Jumat, 01 Januari 2016

TERANG MENERANGI KEGELAPAN

Seorang pilot yang ceroboh menerbangkan pesawat bermesin tunggal yang perlengkapannya kurang memadai. Ia segera lepas landas. Ia tidak begitu tahu cara mengoprasikan instrument pesawat – ia sekedar bisa menerbangkannya. Pesawat itu tidak dilengkapi dengan lampu. Namun, sang pilot menerbangkan pesawat itu ke sebuah landasan di pedesaan dan berencana mendarat di sana sebelum petang. Sayangnya angina yang bertiup kencang memperlambat laju pesawat itu sehingga ia terlambat tiba di sana. Matahari sudah terbenam di balik pegunungan barat dan akibatnya ia tidak dapat melinat landasan dengan jelas. Kendati demikian, ia berusaha membawa pesawatnya mendekati landasan. Namun sayangnya ia tidak bisa menemukan batas-batas pendaratan itu. Sekarang ia panic ketika melihat lindikator bahan bakar. Bahan bakar itu tinggal sedikit lagi habis! Landasan itu tidak dilengkapi lampu dan ia tidak bisa menghubungi siapa pun dari pesawat itu karena alat komunikasi tidak berfungsi. Ia mulai terbang berputar-putar. Ia tahu bahwa salah satu putaran itu akan menjadi kesempatan terakhir. Pesawatnya akan jatuh dan ia bisa tewas!

Di darat seorang laki-laki sedang duduk di beranda rumahnya dan telinganya yang peka terganggu dengan dengung bising pesawat yang terbang berputar-putar. “Orang itu pasti sedang berada dalam kesulitan,” pikirnya. Dengan cepat ia mengendarai mobilnya menuju landasan pesawat dan mulai menyorotkan lampu mobilnya ke atas dank e bawah, menunjukkan kepada pilot yang tidak berpengalaman itu di mana ia harus mendarat. Di ujung landasan pengemudi itu berputar, menyalakan lampu jauh, dan duduk di sana, seolah-olah berkata, “Ini ujung landasan, lihatlah lampu-lampu ini!” Sang pilot sembrono itu kini mulai bernapas lega, berkat lampu mobil itu kini ia dapat melihat landasan itu. Perlahan ia mengarahkan peawatnya ke landasan. Dan akhirnya ia dapat mendaratkan pesawatnya dengan selamat sebelum bahan bakarnya habis.

Banyak orang hidup seperti pilot dalam cerita kita ini. Asal bisa menerbangkan pesawat, berada di udara merasakan sensasi terbang itu dianggapnya sudah memuaskan hatinya. Soal bagaimana mendarat dengan selamat, itu urusan belakangan. Sebagian besar orang menjalankan hidup dengan asal-asalan. Tdak memerhatikan kaidah-kaidah hidup sesungguhnya. Hidup diartikan dengan menikmati segala kesenangan. Perkara konsekuensinya itu soal lain. Bagaimana nanti, yang penting happy saat sekarang! Bukankah dunia di mana kita hadir di dalamnya terus-menurus menyeret kita untuk masuk dalam motto hidup seperti itu. Lihatlah iklan-iklan di televise da media-media online. Secara tidak langsung iklan-iklan itu berkata, “Kebahagiaan akan datang dari memiliki barang-barang, seks, uang dan kuasa.”

Seorang model perempuan seksi sering dipajang dalam iklan-iklan otomotif, seolah mau mengatakan para perempuan cantik ini hanya tertarik dengan kendaraan yang mereka sedang iklankan. Seorang pria tampan terlihat seolah penuh dengan kebanggaan dan kedamaian ketika ia menggunakan parfum merek tertentu dan kemudian dapat memikat perempuan-perempuan cantik. Semuanya jelas: Kemewahan yang mahal akan membuat Anda bahagia. Belum lagi iklan-iklan proferti: perumahan mewah, kondominium, dan sejenisnya dengan fasilitas prima ditambah embel-embel harga “hanya sekian ratus juta rupiah saja sebulan!” Semua ini mau tidak mau menggiring kita menjauh dari kebenaran hakiki. Konsep ini menawarkan bahwa kebahagiaan bersumber dari materi yang disajikan.

