Jumat, 09 Oktober 2015

DICOBAI HANYA TIDAK BERBUAT DOSA

Dicobai. Kata ini sering kita gunakan dalam percakapan sehari-hari. Untuk menguji makanan enak atau tidak, tidak ada cara lain, selain mencobanya. Untuk mengetahui kandungan makanan baik tidaknya bagi kesehatan tubuh, cara terbaik bukan langsung memakan dan tunggu beberapa waktu kemudian reaksinya, melainkan test laboratorium. Untuk mengetahui sebuah mobil keluaran terbaru nyaman atau tidak ketika dikendarai, tentu Anda tidak akan puas hanya dengan membaca brosur dan penjelasan dari seorang sales di ruang pamer. Anda harus test drive untuk membuktikan bahwa fitur-fitur yang dipromosikan itu sesuai dengan fungsi dan kenyataannya.

Kata Ibrani נסה nä-sä’ hampir setara dengan kata Yunani πέιράζω peirazo dari kata πέιρα peira yang berarti : “percobaan”, “pengalaman”, mencoba mengetahui dari pengalaman. Kualitas barang atau manusia dapat dikatakan sahih, terbukti apabila ia telah melalui serangkaian test atau uji coba. Bagaimana kita memerlakukan sebuah mobil dalam test drive? Kita akan membawanya ke medan atau jalan-jalan yang ekstrim. Untuk menguji ketangguhan tenaga mesinnya kita akan membawa mobil itu ke tanjakan terjal. Jalan menurun yang curam adalah sarana terbaik untuk menguji rem berfungsi dengan baik atau tidak. Tikungan berkelok tajam berguna untuk mengetahui kemudi dan kaki-kaki serta roda apakah berjalan dengan semestinya atau tidak. Hujan badai dan cuaca yang berubah-ubah akan menguji apakah body kendaraan kita tangguh atau tidak. Dan jalan mulus bebas hambatan akan menguji kecepatan maksimal dari mobil yang kita uji. Semuanya diperlukan untuk memastikan sebuah mobil layak disebut mobil berkelas atau abal-abal!

Mirip-mirip test drive, kehidupan orang percaya juga mengalami ujian atau pencobaan. Tokoh terkenal dalam Alkitab Abraham pernah mengalami pencobaan, Ayub dan juga Yesus. Mungkin kita bertanya, “Apakah Allah kurang kemahatahuannya sehingga harus mengadakan semacam test drive terhadap manusia? Rasanya bukan begitu. Sama seperti seorang guru menguji anak didiknya dengan ulangan atau ujian. Saya kira, guru yang baik pasti sudah tahu kemampuan muridnya. Namun, toh test itu harus dilakukan juga. Mengapa? Hal ini jelas lebih banyak untuk kepentingan si anak didik itu sendiri. Dengan serangkaian test itu, anak didik mendapat keyakinan bahwa sekarang ia dapat menguasai pelbagai ilmu dari gurunya. Kini, ia pun dapat pengakuan bukan hanya dari lembaga pendidikan yang mendidiknya tetapi juga dari dunia di sekitarnya bahwa ia mampu membuktikan bahwa dirinya menguasai ilmu itu. Nah, pencobaan yang Allah ijinkan terjadi tentu bukan untuk kepentingan dan kebaikan Allah melainkan untuk manusia itu sendiri.

Tidak dipungkiri ketika kita menjalani proses “ujian” itu tidaklah selalu menyenangkan. Sama seperti mobil yang sedang diuji-coba. Bisa saja mobil itu berteriak ketika kekuatannya mesinnya dipaksa dipacu maksimal. Kemudinya, dibanting kiri-kanan lalu remnya ditekan sekuat tenaga sehingga roda itu berteriak mendecit. Kita pun protes ketika melewati pelbagai kesulitan dan jalannya hidup yang ekstrem itu! Seperti Ayub protes, “Allah telah membuat aku putus asa, Yang Mahakuasa telah membuat hatiku gemetar;..” (Ayub 2316).

Namun, bukankah juga dalam test drive itu ada jalan mulus. Di mana mobil dapat dipacu dengan maksimal. Hal ini mengingatkan kepada kita bahwa ujian hidup itu bisa saja seperti jalan mulus. Kehidupan yang menyenangkan, semua berjalan lancar, serba cepat dan berlimpah ruah harta. Nah, dalam keadaan seperti ini apakah kita tetap waspada dan bergantung pada Tuhan? Ataukah kita tergoda utuk terus memacu gas sehingga tidak lagi memedulikan rambu-rambu yang ada? Banyak kecelakaan fatal terjadi justeru bukan di jalan yang berkelok, menanjak, atau menurun, namun justru di jalan yang mulus dan lurus. Demikian juga banyak orang percaya jatuh ketika sedang menikmati kemudahan, kenyamanan dan berlimpah harta kekayaan. Markus 10:17-31 mengisahkan bagaimana kekayaan menjadi batu uji bahkan menjadi hambatan untuk seseorang mengikuti-Nya. Betapa sulitnya seseorang melepaskan diri dari kemelekatan terhadap harta benda.

