Kamis, 04 Juni 2015

IMAN, OBAT ANTI TAWAR HATI

Apa sih yang dimaksud dengan tawar hati? Kebanyakan orang mengartikannya dengan: hilangnya minat atau semangat, tidak antusias, tidak bernafsu, tidak mau peduli, apatis, hatinya dingin, dan seterusnya. Siapa pun dapat mengalimi kondisi seperti itu. Sangat wajar dan manusiawi. Namun, jika hal ini dibiarkan tentu akan berakibat buruk, baik bagi kesehatan jasmani maupun rohani; diri sendiri maupun orang lain. Kondisi tawar hati dapat mengganggu ritme hidup positif. Orang dengan tawar hati akan kehilangan kegairahan dalam hidup. Pandangannya menjadi negatif terhadap diri sendiri, orang lain bahkan Tuhan. Ia cenderung menarik diri dan tidak mau peduli dengan lingkungannya. Bahkan tidak lagi peduli terhadap dirinya sendiri.

Ada pelbagai sebab mengapa seseorang menjadi tawar hati. Bisa karena penolakkan dari orang-orang sekitar. Bisa karena kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Sangat mungkin karena beban berat yang ditanggungnya tak kunjung beranjak. Atau sakit penyakit dalam tubuhnya yang tidak juga sembuh. Banyak juga yang menjadi tawar hati karena kegagalan yang terus berulang dalam hidupnya.

Jika setiap orang bisa terjangkiti penyakit tawar hati, lalu bagaimana cara mengatasinya? Meminjam metode kedokteran, suatu penyakit akan dapat diatasi apabila diketahui penyebabnya. Semakin dini suatu penyakit diketahui maka semakin cepat pula pemulihannya. Bila tawar hati melanda kita, cobalah telusuri apa penyebabnya. Bagi banyak orang, tidak lagi bisa diketahui apa yang menjadi penyebab spesifik tawar hati itu. Jika kondisi ini yang sedang kita alami, baiklah dengan jujur mengakui bahwa kita sedang tawar hati. Selanjutnya, jangan biarkan kondisi ini menggerogoti tubuh jasmani dan rohani kita. Berbahaya! Alkitab banyak bercerita tentang orang-orang yang tegar dalam menjalani kehidupan ini. Mereka bisa mengatasi tawar hati.

Yesus dan Paulus, dalam hidup dan pelayanan mereka banyak mengalami penolakan, aniaya dan pelbagai macam penderitaan dalam memberitakan Injil Kerajaan Allah.  Penolakan yang dialami Yesus malah terasa begitu menyakitkan karena keluarganya sendiri memandang-Nya “tidak waras” (Markus 3:21). Bagi kebanyakan orang, kondisi seperti ini sangat wajar kalau mereka menjadi tawar hati. Namun, hal ini tidak terjadi pada Yesus dan Paulus, sampai di ujung hidup, mereka tidak pernah dikuasai oleh tawar hati. Mereka sanggup bertahan sampai akhir oleh karena mereka mempunyai visi yang jelas dalam hidupnya. Memiliki visi yang jelas dalam hidup ini akan menolong kita beranjak dari perasaan tawar hati.

Cerita ini mungkin dapat menolong kita untuk memahami sebuah visi: Pada suatu hari yang beku di musim dingin dengan suhu di bawah nol derajat Celcius, seorang peziarah berusia lanjut melakukan perjalanan menuju kuil suci di pegunungan Himalaya.

“Kakek,” sapa seorang pengelana lain yang melewatinya, “apakah Kakek bisa sampai di sana dalam cuaca sedingin ini?”

“Anakku, hatiku telah tiba di sana lebih dahulu,” jawab sang Kakek sambil tersenyum riang. “Karena itu, tentu sangat mudah bagi bagian tubuh yang lainnya untuk menyusul ke sana!”