Konsep-konsep yang sedang membombardir kita setiap hari ini lambat laun menghancurkan jiwa kita. Akibatnya, nurani kita lambat-laun dibutakan oleh keinginan kuat mengumpulkan kekayaan, memiliki kuasa yang besar, menikmati hubungan seks bebas tanpa ikatan. Konsep ini dapat terus merembes meracuni jiwa kita dalam beberapa cara, misalnya, “Jadilah orang nomor satu.” “Kamu hanya dapat melakukannya sekali, jadi ambillah semua yang kamu bisa.” Secara negatif, konsep budaya ini berkata, “Jangan menekan hawa nafsu; semua nafsu adalah baik.” “Peraturan dibuat untuk dilanggar.” “Jangan terbelenggu oleh komitmenmua.” Bukankah ini semua membawa manusia hidup dalam kebutaan moral. Manusia menjadi “gelap mata” sehingga apa pun akan diusahakan untuk mendapatkan apa yang diingininya. Paulus mengingatkan, “Janganlah kamu disesatkan orang dengan kata-kata hampa, karena hal-hal yang demikian mendatangkan murka Allah.” (Efesus 5:4)

Bagai pilot konyol, kehidupan seperti ini akan menyeret manusia menuju lembah kebinasaan. Apa yang paling dibutuhkan manusia dalam kondisi seperti ini? Manusia membutuhkan pertolongan dan pertolongan itu adalah “Terang” sebab kalau tidak, ia akan binasa. Sejalan dengan itu Yohanes 1:4 mengatakan, “Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia.” Manusia membutuhkan terang untuk bisa hidup (hidup utuh, penuh, bermakna dan indah). Tak pelak lagi bahwa terang itu sangat penting, sehingga pada kisah penciptaan, Allah pertama-tama menciptakan terang. Terang menjadi prakondisi yang diperlukan oleh seluruh ciptaan tak terkecuali manusia.

Ternyata terang itu bukan saja mempunyai arti harafiah, misalnya terang sinar matahari atau benda-benda penerang lainnya sehingga kita bisa melihat benda dan situasi di sekitar kita. Namun terang juga menunjukkan makna simbolik bahwa terang adalah kondisi di mana manusia memahami dan mengerti kebenaran. Dengan terang itu manusia dapat membedakan mana yang benar dan mana yang keliru. Terang itu memampukan manusia menimbang mana yang adil dan mana yang tidak; mana yang jahat dan mana yang baik. Dengan terang itu manusia memahami dan mengenal Sang Pencipta dengan kehendak-Nya.  Namun, apa yang terjadi? Ternyata manusia lebih memilih menghindari Sang Terang itu. Manusia pertama memilih memberontak dengan melanggar perintah-Nya demi memuaskan hasrat mereka.

Sang Pencipta tidak tinggal diam. Dia tidak membiarkan manusia binasa dengan kehilangan Terang Hidup. Maka Ia berprakarsa menghadirkan Sang Terang itu. Dari mana sumber Terang itu? Yohanes sebelum berbicara tentang Terang itu, ia mengatakan asal-usulnya, “Pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah...” (Yoh.1:1) Artinya, Firman itu dekat dengan Allah atau berorientasi pada Allah bahkan Firman itu adalah Allah sendiri.  Kemudian Firman itu berperan dalam penciptaan bahwa segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan yang dijadikan dalam Sang Firman itu adalah hidup. Hidup bukan sekedar bernafas, melainkan berpengertian. Hidup yang bersumber pada Firman tersebut merupakan terang manusia.

Kini Sang Firman, yang adalah juga Sang Terang itu masuk ke dalam sejarah kehidupan manusia, “Ia menjadi manusia dan diam di antara kita,…sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” (Yoh.1:14). Dialah Yesus Kristus! Tentang itu Yohanes datang untuk memberi kesaksian. Firman itu “ada” sejak awal mulanya. Ia telah ada sebelum proses penciptaan semesta alam terjadi dengan demikian Yohanes menjadi saksi praeksistensi Sang Firman yang telah menjadi manusia itu. Dengan demikian Yesus Kristus adalah Firman yang dari semula bersama-sama dengan Allah, bahkan yang adalah Allah sendiri yang juga adalah Sang Terang dunia dan menjadi manusia. Di dalam Yesus nyatalah Firman yang utuh, terlihat kasat mata, diperagakan dan menjadi hidup! Di dalam Yesus Kristus menjadi nyata gambaran Sang Bapa oleh karena Dia dengan sempurna menampilkan gambaran Sang Bapa itu dengan utuh. Maka Dia berani menyatakan, “….Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami.” (Yohanes 14:9).

