Jumat, 14 April 2017

KEBANGKITAN-NYA MENYELAMATKAN SEMUA

Alkisah, hiduplah seekor Gurita muda di perairan dangkal. Airnya hangat, jernih dan berpasir. Ia hidup riang, bisa berenang kian kemari melewati bebatuan, bergaul dengan ikan-ikan berwarna-warni.  Namun, ada sesuatu yang berbeda dengan Gurita ini. Dia sangat suka bergantung pada sesuatu. Kadang-kadang untuk mendapatkan kegembiraan, ia membelitkan tentakelnya pada seekor ikan dan membiarkan ikan itu menariknya. Terkadang ia membelitkan tentakelnya pada karang yang kukuh dan kuat dengan cara ini, ia merasa aman dan nyaman.

Seiring dengan pertumbuhan Gurita kecil ini, dia menjelajah semakin luas, mengarungi air yang lebih dalam. Suatu ketika, saat berenang dengan ragu-ragu ia menjelajahi daerah baru, kemudian menemukan sebuah benda aneh dan lain daripada yang lain. Dalam kejernihan air tampaklah bayangan suram lambung kapal yang besar. Dari haluan kapal menjuntai sebuah jangkar. Lalu, sang Gurita melilitkan tentakelnya ke jangkar itu guna mencari rasa nyaman. Namun apa yang terjadi? Jangkar tersebut mulai jatuh, memasuki air yang semakin gelap dan dingin. Gurita tersebut bisa merasakan tekanan air yang meremasnya sedemikian kuat sehingga rasa takut menyergapnya ditambah oksigen yang semakin menipis. Dia bingung, apakah harus  tetap berpegang atau melepaskan pegangannya? Meskipun jangkarnya sendiri terasa aman dan kukuh, gerakan meluncur dari jangkar tersebut ke air yang pekat dan tekanan yang tinggi sangat menakutkannya.

Gurita kecil itu takut melepaskan rasa aman yang diberikan oleh jangkar tersebut. Akhirnya, jangkar tersebut membentur dasar laut yang sangat dalam dengan suara gedebuk yang keras. Gurita kecil itu mempererat pegangannya. Dia tidak bisa memutuskan apakah harus tetap mencengkram atau melepaskannya. Namun, dalam ketidakpastian itu, ia memutuskan untuk tidak melepaskan cengkramannya.

Dalam ketakutan dan kebingungannya, keluarlah seekor ikan. Gurita itu berteriak meminta tolong. Ikan tersebut mendengarkan cerita gurita kecil itu dan ia menanggapinya, “Maaf, aku tidak bisa menolongmu. Akan tetapi di belakangku ada seekor ikan yang lebih besar. Mungkin dia bisa memberi bantuan yang engkau butuhkan.”

Tidak lama kemudian tampak seekor ikan yang lebih besar. Dia berenang dengan gerakan yang lembut dan santai. Matanya tampak ramah dan penuh perhatian. “Aku bisa menolongmu,” kata ikan tersebut menjawab permintaan tolong dari Gurita kecil itu, “tetapi kamu harus melakukan sesuatu terlebih dahulu untuk menolong dirimu sendiri. Tolong lepaskan peganganmu pada jangkar tersebut, baru aku bisa menunjukkan jalan keluar bagimu.”

Ikan yang baik hati itu menunggu dengan sabar, sambil memberikan dorongan dan memberi selamat ketika Gurita kecil itu perlahan-lahan mau melepaskan pegangan pada jangkar itu. Lalu ikan itu berkata, “Sekarang ikutlah aku!” Ikan tersebut mulai berenang maju-mundur, dengan perlahan membuka jalan ke atas, tidak secepat dan selaju apa yang diharapakan sang gurita kecil. Sepertinya, ikan tersebut tahu; berbahaya jika terlalu cepat naik ke atas. Dia membimbing dengan cara sedemikian rupa sehingga Gurita kecil itu mampu mempelajari cara menjaga dirinya sendiri jika nanti dia terjebak di kedalaman air lagi. Gurita kecil ini merasa lebih kuat dan lebih mampu. Lingkungan yang asing itu tidak lagi menakutkan bagi dirinya. Bahkan, ia mulai merasakan seperti petualangan sejati. Semakin tinggi mereka berenang, air di sekeliling mereka menjadi hangat dan terang. Gurita kecil mulai merasa lebih santai dan lebih riang. Tekanan dan kegelisahan berada dalam kedalaman asing terangkat, dan gurita kecil semakin bahagia karena kebebasannya telah kembali. Dia berhasil menyusul ikan tersebut selama beberapa waktu, mereka berenang berdampingan. Gurita kecil itu berterimakasih karena terbebas dari kematian yang mengerikan. Kini, seakan ia merasa hidup kembali setelah mengalami “kematian”.