“Dicobai hanya tidak berbuat dosa”. Kalimat tema ini mau tidak mau mengingatkan kita pada apa yang dialami Yesus ketika tiga kali dicobai di padang gurun. Yesus berhasil mengalahkan pencobaan dengan bergantung sepenuhnya kepada kehendak Bapa dengan jalan itu kemudian kita mengerti bahwa Yesus yang kemudian dinobatkan Allah menjadi Iman Besar yang melintasi segala langit (Ibrani 4 :14-16). Sekarang bagaimana respon kita terhadap pencobaan yang terjadi dalam kehidupan kita? Tidak ada jalan lain, sama seperti Yesus bergantung pada kehendak Bapa-Nya, maka kita harus berpegang teguh pada pengakuan iman kita, meneladani apa yang Yesus lakukan yakni tidak menampik pencobaan tetapi mengatasi dan mengalahkannya.

Sebuah merek mobil terkenal bukan karena gencarnya promosi atau iklan, melainkan karena memang ia tahan uji. Yesus menerima kehormatan sebagai Iman Besar, itu bukan karena promosi atau iklan dari Allah, Bapa-Nya. Melainkan, Ia telah membuktikannya melalui pelbagai penderitaan, ujian dan cobaan itu! Yesus mengalami setiap hal yang harus dialami manusia, dan memang Ia benar-benar sama seperti kita dalam semua hal. Namun, berbeda dari kita, dalam segala hal yang harus diterima-Nya, Ia tidak melakukan dosa! Padahal kita tahu apa yang terjadi di sepanjang kehidupan-Nya. Betapa berat tekanannya, dan betapa hebat serangan dan pencobaan yang Ia alami. William Barclay menggambarkan bahwa pergumulan-Nya sungguh jauh dari ringan dan beratnya tidak dapat diukur. Mengapa? Kalau dibandingkan dengan kita, barangkali kita sudah jatuh dalam pencobaan jauh sebelum pencobaan itu mengerahkan semua kekuatannya.

Kita tidak pernah tahu pencobaan itu pada level yang paling dasyat! Mengapa? Karena sering kita sudah jatuh lama sebelum tingkat itu dicapai. Tetapi Yesus dicobai lebih dari kita, sebab terhadap Yesus si penggoda mengerahkan segala kekuatannya untuk menyerang dan menggagalkan misi Yesus. Renungkanlah hal ini dengan mengambil contoh rasa sakit sebagai pembanding. Ada tingkat rasa sakit yang dapat dirasakan oleh manusia. Masing-masing manusia punya ketahanan sendiri sampai level berapa ia bertahan menanggung rasa sakit. Namun, ada batasnya. Pada batas tertentu kita sudah tidaklagi tahu apa dan bagaimana rasa sakit itu. Kita keburu pingsan, tidak sadarkan diri. Sampai pada batas tertentu, kita pun bisa kehilangan kesadaran terhadap pencobaan. Tetapi Yesus, dapat sampai pada batas akhir pencobaan dan bahkan jauh melampauinya dengan keadaan tetap sadar. Sampai akhirnya menyerahkan nyawa ke dalam tangan Bapa-Nya. Maka benarlah jika dikatakan bahwa Ia dicobai dalam semua hal seperti kita; dan benar juga jika dikatakan tidak ada seorang pun yang telah dicobai seperti Dia!

Sebagai pengikut-pengikut-Nya, mestinya tidak menjadikan pencobaan sebagai alasan untuk jatuh bahkan hidup di dalam dosa. Pencobaan bisa dan harus terjadi dalam hidup kita. Pandanglah itu ibarat kita sebuah mobil yang sedang diuji coba. Kelak kita akan lulus uji, bukan hanya nama saja yang disandang, melainkan memang kenyataan demikian. Bukan hanya bangga dengan iklan, nama, sebutan, atau merek “anak-anak Allah” melainkan kenyataannya memang demikian: tangguh dan tahan uji!

