Jumat, 23 Oktober 2015

MEMPERSEMBAHKAN DIRI SEBAGAI KORBAN KEPADA ALLAH

“Memberikan korban persembahan bagi Allah”. Kalimat ini sering kita dengar dan karena seringnya mungkin tidak lagi menjadi persoalan buat kita. Namun, cermatilah! Apakah Allah membutuhkan pengorbanan dari seorang anak manusia? Bukankah Dia Yang Mahakuasa dan Pemilik segalanya? Lantas, buat apa korban itu diberikan?

Kalau kita menelisik koraban persembahan, akarnya jauh ada dalam Perjanjian Lama. Bahkan sebelum ada tradisi korban di Perjanjian Lama, bangsa-bangsa di luar Israel pun telah mengenal dan mempraktekkan ritual-ritual penyembahan yang disertai dengan penyerahan korban. Penyerahan korban persembahan itu bisa hasil bumi, hewan ternak, bahkan manusia! Peradaban kultus penyembahan dalam Yudaisme berangsur-angsur menjadi lebih tertata. Kitab Kejadian mencatat ritus korban persembahan yang dilakukan oleh Kain dan Habil. Abraham menjadi tenar sebagai bapa orang percaya setelah berhasil melewati ujian mempersembahkan Ishak, anak yang lama dinanti-nantikannya. Sejarah keluarnya Israel dari perbudakan di tanah Mesir dengan peringatan Paskah tidak luput juga dengan korban persembahan. Kitab Imamat merinci dan mengatur bagaimana korban-korban persembahan dilakukan serta orang-orang yang diberi otorisasi menyelenggarakannya.

Korban persembahan menjadi hal utama dalam ritual ibadah Israel, sebab tanpa itu tidak akan terjadi hubungan yang baik antara Allah dan manusia. Dosa manusia telah merusak hubungan baik itu. Maka Hari Penebusan atau Hari Pendamaian itu memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan umat. Hari menjadi penting, mengapa? Karena pada hari itu terjadi penebusan bagi semua dosa umat. Hari itu adalah hari satu-satunya di mana Imam Besar secara pribadi mempersembahkan korban. Pada hari-hari biasa pekerjaan itu diserahkan kepada imam-imam bawahan.

Acara pertama dan yang paling utama dalam upacara pada hari itu ialah persembahan korban untuk dosa-dosa Imam Besar itu sendiri. Ia akan mencuci tangan dan kakinya, menanggalkan jubahnya yang maha indah. Lalu mengenakan pakaian dari kain lenan yang putih bersih. Kemudian seekor sapi jantan yang dibelinya dengan uangnya sendiri dibawa kepadanya. Sang imam Besar kemudian meletakan kedua tangannya di atas kepala sapi jantan itu untuk mengalihkan dosa-dosanya kepada hewan tersebut. Lalu ia mengucapkan pengakuan, “O, TUHAN Allah, aku telah berbuat kefasikan, aku telah berdosa, aku dan keluargaku. O, Allah, aku mohon dengan sangat, tutupilah dosa-dosa dan pelanggaran-pelanggaran yang telah aku dan keluargaku lakukan di hadapan-Mu.”

Persembahan korban yang paling besar dalam imamat Lewi mulai dengan persembahan korban bagi dosa-dosa Imam Besar itu sendiri. Kitab Ibrani menyatakan bahwa Yesuslah Sang Imam Besar Sejati. Mengapa? Karena Yesus tidak berdosa! Imam Besar menurut imamat Lewi adalah orang berdosa yang mempersembahkan korban-korban hewan bagi manusia berdosa. Sedangkan Yesus adalah Anak Allah, tanpa dosa dan kemudian mempersembahkan diri-Nya sendiri untuk dosa semua manusia. Yang menentukan seseorang menjadi Imam Besar menurut imamat Lewi adalah hukum. Sebaliknya, yang memberikan jabatan imam kepada Yesus adalah sumpah Allah.

