Jumat, 08 April 2016

PERJUMPAAN YANG MENUMBUHKAN IMAN DAN PERTOBATAN

Minggu lalu bacaan Injil kita berakhir di Yohanes 20:31. Coba telisik kalimat dari perikop ini. “…tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu, oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.” Tak pelak lagi Yohanes 20:30-31 merupakan penutup dari seluruh rangkaian narasi Injil Yohanes. Melalui perikop itu, pembaca tidak lagi menantikan adanya kisah-kisah penampakan, pengajaran dan mujizat dari Yesus, sebab semua sudah tercantum dan tercatat dirasakan oleh penulis Injil sudah cukup. Ia sudah menyatakan bahwa memang masih ada banyak tanda yang dibuat oleh Yesus, tetapi tanda-tanda itu sengaja tidak ditulisnya. Injil telah ditutup! Sebelumnya pembaca juga telah diberi informasi melalui kisah Tomas yang semula menuntut bukti tentang Yesus yang bangkit, kisah ini berakhir dengan, “berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” Para murid juga sudah mengenali Yesus yang bangkit dan kini mereka siap diutus.

Nyatanya, koq masih ada pasal 21 yang memulai kisahnya dengan tujuh orang murid Yesus yang pergi untuk menangkap ikan di danau Tiberias. Bermula dari inisiatif Petrus yang mengatakan bahwa dirinya mau menangkap ikan. Inisiatipnya  ini diikuti oleh murid-murid yang lain. Kalau pasal 21 merupakan kelanjutan dari pasal 20, mengapa para murid ini kembali ke pekerjaan semula sebagai nelayan di Danau Tiberias (Genesaret) padahal mereka semua telah melihat Yesus yang bangkit, mereka telah diutus dan mereka telah dihembusi Yesus dengan Roh Kudus. Apakah Kuasa hembusan Roh Kudus kurang? Penulis Injil Yohanes tidak menjelaskan sedikit pun mengapa mereka kembali ke pekerjaan semula dan tidak segera melaksanakan tugas perutusan yang diberikan Yesus. Bisa saja kita menduganya bahwa mereka masih dalam suasana gamang, trauma, takut dan terancam. Ya, walau mereka telah melihat Yesus, namun Yesus yang mereka lihat tidak seperti dulu, yang selalu ada: berkumpul, mengajar, berjalan dan bergumul bersama-sama mereka. Atau, kita bisa menduganya; mereka lebih memilih kembali kepada kehidupan lama yang tanpa resiko, menjadi orang baik-baik saja, seperti kebanyakan kalayak ramai ketimbang harus bertaruh nyawa melaksanakan misi Yesus. Semua ini hanya spekulasi, dugaan kita saja.  

Sampai hari ini perdebatan tentang orisinalitas pasal 21 Injil Yohanes masih saja terus terjadi.  Rudolf Bultmann menyimpulkan bahwa bab 21 ini merupakan hasil pekerjaan editor yang menambahkannya dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan para pengikut Yesus tentang peran dua orang murid yang sangat berpengaruh. Mereka adalah “murid yang dikasihi” dan Petrus. Petrus berpengaruh karena ia sering tampil memimpin murid-murid yang lain. Sedangkan murid yang dikasihi berpengaruh karena kemungkinan dialah yang begitu dihormati dalam jemaat yang dituju oleh Injil Yohanes ini.

Berbeda dengan Bultmann, J. Zumstein berpendapat bahwa pasal 21 ini merupakan buah dari apa yang dia sebut rilettura (pembacaan ulang) Setelah banyak mengalami perjumpaan dengan saudara-saudara seiman yang juga mendengar Injil, khususnya kisah kebangkitan dari Matius, Markus, Lukas (Injil Sinoptik), jemaat yang membaca Injil Yohanes mencoba menginternalisasi kembali Injil mereka. Pembacaan ulang Injil Yohanes bab 1-20 bermuara pada peran yang menonjol dari Petrus dan Yohanes. Di samping itu, tampaknya penulis Injil Yohanes ini ingin meluruskan gagasan tentang murid yang dikasihi yang sudah lanjut usia dan orang-orang begitu yakin bahwa ia tidak akan mati sebelum kedatangan Yesus kembali. Gagasan semacam ini harus dikoreksi. Itu semua berada di tangan kuasa Yesus (20:22-23)

