Kamis, 04 Agustus 2016

YAKIN DAN TAAT AKAN JANJI PEMELIHARAAN TUHAN

The Great Escape, sebuah film garapan sutradara John Sturges pada tahun 1963 menjadi sebuah film inspiratif. Film tersebut diangkat dari kisah nyata tentang tawanan perang Nazi yang berusaha melarikan diri dari kamp Stalag Luft III. Kamp ini sangat besar dan terletak 160 kilometer kea rah tenggara Berlin, digunakan untuk menahan sepuluh ribu tentara sekutu. Pada 1944, di dalam kamp itu terbentuk kelompok tawanan ini yang bertekad melarikan diri. Tujuan mereka adalah melarikan setidaknya 250 tawanan dalam semalam. Jelas bukan perkara mudah!

Ketika niat itu muncul, pada saat bersamaan terbentang tantangan yang tidak main-main. Pertama-tama, tantangan itu menggali dan menyembunyikan beberapa terowongan yang akan menjadi jalur pelarian mereka. Bagaimana mereka bekerja? Para tawanan bersama-sama merancang terowongan. Sesudah itu mulailah pekerjaan diam-diam. Mereka menggali dan menopangnya dengan bilah kayu yang diambil dari tempat tidur para tawanan. Mereka membuang tanah galian dengan cara yang sangat kreatif. Mereka memompakan udara ke dalam terowongan. Mereka membangun rel dan troli. Bahkan, mereka melengkapi gang sempit itu dengan lampu-lampu listrik. Daftar persediaan barang yang dibutuhkan untuk pekerjaan itu sungguh mencengangkan: 4.000 bilah kayu tempat tidur, 1.370 papan bangku panjang, 1.699 selimut, 52 meja panjanng, 1.219 pisau, 30 sekop, hampir 183 meter tali, 305 meter kabel listrik, dan sebagainya. (Rob Davis, “The Real Escape – The Tunnels: ‘Tom,’’Dick’ and ‘Harry’,                                  http://www.historyinfilm.com/escape.)

Pembangunan terowongan hanyalah salah satu bagian saja dari sejumlah tahapan rencana pelarian diri. Selanjutnya, mereka membutuhkan pelbagai persedian dan perlengkapan: baju sipil, dokumen dan kartu identitas Jerman, peta, kompas buatan sendiri, ransum dalurat, serta benda-benda lainnya. Dari mana semua itu mereka dapatkan? Setiap orang mendapatkan tugas sesuai dengan keahliannya. Ada yang menjadi penjahit, pandai besi, pencopet, dan pemalsu dokumen yang bekerja diam-diam bulan demi bulan. Para tawanan bahkan membentuk tim kerja yang khusus mengendalikan perhatian dan kamuflase, agar tentara Jerman tidak curiga.

Pada 24 Maret 1944 malam, setelah bekerja lebih dari setahun, 220 tawanan bersiap-siap merangkak melewati terowongan untuk menuju hutan di luar kamp konsentrasi. Rencana mereka adalah meloloskan satu tawanan per menit sehingga semua berhasil kabur. Namun, ketika tawanan pertama muncul di ujung terowongan, ia menyadari bahwa pintu keluarnya bukanlah di hutan. Jangankan meloloskan satu tawanan per menit, mereka bahkan tidak dapat meloloskan selusin tawanan per jam. Akhirnya, 86 orang berhasil keluar sebelum keberadaan terowongan itu ketahuan. Nazi langsung gempar dan menyatakan siaga nasional. Delapan puluh tiga pelarian tertangkap, dan 41 di antaranya dieksekusi atas perintah Adolf Hitler. Hanya tiga orang yang berhasil bebas!

