dan suku. Maka pada tahun 1956 THKTKH Djawa Tengah mengubah nama menjadi Gereja Kristen Indonesia Djawa Tengah. Menyusul pada 2 Oktober 1958 TKHTKH Djawa Barat mengganti nama dengan Gereja Kristen Indonesia Djawa Barat. Dalam tahun yang sama juga TKHTHK Djawa Timur mengganti nama dengan Gereja Kristen Indonesia Djawa Timur (Sumber: Buku Panduan Bagi Aktivis dan Pejabat Gerejawi – Bina Warga 1996).

Menyadari ada begitu banyak persamaan dan sumber-sumber sejarah, maka diupayakanlah penyatuan ketiga sinode Gereja Kristen Indonesia Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur untuk menjadi satu Sinode. Kesamaan visi-misi ini mendorong para pejabat gereja untuk menggalang upaya nyata penyatuan itu. Upaya itu terwujud pada tanggal 27 Maret 1962 dengan membentuk Sinode Am GKI. Setelah menempuh satu generasi, maka pada 26 Agustus 1988 ketiga gereja tersebut menyatakan ikrarnya menjadi satu gereja, yakni Gereja Kristen Indonesia.

Minggu ini kita merayakan HUT Gereja Kristen Indonesia yang ke-28 dengan tema GKI, Sudahkah Menjadi Gereja Yang Mengindonesia? Tema dengan kalimat tanya menyiratkan kita uuntuk berefleksi. Kata kerja yang mewakili awalan “meng-“ memiliki banyak arti, di antaranya: menjadi, menyatakan, mengaku. Dengan demikian “mengindonesia” bisa dipahami sebagai upaya untuk menjadi Indonesia, menyatakan dan mengaku diri Indonesia. Menjadi gereja yang menyandang nama “Indonesia” bukanlah sekedar embel-embel supaya keren atau gagah. Melainkan gereja yang hidup sesuai dengan dan untuk menjawab pergumulan dalam konteks Indonesia sesuai dengan visi-misi awal para penggagas nama Gereja Kristen Indonesia. Apa sajakah kontribusi yang telah diberikan GKI dalam konteks  kehadirannya di Indonesia? Saat inilah waktunya yang tepat untuk kita merenungkannya.

Di dunia tidak ada yang sempurna, begitu kata pepatah. Demikian juga dengan gereja: pasti ada cacat cela namun tidak sedikit pula capaian dan keberhasilan. Cacat-cela dan kegagalan bukanlah perkara yang membelenggu langkah kita untuk terus maju. Namun, keberhasilan dengan pelbagai capaian bukan menjadi alasan untuk pongah dan jumawa. Kegagalan, cacat-cela harus dan mutlak diperbaiki. Keberhasilan harus terus dipertahankan dan dikembangkan dengan segala sikap rendah hati.

Ada banyak capaian dan keberhasilan selama 28 tahun GKI berkiprah, sebut saja: Sumbangsih penyatuan ketiga sinode GKI Jateng, Jabar dan Jatim menjadi satu Sinode GKI di tengah banyaknya perpecahan gereja yang terjadi. Keteraturan dan ketertiban yang diwujudkan dalam Tata Gereja yang dinamis dalam system presbitarial sinodal, dipercaya mengelola harta milik kepunyaan Tuhan yang diwujudkan dalam tanggungjawab, tidak jatuh dalam pengkultusan individu, memiliki tata ibadah ekumenis dengan kelengkapan buku nyanyian dan mazmur, terlibat dan dipercaya menangani bencana melalui Gerakan Kemanusiaan Indonesia, pembinaan kader-kader pemimpin yang sistematik dan terencana, lembaga-lembaga pendidikan unggulan, dan sebagainya. Berbagai capaian itu tidak seharusnya membuat GKI lupa diri, melainkan dengan penuh kerendahan hati bahwa anugerah Tuhanlah yang memungkinkan GKI mencapai hal-hal tersebut. Ingatlah bahwa Tuhan lebih menyukai orang-orang yang rendah hati ketimbang pongah dengan pelbagai capaian dan prestasi.

