Kamis, 02 Juli 2015

KEKUATAN ALLAH DALAM MENGHADAPI PERGUMULAN HIDUP

Masih ingat cerita Daud mengalahkan Goliat, orang Filistin itu? Apa rahasia di balik kemenangan Daud melawan orang yang konon tingginya tiga meter lebih dan sangat terampil dalam berperang? Benar, keyakinan iman Daud bahwa ada tangan yang Mahakuasa yang menopangnya.Tangan TUHAN! Keyakinan itu tidak lantas membebaskan Daud berperang menghadapi Goliat. Daud harus pergi berperang! Tak pelak lagi, peristiwa ini mengangkat nama Daud menjadi tenar dan ia disegani baik oleh lawan maupun kawan. Dalam 2 Samuel 5:1-10, dikisahkan Daud telah menjadi raja atas seluruh Israel. Raja bukan karena warisan, melainkan karena ia mampu menaklukan lawan. Sejak saat itu, “Lalu makin lama makin besarlah kuasa Daud, sebab TUHAN, Allah semesta alam, menyertainya.” (2 Samuel 5:10).

Apa yang dapat kita pelajari dari kisah Daud ini? Minimal, kita bisa melihat, untuk seseorang menjadi besar, ia harus berani berhadapan dengan tantangan. Ketika TUHAN “membesarkan” Daud, Ia tidak membebaskan Daud dari tantangan. Bahkan, semakin besar musuh atau tantangan yang dihadapi kelak akan berdampak signifikan dalam kesuksesan yang diraihnya. TUHAN yang penuh kuasa itu, dalam pergumulan Daud, tidak dimintanya menyingkirkan para lawan Daud. Namun, Daud senantiasa percaya dan berharap bahwa tangan Sang Mahakuasa itu menopang, memberikan kepada dirinya baik hikmat dan kemampuan berperang dalam menghadapi tantangan. Dalam konteks Daud, tantangan itu adalah musuh-musuh bangsa Israel.

Dalam kisah tokoh-tokoh Alkitab, kita dapat menyaksikan bahwa TUHAN tidak pernah membebaskan orang-orang pilihan-Nya dari pelbagai tantangan, pergumulan, aniaya, dan penderitaan. Alih-alih menyeterilkan dari kesulitan, Allah memberi kemampuan, hikmat, dan penyertaan-Nya agar orang-orang pilihan-Nya itu mampu menghadapi tantangan, pergumulan, aniaya, dan pelbagai penderitaan. Hal ini menjadi menarik apabila kita menengok sejenak dengan doa-doa yang sering kita panjatkan manakala kesulitan menerpa kita. Apa yang sering kita minta? Pengalaman menunjukkan bahwa di tengah situasi sulit dan terjepit, kita lebih banyak meminta agar TUHAN mengangkat pergumulan itu ketimbang memohon agar TUHAN memberi kemampuan untuk kita dapat mengatasinya.

Ketika dianiaya, diintimidasi atau didiskriminasi, doa-doa kita pada umumnya minta agar TUHAN menegur, menginsyafkan bahkan membalas orang yang menganiaya itu. Jarang kita berdoa agar TUHAN memberikan ketabahan dan ketegaran serta hikmat untuk menghadapi dan memenangkan situasi seperti ini. Ketika usaha atau pekerjaan kita mengalami krisis, isi doa kita adalah meminta TUHAN segera memberikan lapangan pekerjaan baru atau meminta mengetuk hati orang lain mengulurkan kemurahanya dan menolong kita. Jarang kita berdoa meminta supaya TUHAN memampukan daya kreatif kita untuk menyiasati masa-masa sulit ini. Ketika kita sakit, isi doa kita kebanyakan minta TUHAN sembuhkan bahkan meminta-Nya mengangkat semua sakit penyakit dan simsalabin seketika itu juga sakit kita menjadi sembuh. Sering tidak terpikir oleh kita untuk berdoa agar TUHAN memampukan kita supaya dapat menanggung penyakit itu dengan tidak kehilangan kegembiraan.

