Kamis, 18 Februari 2016

IKUTILAH TELADAN TOKOH MAN, SAAT HIDUP PENUH PERSOALAN

Sampai saat ini pertanyaan siapa tokoh utama di balik kematian Munir Said Thalib masih misterius. Pria kelahiran 1965 ini adalah sosok pejuang kemanusiaan. Pada 16 Aprl 1996 Munir mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras). Namanya bersinar ketika ia membela aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopasus yang dikomandani oleh Prabowo Subianto. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Prabowo sebagai Danjen Kopasus dan diadilinya para anggota Tim Mawar. Atas perjuangannya yang tidak kenal lelah, Munir diganjar dengan The Right Livelihood Award dari Swedia pada tahun 2000, sebuah penghargaan bergengsi yang disebut sebagai Nobel alternative yang digagas oleh Yayasan The Right Livelihood Award Jacob von Uexkull, Stockholm, Swedia  di bidang pemajuan HAM dan control sipil terhadap militer di Indonesia. Masih banyak lagi kiprah Munir dalam membela hak paling mendasar dari manusia. Tentu saja kiprahnya membuat gerah para penguasa yang terbiasa menginjak-injak hak azasi manusia untuk memuluskan nafsu kekuasan mereka. Munir harus disingkirkan!

Penerbangan Garuda GA-974 adalah akhir dari seluruh kiprah Munir. Dia mati dua jam sebelum pesawat itu mendarat di bandara Schipol, Amsterdam pada 7 September 2004. Institut Forensik Belanda menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah mereka melakukan visum terhadap jasad Munir. Hal yang sama diaminkan oleh kepolisian Republik Indonesia. Kesimpulannya, Munir dibunuh dengan menggunakan senyawa arsenic dalam makanan yang disajikan kepadanya. Siapa pembunuhnya? Hakim memutuskan pada 20 Desember 2005 bahwa Pollycarpus Budihari Priyanto bersalah dan dijatuhi hukuman 14 tahun penjara atas terbunuhnya Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenic dalam makanan Munir, karena ia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah itu. Namun, kemudian banyak orang bertanya, “Mungkinkah seorang Pollycarpus yang tidak berkepentingan dan bisa jadi tidak terusik oleh kiprah Munir, merupakan otak pembunuhan keji itu? (Artikel lengkap tentang Munir dapat dilihat : https://nusantaranews.wordpress.com/.../biografi-munir-seorang-pahlawa...)

Argumen kisah terbunuhnya Munir berhubungan erat dengan kiprahnya dalam menegakkan dan membela Hak Azasi Manusia tidak terbantahkan. Artinya, jika saja ia memilih diam dan tidak usah repot-repot membela kepentingan orang-orang yang ditindas dan berusaha disingkirkan oleh kekuasaan mata bisa saja kini ia masih hidup. Penguasa gerah dan tidak suka dengan kehadiran orang-orang seperti Munir, maka cara yang paling mudah adalah meleyapkannya!

