Alkisah, hiduplah seekor Gurita muda di perairan dangkal. Airnya hangat,
jernih dan berpasir. Ia hidup riang, bisa berenang kian kemari melewati
bebatuan, bergaul dengan ikan-ikan berwarna-warni. Namun, ada sesuatu yang berbeda dengan Gurita
ini. Dia sangat suka bergantung pada sesuatu. Kadang-kadang untuk mendapatkan
kegembiraan, ia membelitkan tentakelnya pada seekor ikan dan membiarkan ikan
itu menariknya. Terkadang ia membelitkan tentakelnya pada karang yang kukuh dan
kuat dengan cara ini, ia merasa aman dan nyaman.
Seiring dengan pertumbuhan Gurita kecil ini, dia menjelajah semakin
luas, mengarungi air yang lebih dalam. Suatu ketika, saat berenang dengan
ragu-ragu ia menjelajahi daerah baru, kemudian menemukan sebuah benda aneh dan
lain daripada yang lain. Dalam kejernihan air tampaklah bayangan suram lambung
kapal yang besar. Dari haluan kapal menjuntai sebuah jangkar. Lalu, sang Gurita
melilitkan tentakelnya ke jangkar itu guna mencari rasa nyaman. Namun apa yang
terjadi? Jangkar tersebut mulai jatuh, memasuki air yang semakin gelap dan
dingin. Gurita tersebut bisa merasakan tekanan air yang meremasnya sedemikian
kuat sehingga rasa takut menyergapnya ditambah oksigen yang semakin menipis.
Dia bingung, apakah harus tetap berpegang
atau melepaskan pegangannya? Meskipun jangkarnya sendiri terasa aman dan kukuh,
gerakan meluncur dari jangkar tersebut ke air yang pekat dan tekanan yang
tinggi sangat menakutkannya.
Gurita kecil itu takut melepaskan rasa aman yang diberikan oleh jangkar
tersebut. Akhirnya, jangkar tersebut membentur dasar laut yang sangat dalam
dengan suara gedebuk yang keras. Gurita kecil itu mempererat pegangannya. Dia
tidak bisa memutuskan apakah harus tetap mencengkram atau melepaskannya. Namun,
dalam ketidakpastian itu, ia memutuskan untuk tidak melepaskan cengkramannya.
Dalam ketakutan dan kebingungannya, keluarlah seekor ikan. Gurita itu
berteriak meminta tolong. Ikan tersebut mendengarkan cerita gurita kecil itu dan
ia menanggapinya, “Maaf, aku tidak bisa menolongmu. Akan tetapi di belakangku
ada seekor ikan yang lebih besar. Mungkin dia bisa memberi bantuan yang engkau
butuhkan.”
Tidak lama kemudian tampak seekor ikan yang lebih besar. Dia berenang
dengan gerakan yang lembut dan santai. Matanya tampak ramah dan penuh
perhatian. “Aku bisa menolongmu,” kata ikan tersebut menjawab permintaan tolong
dari Gurita kecil itu, “tetapi kamu harus melakukan sesuatu terlebih dahulu
untuk menolong dirimu sendiri. Tolong lepaskan peganganmu pada jangkar
tersebut, baru aku bisa menunjukkan jalan keluar bagimu.”
Ikan yang baik hati itu menunggu dengan sabar, sambil memberikan dorongan
dan memberi selamat ketika Gurita kecil itu perlahan-lahan mau melepaskan
pegangan pada jangkar itu. Lalu ikan itu berkata, “Sekarang ikutlah aku!” Ikan
tersebut mulai berenang maju-mundur, dengan perlahan membuka jalan ke atas,
tidak secepat dan selaju apa yang diharapakan sang gurita kecil. Sepertinya,
ikan tersebut tahu; berbahaya jika terlalu cepat naik ke atas. Dia membimbing
dengan cara sedemikian rupa sehingga Gurita kecil itu mampu mempelajari cara
menjaga dirinya sendiri jika nanti dia terjebak di kedalaman air lagi. Gurita
kecil ini merasa lebih kuat dan lebih mampu. Lingkungan yang asing itu tidak
lagi menakutkan bagi dirinya. Bahkan, ia mulai merasakan seperti petualangan
sejati. Semakin tinggi mereka berenang, air di sekeliling mereka menjadi hangat
dan terang. Gurita kecil mulai merasa lebih santai dan lebih riang. Tekanan dan
kegelisahan berada dalam kedalaman asing terangkat, dan gurita kecil semakin
bahagia karena kebebasannya telah kembali. Dia berhasil menyusul ikan tersebut
selama beberapa waktu, mereka berenang berdampingan. Gurita kecil itu berterimakasih
karena terbebas dari kematian yang mengerikan. Kini, seakan ia merasa hidup
kembali setelah mengalami “kematian”.