Seperti kisah pilot konyol itu, seorang lelaki berupaya mengusahakan dengan lampu mobilnya agar landasan terlihat jelas dan si pilot itu bisa mendarat. Allah Bapa telah menyediakan “Terang” melalui Firman-Nya yang telah menjadi manusia itu. Dia memperagakan, bahkan menyatakan diri juga sebagai “jalan dan hidup dan kebenaran” tinggal respon kita. Apakah kita membiarkan diri terus terombang-ambing tidak tahu arah karena dibutakan oleh nafsu dunia dan pelbagai tawaran dunia ini? Ataukah kita membuka diri untuk kehadiran Sang Terang itu dalam hati kita sehingga menerangi seluruh kehidupan kita. Pastilah ketika kita memiliki Terang itu, kegelapan tidak akan mungkin menguasai kita karena Terang itu akan menghalaunya. Nafsu serakah, keinginan daging dan pemuasan diri perlahan akan sirna, seiring dengan datangnya Sang Terang itu dalam kehidupan kita. Memiliki Terang Kristus membuat kita menjadi saksi-Nya di manapun kita berada. Bahkan kita dapat menelanjangi kegelapan (Efesus 5:11).

Rabu, 30 Desember 2015

BERKAT ANAK-ANAK ALLAH DI TAHUN BARU

Dewa Janus, dalam mitologi Romawi, dikenal sebagai dewa Jalan, gerbang, pintu dan waktu. Namun, Janus juga dipercaya sebagai dewa pertanian yang memberi kesuburan pada tanah. Janus digambarkan sebagai dewa yang punya dua wajah yang menghadap ke dua arah. Satu wajah menghadap ke belakang dan yang lain ke depan. Dengan begitu, Janus selalu memandang ke masa lalu dan pada saat yang sama memandang ke masa depan. Dengan demikian Janus dipuja sebagai waktu, dewa permulaan dan akhir. Bangsa Romawi bila ingin memulai sesuatu pekerjaan maka biasanya memohon pertolongan kepada dewa ini. Nama Januari, yaitu bulan yang mengawali kalender Gregorian, dalam bahasa Latin iānuārius yang berarti “bulan dewa Janus”.


Sejak lama, minimal terekam dalam mitologi Romawi, manusia punya kesadaran untuk “menoleh ke belakang” sebelum mengerjakan atau melangkah ke “masa depan”. Januari dalam kalender yang kita pergunakan adalah bulan pertama dalam sepanjang tahun, tanpa harus kita menyembahnya sebagai dewa, ia memberi inspirasi buat kita untuk sejenak berhenti, merenung tentang masa lalu yang telah ditapaki, tentu bukan untuk sekedar bernostalgia dan hanyut dalam masa lalu, melainkan mengevaluasi masa lalu itu dan kemudian menatap ke depan, merencanakan apa yang baik untuk kita lakukan.

Melihat dan mengevaluasi apa yang telah kita jalani selama satu tahun ini akan bermuara pada dua kemungkinan. Pertama, kita menjadi pesimis. Alasannya cukup banyak. Dalam konteks kita: kehidupan perekonomian yang tidak mudah diduga. Nilai tukar rupiah terhadap dollar dan mata uang asing lainnya cukup menguatirkan. Pelbagai tindakan kriminal semakin masiv dengan intensitas tinggi. Soliditas pemerintahan dalam menjaga keutuhan NKRI yang berwawasan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 masih tetap diragukan, oleh karena gerakan-gerakan fundamentalis radikal yang mengatasnamakan agama terus bertumbuh subur. Sweping-sweping oleh ormas-ormas tertentu seolah dibiarkan dan aparat hanya menjadi penonton Tahun 2015 juga dikenal sebagai tahun kegaduhan politik, terjadi kekisruhan antar lembaga negara. Alih-alih mengurus rakyatnya, mereka sibuk memertahankan posisi dan menyerang lembaga lain. Indikasi terhadap pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi terlihat gamlang ketika DPR menyingkirkan orang-orang dengan track rekor mumpuni di bidang pemberantasan korupsi. Pelanggaran Hak asasi manusia, termasuk di dalamnya kekerasan terhadap perempuan dan anak terus terjadi. Daftar kekuatiran itu masih dapat diperpanjang lagi sesuai kondisi di mana kita berada dan berkarya.

Kemungkinan kedua adalah kebalikan dari yang pertama. Walaupun tak dapat disangkal ada begitu banyak faktor yang dapat membuat kita pesimis. Namun, faktanya ada juga harapan-harapan baru yang mulai tumbuh. Pembangunan infrastruktur yang mulai merata di pelbagai daerah. Munculnya pemimpin-pemimpin muda yang berani menegakkan konstitusi dan berkarakter baik. Penyelenggaraan tatanan negara dan pemerintahan yang mulai transparan dan akuntabel. Munculnya kelas menengah yang mulai kritis terhadap segala kebijakan dan kebebasan pers yang berperan sebagai kontrol terhadap kebijakan penyelenggara negara. Pembenahan transportasi yang mulai menyentuh akar permasalahan, ini semua mestinya menumbuhkan harapan baru. Namun, meskipun demikian toh masa depan belum terjadi. Ia masih ada di depan kita.