Untuk sampai pada kesadaran meminta TUHAN tidak membebaskan kita dari segala pergumulan hidup, namun menyanggupkan kita mengatasinya ternyata memerlukan proses yang tidak mudah. Paulus sendiri mengalaminya. Meskipun ia giat dalam pekerjaan TUHAN, ternyata TUHAN yang Ia layani tidak membebaskannya dari penderitaan yang harus diterima oleh setiap orang. Paulus pernah dianiaya, dilecehkan, diragukan kerasulannya, dan bahkan sakit ada “duri dalam dagingnya”. Tentu, sebagai orang percaya ia berdoa kepada TUHAN. “Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku.” (2 Korintus 12:8) demikian doa Paulus ketika ada pergumulan “duri dalam daging” di tubuhnya.

Apa yang dimaksud dengan duri dalam daging itu? Skolop, memang dapat berati “duri”. Namun, dapat berarti juga tiang pancang yang tajam untuk menyulakan penjahat. Bagaimana pun dapat kita rasakan sakitnya seperti apa ketika ada duri dalam tubuh atau daging kita. Ada banyak tokoh-tokoh Kristen menafsirkan duri dalam daging Paulus. Calvin mengatakan bahwa yang dimaksudkan Paulus adalah penderitaan-penderitaan rohani yang meragukan pelayanan Paulus. Bagi Luther, bukan perkara rohani, melainkan jelas-jelas Paulus mengalami penganiayaan dan perlawanan yang mencoba menghentikan pelayanannya. Lebih jauh banyak orang menduga apa yang dimaksud dengan duri dalam daging  itu adalah sakit penyakit yang dialami dalam tubuh Paulus sendiri. Ada yang mengatakan sakit Paulus itu adalah sakit penglihatan. Setelah perjumpaan dengan Yesus yang menyebabkan kebutaan maka masih ada “sisa” sakit penglihatannya sehingga menghambat pelayanannya. Banyak juga yang menduga bahwa Paulus mempunyai sakit ayan dan dengan itu sangat menghambat pelayanannya. Tidak sedikit pula yang menduga bahwa Paulus terserang malaria yang mewabah di pantai Timur Mediterania. Orang yang terserang penyakit itu akan merasakan pusing yang sangat hebat, ibarat jeruji panas yang menusuk sampai ke dahi.

Apa pun juga penafsirannya, duri dalam daging  itu adalah penderitaan, halangan bagi Paulus untuk mengerjakan tugas panggilannya. Alangkah logisnya dalam pemikiran kita bahwa TUHAN membebaskan halangan penderitaan itu agar pemberitaan Injil dapat dengan mudah dilakukan. Namun kenyataannya tidaklah demikian.

Paulus telah tiga kali berdoa agar apa yang dideritanya dibebaskan Tuhan. Kenyataannya, apa yang menjadi jawaban doa dari Tuhan? Apakah Tuhan mengangkat dan melenyapkan sakit penyakitnya? Ternyata tidak! Lalu apakah Tuhan tidak adil dan tidak mengasihi Paulus? Tidak juga demikian. Dia punya rancangan-Nya sendiri. Tuhan tidak menyingkirkan penyakit Paulus tetapi memberi Paulus kekuatan untuk menanggungnya. Begitulah cara Tuhan bekerja.

Cara Tuhan mengasihi umat-Nya bukanlah dengan membebaskan dari pelbagai masalah dan penderitaan. Melainkan Ia melatih kita, memberi kemampuan agar kita dapat menghadapinya. Ia mendidik kita agar menjadi anak-anak-Nya yang tangguh bukan anak manja yang cengeng. Tuhan itu laksana seorang ayah yang tinggal di tepi sungai. Ia tidak memindahkan sungai atau rumah itu agar jauh dari jangkauan anaknya. Melainkan sang ayah melatih kemampuan anaknya agar bisa berenang supaya tidak dihanyutkan oleh air sungai itu.