Fokus pertama dalam pasal 21 ini adalah Petrus. Dialah yang berinisiatif untuk pergi mencari ikan. Meskipun yang mengenali Yesus untuk pertama kalinya adalah murid yang dikasihi, Petruslah yang dengan segera menceburkan diri ke danau dan berenang menuju Yesus. Dia jugalah yang segera menuruti perintah Yesus untuk mengambil beberapa ikan yang telah mereka tangkap. Dalam bagian ini tampil dialog antara Yesus dan Petrus. Dalam ayat 15-17, Yesus tiga kali bertanya, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari merekaini?” Petrus menjawab bahwa ia mengasihi-Nya. Pertanyaan yang diulang sampai tiga kali ini kadang dihubungkan dengan peristiwa Petrus yang tiga kali menyangkal Yesus. Sekarang, melalui dialog ini, Petrus harus memperbaharui hubungan kasih dan kesetiaannya terhadap Yesus. Tiga kali menyangkal, maka tiga kali pula ia harus menyatakan kasihnya kepada Yesus. Penegasan ini menjadi penting untuk mengembalikan keyakinan diri Petrus dalam mengemban tugas yang berat, yakni mengembalakan domba-domba-Nya.

Ada perbedaan kata kerja yang digunakan tentang mengasihi (agapan dan filein), mengembalakan (boskein dan pomainein), domba (probate dan arnia). Tentu ada kekayaan tersendiri, jika kita mau menelusuri perbedaan kata-kata ini dalam bahasa Yunaninya. Namun, dalam kaitan bahwa dialog ini digunakan Yesus untuk memulihkan kepercayaan diri dan kesungguhannya untuk menjalani tugas perutusan, maka yang paling sentral adalah pertanyaan Yesus, “Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari mereka?” Artinya, apakah Petrus mengasihi Yesus lebih dari teman-temannya yang lain.  Namun, ada yang menerjemahkan frase ini dengan, “Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari hal-hal ini?” Dalam terjemahan ini, Yesus bertanya apakah ia mengasihi Yesus lebih dari pekerjaannya, juga ketika pekerjaan itu menghasilkan  uang, penghidupan, kepopuleran, pendeknya yang hebat-hebat seperti itu. Jadi kalau keduanya diterapkan, itu artinya bahwa Yesus bertanya, apakah Petrus mengasihi Yesus melebihi teman-temannya, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan mata pencahariannya. Pendeknya, apakah kasihnya kepada Yesus melebih segalanya? Dan Petrus menjawabnya, “Tuhan, Engkau tahu segla sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.”

Setelah Yesus memberikan tugas pengutusan kepada Yesus, kemudian Yesus berbicara tentang masa lalu dan masa depan Petrus yang menyatakan bahwa Petrus akan mati dengan memuliakan Allah. Dialog masih berlanjut. Barangkali pertanyaan Petrus berkaitan dengan undangan Yesus untuk mengikut Yesus, kalau ia harus mengikut Yesus sampai mati, lalu apa yang akan dialami oleh murid yang dikasihi itu? Kalau Petrus sudah menerima perutusan dari Yesus, kemudian apa yang akan diterima oleh murid yang dikasihi itu? Hal itulah yang dikatakannya kepada Yesus. Sangat mungkin Petrus mewakili orang-orang yang penasaran tentang kehidupan Yohanes, sang murid yang dikasihi itu. Apakah benar-benar Yohanes ini tidak akan mati sebelum Yesus datang kembali. Hal ini berbeda dengan nasib dirinya bahwa ia akan mati. Yesus tidak menjawab pertanyaan Petrus. Ia hanya mengulang dan menegaskan undangan bagi Petrus untuk mengikut Dia. Seolah Yesus mau mengatakan, ketika seseorang terpanggil untuk mengikuti-Nya maka yang dibutuhkan adalah focus terhadap diri-Nya, bukan sibuk mencari tahu posisi orang lain (kepo?). Petrus tidak perlu ikut campur tentang nasib orang lain. Ia harus mengambil sikap dan keputusannya sendiri untuk mengikut Yesus sampai akhir. Dari jawaban Yesus juga nyata  sekali bahwa penulis Injil Yohanes hendak meluruskan pandangan bahwa sang murid yang dikasihi itu tidak akan mati sebelum melihat kedatangan Yesus kembali. Penulis Injil menjelaskan bahwa Yesus enggan mengatakan bahwa murid itu tidak akan mati. Mati atau tidak bukan urusan orang lain, semua tergantung kepada Tuhan yang menghendaki.