Yesus berada dalam wilayah kekuasaan Herodes Antipas, tepatnya di Galilea atau Perea. Apa yang dilakukan Yesus membuat gerah Herodes. Sangat mungkin, Herodes menginginkan Yesus hengkang dari wilayahnya. Di pihak lain, orang-orang Farisi pun tidak menyukai Yesus ada di daerah itu. Bagi mereka, apa yang telah dilakukan Yesus selama ini telah merusak reputasi mereka sebagai pemimpin agama dan pemelihara tradisi Yudaisme. Dua kepentingan, politis dan agama inilah yang kemudian mempertemukan, Farisi dan Herodes. Diam-diam mereka bersekongkol. Orang-orang Farisi itu seolah berbuat ingin melindungi Yesus dari rancangan pembunuhan Herodes, kata mereka, “Pergilah, tinggalkanlah tempat ini, karena Herodes hendak membunuh Engkau.”(Lukas 13:31). Rupanya Yesus tahu rancangan mereka. Maka kemudian Ia menyuruh orang-orang Farisi itu untuk kembali ke Herodes yang disebutnya sebagai srigala. Srigala adalah gambaran seorang licik yang kurang berani dan kurang kuat untuk berhadapan langsung. Yesus menyampaikan pesan – melalui orang-orang Farisi - kepada srigala itu bahwa diri-Nya sedang sibuk melakukan segala kebajikan (“Aku mengusir setan dan menyembuhkan orang”) dan bahwa Aku tidak takut digertak, tetapi akan seperti biasa melanjutkan pekerjaan-Ku pada hari ini dan besok (artinya, dalam beberapa waktu yang singkat ke depan) sampai “pada hari ketiga” (artinya, sampai batas waktu yang dikehendaki oleh Bapa untuk mengakhirinya). Bentuk kata kerja yang dipakai adalah pasif yang sebenarnya berbunyi “Aku disudahi/dinabisi”. Di sinilah kita mengerti bahwa ini petunjuk kepada kematian Yesus ketika pekerjaan-Nya sungguh-sungguh telah mencapai tujuan.

Yesus tidak menjadikan ancaman orang-orang yang ingin melenyapkan-Nya menjadi alasan untuk lari dari tugas dan tanggungjawab-Nya dalam menyelesaikan misi Bapa. Alih-alih ciut nyali-Nya, Ia semakin giat berpacu dengan waktu dalam melakukan tugas-Nya. Seolah Yesus menjawab ancaman itu, “Aku tidak takut dan tidak akan pergi tetapi akan menyudahi pekerjaan-Ku di tempat ini. Dan kemudian Aku akan menuju ke Yerusalem meninggalkan wilayah kekuasaan Herodes, bukan pula karena takut kepada Herodes, tetapi sesuai dengan rencana Allah. Jadi kalau Aku pergi ke Yerusalem maka memang harus ke sanalah Aku melanjutkan perjalanan-Ku beberapa waktu lagi (“hari ini dan besok”) sampai Aku pada hari yang ditentukan Allah akan tiba di Yerusalem dan dihabisi di sana!” Sebab Yerusalem adalah pusat Israel dan seolah-olah mewakili seluruh Israel. Di kota itu diam pucuk pimpinan Israel, di kota itu pula terdapat Bait Suci. Dan, Yesus menyamakan diri-Nya dengan para nabi. Nabi-nabi yang dibunuh justeru di pusat peradaban religi, dibunuh oleh orang-orang yang menganggap diri mereka dekat dengan TUHAN!

Dari kisah Yesus berhadapan dengan ancaman kita bisa belajar beberapa hal:

1.   Ancaman dijawab dengan fokus pada tugas panggilan. Yesus tetap mengerjakan apa yang seharusnya Ia kerjakan. Ia terus mengusir setan dan menyembuhkan orang-orang sakit dan memberitakan Injil Kerajaan Allah. Dengan kata lain, Yesus menjawab ancaman dengan kualitas pekerjaan dan pelayanan yang mumpuni – seolah-olah ancama itu tidak ada!

2.     Yesus melihat hidup-Nya sebagai sebuah perjalanan. Perjalanan mengerjakan misi Bapa-Nya, dan misi itu harus berhasil kendatipun dibayar dengan derita dan nyawa.

3.   Yesus tidak pernah menyesali tantangan dan kehidupan yang sulit bahkan kematian yang dijalani-Nya kelak di Yerusalem. Ia menyadari bahwa  mengemban tugas Bapa berarti berhadapan dengan kesulitan dan masalah.

Dalam kehidupan yang kita jalani hampir mustahil kita tidak berhadapan dengan masalah dan kesulitan. Orang bijak mengatakan hanya ada dua hal akan terjadi setelah seseorang mengalami kesulitan, ancaman dan tantangan. Pertama, orang itu akan jatuh, habis dan tidak berdaya. Kedua, bisa menjadikannya sebagai orang yang besar. Yesus telah memberi teladan bahwa ancaman tidak selamanya harus menghancurkan kehidupan kita. Kesulitan bahkan kematian yang dialami-Nya justeru membesarkan nama-Nya.