Maria Magdalena dan Maria yang lain (Injil Markus menyebutnya Maria ibu
Yoses) adalah para perempuan yang setia mengikuti semua jalan sengsara yang
dialami Yesus, tentu saja di samping Maria sang bunda Yesus sendiri. Setelah
Yusuf dari Arimatea mengurus dan memakamkan jasad Yesus, kedua Maria tampak di
depan kubur Yesus (Matius 27:61). Bisa jadi mereka dilanda kesedihan hebat,
kecewa dan putus asa. Kematian itu merenggut semua harapan. Kubur Yesus rupanya
telah mengubur segala sesuatu yang pernah diucapkan Yesus.
Mereka datang ke kubur Yesus pastinya bukan untuk menyambut atau
membuktikan Yesus yang bangkit sesuai apa yang telah dikatan-Nya dulu, bukan
pula untuk memulasarai jasad Yesus karena pintu kubur Yesus tertutup rapat,
diberi meterai dan dijaga. Mereka datang hanya sekedar untuk menengok! Pada
saat itulah terjadi gempa bumi hebat. Lalu seorang malaikat Tuhan turun dari
langit. Ia datang ke batu penutup kubur itu lalu kemudian menggulingkannya dan
duduk di atasnya. Wajahnya putih bagaikan kilat dan pakaiannya putih seperti
salju. Para penjaga kubur itu juga melihat, mereka menjadi gentar ketakutan
seperti orang-orang mati.
Malaikat itu meminta Maria Magdalena dan Maria yang lain itu agar tidak
takut seperti penjaga kubur itu. Malaikat itu menjelaskan bahwa Yesus tidak
lagi ada di dalam kubur itu, “Janganlah
kamu takut; sebab aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu. Ia tidak ada
di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatan-Nya. Mari,
lihatlah tempat Ia berbaring.” (Matius 28:5,6).
Kedua Maria bagaikan Gurita kecil, erat melekat pada belenggu kematian.
Malaikat Tuhan itu dengan sabar menuntun dan menunjukkan kehidupan: Yesus yang
bangkit! Seperti Gurita yang menemukan kembali kehidupannya, begitu mungkin
yang dirasakan kedua Maria ini. Kebangkitan-Nya menyelamatkan mereka dari cengkeraman
kuasa maut. Di balik bayang-banyang
kematian, mereka melihat kehidupan. Sang Malaikat kemudian meminta mereka untuk
tidak terpana di kubur itu melainkan segera pergi memberitahukan kepada
murid-murid yang lain. Dapat dibayangkan bagaimana kegembiraan memancar dari
wajah mereka. Mereka berlari cepat-cepat dengan sukacita memberitahukan kepada
murid-murid yang lain tentang Kehidupan itu.
Kuasa kebangkitan Yesus telah mengubah total kehidupan para murid.
Sebelumnya mereka kocar-kacir, pesimis, kecewa, takut dan yang sejenis dengan
itu. Tetapi kini mereka berjumpa dengan Yesus yang bangkit. Janji-Nya nyata
digenapi dan mereka kini telah melihat kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan
yang mengalahkan kuasa maut dan kehidupan yang menyelamatkan.
Bak pesan berantai, berita kebangkitan ini terus menyebar bermula dari
Galilea yang dulunya menyandang stigma negatif; daerah para begundal dan
penyamun, kasar dan beringas kini diubahkan menjadi orang-orang yang melihat
kehidupan. Menyebar terus, tidak hanya kepada orang-orang Yahudi melainkan juga
orang-orang yang dianggap kafir.
Petrus sebagai salah seorang saksi kebangkitan, ia diutus Tuhan untuk
menyampaikan kabar baik kepada Kornelius (Kisah Rasul 10). Jelas, Tuhan
menginginkan segala bangsa diselamatkan. Petrus, bagai Gurita kecil yang tepaku
berpegang pada tradisi dan ajaran Yudaisme bahwa tidak mungkin bangsa lain
diselamatkan. Namun kemudian ia dibimbing oleh Roh Allah. Bagai ikan besar yang
meminta sang Gurita kecil untuk melepaskan ikatannya, melalui penglihatan
hidangan maka mengertilah Petrus bahwa
Allah berkenan menyelamatkan semua orang. Petrus yang telah dicerahkan
akhirnya mencerahkan Kornelius dan seisi rumahnya. Mereka diselamatkan!
Sekarang bayangkan, Anda adalah Gurita yang sedang berada di ambang
kematian. Kemudian ada yang menolong Anda menemukan kembali kehidupan. Lalu,
apa yang Anda akan lakukan? Para perempuan murid Yesus telah melakukannya,
mereka menjadi saksi kebangkitan pertama. Petrus sudah melakukannya untuk
Kornelius. Bagaimana dengan kita?