Jumat, 25 Maret 2016

KEMATIAN BUKAN AKHIR SEGALANYA

 Sabtu Sunyi 2016
 
“Kematian bukan akhir segalanya,” betulkah? Kalimat ini barangkali pernah atau beberapa kali kita dengar, khususnya pada saat kerabat atau kita mengalami kedukaan. Banyak kata-kata penghiburan baik yang bersifat obituari (mengenang segala kebaikan mediang) atau kutipan-kutipan ayat kitab suci. Kalimat penghiburan memang dibutuhkan agar kita tidak larut dalam perasaan dukacita. Namun, ketika kedukaan itu menimpa kita; orang yang begitu dekat dan sangat berpengaruh dalam hidup kita tiba-tiba meninggal. Rasanya sulit untuk mengaminkan “kematian bukan akhir dari segalanya”! Betapa tidak, sebab pada saat itu, terputuslah segala bentuk komunikasi. Kita tidak bisa lagi bertegur sapa, mengungkapkan rasa sayang, meminta perhatiannya, bersenda-gurau, pendek kata dia sudah pergi, sudah tiada! Tidak jarang pengalaman ditinggalkan orang yang begitu dicintai menimbulkan trauma, penolakan akan sebuah kenyataan, kehilangan, kesedihan yang panjang dan dukacita mendalam.

Perasaan para murid tidaklah jauh berbeda dengan semua orang yang kehilangan orang yang dikasihinya. Apalagi mereka melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Yesus yang mereka cintai mengalami penderitaan berat, begitu buruk rupanya, luka-luka yang menganga bekas cambuk, lubang-lubang di tubuh bekas paku dan tusukan tombak dan kemudian mati di tiang salib itu. Kini, jasad itu diturunkan, dibalutkan kain kapan lalu dikuburkan. Bagi para murid tentu saja kematian jasad seperti ini begitu memilukan. Namun, tampaknya semua itu belum memuaskan orang-orang yang membenci-Nya. Mereka masih meminta kepada Pilatus agar kubur Yesus dijaga oleh tentara selama tiga hari(Matius 27:62-66). Mengapa? Mereka takut kalau para murid itu bikin berita sensasi; mencuri mayat Yesus lalu menyebarkan berita bohong bahwa Yesus bangkit dengan bukti kubur telah kosong. Tentu ada alasan mengapa para pemimpin Yahudi itu ngotot meminta kubur Yesus dijaga. Mereka mengingat ketika sebelum Yesus mati, Ia pernah mengatakan bahwa setelah tiga hari kematiannya, Ia akan bangkit (Matius 16:21). Pilatus menjawabnya permintaan mereka dengan memberi penjaga-penjaga untuk menjaga kubur Yesus itu. Dari permintaan para pemimpin Yahudi ini, sebenarnya kita mendapat gambaran; meskipun mereka tidak mengakui kemesiasan Yesus dan anjaran-Nya selalu ditentang, namun dalam hati mereka masih percaya – jangan-jangan ucapan Yesus ini benar – sebab kalau mereka sama sekali tidak percaya, buat apa kubur Yesus harus dijaga? Bukankah mereka sendiri telah membunuh Yesus sekaligus meyakinkannya dengan menusuk lambung Yesus (Yoh. 19:34)

Tentu para murid sangat terpukul. Bisa saja mereka putus asa dan menyelamatkan diri masing-masing. Ini terbukti, tak satupun murid terdekat Yesus yang hadir dalam pemakaman-Nya kecuali para perempuan : Maria Magdalena dan Maria yang begitu rupa larut dalam duka nestapa. Dalam situasi kesedihan mendalam seseorang mudah hilang kendali, prustasi dan kehilangan pegangan. Jalan pintas biasanya dipilih; menyakiti diri sendiri atau orang lain lalu kemudian menyalahkan Tuhan.

Ayub dalam menghadapi penderitaan berat pernah berpikir jalan kematian adalah jalan terbaik untuk mengakhiri penderitaan. Karena pikirnya manusia yang sudah mati tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. “Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi?” (Ayub 14:14a) Bukankah begitu banyak orang juga berpikir seperti Ayub? Lebih jauh dari itu mengambil jalan pintas. Apakah jalan ini menyelesaikan persoalan? Jelas tidak! Jalan pintas akan meninggalkan jejak betapa rentannya dan kita menyerah kalah pada kenyataan hidup! Namun, lihatlah ketika kita bisa mengatasi kesedihan, kekecewaan, penderitaan bahkan penganiayaan bukankah itu berarti kita sedang menabur benih kehidupan. Kelak anak cucu kita akan belajar tentang apa itu ketegaran, pengharapan dan iman. Untunglah Ayub tidak berhenti di situ. Ia meneruskan ayat 14 ini dengan, “Maka aku akan menaruh harap selama hari-hari pergumulanku, sampai tiba giliranku.” Ia menyadari bahwa kematian badani tidak dapat ditolak oleh siapa pun. Namun, kematian harapan dan semangat mestinya tidak terjadi bagi orang beriman.