Jumat, 02 Oktober 2015

AMBIL BAGIAN DALAM PERJUANGAN KRISTUS

Kemarin (1 Oktober 2015) ada dua momen penting dalam sejarah kehidupan bangsa dan dunia. Pertama, dalam sejarah dunia, dunia mengakui otoritas dan eksistensi Palestina sebagai sebuah negara merdeka. Bendera negara itu dikibarkan di Markas PBB, New York City. Banyak sudah perjuangan, darah dan air mata untuk meraih kemerdekaan Palestina itu. Mereka punya cita-cita dan kemudian memerjuangkannya. Kedua, kita memeringati hari Kesaktian Pancasila. Pancasila disebut sakti bukan karena lima kalimat pernyataan itu sakral bak mantera. Melainkan, karena sebagian besar orang Indonesia menyakini bahwa di dalamnya terkandung filosofi hidup yang luhur di tengah kemajemukan bangsa Indonesia. Pancasila disebut sakti karena ada orang-orang yang dengan gigih dan berani berjuang di tengah maraknya ancaman ideologi sektoral baik yang berbau agama tertentu, ras, golongan dan faham tertentu. Kesaktiannya teruji melalui rentang generasi ke generasi.

Namun, bagaimana selanjutnya, apakah Pancasila masih mumpuni menghadapai tantangan masa depan? Banyak tokoh berwawasan kebangsaan angkat bicara seperti yang dilangsir Kompas (2/10) bahwa Pancasila jangan jadi slogan kosong! Apa artinya? Saya berpikir mungkin selama ini kita banyak mengagungkan Pancasila namun hanya berhenti sebagai slogan. Tidak merembes pada daging, tulang dan sumsum kita! Ada seorang nara sumber ketika ditanya tentang efektifitas nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Ia membandingkannya dengan kehidupan masyarakat Jepang. Di Jepang tidak ada Pancasila atau slogan yang seperti itu. Namun, masyarakatnya lebih beradab, tahu berterimakasih, sangat bangga terhadap produksi negara sendiri, bertanggungjawab, dan sederet lagi etos-etos kerja yang baik. Saya tertegun dan mengamini peringatanang disampaikan oleh Yudi Latif, Ahmad Syafii Maarif, Salahuddin Wahid, Franz Magnis Suseno, Azyumardi Azra bahwa Pancasila jangan hanya jadi jargon atau slogan kosong. Ia harus dihidupi dan diperjuangkan.

Saya kira mungkin Eka Darmaputera akan menangis, seandainya saja dia masih hidup saat ini. Mengapa? Di Boston College ia memertahankan disertasinya yang berjudul, Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Society - An Ethical and Cultural Analysis. Eka berargumentasi bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi yang sangat tepat bagi masyarakat Indonesia yang majemuk karena ideologi ini bersifat inklusif. Pemikiran ini berbeda dengan penafsiran Pancasila yang muncul pada masa pemerintahan Orde Baru, khususnya pada tahun-tahun terakhirnya, yang justru mengharamkan perbedaan pendapat dan kemajemukan budaya Indonesia. Pemikiran-pemikiran Eka Darmaputera tidak luput dari perhatian pendidikan teologi di dunia, sehingga pada Desember 1999, Seminari Teologi Princeton di New Jersey, Amerika Serikat, menganugerahkan kepadanya Kuyper Prize for Excellence in Reformed Theology and Public Life (Sumber : Wikipedia) Namun, hingga saat ini Pancasila hanya berhenti sebagai slogan. Buktinya, bangsa ini masih tetap saja terjadi diskriminasi, ketimpangan kesejahteraan sosial dan tidak lebih beradab ketimbang pada saat Eka menulis disertasinya!

Saya kira kita setuju bahwa Pancasila dan apa yang sejenisnya tidak akan pernah menjadi nilai-nilai yang hidup sehingga dapat menjadi suatu identitas dalam sebuah masyarakat jika masyarakatnya itu tidak berusaha memerjuangkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang sama terjadi pada agama. Agama hanya akan menjadi slogan kosong bahkan bahan tertawaan jika para pemeluknya tidak sungguh-sungguh memelihara dengan jalan berjuang menjadikannya hidup. Kekristenan akan menjadi bahan ejekan orang jika setiap pengikutnya tidak mampu meneladani Kristus. Jadi pada dasarnya hidup beriman kepada Kristus adalah hidup seperti Kristus hidup; berjuang seperti Kristus berjuang. Tidak hanya puas dengan argumen-argumen sebuah doktrin atau ajaran yang adi luhung!

Apa sih yang diperjuangkan Yesus selama hidup-Nya? Alkitab mencatat, perjuangannya bukan perjuangan ambisi meraup pengikut sebanyak-banyaknya. Perjuangannya bukan untuk menciptakan kenyamanan bagi diri dan pengikut-Nya. Perjuangan-Nya bukan supaya Israel bebas secara politis dari penjajahan Romawi. Perjuangannya bukan ambisi nafsu duniawi! Namun, mewujudnyatakan kehendak Allah di muka bumi. Perjuangan-Nya adalah menerjemahkan bahasa cinta kasih dan kemuliaan Allah agar dimengerti manusia yang pada era sebelumnya sulit dimengerti (bnd. Ibrani 1:1-3).