Dalam Injil Markus 6:6b-13, ketika Yesus mengutus keduabelas rasul untuk memberitakan Injil. Ia tidak melenyapkan rintangan-rintangan yang akan menghalangi mereka. Namun, Yesus terlebih dahulu memberi mereka kuasa agar dapat mengatasinya. “Ia memanggil kedua belas murid itu dan mengutus mereka berdua-dua. Ia memberi mereka kuasa atas roh-roh jahat,…” (Markus 6:7). Jadi bukan kuasa-kuasa jahatnya yang terlebih dulu disingkirkan agar para murid mudah mengerjakan tugas perutusan mereka. Melainkan sebaliknya, para murid dilengkapi terlebih dahulu dengan kuasa agar setiap rintangan dapat mereka atasi.

Dalam kehidupan ini, siapa pun tidak steril dari masalah, pergumulan, penderitaan dan kesulitan hidup lainnya. Namun, cara kita menghadapinya akan menentukan dan menunjukkan jadi diri kita. Keyakinan terhadap kuasa Allah yang sanggup menghadapi pergumulan hidup tentu bukan memaksa-Nya agar pergumulan itu dilenyapkan. Akan lebih baik apabila kita memohon agar kekuatan Allah itu memampukan kita menghadapi pelbagai pergumulan hidup. Dan yakinlah bahwa Allah di dalam Yesus Kristus telah memberi kita “modal” berupa talenta, hikmat, nalar, fisik dan yang lainnya agar kita mampu memenangkan  pergumulan hidup ini!

Kamis, 25 Juni 2015

KASIH : KEKAYAAN YANG MEMERSATUKAN

Setiap orang pasti pernah menerima pemberian dan tentunya juga pernah memberi. Sebab, tidak satu pun dari antara kita yang dapat survive seorang diri tanpa kontribusi orang lain. Kita dikodratkan sebagai makhluk sosial, selalu membutuhkan uluran tangan dari pihak atau orang lain. Mari kita telusuri, dalam hal memberi. Cobalah ingat-ingat, apa yang paling kuat dan dominan mendorong kita untuk memberi? Apakah terdorong karena melihat kondisi orang lain yang memprihatinkan, sehingga memaksa hati nurani ini bergejolak dan iba, lalu kemudian kita mengulurkan tangan dan memberikan sesuatu sehingga kondisinya akan lebih baik? Atau, karena kita mempunyai sesuatu yang berlebih dan kita tidak membutuhkannya lagi maka kita memberi? Atau mungkin saja kita memberi karena di balik tindakan itu ada keuntungan yang dapat kita peroleh. Tidak mustahil kita memberi karena hati berlimpah kasih sehingga kita tidak menyayangkan apa yang ada pada kita untuk berbagi dengan sesama? Ada pelbagai motivasi kita memberi. Namun, apa yang menjadi niat atau motivasi kita memberi, hanya kita sendiri dan Tuhan yang tahu.

Memberi tak pelak lagi merupakan tindakan terpuji apabila didasari oleh niatan yang baik. Bukan sekedar pamer kedermawanan atau mengharapkan keuntungan di balik itu. Memberi, sejatinya bukan karena kita telah berlebih. Banyak orang sering berkilah untuk tidak memberikan apa yang mereka punyai dengan alasan diri sendiri juga masih membutuhkan dan curiga bahwa pihak yang akan diberi itu memanipulasi keadaan sehingga kita berasa sebagai orang yang dimanfaatkan.Dalam tradisi Yahudi ada sebuah hari raya yang mengajarkan seseorang harus berbagi dengan sesamanya. Kemiskinan bukan menjadi alasan untuk seseorang tidak memberi.