Kegelisahan para murid akan kematian Sang Guru merupakan sebuah proses yang nantinya akan menemukan bahwa harapan mereka tidaklah sia-sia. Hanya bebrapa jam kegalauan menguasai mereka. Namun kemudian Tuhan menjawab dengan menampakkan diri kepada mereka. Ia tidak mati! Jadi, ketika kita dilanda dukacita mendalam, janganlah putus asa dan kehilangan arah. Benar kematian tubuh akan menghampiri semua makhluk hidup. Namun mestinya semangat, pengharapan dan iman itu mestinya terus membara. Lihatlah, para murid di kemudian hari mereka meneruskan karya atau pekerjaan Yesus sampai ke ujung-ujung bumi. Kristus tidak pernah mati, ajaran, teladan dan segenap hidup-Nya menjadi ispirasi bagi begitu banyak orang di sepanjang masa dan di segala tempat! Oleh karena itu, jangan menyerah: boleh saja kematian merenggut tubuh kita, namun pengharapan, iman dan semangat kita tidak boleh mati, ia harus terus membara menginspirasi anak, cucu dan keturunan kita. Kematian bukanlah akhir dari segalanya!

KASIHNYA MENGUBAHKU

Rasanya sulit mengelak dari pendapat yang mengatakan bahwa cinta mempunyai energi atau kekuatan dasyat. “…cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti duia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN!  Air yang banyak tidak dapat memadamkan cinta,…” Begitu kata Kidung Agung 8:6,7. Pantaslah kalau kita amati orang yang sedang jatuh cinta – terhadap apa pun – ia memiliki energi yang luar biasa. “Gak ada matinya!”, kata ungkapan anak muda. Seolah-olah tenaga dan antusias terus ada walaupun melakukan banyak aktivitas yang menguras energi. Masih ingat ketika kita jatuh cinta pada sang kekasih? Apa pun akan kita lakukan demi menyenangkan sang buah hati. Atau ketika kita menyaksikan anak-anak muda yang sedang tergila-gila oleh tarian Breakdance, jangankan keringat, menantang maut pun akan mereka lakukan. Cinta membuat orang bersemangat dan bergairah!

Selain cinta mempunyai energi yang dasyat, cinta juga memiliki sisi sentimentil egosentris yang kuat. Perhatikanlah orang yang sedang kasmaran, selain ia dapat melakukan apa saja buat sang kekasihnya, ia juga menuntut agar sang kekasih tidak membagi cintanya dengan orang lain. Ia ingin memilikinya sendiri. Ia ingin menahan cinta kasih itu untuk dirinya! Ada kisah-kisah yang tidak masuk akal – dan memang cinta terkadang tidak masuk akal – dari sisi egosentris cinta. Sebut saja Linda Chase. Chase tidak mau melepas suaminya yang sudah meninggal sehingga ia membalsam jasad sang suami lalu hidup selama dua tahun dengan jasad itu sampai polisi menemukannya. Kisah serupa terjadi dengan Le Vans, lelaki asal Vietnam yang begitu mencintai istrinya. Sehari sesudah istrinya dimakamkan, ia menggali kubur itu lalu membawa mayat sang istri ke rumah. Demi membuat jasad istrinya tahan lama, Le menutupi mayat isterinya dengan lilin, plester dan plastik. Ia menata rambut dan mendadaninya. Le tidak rela melepas sang isteri! Pasti kita akan menjumpai kisah-kisah aneh lagi tentang cinta kalau terus menggalinya.

Dalam bingkai cinta ini kita melihat apa yang terjadi dengan Maria Magdalena ketika berjumpa dengan Yesus yang bangkit (Yohanes 20:1-18). Maria Magdalena ingin terus memegang erat Yesus, ia tidak rela kalau kali ini Yesus meninggalkannya lagi. Menurut tradisi, Maria adalah seorang perempuan yang kedapatan berzinah. Ia terancam dihukum mati dengan cara rajam. Namun, Yesus telah melepaskan, mengampuni dan menyucikannya (William Barclay). Maka tidaklah mengherankan kalau ia mengasihi Yesus lebih dari pada yang lain. Ia tidak ingin Yesusnya itu pergi lagi. Perasaan dan sikap seperti ini bukan hanya milik Maria, melainkan semua orang; Anda dan saya termasuk di dalamnya. Kita tidak ingin dan tidak rela melepaskan orang yang kita kasihi begitu saja. 