Penulis Ibrani melihat bahwa Yesus adalah Anak Allah yang menyampaikan wahyu atau kehendak Allah secara utuh kepada manusia. Sejak dari awal tulisannya, Ibrani mengajak para pembacanya untuk melihat peran nabi-nabi yang diutus Allah. Entah karena kedegilan hati para pendengarnya atau karena keterbatasan para nabi yang diutus itu sehingga umat Allah tetap tidak mau peduli untuk hidup di bawah kehendak dan anugerah Allah. Sehingga pada akhirnya, Allah mengutus Anak-Nya. Penulis Ibrani menunjukkan siapa Yesus. Ia adalah cahaya kemuliaan Allah. Cahaya itu adalah terang abadi. Yesus adalah pancaran sinar kemuliaan Allah yang tinggal di antara manusia. Allah yang berinkarnasi dalam diri manusia Yesus tampak hadirdalam sejarah hidup manusia. Ia memeragakan dengan jelas hakekat dan kehendak Sang Bapa sehingga umat dapat melihat dengan jelas manifestasi cahaya ilahi itu secara langsung dalam diri Yesus.

Mestinya, orang yang melihat kehidupan dan karya Yesus ini dapat mengerti apa yang kemudian harus dilakukannya. Ketika seseorang tahu, mengerti dan kemudian berjuang untuk melakukan kehendak Allah, di situlah ia disebut sebagai seorang Kristen sejati. Selanjutnya, setiap orang yang menyatakan dirinya Kristen dengan sadar diri ia akan turut ambil bagian dalam apa yang diperjuangkan oleh Kristus. Adalah aneh, jika ada seorang yang mengaku dirinya Kristen ia dapat menutup mata mana kala ada ketidakadilan, penindasan, pelecehan seksual, kemunafikan dan lain sebagainya. Hal yang ganjil pula jika ada kekerasan terhadap keluarga, khususnya perempuan dan kemudian diam saja karena sudah dianggap lumrah! Bukankah salah satu perjuangan Yesus adalah anti kekerasan dan kesetaraan hak antara kaum laki-laki dan perempuan.

Pada zaman-Nya, perempuan hampir tidak punya hak sama sekali dalam kehidupan masyarakat Yudaisme termasuk pernikahan. Sehingga suami bisa dengan mudahnya menceraikan isterinya. Dan yang mengherankan, mereka menggunakan dalil agama sebagai pembenaran dari tindakannya itu. Ulangan 24:1 biasanya menjadi dasar bagi semua pokok perceraian. Tidak hanya itu, para ahli agama membawa  tema perceraian ini sebagai alat untuk menjebak Yesus. Di sini kita bisa melihat perjuangan atau keprihatinan Yesus. Ia mematahkan argumen atau dalil agama dengan mengatakan, “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan….sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Markus 10:6,8,9).

Bagaimanapun juga, Yesus memandang Ulangan 24:1  sebagai hukum yang berlaku dalam situasi tertentu dan tidak dimaksudkan untuk mempunyai kekuatan secara permanen. Jawab yang Yesus kutif menunjukkan otoritas jauh ke belakang sebelum kitab Ulangan ada. Untuk memberi jawaban atas jebakan pertanyaan itu, Yesus mengacu kepada kisah penciptaa (Kejadian 1:27 dan 2;24). Pandangan Yesus sendiri tentang pernikahan itu, berdasarkan sifatnya adalah permanen, kalau dua orang itu telah dipersatukan itu menyatu dalam ikatan sedemikian rupa sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan lagi. Yesus percaya bahwa hukum alam semesta, pernikahan itu dimaksudkan sebagai suatu ikatan yang mutlak permanen. Hukum Musa – yang sebetulnya dimaksudkan untuk situasi sementara – dengan demikian tidak dapat membatalkannya. Jelaslah Yesus memperjuangkan kedudukan perempuan yang rentan kekerasan dan bisa dengan mudahnya diceraikan tanpa jaminan apa pun. 

Dalam salah satu perjuangan-Nya ini, Yesus sangat peduli dengan hak dan kesetaraan perempuan dalam keluarga. Maka sudah sepantasnyalah kita ikut ambil bagian di dalamnya. Memelihara dan menciptakan hubungan yang baik dalam keluarga sehingga kata “cerai” tidak ada lagi dalam kamus keluarga Kristen. Berjuangan dalam kesetaraan gender dan berjuang bagi keluarga-keluarga yang sedang dalam keadaan disharmonis dan tidak hanya menggunakan ayat-ayat Alkitab sebagai mantera saja melainkan menghidupinya seperti Yesus telah menghidupi firman itu dalam diri-Nya.