Pada Minggu ini bacaan Injil kita Lukas 14:1, 7-14 mengingatkan kita untuk tetap bersikap rendah hati. Dikisahkan ada seorang pemimpin Fasiri mengundang Yesus dalam suatu jamuan makan pada hari Sabat. Perjamuan makan dengan mengundang para tamu merupakan kegiatan sosial penting dalam kehidupan masyarakat Yahudi. Dalam jamuan itu para undangan dari pelbagai status sosial hadir dan tentunya saling “mengasah ilmu” di antara mereka. Status dan kedudukan para undangan dalam perjamuan itu tampak lewat lokasi tempat duduk mereka. Orang-orang yang terhormat akan duduk di dekat tuan rumah atau di deretan paling depan. Kadang-kadang tuan rumah terpaksa mempermalukan tamu yang ‘tidak tahu diri” dan sekaligus meninggikan tamu yang perlu ditinggikan. Allah pun kelak akan “merendahkan” ataupun “meninggikan” orang tertentu dalam Kerajaan-Nya (Luk.14:11).

Yesus hadir pada saat itu sebagai undangan. Namun, Ia memanfaatkan momentum itu untuk mengajar para murid-Nya. Yesus sama sekali tidak menyerang, apalagi menyinggung perasaan orang-orang yang duduk dalam perjamuan makan itu. Kata-kata-Nya berisi nasehat bijak, “Tidak bijaksanalah kalau Anda mengambil tempat yang utama di ruang resepsi. Sebab bisa saja datang seorang yang lebih terhormat dari Anda. Orang tersebut biasanya datang pada menit-menit terakhir atau sedikit terlambat. Tuan rumah tentu harus memberi tempat utama kepada orang itu. Maka, apabila Anda menempati tempat yang seharusnya diberikan kepada orang yang terhormat itu, Anda akan harus mundur ke tempat di belakang. Maka janganlah Anda terlalu ambisius, supaya jangan dipermalukan!” Kalimat senada ini juga terdapat dalam Amsal 25:6 dst.

Ambisi untuk kehormatan diri sendiri, itulah pesan utama yang disampaikan Yesus kepada para murid-Nya. Ambisi untuk mencapai kehormatan mengatasnamakan pelayanan gereja merupakan virus yang membunuh gereja itu sendiri, sebab berkaca dari perumpamaan Yesus ini kita mengerti di posisi mana Tuhan akan menempatkan orang (baca: gereja) yang tinggi hati.

Pada bagian percakapan kedua, Yesus menasihatkan bahwa sebaiknya undangan jamuan makan itu ditujukan kepada mereka yang tidak mampu makan dengan layak, seperti orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh, dan orang-orang buta. Mereka ini adalah kaum lemah yang tersisih dalam tatanan masyarakat Yahudi. Ini menyiratkan keprihatinan Yesus yang menitipkan mereka kepada setiap pengikut-Nya; gereja dan orang Kristen agar memerhatikan mereka.

Mengasihi orang yang sederajat dan bisa membalas lagi kebaikan kita adalah hal lumrah, tetapi mengasihi orang yang lemah, memberi tumpangan kepada orang asing, dan yang terlupakan, ketika itu dilakukan dengan tulus, tanpa motivasi politis maka sama artinya kita sedang menjamu para malaikat (Ibrani 13:2). Gereja Kristen Indonesia mestinya gereja yang ramah dengan menyambut orang-orang yang tersisih dan pastinya tidak akan dapat membalas dengan “undangan jamuan makan” kembali. Di sinilah konteks keindonesiaan itu! Membuka ruang dan menerima dalam peluk dan cinta kasih. Bukan sebaliknya, ramah dan memberi “jamuan makan” oleh karena di belakangnya nanti ada kepentingan agar gereja menjadi aman dan nyama serta dihormati sebagai lembaga dermawan. Selamat berulang tahun ke-28 GKI, tetaplah menjadi Gereja Yang Mengindonesia!
24 Agustus 2016

Jumat, 19 Agustus 2016

TUHAN MELEPASKAN IKATAN PENGHAMBAT HIDUP

Sudah menjadi tradisi, setiap tanggal 16 Agustus Presiden Republik Indonesia menyampaikan pedato kenegaraan dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia dalam persidangan DPR di komplek Senayan. Isinya sudah dapat diduga, siapa pun presidennya pasti akan menyampaikan cerita sukses dan rencana-rencana program kerja populis mendatang. Selesai berpidato, maka akan segera bermunculan pengamat, politisi bahkan masyarakat umum yang diwawancarai wartawan tentang tanggapan mereka terhadap pidato kenegaraan itu. Sudah dapat ditebak pula, yang pro pemerintahan akan berpandangan positif dan mendukung capaian dan langkah-langkah yang diambil oleh presiden dan jajarannya. Sebaliknya, yang kontra akan berpandangan sebaliknya.