Baik dan buruknya masa depan mestinya ditentukan pada saat ini. Kita tidak mungkin akan menemukan dan mengalami masa depan yang indah, bermoral dan sejahtera tanpa memperjuangkannya hari ini. Ibarat sebuah kapal pesiar yang besar ia tidak akan dapat bersandar di dermaga pelabuhan kalau jauh sebelumnya sang nahkoda tidak mengarahkan kemudi pada titik kordinat di mana pelabuhan itu berada.

Kehidupan ini ada awal dan tentu ada akhirnya. Hidup ini seperti sebuah perjalanan. Perjalanan Israel dari negeri perbudakan menuju negeri perjanjian dapat menjadi ilustasi dari gambaran kehidupan kita. Allah yang berperan sebagai pembebas bagi umat yang tertindas tidak serta merta membuat umat itu langsung berada di negeri perjanjian. Mereka harus menelusuri padang gurun selama empat puluh tahun lamanya. Ada pahit getir dalam perjalanan itu. Tetapi juga tidak kalah ada kegembiraan dan pengharapan. Dalam setiap perhentian mereka diajak untuk mengingat kembali kasih karunia TUHAN itu. Dalam salah satu perhentian, TUHAN memerintahkan kepada Musa supaya berbicara kepada Harun dan anak-anaknya untuk memberkati umat TUHAN itu. TUHAN sendiri memberi formula berkat itu. Tentu formula itu bukan hanya sekedar mantera atau puisi indah. Di dalamnya penuh makna, janji dan harapan serta kesediaan dan kemampuan TUHAN untuk memenuhinya, kata-Nya: “TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau, TUHAN melindungi engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia. TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera.” (Bilangan 6:24-26).

Rasanya tidak ada kata-kata berkat yang lebih baik dari ini. “TUHAN memberkati” itu berarti Dia bersedia mencurahkan dan memberikan apa yang terbaik untuk kelangsungan kehidupan umat-Nya. “TUHAN menyinari dengan wajah-Nya” hal ini berarti bahwa TUHAN kemurahan hati TUHAN terarah kepada umat-Nya. “TUHAN menghadapkan wajah-Nya” berarti mengungkapkan kasih dan bantuan ilahi. Perhatian TUHAN diarahkan kepada orang yang bergantung kepada-Nya. “TUHAN melindungi” itu berarti Dia bersedia menjadi benteng perlindungan bagi umat-Nya. Bayangkan jika TUHAN yang menjadi pelindung, siapa yang bisa menembusnya? Selanjutnya “TUHAN memberikan kasih karunia” itu artinya Dia memberikan apa yang terbaik untuk umat-Nya dan kalimat berkat itu ditutup dengan “…memberi engkau damai sejahtera” inilah kebutuhan manusia yang paling utama dan mendasar. Bayangkan betapa luar biasanya TUHAN memberikan berkat kepada umat-Nya.

Kita meyakini, sebagaimana keyakinan Romawi bahwa dunia ini ada yang memulai. Allah memulainya dengan ciptaan yang sungguh amat baik. Manusia diciptakan dari debu dan tanah namun kemudian Allah memahkotainya dengan hormat dan kemuliaan yang hampir menyamai Allah (Mazmur 8). Dengan keyakinan itu mestinya manusia dapat membuktikan bahwa ia adalah makhluk mulia yang dapat menciptakan tatanan yang baik baik segala ciptaan. Manusia sedari awal sudah diberi modal diberi kuasa atas buatan tangan Tuhan yang lainnya (Mazmur 8:7). Di sepanjang jalan kehidupan pun Dia menopangnya dengan berkat dan anugerah. Namun sayangnya modal ini sering disalahgunakan manusia. Manusia mencari kepuasan untuk dirinya dan tidak peduli dengan sesama dan ciptaan yang lainnya. Akibatnya, kekacauan dan penderitaan yang terjadi. Manusia saling menindas dan memangsa sehingga berlaku hukum rimba, “siapa yang kuat dia yang menang.” Jelas, kalau Allah telah memulai segala sesuatu dengan baik maka Dia tidak menginginkan segalanya berakhir dengan kekacauan dan kebinasaan. 

Betapapun banyak tantangan yang kita bayangkan di masa depan – seperti Israel dalam pengembaraan mereka di padang gurun, berkat TUHAN melalui imam Harun dan keturunannya telah menghantar mereka sampai di negeri perjanjian – berkat TUHAN itu lebih dari cukup menghantar kita dalam menapaki hari-hari ke depan dalam tahun ini. Berkat TUHAN itu mestinya memampukan kita untuk dapat menapaki tahun-tahun mendatang mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Mengembalikan manusia pada harkat semula seperti pada awal penciptaan.