Paulus berhasil menerapkannya. Penjara boleh membatasi gerak langkahnya namun tidak mampu membatasi karya dan kebebasannya untuk bersukacita. Salah satu hasil karyanya dalam penjara adalah surat Filipi. Surat Filipi sering disebut “Injil Sukacita” oleh karena di dalamnya terdapat banyak ungkapan dan ajakan untuk bersukacita. Menjadi pertanyaan besar, “Mengapa seseorang yang sedang terpenjara begitu banyak diwarnai oleh sukacita?” Jawabnya, karena Paulus tahu dan sadar akan tujuan dan jalan hidupnya dalam rancangan Allah dan bahwa Allah mengasihinya. Itulah yang memampukannya untuk terus setia mengerjakan misi Allah dengan memberitakan Injil Yesus Kristus. Dengan keyakinan ini ia mengajak agar setiap orang percaya, khususnya bagi mereka yang menghadapi kesulitan, Paulus meminta untuk mengikuti teladannya, “Ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu” (Filipi 3:17).

Jadi kalau Alkitab mengungkapkan tokoh-tokoh teladan iman, itu bukan berarti bahwa mereka adalah orang-orang hebat, super dan telah dirancang oleh Allah sedemikian rupa hingga menjadi semacam tokoh “super hero”. Bukan begitu! Mereka juga sama dengan kita, manusia rentan yang bisa digertak, diancam, dipenjarakan, bahkan dibunuh. Yang membedakan mereka adalah cara pandang terhadap kesulitan hidup dan ketekunan serta iman mereka dalam menghadapi masalah atau ancaman hidup. Kedekatan dan pengenalan yang utuh akan TUHAN membuat mereka bisa mengalahkan apa pun yang menjadi kendala dalam hidup mereka. Bagaimana dengan kita?

Kamis, 11 Februari 2016

MENANG ATAS PENCOBAAN

Seorang ibu menceritakan bagaimana ia kini hidup sebatang kara dengan sakit yang sedang dideritanya. Suami telah berpulang tahun lalu akibat kecelakaan lalu-lintas. Anak satu-satunya sebagai tumpuan hidupnya, pergi entah ke mana. Kata orang-orang, sang anak mengikuti aliran keagamaan radikal. Kini, ia sendiri harus menjalani kemoterapi akibat kanker yang dideritanya. “Sabar dan tawakal ya Bu dalam menghadapi cobaan ini. Gusti Allah ora sare!” Begitu kata kerabat dan tetangga menghibur ibu ini. Apakah benar pencobaan itu hanya berbentuk kesulitan dan penderitaan dalam hidup?

Mari kita belajar dari pencobaan yang dialami oleh Yesus di padang gurun. Injil sinoptis menyebutkan ada tiga pencobaan yang dialami Yesus. Lukas mencatat urutan ketiga pencobaan itu sebagai berikut:

1.       Mengubah batu menjadi roti.
2.       Memperoleh kuasa duniawi.
3.       Menjatuhkan diri dari bubungan Bait Allah.

Setelah peristiwa baptisan di sungai Yordan, Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun, daerah yang hampir tidak didiami manusia. Roh yang membawa Yesus pastinya bukan roh jahat. Di sinilah terdapat kelit-kelindan antara prakarsa Roh Ilahi tetapi di sana juga ikut campur roh jahat, dalam hal ini Iblis ketika mencobai Yesus: Di satu pihak, dapat dikatakan bahwa adalah sesuai dengan kehendak Allah, bahwa Yesus dicobai dan diuji (bnd. Yakobus 1:2-3); dan di pihak lain, pada saat bersamaan Iblis juga berniat menggoda Yesus (bnd. Yakobus 1:13). Kemudian orang memisahkan antara pencobaan dan ujian dari motivasi awalnya. Pencobaan itu berasal dari si jahat dengan tujuan untuk menjatuhkan dan menggagalkan misi Yesus untuk penyelamatan dunia (“pencobaan”, Yun: peirazo) dan ujian itu merupakan prakarsa Allah untuk mengkonfirmasi dan meneguhkan Yesus (“ujian”, Yun: dokimion).