Hari raya itu adalah hari raya Purim. Purim adalah hari sukacita, dirayakan antara tanggal 14 dan 15 bulan Adar. Sehari sebelumnya, tanggal 13, mereka mengadakan puasa Ester. Peristiwa ini mengingatkan bangsa Israel akan puasa yang diserukan Ester (Ester 4:16) ketika menghadapi ancaman pemusnahaan etnis Yahudi pada zaman Ahasyweros, raja Persia akibat kebenciaan yang ditebarkan oleh Haman. Keadaannya menjadi terbalik, Haman akhirnya yang digantung, Ester menjadi ratu dan Mordekai diberi kedudukan. Atas peristima itu, Mordekai mengumumkan sebuah hari raya kelepasan bagi umat Yahudi, itulah hari raya Purim. Kemudian dalam hari raya itu berkembang sebuah tradisi bahwa setiap orang harus mencari dan menemukan seseorang yang lebih miskin dari dirinya. Setelah itu ia wajib memberikan kepadanya sebuah pemberian. 

Tidak selalu mereka yang kaya dapat memberikan sebuah pemberian. Justeru, realitas menunjukkan bahwa mereka yang cuma memiliki sedikit hartalah yang paling siap untuk memberi. Seperti sebuah ungkapan umum, “orang miskinlah yang menolong orang miskin”, karena merekalah yang benar-benar mengerti, memahami dan mengalami kemiskinan itu. Acara-acara reality show dengan kamera tersembunyi di televisi-televisi swasta, seakan membenarkan ungkapan itu. Biasanya dalam acara-acara itu ditampilkan sosok orang yang sangat membutuhkan bantuan, entah minta diatar pulang, minta makanan atau menjual sesuatu agar mendapat uang untuk membeli obat untuk anaknya yang sedang sakit. Rata-rata yang memberi tanggapan positif atau mereka tergerak dan memberi pertolongan bukanlah orang-orang kaya. Justeru mereka yang miskinlah yang mau mengulurkan tangan.

Contoh kalangan miskin yang siap berbagi pun terekam kuat dalam kisah kesaksian pelayanan Paulus dalam 2 Korintus 8:1-15. Saat itu Paulus sedang menggalang dana untuk membantu jemaat induk di Yerusalem. Mereka sedang mengalami kesulitan kebutuhan hidup. Paulus menegur jemaat Korintus, yang secara finansial cukup mampu namun  mengulur-ngulur waktu  bahkan terkesan ogah memberikan bantuan.  Dalam 1 Korintus 16 :1-4 sebenarnya Paulus telah menyampaikan dorongan agar jemaat Korintus yang katanya, “….kaya dalam segala sesuatu..”(ay.7) dapat mengambil bagian untuk membantu saudara-saudara mereka di Yerusalem. Tidak hanya itu, Paulus memberikan panduan mengenai apa yang harus mereka lakukan. Setiap kepala keluarga seharusnya menyisihkan sebagian dari pendapatan mingguannya selama 12 bulan, sehingga tersedia sumbangan untuk dibawa ke Yerusalem pada musim semi tahun berikutnya. Namun, kenyataannya setelah satu tahun jemaat Korintus ini tidak juga merespon secara positif. Karena itulah, Paulus mengingatkan mereka kembali dengan memberikan contoh jemaat-jemaat di Makedonia yang walaupun kondisi mereka jauh lebih miskin, namun mereka memberikan bantuan melampaui harapan Paulus.

Apa yang menyebabkan sulitnya Korintus memberikan bantuan untuk saudara seiman mereka di Yerusalem. Setidaknya, ada tiga hal:

1.   Bagaimana pun juga jemaat Korintus mayoritas bukanlah orang-orang percaya yang berlatar belakang Yahudi. Sempat ada ketegangan bahwa orang di luar Yahudi yang menjadi pengikut Yesus haruslah juga memelihara tradisi Yahudi. Mereka harus disunat, memelihara hari Sabat dan yang lainnya. Dengan kondisi itu ada pengaruh psikologis bahwa orang-orang Kristen di Yerusalem – yang mayoritas berlatar belakang Yahudi – bukanlah bagian yang benar-benar utuh melekat sebagai kesatuan umat Tuhan.

2.   Dalam jemaat itu ada kelompok-kelompok tertentu yang mencoba merongrong kewibawaan Paulus dengan menebarkan isu bahwa Paulus sedang mencari keuntungan di balik pencarian bantuan untuk jemaat Yerusalem. Pendek kata, mereka tidak mau memberikan bantuan oleh karena curiga disalahgunakan.