Maria Magdalena dan Maria yang lain (Injil Markus menyebutnya Maria ibu Yoses) adalah para perempuan yang setia mengikuti semua jalan sengsara yang dialami Yesus, tentu saja di samping Maria sang bunda Yesus sendiri. Setelah Yusuf dari Arimatea mengurus dan memakamkan jasad Yesus, kedua Maria tampak di depan kubur Yesus (Matius 27:61). Bisa jadi mereka dilanda kesedihan hebat, kecewa dan putus asa. Kematian itu merenggut semua harapan. Kubur Yesus rupanya telah mengubur segala sesuatu yang pernah diucapkan Yesus.

Mereka datang ke kubur Yesus pastinya bukan untuk menyambut atau membuktikan Yesus yang bangkit sesuai apa yang telah dikatan-Nya dulu, bukan pula untuk memulasarai jasad Yesus karena pintu kubur Yesus tertutup rapat, diberi meterai dan dijaga. Mereka datang hanya sekedar untuk menengok! Pada saat itulah terjadi gempa bumi hebat. Lalu seorang malaikat Tuhan turun dari langit. Ia datang ke batu penutup kubur itu lalu kemudian menggulingkannya dan duduk di atasnya. Wajahnya putih bagaikan kilat dan pakaiannya putih seperti salju. Para penjaga kubur itu juga melihat, mereka menjadi gentar ketakutan seperti orang-orang mati.

Malaikat itu meminta Maria Magdalena dan Maria yang lain itu agar tidak takut seperti penjaga kubur itu. Malaikat itu menjelaskan bahwa Yesus tidak lagi ada di dalam kubur itu, “Janganlah kamu takut; sebab aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu. Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatan-Nya. Mari, lihatlah tempat Ia berbaring.” (Matius 28:5,6).

Kedua Maria bagaikan Gurita kecil, erat melekat pada belenggu kematian. Malaikat Tuhan itu dengan sabar menuntun dan menunjukkan kehidupan: Yesus yang bangkit! Seperti Gurita yang menemukan kembali kehidupannya, begitu mungkin yang dirasakan kedua Maria ini. Kebangkitan-Nya menyelamatkan mereka dari cengkeraman kuasa maut.  Di balik bayang-banyang kematian, mereka melihat kehidupan. Sang Malaikat kemudian meminta mereka untuk tidak terpana di kubur itu melainkan segera pergi memberitahukan kepada murid-murid yang lain. Dapat dibayangkan bagaimana kegembiraan memancar dari wajah mereka. Mereka berlari cepat-cepat dengan sukacita memberitahukan kepada murid-murid yang lain tentang Kehidupan itu.

Kuasa kebangkitan Yesus telah mengubah total kehidupan para murid. Sebelumnya mereka kocar-kacir, pesimis, kecewa, takut dan yang sejenis dengan itu. Tetapi kini mereka berjumpa dengan Yesus yang bangkit. Janji-Nya nyata digenapi dan mereka kini telah melihat kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan yang mengalahkan kuasa maut dan kehidupan yang menyelamatkan.

Bak pesan berantai, berita kebangkitan ini terus menyebar bermula dari Galilea yang dulunya menyandang stigma negatif; daerah para begundal dan penyamun, kasar dan beringas kini diubahkan menjadi orang-orang yang melihat kehidupan. Menyebar terus, tidak hanya kepada orang-orang Yahudi melainkan juga orang-orang yang dianggap kafir.

Petrus sebagai salah seorang saksi kebangkitan, ia diutus Tuhan untuk menyampaikan kabar baik kepada Kornelius (Kisah Rasul 10). Jelas, Tuhan menginginkan segala bangsa diselamatkan. Petrus, bagai Gurita kecil yang tepaku berpegang pada tradisi dan ajaran Yudaisme bahwa tidak mungkin bangsa lain diselamatkan. Namun kemudian ia dibimbing oleh Roh Allah. Bagai ikan besar yang meminta sang Gurita kecil untuk melepaskan ikatannya, melalui penglihatan hidangan maka mengertilah Petrus bahwa  Allah berkenan menyelamatkan semua orang. Petrus yang telah dicerahkan akhirnya mencerahkan Kornelius dan seisi rumahnya. Mereka diselamatkan!

Sekarang bayangkan, Anda adalah Gurita yang sedang berada di ambang kematian. Kemudian ada yang menolong Anda menemukan kembali kehidupan. Lalu, apa yang Anda akan lakukan? Para perempuan murid Yesus telah melakukannya, mereka menjadi saksi kebangkitan pertama. Petrus sudah melakukannya untuk Kornelius. Bagaimana dengan kita?