Selanjutnya, Yesus bukan saja Imam Besar yang sempurna tetapi juga Ia adalah korban yang sempurna. Hanya Yesus sajalah yang dapat membuka jalan kepada Allah, karena Dia adalah Imam Besar yang sempurna dan Ia telah mempersembahkan korban yang sempurna, yakni diri-Nya sendiri. Dalam konteks ritus korban persembahan inilah penulis Ibrani menyatakan bahwa Yesuslah Sang Imam Besar ideal itu. Sejak dahulu manusia mencari Allah tetapi dosanya telah menjadi penghalang sehinga perjumpaan dengan Allah itu tidak memungkinkan terjadi. Hanya Yesus satu-satunya kemungkinan itu bisa terjadi.
Di sini kita menemukan jawaban bahwa sebenarnya Allah tidak membutuhkan korban apa pun dari manusia. Manusialah yang membutuhkan pengorbanan itu agar ia dapat diperdamaikan dengan Allah. Korban dalam tradisi Perjanjian Lama jelas tidak akan bisa sempurna. Mengapa? Karena Imam Besar sekalipun yang menyelenggarakannya ia tetap memerlukan korban persembahan karena ia sendiri pun tak luput dari dosa. Pendamaian itu hanya memungkinkan terjadi melalui Imam Besar yang sejati, Yesus! (sumber tafsiran: William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari : Ibrani)

Apa yang harus dilakukan atau terjadi pada manusia yang kesalahannya sudah ditebus? Bersyukur dan berterimakasih! Dengan cara apa dan bagaimana? Sederhana: dengan jalan menjadikan hidup kita sebagai persembahan yang hidup dan berkenan kepada-Nya (Roma 12:1). Kini, kita tidak perlu lagi membawa hewan korban atau ritual yang sejenis dengan itu. Yang harus kita lakukan adalah bagaimana hidup ini menjadi berkat bagi orang lain yang belum mengenal kasih karunia-Nya. Jadi segenap kehidupan ini harus kita pakai sebagai kesempatan untuk bersyukur dan berterimakasih. Sehingga kita melakukan tugas apa pun demi kemuliaan nama-Nya bukan dengan terpaksa, melainkan sukacita dengan ungkapan syukur. Kisah Hudson Taylor dapat menolong kita untuk dapat mempersembahkan hidup kita sebagai ungkapan syukur bagi Allah:

Senin, 19 September 1853, Amelia Taylor datang ke dermaga di Liverpool untuk melepas puteranya, Hudson yang pada saat itu berusia 21 tahun. Hudson mempunyai tekad bulat memberitakan Injil di China. Baik ibu maupun anak sama-sama tdak yakin apakah mereka kelak akan bertemu lagi atau tidak. Mereka larut dalam kesedihan. Missionaris muda itu memeluk ibunya dan berusaha menghibur, “Ibu tersayang, jangan menangis. Kita akan bertemu lagi, pikirkan tujuan mulia yang akan saya datangi dengan meninggalkanmu! Ini bukan demi kekayaan atau ketenaran, melainkan untuk mencoba membawa China mengenal Yesus.”

Ketika Dumfries, kapal kecil yang membawa Hudson Taylor menuju China, sampai di Laut Irlandia, kapal itu menghadapi badai yang sangat dasyat. Morris, sang kapten kapal mengatakan, “Saya belum pernah melihat laut seganas ini. Jika Allah tidak menolong kita, tidak ada harapan!” Akhirnya, setelah menempuh perjalanan selama lima bulan, Dumfries  tiba dengan selamat di China dan Hudson Taylor mengabdikan hidupnya selama 50 tahun menjadi missionaris.

Pada awal 1894, Hudson Taylor melakukan perjalanan untuk kesembilan kalinya ke China. Dalam kelompok missinya, kali ini bergabung Geraldine Guineness, yang bertunangan dan akan menikah dengan anak Taylor, yaitu Howard. Pernikahan itu terjadi di Shanghai pada bulan April. Howard dan Geraldine memutuskan cuti untuk berbulan madu. Namun, ketika mereka pergi, masalah bermunculan di beberapa pos missi di provinsi utara. Sehingga Hudson Taylor memutuskan untuk segera menanganinya. Keputusan itu jelas beresiko mengingat perjalanan berat harus ditempuh selama tiga sampai empat bulan di dataran China sebelum ada jalur kereta api. Tanpa gentar ia mengaturnya, tepat pada musim terpanas tahun itu tiba.