John Sturges berujar, “Butuh tekad baja dan kewaspadaan lebih dari enam ratus orang – setiap orang, setiap menit, setiap jam, setiap hari, dan setiap malam selama lebih dari setahun. Belum pernah ada daya juang manusia yang bertahan selama itu atau memperlihatkan kebulatan tekad dan keberanian seperti itu.” Sturges berhasil menangkap dan menggambarkan apa itu tekad, perjuangan, berjaga-jaga dan ketaatan pada misi dalam konteks The Great Escape: yakni pengharapan terbebas dari tawanan. Tantangan, ancaman bahaya dan pelbagai kesulitan tidak dapat membendung niat mereka untuk keluar dari kamp konsentrasi Stalag Luft III.

Berbeda dengan cerita The Great Escape, banyak orang percaya tidak mampu melihat visi Tuhan dengan baik, baik bagi dirinya maupun bagi semesta alam ini. Akibatnya, ketika mengalami kesulitan, terancam bahaya, dan pelbagai-bagai penderitaan alih-alih berjuang mengatasi dan melewati itu semua, lebih banyak mengeluh: menyalahkan keadaan, menyalahkan orang-orang di sekitar dan akhirnya menyalahkan Tuhan. Tuhan dipandang tidak menggenapi janji-Nya. Iman menjadi mudah pudar manakala keadaan tidak sesuai dengan harapan.

Penulis Injil Lukas diyakini adalah orang Kristen generasi ketiga, yang hidup dalam penantian Yesus yang berjanji akan datang kembali. Ia  menyadari bahwa pada zamannya ada umat yang begitu serius menanti-nantikan kedatangan Yesus. Namun nyatanya Yesus tidak kunjung datang, beberapa di antara mereka menjadi putus asa lalu memandang bahwa janji Tuhan itu palsu. Sebagai penulis berbakat, Lukas menghimpun sejumlah teks tradisional dan mengolahnya secara kreatif, lalu menyajikannya sebagai bahan untuk direnungkan. Menurut Lukas, umat Kristen berada dalam situasi yang mirip seperti yang dialami oleh hamba-hamba yang menantikan kedatangan tuannya (Lukas 12 :35-40). Sebab mereka pun menantikan kedatangan Tuan, yaitu menifestasi definitive Kerajaan Allah. Mereka tidak tahu hari maupun saat kedatangan-Nya. Lukas menekankan dari ketidaktahuan kapan waktunya tiba, sikap yang paling logis adalah berjaga-jaga dan bukan berleha-leha, seperti yang diingatkan Yesus “Hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga.” (Lukas 12:40)

Dalam konteks Perjanjian Baru kata “berjaga-jaga” atau “siap sedia” selalu dikaitkan dalam konteks eskatologis, yakni kedatangan Yesus kembali. Apa dan bagaimana sikap berjaga-jaga atau siap sedia? Jelas, kata ini bukan dimaksudkan secara harafiah, misalnya orang yang tidak tidur semalam suntuk. Bukan itu! Orang yang berjaga-jaga itu adalah orang  yang hidup demi melakukan kehendak Tuhan sambil terus menantikan-Nya, ia siap menyambut-Nya dalam setiap peristiwa dan dalam diri sesama. Ia mampu mengenali orang-orang yang ditempatkan Tuhan dalam kehidupannya sebagai perwujudan kehadiran-Nya juga. Orang itu tidak memikirkan kedatangan Tuhan dari sudut kepentingannya sendiri, hanya untuk membereskan masalah dan memenuhi kemauannya. Melainkan, ia dapat memandang dari sudut kepentingan Tuhan bagi dunia ini.