Bila ujian atau pencobaan dapat berkelit-kelindan dari prakarsa Allah dan peran Si Jahat, apa yang dapat kita pahami? Jawabnya, apa yang hendak mengasingkan atau memisahkan kita dari Allah, itu bukan berasal dari Allah, melainkan dari Iblis. Dan apa yang membuat kita tegar, kuat serta semakin dekat dengan Allah, pasti bukan dari Iblis! Namun, masalahnya ketika hal itu datang menimpa kita, bagaimana membedakannya? Benar, tidak mudah! Oleh karenanya kita tidak usah memecahkannya hingga memuaskan logika kita. Langkah bijak adalah: Melalui pencobaan itu, meskipun Iblis mengerahkan semua kekuatannya, kita percaya bahwa Allah tidak tinggal diam, Gusti ora sare. Sebaliknya, ketika kita menyadari bahwa Allah sedang mendidik kita melalui pelbagai peristiwa untuk semakin mengasihi-Nya, ingatlah bahwa Iblis dengan pelbagai cara dan dengan kekuasaannya akan mencoba merusak rancangan indah Allah itu. Di sinilah kita harus terus-menerus berhati-hati dan waspada dalam hidup!

Yesus berada di padang gurun itu selama empat puluh hari. Selama kurun waktu itu, Ia tidak makan apa-apa, artinya Yesus berpuasa dengan sangat keras. Pada akhirnya, Yesus menjadi lelah dan lemah. Iblis menganggap bahwa inilah waktu yang tepat untuk memulai serangan yang mematikan. Iblis seolah mengikuti terus rancangan Allah dari belakang. Iblis tahu dan ia menggunakan firman Allah. Sebelumnya, ketika pembaptisan di sungai Yordan, Allah berkata, “Engkalulah Anak-Ku…”(Luk.3:22). Sekarang, Iblis memakai kalimat itu. Ia berkata, “Jika Engkau (betul-betul) Anak Allah, suruhlah batu itu menjadi roti!” Dengan perkataan lain: “Sudah semestinya bahwa Engkau menggunakan kedudukan-Mu sebagai Anak Allah dan mempergunakan karunia yang telah diberikan Allah kepada-Mu, yakni kuasa untuk melakukan mujizat! Godaan untuk menggunakan kuasa dan mujizat bagi diri sendiri kelak juga terjadi di kayu salib (Lukas 23:35-39).

Bagaimana Yesus menang dari pencobaan pertama ini? Yesus melawan pencobaan itu dengan berpegang kepada fiman Allah. Ia mengutip Ulangan 8:3, “Manusia hidup bukan dari roti saja”. Yesus tidak mau menggunakan kuasa ilahi, Ia tidak mau menggenggam kedudukan-Nya sebagai “Anak Allah” apalagi menggunakannya untuk kepentingan sendiri, tetapi Ia mau menjadi “satu” dengan manusia dan mau hidup dalam ketergantungan sepenuhnya kepada Allah. Belajar dari kemenangan Yesus atas pencobaan terhadap kebutuhan manusia yang paling mendasar ini adalah ketergantungan total kepada Allah!