Visi merupakan penglihatan seseorang jauh ke depan yang membuatnya mampu menapaki kehidupan masa kini betapa pun sulitnya. Kakek ini mempunyai visi bahwa di kuil itulah ia akan merasakan kebahagiaan. Alih-alih tawar hati, frustasi atau apa pun namanya, bagi seorang yang punya visi, penderitan, tantangan dan penganiayaan bisa membawanya kepada sukacita bahkan semakin berat beban yang ditanggungnya, semakin besarlah sukacita yang mengiringinya.

Banyak orang, bisa jadi termasuk kita, mengerjakan segala sesuatu tidak dilandasi dengan visi yang jelas. Kita tidak tahu untuk apa mengerjakan ini dan itu. Jangankan beban penderitaan yang berat, yang biasa-biasa pun dapat membuat kita penat. Akibatnya, kita mudah kelelahan, kehilangan energi dan kesabaran, marah, kecewa ujungnya tawar hati. Bukankah hal itu sering terjadi di gereja dengan mengatasnamakan pelayanan. Banyak yang menjadi kecewa, tawar hati dan kemudian tidak lagi mau melayani. Padahal kalau ditimbang beban pekerjaan yang mengatasnamakan pelayanan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Paulus yang mengatakan : “Dalam segala hal kami ditindas,…kami habis akal,…kami dianiaya, kami dihempaskan,..” (2 Kor.4:8-9).

Mengapa kesukaran dan penderitaan bahkan ancaman kematian tidak membuat Paulus menjadi takut, pesimis atau tawar hati? Setidaknya hal ini, membuktikan bahwa Paulus mempunyai pandangan jauh ke depan. Ia sanggup melihat dan memaknai bahwa apa yang sedang terjadi –penganiayaan dan penderitaanya – merupakan hal yang sementara saja. Kelak ia akan mengalami kehidupan yang kekal beserta kemuliaannya. Paulus percaya, apa pun yang harus membuatnya menderita di dunia ini tidak akan berarti apa-apa dibandingkan dengan kemuliaan yang akan ia nikmati pada masa yang akan datang. Ia merasa pasti bahwa Allah tidak akan pernah mengingkari janji-Nya.

Untuk sampai memiliki sebuah visi seperti Paulus, tidaklah mudah. Ada proses yang mendahuluinya! Paulus menyebutnya, “Namun karena kami memiliki roh iman…”(2 Kor.4:13a) Iman yang bagaimana? Jawabnya, “Karena kami tahu, bahwa Ia, yang telah membangkitkan Tuhan Yesus, akan membangkitkan kami juga bersama-sama dengan Yesus…”(2 Kor 4:14). Bagi Paulus, iman itu menjawab dan menjadi obat mujarab dalam mengatasi pelbagai kesulitan bahkan keadaan yang disebut sebagai “manusia lahiriah yang semakin merosot.” Iman itu membuat “manusia batiniah” setiap hari mengalami pembaruan.

Ada banyak hal yang membuat tubuh kita semakin merosot, antara lain: hukum alam, sakit penyakit, musibah, penganiayaan, beban pikiran, kecemasan, ketakutan dan lain sebagainya. Lalu bagaimana dengan iman kita, apakah iman kita mampu menjawab ketika tubuh ini terus menjadi tua, mengidap pelbagai penyakit, hidup penuh tekanan, pergumulan dan penderitaan (dalam bahasa Paulus “manusia lahiriah yang semakin merosot”) dapatkah iman kita menopang “manusia batiniah” yang terus dibaharui? Kisah Arthur Rubinstein, mungkin bisa menginspirasi kita.

Arthur Rubinstein, seorang pianis konser andal merayakan ulang tahunnya yang ke-90. Seorang jurnalis bertanya kepadanya tentang bagaimana rasanya menjadi seorang yang berusia 90 tahun. Rubinstein yang dikenal dengan semangat kekanak-kanaknya. Menjawab bahwa ulang tahun yang ke-90 itu tidak ada bedanya dengan hari-hari lain. Namun, konsep Rubinstein mengenai “sama seperti hari-hari lain” tidak sama dengan konsep “sama seperti hari-hari lain” menurut kebanyakan orang!