Orang yang disebut berjaga-jaga adalah mereka yang mengenal betul visi dan misi Tuhan untuk dunia ini. Visi dan misi itu adalah agar dunia mengenal, merasakan dan menyambut kasih karunia-Nya. Selanjutnya, orang ini akan berada dalam arus pekerjaan Allah untuk kebaikan dan pemulihan manusia dan semesta alam, maka dia akan rela dan bersukacita untuk menjalankan misi itu. Karena sikapnya yang demikian, maka ia tidak akan melekatkan hatinya pada harta benda, sebab harta benda bukan tujuan hidupnya. Tidak sulit baginya untuk menjual harta bendanya (Luk.12:33) demi menolong sesamanya karena di situlah ia memahami sedang berada dalam arus Kerajaan Allah yang sedang datang. Semangat dan tekadnya membaja, percis sama seperti semangat para tawanan Hitler. Mereka melakukan apa saja yang dapat mendukung visi dan misi mereka. Tidak ada pamrih, ingat mereka melakukannya setiap menit, setiap jam, setiap hari, berbulan-bulan.

Sikap berjaga-jaga itu tidak jauh berbeda dengan hidup dalam sikap Datanglah Kerajaan-Mu. Dilihat dengan cara ini, kedatangan Tuhan bukan sesuatu yang akan terwujud pada saat sesudah kematian melainkan sesuatu yang memberi warna kepada keseluruhan kehidupan dan sejarah. Orang yang hidup sebagai penanti Tuhan tidak memikirkan  kematian sendiri melainkan Tuhan yang terus-menerus membawa kehidupan sejati ke dalam dunia ini. Baginya, tidak pernah akan meragukan janji dan penyertaan Tuhan. Setiap peristiwa akan dipahami sebagai bentu pemeliharaan dan perwujudan janii Allah.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita termasuk “hamba yang setia”, yang selalu berjaga-jaga, siap sedia mengerjakan kehendak-Nya? Ataukah pada akhirnya, ternyata bahwa kita adalah hamba-hamba yang malas, yang melakukan segala sesuatu berdasarkan keinginan dan pemenuhan hawa nafsu sendiri?

Jumat, 29 Juli 2016

MENGHINDARI AKHIR HIDUP YANG SIA-SIA

John D Rockefeller (8 Juli 1839 – 23 Mei 23 Mei 1937), pengusaha dan dermawan ternama Amerika Serikat. Pada 1870, ia mendirikan Standard Oil Company. Perusahaannya terus berkembang dan pada masa keemasannya ia berhasil menguasai hampir 90% minyak di Amerika Serikat. Pada saat kematiannya (1937) ia membukukan kekayaannya US$ 1,4 milyar. (setara US$ 23 milyar th. 2015). Dengan demikian, Rockefeller menjadi orang terkaya di dunia pada zamannya.   Apakah kekayaan yang dimilikinya itu menjadikan dia bahagia?

Seorang reporter bertanya kepadanya tentang hubungan kekayaan dan kebahagiaan kepada Rockefeller. Lalu ia mengatakan kepada reporter itu bahwa dirinya tidak benar-benar merasa bahagia atau puas. Reporter itu melanjutkan pertanyaan berapa banyak lagi uang yang dibutuhkan Rockefeller agar ia benar-benar bahagia dan terpuaskan. Dan ia menjawab dengan kalimat yang terkenal, “sedikit lagi!” Mengapa jawaban Rockefeller tentang uang ini menjadi terkenal? Ya, karena hampir semua orang begitu! Hampir semua orang merasa kurang puas atau kurang banyak dengan uang dan kekayaan yang dimilikinya.

Mengapa pada umumnya manusia merasa terus kurang ketika diperhadapkan dengan uang dan harta benda? Hal ini tidak lain muncul dari sebuah konsep orang memahami bahwa dengan banyak uanglah kebahagiaan itu dengan sendirinya terwujud. Uang akan membuatmu bahagia dan aman. Uang akan membuat orang lain terkesan dan terkagum-kagum kepadamu. Uang bisa membuatmu berkuasa. Uang akan bisa membuat orang lain sujud menyembah!