William Barclay menjelaskan kata Yunani “janganlah memegang Aku” (me aptou) dalam suatu terjemahan keliru dari teks mula-mula yang ditulis dalam bahasa Aram. Dialog itu tentunya berlangsung dalam bahasa Aram dan bukan dalam bahasa Yunani; dan apa yang ditulis Yohanes adalah terjemahan dari Aram ke Yunani. Ada yang mengusulkan bahwa sebenarnya yang dikatakan Yesus adalah : “Jangan pegang Aku; akan tetapi sebelum AKu pergi kepada Bapa, pergilah kepada saudara-saudaramu dan beritakanlah kepada mereka…” Dalam hal ini, seolah-olah Yesus mengatakan: “Janganlah membuang-buang waktu terlalu banyak untuk menyembah/memegang Aku di sini karena kesukaan penemuanmu yang baru (melihat Aku yang bangkit). Tetapi pergilah dan beritakanlah kabar baik ini kepada semua murid-murid.”

Dalam bahasa Yunani digunakan bentuk present imperative, oleh karena itu kalimatnya dapat berarti: “Berhentilah memegang Aku!” Sepertinya Yesus mau berkata kepada Maria Magdalena: “Janganlah kau terus memegang Aku secara egosentris bagi dirimu sendiri. Dalam waktu dekat Aku akan pergi kepada Bapa. Aku ingin berjumpa dengan murid-murid-Ku sebanyak mungkin sebelum waktu itu tiba. Pergilah dan ceritakanlah kabar baik kepada mereka hingga tidak ada waktu - di mana kita dan mereka masih ada bersama-sama – akan terbuang!”

Jika kita memahami dialog ini dalam konteks seperti penafsiran di atas barulah kita mengerti bahwa cinta Maria Magdalena kepada Yesus membuatnya tidak rela untuk melepaskan Yesus. Ia terus menggandoli Yesus. Logikanya, kalau ini berlangsung lama – dalam arti Maria Magdalena terus-terusan memegangi Yesus – selain tidak ada gunanya juga membuang waktu percuma. Perjumpaan dengan Yesus yang bangkit itu ternyata telah menyadarkan Maria bahwa selama ini ia hanya ingin merasakan dan menggenggam cinta kasih Tuhan itu untuk memenuhi kepuasan diri. Namun, kini Tuhan memintanya untuk tidak terlalu lama memegangi-Nya. Sebab waktunya terbatas dan berita kebangkitan itu harus didengar oleh sebanyak mungkin orang. “…tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu…”. Yesus mengubahkan energi cinta yang egosentris menjadi energi pemberitaan kabar baik bagi semua orang.

Di sinilah kita dapat mengerti bahwa Yesus sanggup mengubahkan energi cinta yang super egosentri itu menjadi energi berita gembira, kabar suka cita bagi banyak orang. Maria Magdalena kemudian menyadari bahwa kasihnya kepada Yesus bukan diungkapkan dengan cara mengekang atau memenjarakan Yesus bagi diri sendiri melainkan menyebarkan berita gembira bagi banyak orang. Maria kemudian dapat melepaskan genggamannya dan ia berlari memberitakan pengalaman perjumpaannya dengan Yesus kepada murid-murid yang lain.

Bukankah kebanyakan kita seperti Maria Magdalena. Dan kita merasa tidak ada yang salah, ini wajar dan manusiawi kalau fokus cinta kasih kita itu adalah diri sendiri. Kita sering meminjam topeng pelayanan. Namun, yang terjadi pelayanan itu berpusat ke dalam diri sendiri, gereja sendiri. Ketika pelayanan itu mulai mengusik rasa aman dan nyaman kita cenderung menarik diri. Sehingga memuliakan Yesus menjadi sempit dan tereduksi dengan ukuran seberapa senang dan puas aku menikmatinya, ukurannya bukan lagi pemberdayaan orang lain supaya mendengar kabar sukacita dan mengalami cinta kasih Tuhan. Pelayanan kita pun hanya terpasung di gereja, dan untuk “kalangan sendiri”. Bukankah kalau kita jujur selama ini kehidupan kita berfokus pada capaian individu, pementingan kelompok, pendek kata bersumber dari egosentrime. Seharusnya, belajar dari perjumpaan Yesus yang bangkit dengan Maria Magdalena membawa perubahan mendasar bagi kita. Kita tidak terus-menerus “memegangi atau menggenggam kasih Yesus itu untuk diri sendiri atau “kalangan sendiri” melainkan menjadi cinta yang benar seperti yang Tuhan inginkan, yakni dengan menjadi alat dalam di dalam tangan-Nya untuk memberitakan damai sejahtera Allah dengan kata dan perbuatan bagi semua makhluk.

Kasih Yesus mengubah kasih egosentris Maria Magdalena, apakah kasih Yesus juga sudah mengubah kasih kita sehingga tidak lagi egois dan egosentris? Kalau kita – seperti Maria – telah mengalami perjumpaan dengan Yesus yang bangkit itu, maka sebuah keniscayaan terjadi: Kita berubah!
Selamat merayakan Paskah!