Dengan gembira, ia menjelaskan bahwa setiap bangun tidur pada pagi hari, sepanjang hidupnya, dia menganggap hari itu sebagai hari kelahirannya. Oleh karena itu, Rubinstein menganggap dirinya sudah melewati 365x90=32.850 hari ulang tahun sepanjang hidupnya! Karena setiap hari merupakan karunia, dia sungguh menyukurinya. Dia menyadari mungkin saja hari itu merupakan hari terakhir dia dapat mengagumi segala keajaiban dan kemungkinan dunia yang dapat ditawarkan kepadanya.

Pada hari-hari terakhir dalam hidupnya, Rubinstein menyadari bahwa ia berangsur-angsur menjadi buta. Kembali seorang jurnalis mewawancarainya, kali ini pertanyaan fokus pada efek kebutaan terhadap permaianan pianonya. Tampak jelas bahwa sang jurnalis mengharapkan jawaban yang matang atau mungkin melankolis.

Ternyata, Rubinsten malah dengan penuh semangat bercerita bahwa sebelum penglihatannya mulai menghilang, dia selalu beranggapan bahwa dia bermain piano dengan mengandalkan telinganya saja. Sekarang, ketika matanya sudah mulai buta, dia sadar bahwa dia mengandalkan – lebih dari yang disadari sebelumnya – penglihatanya. Selama ini, ketika ia bermain piano, bergantung pada kemampuan penglihatannya untuk menangkap gerakan jari-jemarinya yang menari-nari di atas tuts. Di batas luar penglihatannya.

Kini, ketika kebutaan melandanya, alih-alih depresi dan sedih. Rubinsten malah merasa sangat gembira! Dia menjelaskan kepada sang jurnalis, bahwa keadaannya sekarang ini telah membuka sebuah dunia yang betul-betul baru baginya. Sekarang dia mendapat kesempatan menarik untuk mempelajari ulang semua komposisi musik yang bagus dan indah, kali ini dengan bantuan hanya melalu pendengarannya. Hatinya dipenuhi rasa gembira karena telah diberi kesempatan untuk melihat pandangan pengetahuan baru yang tengah terbuka di hadapannya.

Apa yang kita alami saat ini mungkin saja dapat menjadi alasan untuk tawar hati. Namun, lihatlah lebih dalam bahwa Tuhan telah menopang kita dengan kekuatan untuk mengatasinya. Ya, kekuatan itu bernama iman! Ingatlah seperti yang dikatakan Paulus, “Pencobaan-pencobaan yang kita alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan jalan ke luar sehingga kamu dapat menanggungnya. (1 Kor.10:13)

Jumat, 29 Mei 2015

KARYA TRINITAS YANG MEMBARUI: DARI ATAS KE DALAM


Analogi, yakni kiasan, metafora atau cerita pembanding sering dipakai untuk menerangkan sebuah gagasan atau konsep yang rumit. Analogi sering digunakan untuk menjelaskan apa itu Trinitas. Sebagai “alat bantu”, analogi tidak selalu sempurna menjelaskan gagasan atau konsep, apalagi tentang Trinitas. Kendati pun demikian ia telah berjasa menuntun orang kepada sebuah pemahaman asbtrak. Seorang guru Sekolah Minggu mencoba menjelaskan Allah Tritunggal dengan membawa sebatang Lilin dan kemudian menyalakannya di depan anak-anak. “Coba perhatikan lilin ini”, seru guru Sekolah Minggu itu, “ lilin ini mempunyai wujud, sinar dan panas. Ketiganya merupakan satu kesatuan. Ibarat lilin menyala inilah Tritunggal itu!“