Setelah kembali ke Shanghai dari bulan madu, Howard dan Geraldine belajar dari keberangkatan Hudson, sang ayah. Melihat dan mengalami perjalanan yang tidak mudah itu, anak dan menantu Taylor sangat mengkhawatirkan kesehatan orang tua mereka yang kini tidak muda lagi. Ketika mereka berjumpa dengan missionaris tua ini, Howard memprotes, “Perjalanan ini mungkin berbahaya bagi hidupmu, Ayah!”

“Ya,” Taylor senior menegaskan dengan tenang, kemudian menambahkan dengan mengutip sebuah ayat Alkitab, “dan kita tidak boleh lupa, kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.” (1 Yohanes 3:16). (Sumber :Christie, Hudson Taylor; Steer, J. Hudson Taylor, hlm 46-50; 332-333)

Pengalaman hidup Hudson Taylor merupakan manipestasi hidupnya yang telah menjadi persembahan nyata bagi Allah. Ia rela meninggalkan kenyamanan hidup bahkan nyawanya sendiri agar orang lain mengenal kasih Allah di dalam Yesus Kristus. Tidak semua orang dapat dan rela memersembahkan hidupnya bagi pekerjaan Tuhan. Hanya merekalah yang telah dijamah, merasakan, dan mengalami kasih Allah di dalam Kristus itulah yang kemudian menggerakkannya untuk menjadikan hidupnya berkenan kepada Allah dengan jalan melayani-Nya melalui sesama. Apakah Anda telah dijamah-Nya, merasakan dan mengalami kasih Allah di dalam Kristus?

Jumat, 16 Oktober 2015

MENDERITA NAMUN TETAP TAAT

Manusia umumnya menghindari dan menolak penderitaan. Namun, tak dapat disangkal, tidak ada manusia yang seteril dari derita. Setiap orang pernah mengalami kesulitan dan pergumulan yang kemudian kita mesebutnya sebagai penderitaan. Ada pelbagai sebab manusia mengalami penderitaan, antara lain: Kesalahan atau kelalaian diri sendiri, kurangnya ilmu pengetahuan, dimusuhi atau dianiaya orang lain karena tidak sepaham atau kita sama sekali tidak tahu penyebabnya. Untuk yang terakhir ini, biasanya sikap spiritualitas orang percaya akan mengatakan, “Tuhan mempunyai rencana yang indah.”

Berkaitan dengan tema kita, jelaslah yang dimaksud dengan menderita itu bukan akibat kesalahan dan kelalaian sendiri melainkan menderita sebagai konsekuensi ketaatan kepada Tuhan. Dengan kata lain memilih taat kepada Tuhan meskipun konsekuensinya mengalami pelbagai derita. Taat kepada Tuhan mengandung pengertian: senantiasa tunduk, patuh, tidak berlaku curang, setia, disiplin dan selalu mendahulukan kehendak Tuhan. “Menderita namun tetap taat” Kalimat tema ini gampang diucapkan tetapi sulit untuk dijalani! Mengapa?  Sebab, pada umumnya manusia dengan naluri, logika dan segenap kemampuannya punya “sistem” untuk menghindari dan menolak penderitaan itu. Maka untuk dapat mengalahkan “sistem” yang cenderung lari dari penderitaan harus ada sesatu yang lebih bernilai yang dipandang pantas untuk diperjuangan dan bahkan menjadi penopang dalam menjalani kehidupan yang tidak mudah.