Perjumpaan Tuhan Yesus yang bangkit dengan Simon Petrus, anak Yohanes mengajarkan kepada kita bahwa Yesus sanggup memulihkan kepercayaan diri sari seorang yang telah menyangkal tiga kali berturut-turut. Perjumpaan itu akhirnya menumbuhkan iman yang baru. Iman yang siap melakukan tugas perutusan bahkan sampai mati. Kini, kematian bagi Petrus – kendatipun bagi Petrus dengan jalan mengerikan - tidak lagi menjadi momok yang menakutkan. Melainkan, sama seperti yang dijalani Yesus, merupakan jalan memuliakan Allah. Paralel dari kisah Petrus ini, kita dapat menemukannya dalam diri Saulus (Kisah Para Rasul 9:1-20). Perjumpaan dari seorang penganiaya murid-murid Tuhan, kini berubah total. Ia menyerahkan dirinya bagi pekerjaan Tuhan.

Bila Petrus, Yohanes, selanjutnya Paulus dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lain mengalami perubahan radikal dalam kehidupan mereka karena berjumpa dengan Kristus yang bangkit, bagaimana dengan kita? Apakah kita harus mengalami perjumpaan seperti pengalaman mereka? Ya, perjumpaan mutlak harus terjadi apabila kita ingin berubah. Namun, perjumpaan itu tidak harus  disimpulkan seperti pengalaman mereka. Pembacaan Kitab Suci dan perenungannya, perjumpaan dengan sesama, refleksi atas pengalaman hidup (khususnya yang tidak menyenangkan), itu semua dapat dipakai-Nya untuk menjadi sarana perjumpaan. Sudahkah melalui itu, iman kita tumbuh dan kita mengalami pembaruan hidup seperti yang dikehendaki-Nya?


Kamis, 31 Maret 2016

KEBANGKITAN-NYA MEMBAWA DAMAI SEJAHTERA

Beberapa setelah pagi-pagi buta yang mengejutkan telah berlalu. Ketika Maria Magdalena pergi ke kubur Yesus dan mendapati kubur itu kosong lalu memberi kabar kepada Petrus dan murid yang dikasihi. Sedikit-demi sedikit tabir misteri itu terjawab. Jasad Yesus tidak ada dalam kubur-Nya bukan dicuri orang. Ia sudah bangkit! Bukankah seharusnya, para murid merayakannya dengan antusias; sorak-sorai penuh kemenangan?. Namun, mengapa mereka masih mengunci diri dalam ruangan (Yohanes 20:19-23)? Kalau mereka masih dalam keadaan shock, apakah waktu duabelas jam tidak cukup untuk memulihkan diri? Ataukah mereka masih memerlukan lebih banyak lagi waktu untuk meyakini bahwa Yesus benar-benar telah bangkit? Barangkali benarlah apa yang pernah dikatakan Yesus kepada para murid yang menemani-Nya ketika bergumul di tanam Getsemani, “…roh memang penurut, tetapi daging lemah.” (Mark 14:38). Mereka begitu lemah!