Ide analogi ini mirip dengan apa yang dulu dipakai Tertullianus (155-230, Kartago/Tunisia), ia memakai anaologi matahari-sinar-panas untuk menjelaskan una substantia, tres personae. Baginya, Allah adalah satu, tetapi mempunyai tiga pribadi. Berbeda dari para pemikir pada mumumnya yang menggunakan bahasa filsafat untuk menjelaskan gagasan yang rumit, Tertullianus menggunakan bahasa atau istilah yang biasa digunakan dalam pengadilan di Roma. Kata Latin substantiae bukan berarti “bahan” atau elemen dasar sebuah benda, melainkan “hak milik”. Sementara persona, tidak dimaksudkan “pribadi” sebagaimana lazim kita  gunakan, melaikan “suatu pihak” dalam sebuah perkara di pengadilan. Dengan demikian, jelaslah bahwa tiga personae dapat berbagi satu substantia. Tiga pribadi (lebih tepatnya tiga pihak): Bapa, Anak dan Roh Kudus dapat berbagi satu hakikat (kedaulatan ilahi). Mungkin bagi sebagian besar orang, tetap saja penjelasan Tertullianus tidak mudah dipahami.

Trinitas memang tidak mudah dipahami. Namun, bukan berarti orang sederhana bahkan “awam” dalam berteologi tidak dapat mengerti tentang eksistensi Allah dalam Trinitas. Malah sebaliknya, Allah dalam Trinitai (Bapa, Anak dan Roh Kudus) memudahkan  manusia dalam level pemahaman yang bagaimana pun dapat mengerti dan mengenal-Nya. Manusia dan semesta alam dapat menyadari bahwa Dialah Sang Pencipta dan Pemelihara, yang kita sapa sebagai Bapa. Bapa yang memulai segala sesuatu dan yang memeliharanya. Dia juga adalah Sahabat setia yang mengerti penderitaan dan persoalan hidup manusia yang menebus dan menyelamatkan manusia dari dosa, itulah yang kita fahami sebagai Anak Allah di dalam diri Yesus Kristus. Jelas, yang dimaksud Bapa-Anak bukanlah terminologi biologis. Dia juga yang selalu mengingatkan manusia akan kebenaran dan menopangnya agar mampu melewati lembah air mata, itulah Roh Kudus.

Bagaimakah Allah, Sang Saratmisteri ini menyatakan diri-Nya agar dikenal dan mudah disapa oleh manusia? Rasanya, bukan memakai analogi atau metafora. Bukan dengan bahasa tinggi yang membingungkan dan juga bukan melalui paparan teori Trinitas yang jelimet. Namun, Allah menggunakan pengalaman eksistensial nyata dalam sejarah manusia. Allah, yang semula tidak mudah dikenal, menyebut nama-Nya saja penuh kengerian. Namun, kini di dalam Yesus begitu dekat. Allah yang pada mulanya adalah Firman telah menyatakan diri-Nya menjadi manusia sejati. Ia hidup dalam sejarah manusia, bergumul, menderita dan merasakan kesulitan manusia. Dialah Yesus! Jika Allah menyapa manusia dengan pengalaman empirik, maka manusia pun harus menyediakan diri disapa melalui pengalaman hidupnya. Dengan kata lain, Trinitas itu hanya bisa dipahami, dirasakan melalui pengalaman hidup!

Manusia mempunyai pemahaman dasar bahwa Allah pastilah merupakan figur Mahapengasih, Mahapengampun, Mahapemurah Mahakuasa dan sebagainya. Namun, bagaimanakah Sang Mahapengasih, Mahapengampun,  Mahapemurah, Mahakuasa itu wujudnya? Bukankah ini semua hanya ide-ide abstrak saja dan siapa pun juga dapat menerjemahkan ide-ide abstrak itu menurut maunya sendiri? Jelas, Allah tidak mau manusia berspekulasi. Sekali lagi Dia ingin dikenal dan manusia mengerti kehendak-Nya. Caranya? Allah yang pada mulanya adalah Firman kemudian menjelma menjadi manusia. Yesus itulah Sang Firman Hidup. Yesus memeragakan apa yang abstrak itu menjadi nyata. Bila manusia meyakini bahwa Allah adalah Mahapengasih, pengampun, pemurah, dan seterusnya, manusia dapat melihatnya dengan kasat mata dalam diri Yesus. Sepanjang hidup-Nya, Ia adalah firman yang berjalan, firman yang hidup itu. Sehingga suatu kali, Yesus berkata, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkan Bapa itu kepada kami. Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diriKu sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam AKu, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.” (Yohanes 14:9-10).