Gagal dari pencobaan pertama, Iblis menawarkan kemegahan dan kekuasaan duniawi. Ia di bawa ke sebuah tempat yang tinggi dan kepada-Nya diperlihatkan seluruh kerajaan dunia. Iblis mengajukan kompromi terhadap Yesus. Seolah Iblis berkata, “Baiklah kita kompromi saja, aku memberikan segala kekuasaann duniawi dan kemuliaannya, asal engkau sujud menyembah aku sebentar saja! Mungkin saja kita dapat menduga bahwa Yesus akan mengganggap remeh godaan ini oleh karena dia adalah Tuhan pemilik kuasa sebenarnya. Kita harus mengingat Yesus juga manusia dan Ia harus menjalankan misi Allah. Dilihat dari sisi manusiawi, bukankah tawaran kompromi Iblis ini menarik? Bukankah dengan memiliki kuasa duniawi Yesus akan mudah mendapatkan pengikut? Sebab orang-orang nasionalis dari kalangan Yahudi mengharapkan bahwa Mesias adalah seorang yang tanpil dan menaklukkan kuasa dunia!

Penolakkan kompromi itu berarti Yesus memilih jalan yang tidak mudah. Ia memilih jalan “Hamba Tuhan yang menderita”. Apa yang memampukan Yesus menolak godaan kompromi? Kembali, Yesus mengutip Ulangan 6:13, “Engkau harus takut akan TUHAN, Allahmu, kepada Dia haruslah engkau beribadah..” Yesus bersikap tegas, biarpun Iblis tidak meminta menyembahnya sebagai Tuhan, tetapi hanya sebentar saja bahkan hanya proforma saja memberi hormat kepadanya, Yesus menganggap setiap tanda penghormatan, bagaimanapun kecilnya, adalah bertentangan dengan sikap yang dituntut oleh firman Allah. Yesus tahu dan mengerti bahwa percaya kepada Allah menuntut ketaatan secara mutlak! Mengapa kita sering kalah terhadap pencobaan? Jawabnya, kita tidak seperti Yesus. Kita mudah kompromi dengan kilaunya harta dan kenikmatan dunia. Ada setumpuk alasan pembenaran bahwa kita gagal setia lalu kompromi!

Hebat juga si Iblis, inilah yang mungkin bisa kita pelajari darinya: tidak kenal menyerah! Kali ini Ia menggunakan lagi nas Alkitab membujuk Yesus untuk menjatuhkan diri dari bubungan Bait Allah. Lalu Iblis membisikan kepada-Nya: “Jika Engkau betul-betul Anak Allah, lakukanlah mujizat yang menimbulkan sensasi, sehingga orang banyak memuliakan Engkau sebagai Mesias! Perhatikan, sekarang Iblis mencoba menggoda Yesus supaya mau lebih maju dari kepercayaan itu dan mau melampaui batas-batas kepercayaan! Dengan jalan menjatuhkan diri tampaknya merupakan bukti dari kepercayaan itu. Tetapi sebenarnya adalah upaya untuk menantang dan memaksa Allah memberi pertolongan. Lagi-lagi Yesus menang atas cobaan itu dengan menggunakan firman Allah. Ulangan 6:16, “Jangan kamu mencobai TUHAN Allahmu…” Adalah senjata pamungkas Yesus lalu Iblis mengundurkan diri. Godaan popularitas sering kali menghampiri kita. Kita tergoda untuk melakukan hal-hal spektakuler lalu memaksa Tuhan untuk melakukannya.  

Dari pengalaman Yesus dicobai, kita mendapat gambaran bahwa ternyata pencobaan itu tidak datang hanya dalam bentuk-bentuk penderitaan, bencana yang mengerikan, dan kesulitan dalam kehidupan ini. Ingatlah bahwa Iblis adalah sosok pandai. Ia tahu dan hafal firman Allah, tidak hanya itu tetapi pandai memutarbalikkannya untuk menjatuhkan manusia. Tidak ada cara lain untuk menang dalam menghadapi pencobaan Iblis kecuali belajar menerapkan apa yang sudah Yesus lakukan dan sudah teruji menang, yakni: Mengandalkan dan bergantung total kepada Allah, tidak mengenal kompromi dengan kuasa jahat betapa pun tawarannya menggiurkan, tidak melakukan sensasi dan memaksa Allah melakukan apa yang kita ingini!