Konsep uang adalah sumber kebahagiaan telah mengubah uang bukan lagi sebagai alat, melainkan tujuan hidup. Tujuan yang harus terus dicari bahkan sampai tarikan nafas terakhir. Konsep atau pemahaman seperti ini membuat manusia menjadi makhluk yang buas, siap memangsa siapa pun demi mendapatkan uang itu. Ada yang dengan cara halus, tetapi tidak sedikit pula dengan kekerasan. Itulah ketamakan! Ketamakan tidak dapat dipuaskan. Sekali ia berakar, maka selalu akan menginginkan lebih. “…mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar.” (Pkh.1:8)

Kurang apa lagi penulis Kitab Pengkhotbah, ia menyebut dirinya, “Aku, Pengkhotbah, adalah raja atas Israel di Yerusalem.” Tradisi mengatakan bahwa Salomolah penulis kitab ini. Kekayaannya luar biasa. Kekayaan itu berasal dari warisan Daud untuk pembangunan Bait Suci (1 Tawarikh 22:14) dan penghasilan dia sendiri sebagai raja (2 Tawarikh 9:13-29). Berapa nilai kekayaannya? Ada yang menaksir kekayaan Salomo sekitar US $ 127 milyar, bisa dibandingkan dengan kekayaan orang-orang terkaya di dunia saat ini. Misalnya Bill Gates yang membukukan kekayaannya US $ 53 milyar atau Warren Buffet yang memiliki US $ 47 milyar pada 2010, maka kekayaan Salomo jauh di atas mereka. Lantas, apakah Salomo merasa puas dengan itu? Menelisik tulisan bagian awal tulisannya, tampaknya Salomo memandang kehidupannya dengan nada minor-negatif. Semua sia-sia! Ia bercerita tentang apa yang sudah dikerjakannya (Pkh.2:4-9): dengan membangun rumah-rumah, menanami kebun anggur dan seterusnya hingga, “Dengan demikian aku menjadi besar, bahkan lebih besar dari siapa pun yang pernah hidup di Yerusalem…”(ay.9). Namun, pada ujungnya ia mengatakan, “Aku membenci segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari, sebab aku harus meninggalkannya kepada orang yang datang sesudah aku.” (ay.18)

Bukankah apa yang dialami Salomo sejalan dengan apa yang dikatakan Yesus“…jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan untuk siapakah itu nanti?” (Lukas 12:20). Pernyataan Yesus ini merupakan penutup sekaligus peringatan untuk orang yang menjadikan harta benda sebagai tujuan pencapaian kebahagiaan.

Dalam kerumunan orang banyak, seseorang meminta kepada Yesus, “Guru, katakanlah kepada saudaraku, supaya ia berbagi warisan dengan aku.” (Luk. 12:13). Rupanya, pembagian warisan menjadi sumber konflik bukan hanya pada masa kini. Pada zaman Yesus, pengurusan warisan tidak ke notaris. Masalah warisan biasanya dibicarakan dengan seorang rabbi (guru Yahudi) atau ahli kitab suci. Yesus dimintai tolong, rupanya orang-orang sudah mengganggap diri-Nya sebagai guru yang mumpuni.

Menurut hukum Yahudi, hanya anak-anak laki-laki saja yang berhak atas warisan ayahnya. Putra tertualah yang berhak atas warisan ayahnya. Ia berhak menerima seluruh milik ayahnya. Tanah maupun rumah, sebelum dibagi, menjadi hak anak sulung. Sesudah sang ayah meninggal, putra tertualah yang kemudian menggantikan sebagai kepala keluarga. Rupanya dalam Lukas 12 :13, Yesus didekati oleh adik si pewaris itu. Kakaknya tidak mau membagi-bagi warisan dari mendiang sang ayah. Sang adik rupanya ngotot minta bagian, padahal tradisi Yahudi biasanya akan megupayakan supaya harta milik jangan dibagi-bagi. Semua anak-anak laki-laki harus menikmati warisan bersama-sama dalam suasana damai. Hal ini untuk menghindari tanah warisan dijual sesudah dibagi. Padahal, tanah menurut tradisi Yahudi adalah milik pusaka. Tetapi rupa-rupanya dalam kasus ini, relasi antara kakak-adik ini tidak harmonis karena itu si adik menuntut minta bagiannya.