Selanjutnya, ketika karya-Nya sebagai firman yang hidup itu telah selesai maka Yesus kembali kepada Bapa-Nya. Kini, Ia mengutus Roh Kudus yang adalah Roh Allah sendiri untuk menyatakan penegasan kepada manusia agar apa yang telah dikerjakan-Nya dimeteraikan dalam hati. Roh Kudus jugalah yang dapat membuat orang menjadi percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. “…dan tidak ada seorang pun, yang dapat mengaku “Yesus adalah Tuhan”, selain oleh Roh Kudus.(1 Korintus 12:3b).  Roh Kudus yang sama melengkapi setiap orang percaya dengan karunia agar dapat menjadi saksi-saksi Tuhan yang hidup.

Sederhananya, Trinitas adalah cara kreatif Allah dalam rangka karya keselamatan bagi dunia. Mestinya, bahasa dan cara Allah berkarya ini mudah ditangkap oleh manusia. Manusia yang mengalami karya kasih Allah ini, dialah yang telah dapat merasakan Kerajaan Allah. Responnya, bersyukur dengan mau terlibat meneruskan  cinta kasih Allah ini kepada sesamanya. Untuk dapat terlibat dalam Kerajaan Allah, maka seseorang harus mau mengalami pembaruan dalam dirinya.

Dalam percakapan Yesus dengan Nikodemus (lengkapnya di Yohanes 13:1-21), seseorang tidak akan mengalami hidup dalam Kerajaan Allah tanpa mengalami kelahiran kembali. Dan kelahiran kembali itu merupakan karya Roh Kudus! Jawab Yesus, “AKu berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk dalam Kerajaan Allah.” (Yohanes 3:5). Kerajaan Allah dalam Injil Yohanes adalah “hidup”. Hidup seperti apa? Hidup yang sungguh-sungguh hidup, hidup yang kekal! Siapa yang ingin mengalami kehidupan yang sesungguhnya, maka ia harus menjadi manusia baru. Masuk dalam Kerajaan Allah bukan hanya sekedar menjadi penikmat, melainkan berpartisipasi dalam Kerajaan Allah. Seperti Apa? Seperti yang Yesus lakukan dalam hubungannya dengan Trinitas, Ia melakukannya dengan ketaatan total! Atau dalam bahasa Paulus tidak lagi hidup menuruti keinginan nafsu duniawi, melainkan tunduk di bawah Roh, "Sebab jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati, tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup." (Roma 8:13)

Allah Trinitas telah berkarya, kini tinggal kita merespon dengan cara membuka diri untuk senantiasa diperbarui oleh karya Roh Kudus agar dapat berpartisipasi dalam Kerajaan-Nya. Tanpa Roh Kudus, tidak mungkin kita megalami kelahiran baru. Setiap orang membutuhkan penyataan Allah yang membarui dan menguduskan agar tidak hidup seperti Raja Uzia. Semula raja ini hidup selalu mencari Tuhan. Namun, setelah menjadi kuat, ia menjadi sombong dan berpaling meninggalkan Allah. Raja Uzia akhirnya meninggal dalam keadaan tragis, sakit kusta dalam pengasingan. Tidak seorang pun di antara kita imun dari dosa, walau pun telah menyatakan diri sebagai orang Kristen. Untuk itu, kita harus terus mengasah kepekaan diri agar mampu menyimak dan mengindahkan suara Roh Kudus.