Pidato kenegaraan Presiden Jokowi kali ini pun sama, tidak lepas dari pro-kontra. Namun, ada hal menarik yang terus dipergunjingkan sampai saat ini bukanlah capaian atau program-program kerja sang Presiden dan para menterinya, melainkan doa penutup sidang yang diucapkan oleh salah seorang anggota DPR dari partai yang berseberangan dengan penguasa. Isi doa yang disampaikan Muhammad Syafi’I menyangkut masalah hukum, ekonomi masyarakat, kezaliman apparat negara dan sikap penguasa yang tidak amanah.  “Jauhkan kami dari pemimpin yang khianat, yang hanya memberi janji-janji palsu, harapan-harapan kosong, dan kekuasaan yang bukan untuk memajukan dan melindungi rakyat ini, tapi seakan-akan arogansi kekuatan berhadap-hadapan dengan kebutuhan rakyat….Allah, kalau ada mereka yang ingin bertaubat, terimalah taubat mereka ya Allah. Tapi kalau mereka tidak bertaubat dengan kesalahan yang dia perbuat, gantikan dengan pemimpin yang lebih baik di negara ini, ya Allah…”

Doa sang legislator segera saja menjadi viral di media-media sosial. Doa itu banyak menuai pujian, khususnya dari lawan-lawan politik rezim kabinet kerja. Sebaliknya, caci maki dan kritikan tidak kalah banyak dari mereka yang pro pemerintah. Bagaimana pun, doa itu kini telah menjadi “doa politik” karena terlanjur bergulir dipolitisasi. Sangat disayangkan, doa semestinya merupakan bagian dari ibadah, yakni sebagai sarana komunikasi dengan Sang Adikodrati, secara kreatif telah dipakai untuk kepentingan-kepentingan politik pencitraan diri dan kelompok yang ujung-ujungnya menebar pengaruh demi mencapai kekuasaan.

Doa dan ibadah dipolitisir? Bukan hal yang baru! Suatu hari diceritakan Lukas, Yesus sedang mengajar dalam sinagoge (Lukas 13: 10-17). Dalam kerumunan orang banyak yang mendengarkan ajaran-Nya, rupanya mata Yesus tertuju kepada seorang perempuan yang sedang menderita. Di situ ada seorang perempuan yang sudah delapan belas tahun dirasuk oleh roh sehingga ia sakit sampai bungkuk dan tidak dapat berdiri dengan tegak. Pada zaman itu, sakit dan penderitaan yang membelenggu manusia lazim dimengerti oleh karena kuasa roh jahat. Roh jahat telah mengikat si perempuan ini sehingga ia begitu menderita dan tidak leluasa untuk bergerak. Tanpa meminta dan tanpa terlebih dahulu perempuan ini percaya kepada Yesus, Yesus memintanya untuk tampil ke depan dan Ia mengatakan, “Hai ibu, penyakitmu telah sembuh.” Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas perempuan itu, dan memuliakan Allah.  Perempuan ini sangat bersukacita oleh karena beban penderitaan yang membelenggunya selama delapan belas tahun sudah dilepaskan oleh Yesus.

Alih-alih ikut bersyukur, kepala sinagoge yang telah memberi izin kepada Yesus untuk mengajar menjadi gusar dan menuduh Yesus telah menodai Hukum Sabat. Ia berkata kepada orang banyak – tujuan yang sebenarnya untuk menyinggung Yesus, “Ada enam hari untuk bekerja. Karena itu datanglah pada salah satu hari itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari Sabat.” Lihat, bagaimana terampilnya sang kepala rumah ibadah ini menggunakan hukum keagamaannya untuk sebuah maksud lain, yakni menampikkan kelepasan yang sudah dialami oleh perempuan itu. Tak segan-segan pula ia menafsirkan hukum Taurat melebih apa yang sebenarnya dimaksudkan, atau menambah-nambahkan kehendaknya sendiri dengan memandang bahwa penyembuhan dengan jamahan tangan, atau dengan kata-kata yang diucapkan, merupakan suatu pekerjaan yang dilarang pada hari Sabat. Padahal, kesembuhan sangat jelas merupakan pekerjaan Allah yang penuh belas kasihan. Khesed, berarti “belas kasihan” mencakup arti “saleh”. Orang yang saleh pasti punya kepedulian belas kasih kepada sesamanya yang menderita. Orang yang saleh berkenan kepada Allah, dan karena itu berbelas kasih pada Hari Sabat adalah perkara yang pantas dilakukan.