Pintu-pintu terkunci! Apa yang menyebabkan orang mengunci diri dalam ruangan? Tentu, ada banyak alasan. Biasanya orang mengunci diri dalam suatu ruangan oleh  karena menginginkan privasi. Ada sesuatu yang sedang dan tidak menginginkan orang lain tahu. Alasan lain, tidak mau diganggu oleh orang lain. Kita beristirahat atau tidur, biasanya mengunci pintu kamar kita. Maksudnya agar memperoleh ketenangan dan beristirahat. Bisa jadi, seseorang mengurung diri dengan pintu yang terkunci adalah bentuk pelarian diri, takut dan kemudian bersembunyi. Para murid mengunci diri setelah peristiwa kematian Sang Guru mereka, meski kabar kebangkitan itu mulai nyata terlihat. Mungkin kita bisa memakluminya bahwa meskipun mereka tahu kebangkitan itu telah terjadi, namun sepertinya mereka masih dikuasai oleh ketakutan terhadap orang-orang yang telah menganiaya dan membunuh Yesus. Mungkin, juga mereka tidak lagi tahu apa yang harus diperbuat dan berpikir: Mengapa Yesus yang sudah bangkit itu koq tidak mau bergabung bersama-sama mereka lagi seperti dulu sebelum pembunuhan itu terjadi?

Pintu-pintu yang terkunci itu ternyata tidak dapat menghalangi Yesus. Ia mampu menembusnya dan berada di tengah-tengah mereka. “Damai sejahtera bagi kamu!” Sapaan itulah yang pertama kali diucapkan Yesus. Apa itu damai sejahtera? Banyak orang telah mendefinisikan dan menguraiankan tentang kata yang berasal dari syalom (Ibr) dan eirene (Yun) itu. Bila kita cermati, semua definisi itu akhirnya bermuara agar orang yang kepadanya ucapan itu ditujukan mengalami segala kebaikan dan anugerah dari TUHAN: Damai sejahtera bagi yang kelaparan itu berarti tersedianya makanan. Damai sejahtera bagi yang sedang bermusuhan, itu berarti kini ada perdamaian. Damai sejahtera bagi yang bodoh, itu berarti kini ada pencerahan. Damai sejahtera bagi yang tertindas, itu berarti kini ada pembebasan. Damai sejahtera itu ketika setumpuk hutang yang sudah pasti tidak akan terbayar, kini ada yang melunasinya. Dalam konteks ucapan Yesus yang bangkit kepada para murid yang mengunci diri “damai sejahtera” itu berarti kini ada kesediaan dan keberanian untuk membuka pintu-pintu yang telah terkunci itu. Hal itu hanya dimungkinkan apabila belenggu yang mengunci hati mereka dapat dibuka terlebih dahulu. Tidaklah mungkin kita berani membuka diri, bangkit dari keterpurukkan tanpa hati yang dipulihkan!

Penampakkan Yesus kepada para murid yang mengurung diri kali ini bukan lagi untuk menyatakan dan meyakinkan bahwa diri-Nya telah bangkit. Hal itu sudah terjadi pagi tadi! Kini, kepentingan-Nya hadir di tengah para murid adalah untuk membuka belenggu ketakutan yang merampas damai sejahtera para murid itu. Setelah itu, para murid berani bukan saja membuka kunci pintu-pintu yang tertutup itu, tetapi mereka siap diutus untuk mewartakan kebangkitan Kristus itu. Itu berarti mereka dimampukan untuk berani berhadapan dengan para pemimpin dan penguasa yang sebelumnya telah membunuh Yesus. Sama seperti Bapa telah mengutus Yesus, kini Ia mengutus para murid.

Damai sejahtera itu tidak hanya diucapkan Yesus. Ia juga menghembusi mereka. Apa yang Yesus hembuskan? Tentu bukan angin kosong, Ia sendiri menjelaskan-Nya, “Terimalah Roh Kudus.” Yesus menghembusi mereka dengan Roh Kudus. Apa yang dilakukan Yesus dengan menghembuskan Roh Kudus mengingatkan kita pada peristiwa penciptaan. Allah menghembuskan nafas kehidupan ke hidung Adam sehingga ia menjadi makhluk yang hidup (Kej. 2:7). Tanpa Roh Allah manusia hanyalah debu dan tanah. Emfyso mengingatkan orang Israel pada penglihatan Yehezkiel tentang tulang-tulang kering, kematian massive orang-orang Israel yang kemudian TUHAN menghembuskan dengan Roh-Nya dan lihatlah apa yang terjadi? Tulang-tulang itu hidup kembali bahkan mereka menjadi sebuah laskar besar!