Yesus tidak mau bertindak sebagai “hakim” yang memutuskan pembagian warisan. Hal ini bukan berarti Yesus tidak mau peduli dengan keadilan. Orang yang memohon pembagian warisan ini tentunya bukan orang miskin. Ia meminta bagian warisannya, tetapi bukan karena tanpa bagian warisan itu kemudian hidupnya terlantar! Dalam konteks tradisi Yahudi, bisa saja yang serakah ini adalah orang yang meminta pembagian warisan itu. Mengapa? Mestinya, tanah warisan itu dikelola bersama dan hasilnya dinikmati bersama. Nah, orang ini tidak mau mempertahankan kebersamaan itu. Ia ingin menguasai yang menurutnya adalah bagiannya. Alih-alih Yesus menuruti permintaan pembagian warisan, Ia memakai kasus ini sebagai kesempatan untuk menyampaikan ajaran tentang bahaya dari kemelekatan seseorang kepada harta kekayaan. Kemudian ia memulai dengan perumpamaan orang kaya yang bodoh (Luk.12:16-21).

Perumpamaan yang disampaikan Yesus bercerita tantang orang kaya. Jika kita memerhatikan perumpamaan ini, maka sedikitnya terdapat sebelas kali kata aku. Orang kaya itu begitu sibuk dengan dirinya sendiri, sehingga ia melupakan peran serta Allah dan sesama. Setelah tanah dan hasilnya begitu melimpah, ternyata tidak cukup lagi lumbung-lumbung itu menampung hasil panen. Maka ia merombak dan membangun lumbung-lumbung itu dan kemudian ia merasa aman dan nyaman. Namun, pada kondisi inilah teguran Allah terjadi. “Hai engkau orang bodoh!” Mengapa Allah menyebutnya bodoh, bukankah logis kalau ada harta benda kehidupan terjamin? Ternyata tidak! Harta benda tidak bisa menjamin dan memertahankan jiwa atau nyawa!

Kekayaan pada dasarnya bukan sesuatu yang buruk bahkan kita memahami sebagai salah satu berkat dari Tuhan. Orang-orang kaya malah dapat membantu pelayanan dan pekerjaan-pekerjaan riset agar perkembangan dunia bisa lebih baik. Namun, kekayaan dapat menjadi sesuatu yang berbahaya. Bahayanya adalah ketika hati kita mulai melekat pada kekayaan itu. Bila seseorang mencari kekayaan hanya untuk kesenangan dirinya sehingga menjadi hamba uang dan menutup mata bagi penderitaan orang lain maka sesungguhnya ia sedang dikuasai oleh materi.

Lalu apa yang harus kita lakukan terhadap uang, harta benda dan kekayaan itu. Prinsipnya sederhana: jangan melekatkan hati padanya, pakailah sebagai alat dan bukan tujuan hidup kita. Tujuan hidup kita, meminjam kata-kata Paulus, “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi. Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah.” (Kolose 3:2-3). Bukan materi atau harta benda tidak perlu. Kita, bisa mempergunakannya dengan memaknai sebagai alat untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan Tuhan di bumi ini. Di situlah letaknya bahwa dalam harta yang Tuhan titipkan kepada kita, kita dapat memakainya untuk mengerjakan misi Allah.

Kembali ke kisah Rockefeller dan Salomo, bahagiakah mereka di akhir hidupnya? Walahu’alam, namun melihat kalimat pernyataan mereka, ternyata uang dan kekayaan bukanlah penolong menemukan kebahagiaan di akhir kehidupan. Hanya sikap bergantung dan mengenal Allah yang akan membuat kita damai sejahtera ketika menutup mata!