Satu hal yang dapat mengatasi penolakan terhadap konsekuensi penderitaan adalah kecintaan dan keyakinan iman yang tulus kepada Allah. Orang yang mengasihi Allah dan mempercayakan hidup kepada-Nya pasti dapat bertahan di tengah kesulitan dan penderitaan yang luar biasa sekalipun. Bukankah pengalaman empirik kita menunjukkan hal itu? Misalnya, seorang ibu akan meninggalkan kenyamanannya, meskipun seharusnya ia dapat menikmati istirahat pada malam hari setelah seharian disibukkan dengan pelbagai urusan rumah tangga ketika anaknya menangis karena popoknya basah atau lapar. Seorang kekasih akan melakukan apa saja, yang dilihat oleh orang lain terkesan nekad, penuh tantangan dan derita demi menyenangkan buah hatinya. Pengalaman empirik yang merelakan diri mengalami derita untuk orang yang dikasihi mestinya dapat menjadi modal untuk melakukannya bagi dan atas nama cinta kepada Allah.

Yesus Kristus adalah contoh yang sangat gamlang dan jelas. Begitu besar kasih-Nya kepada Bapa-Nya sehingga Ia rela memberikan apa pun, termasuk nyawa-Nya sendiri! Di samping itu Yesus Kristus tahu benar rencana Bapa-Nya atas jalan hidup yang harus Ia tempuh. Dengan sikap seperti ini, penderitaan bukan lagi sebagai hambatan dalam ketaatan kepada Bapa-Nya. Penderitaan justeru membuat semakin nyata ketaatan dan kesetiaan-Nya. Penderitaan menjadi mata uji bagi orang yang mengaku setia kepada-Nya. Dapatkah kita disebut setia jiak tidak pernah melewati masa-masa sulit? Dengan penderitaan yang dialami-Nya, Yesus memenuhi tujuan (teleios) Allah untuk menyelamatkan dunia.

Melalui pengalaman-pengalaman pahit, Yesus mencapai kesempurnaan (teleioun, dari kata sifat teleios). Bagi orang Yunani, sesuatu disebut teleios, sempurna, jika sesuatu itu dapat memenuhi dengan tepat tujuan yang telah ditetapkan semula. Yesus ditetapkan dari semula oleh Bapa-Nya untuk menjadi Mesias. Ya, Mesias yang menderita untuk menyelamatkan dunia dari dosa. Kata teleios tidak dimaksudkan untuk kesempurnaan abstrak dan khayal melainkan dikaitkan dengan fungsinya. Apa yang dikatakan oleh penulis Ibrani adalah sebuah pengalaman derita yang dilewati Yesus sungguh tepat (sempurna) untuk predikat Dia sebagai Juruselamat manusia, Imam Besar yang sejati! Yesus telah dengan sempurna mengerjakan apa yang dikehendaki Allah supaya melalui pelbagai penderitaan bahkan kematian-Nya manusia dapat ditebus dan diselamatkan. Kini manusia tidak lagi membawa hewan kurban agar dapat diselamatkan. Cukup memandang dan mengimani serta meneladani karya agung Sang Imam Besar itu.

Hal menarik yang berkaitan dengan tema kita adalah bahwa meskipun Yesus telah ditetapkan menjadi Imam Besar dan bahwa diri-Nya adalah Anak, ternyata tidak membebaskan-Nya dari pelbagai kesulitan. Sebaliknya, Ia belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya (Ibr.5:10). William Barclay  mencatat ungkapan, “Ia belajar dari apa yang diderita.” Adalah sebuah ungkapan permainan kata emathen aph’ hon epathen. Menurutnya, ugkapan ini lazim ditemukan pada para ahli pikir Yunani. Mereka selalu menghubungkan mathein, belajar, dengan pathein, menderita. Aeskhylus, pengarang drama besar Yunani yang pertama menulis kata-kata yang mirip dan melanjutkan ungkapan itu, katanya: “Belajar itu muncul dari menderita” (pathei mathos). Ia menyebut penderitaan sebagai semacam anugerah liar dari para dewa. Herodotus menyatakan bahwa penderitaannya adalah akharista mathemata, cara belajar yang keras dan kejam.