Hembusan Roh Kudus ini mau menggambarkan bahwa Ia berkuasa menghidupkan! Hembusan Yesus berkuasa menghidupkan kematian pengharapan para murid. Hembusan Roh itu mencairkan hati yang beku karena kesedihan, kekecewaan, prustasi, kematian dan sebagainya. Itulah syalom; damai sejahtera. Kebangkitan Yesus mempunyai dampak luar biasa bagi para murid. Mereka tidak saja meyakininya, melainkan telah menjadi pengalaman nyata. Mereka kini bangkit dari ketiadaan pengharapan menjadi manusia-manusia yang penuh pengharapan, begitu antusias, dan berani menjadi saksi kebangkitan itu. Bayangkan, dari manusia-manusia yang mengurung diri karena ketakutan, kini menjadi orang-orang yang berani berhadapan dengan Sanhedrin; Mahkamah Agama dan para pemimpin Yahudi.

Kisah Para Rasul 5:26-42 mencatat dengan cermat bagai mana para murid ini menyatakan iman mereka dan menyaksikan Yesus yang bangkit. Mereka tentu sadar akan ancaman yang sedang mereka hadapi. Dewan Sanhedrin sudah melarang dengan keras, agar mereka berhenti menyaksikan bahwa Yesus telah bangkit, “Dengan keras kami melarang kamu mengajar dalam nama itu. Namun ternyata, kamu telah memenuhi Yerusalem dengan ajaran kamu…” (Kis. 5:28). Bisa saja para imam dan penguasa Yahudi kembali mengerahkan kekuasaan mereka; memerintahkan untuk menangkap dan membunuh mereka. Namun, apa yang terjadi? Petrus yang sebelumnya tiga kali menyangkal Yesus karena ia takut dengan resiko yang harus dihadapinya, kini ia berkata, “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.” (Kis,5:29) Alih-alih para murid itu bungkam karena takut, mereka terus bersaksi, kata mereka, “Allah nenek moyang kita telah membangkitkan Yesus, yang kamu gantungkan pada kayu salib dan kamu bunuh. Dialah yang telah ditinggikan oleh Allah sendiri dengan tangan kanan-Nya menjadi pemimpin dan Juruselamat, supaya Israel dapat bertobat dan menerima pengampunan dosa. Dan kami adalah saksi dari segala sesuatu itu, kami dan Roh Kudus, yang dikaruniakan Allah kepada semua orang yang menaati Dia.” (Kis. 5:30-32)

Koq bisa, orang-orang yang tadinya begitu pesimis, kini begitu optimis bahkan menantang maut. Itulah kuasa kebangkitan. Kuasa hembusan Roh Kudus yang membangkitkan asa; yang mengalahkan sengat maut, yakni ketakutan. Apa yang terjadi, dialami oleh para murid adalah kebangkitan yang sesungguhnya. Tidak usah banyak dalil pun, sikap dan perbuatan mereka menunjukkan itu! Mereka mengalami damai sejahtera meskipun berhadapan dengan ancaman. Sukacita mereka begitu meluap, sama sekali tidak ada raut ketakutan!

Apakah saat ini kita sedang “mengunci pintu-pintu kamar” kita? Apakah saat ini hati kita membeku, pesimis dan kehilangan sukacita lantaran ada begitu banyak persoalan dan kekecewaan bertubi-tubi menghunjam kita? Pandanglah Yesus, Ia telah bangkit dan ingin menjamahmu. Ia ingin mengatakan, “Damai sejahtera bagimu!” Hanya satu langkah saja yang perlu kita ambil: bukalah hati kita, izinkan Ia menguasai hati kita, niscaya kita pun akan mengalami perubahan besar. Perubahan itu akan menuntun kita menjadi orang yang penuh pengharapan, dengan sendirinya orang akan melihat Kristus yang bangkit dalam kehidupan kita.