Hai orang munafik!” Itu jawaban Yesus terhadap gugatan kepala rumah ibadah tersebut. Munafik dalam konteks ini berarti mengetahui kebenaran tetapi tidak untuk dilakukan melainkan dipakainya untuk menghakimi orang lain. Doa-doa politis sering diucapkan oleh orang-orang munafik. Mereka bisa mengucapkan dan memakainya untuk menyerang lawan tetapi tidak bagi diri sendiri. Betapa mudahnya, mulut-mulut anggota DPR membangun wacana anti korupsi, anti penindasan, keadilan sosial dan sebagainya yang enak didengar, namun tidak untuk membangun dirinya sendiri! Hal, serupa sering terjadi pada lembaga-lembaga rohani / keagamaan yang selalu menuntut orang lain berbuat benar tetapi dihindari bahkan sengaja tidak dilakukan oleh diri sendiri.

Yesus membuktikan kemunafikan mereka yakni dengan cara melihat kebiasaan orang Yahudi yang tidak pernah dilarang dalam memberi minum hewan ternak pada hari Sabat. Hewan ternak yang dikurung di dalam kandang biasanya dilepaskan pada Hari Sabat, dan dibawa ke tempat mereka bisa minum. Sungguh keterlaluan jika mereka tidak melakukan tindakan itu. Yesus menerapkan analogi ini terhadap penderitaan perempuan yang telah disembuhkan-Nya. Dengan kata sederhana Yesus mengatakan, “Haruskah lembu dan keledai diberi belas kasihan pada Hari Sabat, dan diberi begitu banyak waktu dan tenaga untuk diurus setiap Hari Sabat, untuk dilepaskan dari kandang, dibawa ke tempat minum yang mungkin jauh, dan kemudian dibawa kembali ke kandang. Sedangkan, perempuan ini, tidak bolehkah ia, hanya dengan jamahan tangan dan ucapan kata-kata, dilepaskan dari penderitaannya yang jauh lebih dasyat dari pada yang dirasakan hewan ternak yang dikurung di dalam kandang seharian tanpa diberi minum? Seba, itu pertimbangkanlah! Dia ini seorang keturunan Abraham, bapa leluhur yang membuat kamu bangga menjadi bangsa pilihan. Dia ini saudarimu, jadi, apakah dia tidak boleh menerima kebaikan yang kamu sendiri berikan kepada keledai atau lembumu dengan sedikit tidak mengindahkan ketentuan hukum pada Hari Sabat itu? Dia ini diikat oleh Iblis, Iblislah yang merusak kehidupannya, jadi apakah AKu tidak boleh membuka ikatan itu?”

Mendengar jabawan itu ia merasa malu dan semua orang banyak bersukacita karena segala perkara mulia, yang telah dilakukan-Nya. Nah, sekarang kita ada di bagian mana? Orang yang malukah atau yang bersukacita. Kita, khususnya sebagai bangsa harusnya merasa malu. Selalu memandang dan meragukan kewarganegaraan, ras dan agama saudara-saudara sebangsa kita  – yang sebenarnya mereka lebih baik dalam berjuang, mencintai dan menghargai tanah air kita. Berapa banyak orang atau lembaga keagamaan dan politik yang mengusung dan meneriakkan ajaran agama dan moralitas yang tinggi, padahal sudah terbukti bahwa justeru merekalah yang sering jadi pengacau dan penghasut. Rasanya bukan zamannya lagi membawa hukum, kaidah moral dan ajaran nilai-nilai luhur agama hanya untuk membangun citra dan kebanggaan diri.

Lihatlah, Yesus berhasil melepaskan ikatan yang membuat perempuan itu delapan belas tahun lamanya menderita. Namun, yang kini terjadi justeru masih banyak orang yang mengikatkan diri dengan kemunafikan mereka. Hal ini, jauh lebih berbahaya, sebab – kalau perempuan itu “diikat” oleh kuasa jahat dan yang menderita hanya dia sendiri. Nah, sekarang, jika seseorang dibelenggu dan diikat oleh kemunafikannya, maka yang terjadi korbanya adalah orang lain. Ya, ia bisa menghasut, memfitnah, menyerang dan membinasakan yang lain.

19 Agustus 2016