Sayangnya, tidak semua orang dapat melihat bahwa di balik derita itu ada pelajaran yang berharga. Bahkan murid-murid Yesus pun tidak sanggup mengerti. Permintaan Yakubus dan Yohanes yang menginginkan duduk dalam kemuliaan (Markus 10 :35-45) setidaknya mewakili kebanyakan orang yang enggan menempuh jalan sulit. Yakobus dan Yohanes mewakili kebanyakan orang yang sulit melihat bahwa kemesiasan yang diemban Yesus adalam Mesias yang menderita (Imam Besar yang mengorbankan diri-Nya sendiri; versi Surat Ibrai). Mereka berangan-angan Yesus tampil sebagai Mesias politik yang menaklukan musuh-musuh Israel serta memulihkan kedigdayaan Israel seperti pada zaman Daud dan Salomo. Tentu, Yesus tidak ingin murid-murid-Nya jatuh dalam pemahan sempit tentang jalan kemuliaan itu. Maka Ia mengajarkan barangsiapa mengingini  kemuliaan, ia harus mau menjadi pelayan seperti yang sedang dan akan dilakoni-Nya.  

Allah menyapa manusia melalui pelbagai pengalaman hidup, terutama pengalaman yang menyentuh hati dan mengancam jiwa. Suara-Nya hanya dapat kita dengar apabila kita menerima dengan penuh hormat dan menyakini bahwa segala yang datang menghampiri kita pasti berujung pada kebaikan. Sebaliknya, jika kita menanggapinya dengan rasa benci, maka teriakan pemberontakan yang dalam hati kita akan membuat kita menjadi tuli terhadap suara Allah.

Kita dapat belajar dari kisah yang menyentuh hati, menyesakkan dada dan mengancam jiwa dari pengalaman Ayub. Tokoh Ayub sangat kental dengan penderitaan. Allah mengajar kita melalui cerita Ayub tentang misteri penderitaan itu. Sahabat-sahabat Ayub mencoba menafsirkan pengalaman pahit, kejam, keras dan mengancam jiwa itu berkaitan dengan dosa. Maka tidak segan, mereka menuduh Ayub telah melakukan dosa di hadapan Tuhan. Namun ternyata tidak sesempit itu! Bukan, penderitaan itu bukan balasan dari keberdosaan Ayub. Manusia merasa punya kapasitas hikmat namun berhadapan dengan hikmat TUHAN ternyata tidak memadai. TUHAN bertanya kepada Ayub tentang misteri diri-Nya dan alam raya ciptaan-Nya. Manusia dalam hal ini Ayub bungkam seribu basa (Ayub 38:1-7). Di ujungnya nanti seluruh penderitaan yang dialami Ayub adalah bagian dari proses pembelajaran yang menghantar Ayub untuk berjumpa dengan Allah sendiri.  

TUHAN menyatakan keterbatasan hikmat dan pengetahuan Ayub. Dari sisi Ayub, ia menerima pernyataan langsung dari TUHAN mengenai kehadiran, kemurahan dan kasih-Nya, doa Ayub kemudian segera terjawab.  Tanggapan TUHAN terhadap Ayub dapat ditafsirkan bahwa pada akhirnya TUHAN sendiri akan menghampiri semua orang yang dengan sungguh-sungguh berseru kepada-Nya dan tawaqal dalam menjalani kesulitan hidup. Aspek terutama hubungan kita dengan Allah bukanlah pemahaman intelektual semata mengenai semua jalan TUHAN, tetapi yang terpenting adalah pengalaman dan realitas perjumpaan dengan TUHAN dalam setiap pergumulan. Ketika keyakinan itu menjadi pengalaman konkrit, bahwa TUHAN ada dalam kondisi tersulit sekalipun, di situlah kita bisa tentram! Dengan cara itulah baru kita dapat mendengar dengan jernih suara-Nya. Dengan jalan demikian kita bisa taat maupun di tengah badai karena dalam badai pun TUHAN dapat hadir!

Kebalikan dari Ayub dan teman-temannya, Penulis Mazmur 104 : 1-9, 24-25 alih-alih bersoal-jawab tentang misteri Allah dan alam semesta, justeru ia menjadikannya bahan refleksi untuk memuji dan mengagungkan Allah.