3.  Jemaat Korintus merupakan jemaat kota pelabuhan besar pada jaman itu. Paulus, dalam suratnya yang pertama menengarai bahwa di jemaat itu telah timbul perpecahan. Masing-masing bangga dengan dirinya sendiri. Sangat mungkin mereka terbiasa mengurus diri sendiri dan kurang memperhatikan kebutuhan sesamanya. Maka ketika ada permohonan bantuan, jemaat yang cenderung memerhatikan diri sendiri ini, tidak mau peduli.

Bukankah alasan-alasan yang disinyalir kuat dari orang Korintus ini juga dapat menjadi alasan kita juga untuk tidak memberikan bantuan kepada orang lain yang sedang membutuhkan lantaran mereka bukan pihak atau bagian dari kita? Kita juga sering curiga dan tidak yakin apakah pemberian itu sampai kepada pihak-pihak yang benar-benar membutuhkan sementara kita juga masih punya keperluan sendiri.

Dalam menghadapi situasi jemaat seperti ini, Paulus mengambil contoh dari jemaat-jemaat lain. Ia menceritakan kepada mereka betapa jemaat-jemaat di Makedonia telah bermurah hati. Mereka miskin dan sedang berhadapan dengan banyak masalah tetapi mereka memberikan semua yang mereka miliki jauh dari apa yang diharapkan Paulus. Paulus juga mengutip contoh dati Tuhan Yesus. Bagi Paulus, pengorbanan Yesus tidaklah dimulai dari peristiwa salib. Pengurbanan itu dimulai dari surga, ketika Ia mengesampingkan kemuliaan-Nya dan dengan rela hati menjadi “miskin” untuk memuliakan manusia. Ia mengatakan, “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekali pun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinanNya.” (2 Korintus 8:9).

Dari kisah Paulus menegur jemaat Korintus ada banyak pelajaran yang kita petik dalam hal memberi.

1.    Kondisi kekurangan bukanlah menjadi alasan untuk kita tidak memerhatikan kebutuhan orang lain. Contoh jemaat-jemaat Makedonia menginsyafkan kita bahwa kunci utama dalam memberi adalah hati yang penuh dengan cinta kasih dan kemurahan. Ada banyak cerita dan kisah nyata bahwa seseorang yang sangat sederhana pun dapat memberi dari kekurangannya. Sebaliknya, ketiadaan cinta kasih akan membuat seseorang kesulitan dalam memberi, betapa pun ia sebenarnya orang kaya.

2.   Hidup akan berarti apabila kita berguna untuk sebanyak mungkin orang. Perhatikan mereka yang membutuhkan kasih sayang. Pikirkanlah andai kata kita di pihak mereka. Allah di dalam Yesus telah lebih dahulu melakukan itu untuk kita. Jadi sangat logis, kalau kita yang menyembah-Nya meneruskan karya kasih-Nya buat orang lain.

3.   Kita tidak akan mengalami kesulitan apabila kita merasakan dan mengalami bahwa Tuhan begitu baik. Bukankah segala yang ada pada kita adalah pemberian dari-Nya. Jika kita memberi, sebenarnya kita hanya alat untuk menyalurkan berkat-Nya.

4.  Milikilah kerendahan hati dan ketulusan dalam memberi karena dengan demikian kita akan terbebas dari prasangka buruk. Alangkah baiknya, seperti apa yang diajarkan Yesus. Ketika tangan kanan memberi sebaiknya tangan kiri tidak tahu. Lebih baik kita tidak tahu siapa yang kita beri dan dalam kerendahan hati pemberian kita tujukan kepada Tuhan. Demikian pula jika si penerima tidak tahu, maka ia tidak akan rikuh kepada kita, tapi ia akan merasakan bahwa itu semua datangnya dari Tuhan. Dengan demikian, kasih itu akan menyatukan kita di dalam kasih Tuhan.