Paskah 2017

KALA HIDUP TERASA TEGANG

Tiada kepedihan paling mendalam selain kematian orang yang begitu dicintai dan menjadi sumber pengharapan. Itulah barangkali yang diperlihatkan oleh kedua Maria di depan kubur Yesus. “Tetapi Maria Magdalena dan Maria yang lain tinggal di situ duduk di depan kubur itu.” (Matius 27:61). Keduanya tidak berdaya – sekalipun mungkin saja keinginan hati mereka memulasara jasad Yesus – berhadapan dengan tradisi patriakal yang tidak membolehkan perempuan mengurus jasad, meskipun jenazah itu adalah orang yang begitu mereka cintai.

Bayangkan jika tidak ada Yusuf dari Arimatea, apa jadinya dengan mayat Yesus yang tergantung di kayu salib? Kebencian yang begitu memuncak dari para pemimpin agama, ahli Taurat dan orang Farisi rasanya akan terus membiarkan mayat Yesus tetap ada di sana. Meskipun ada aturan, “Apabila seorang berbuat dosa yang sepadan dengan hukuman mati, lalu ia dihukum mati, kemudian kaugantung dia pada sebuah tiang, maka janganlah mayatnya dibiarkan semalam-malaman pada tiang itu, tetapi haruslah engkau menguburkan dia pada hari itu juga,…”(Ul.21:22-23).

Lalu siap Yusuf ini? Matius memperkenalkan Yusuf dari Arimatea sebagai “murid Yesus” dan “orang kaya” (Mat.27:57). Selain itu, Injil Markus mencatat bahwa Yusuf adalah seorang anggota Majels Besar yang terkemuka, yang juga menanti-nantikan Kerajaan Allah (Mark 15:43). Maka dengan status sosialnya ini bukanlah perkara sulit baginya meminta kepada Pilatus agar mayat Yesus dapat diurus oleh dirinya sebagaimana mestinya. Yusuf membeli kain kafan baru yang putih dan bersih untuk mengafani jenazah Yesus. Tidak hanya itu, bahkan ia merelakan kuburnya sendiri yang baru saja dibeli untuk membaringkan tubuh Yesus yang tanpa nyawa itu. Dengan cara itu, Yusuf menunjukkan cinta, hormat dan sekaligus tanggungjawabnya terhadap orang yang begitu berarti dalam hidupnya. Selama Yusuf menurunkan mayat Yesus, mengapani dan membaringkanya dalam kuburnya yang baru itu, kedua Maria hanya melihat dari jauh. Barulah setelah Yusuf pergi mereka duduk di depan kubur itu.

Maria Magdalena, Maria ibu Yoses dan Yusuf dari Arimatea adalah orang-orang yang tulus bahkan di tengah gejolak kebencian yang belum reda terhadap Yesus, mereka berani menanggung resiko, menunjukkan kasih dan kesetiaannya kepada Guru yang mereka cintai.

Perlakuan berbeda ditunjukkan oleh para tua-tua pemimpin agama Yahudi dan orang Farisi. Mereka datang menghadap Pilatus bukan untuk mengurus jenazah Yesus  - yang memang semestinya harus diurus sebagaimana dalam Ulangan 21;22. Mereka datang mendesak Pilatus supaya kubur Yesus dijaga, tidak hanya itu tetapi juga dimeterai, diberi segel! Mengapa? Mereka mengatakan, “Tuan, kami ingat, bahwa si penyesat itu sewaktu hidup-Nya berkata : Sesudah tiga hari Aku akan bangkit.” (Mat.27:62). Mereka berpikir bisa saja murid-murid Yesus yang kocar-kacir sewaktu pembantaian Yesus itu, diam-diam kembali dan membuka kubur Yesus kemudian mencuri mayat-Nya. Setelah itu mengumumkan kepada kalayak ramai bahwa Yesus sudah bangkit, lihatlah kuburnya sudah kosong!

Ternyata kebencian turus menguasi mereka. Setelah Yesus mati pun mereka tidak puas. Namun, di sisi lain bukankah mereka juga sedang dikuasai oleh kekuatiran mereka sendiri? Mereka takut kalau apa yang dulu pernah diucapkan Yesus benar-benar terjadi: Yesus bangkit! Kalau hal ini terjadi kiamat bagi mereka. Mereka mengatakan “…., penyesatan terakhir akan lebih buruk dari pada yang pertama.” (Mat. 27:64). Kekuatiran itu mendorong mereka memaksa Pilatus memberikan prajurit-prajuritnya untuk menjaga kubur Yesus. Pilatus tidak keberatan mengabulkan permohonan delegasi Yahudi itu.

Namun di sisi lain, kisah mengenai penjagaan dan pemberian meterai kubur Yesus seakan mempersiapkan dan menegaskan nantinya bahwa tidak dapat disangkal lagi: Yesus bangkit! Dengan penjagaan dan pemberian meterai atau segel itu, mereka sendiri telah menghilangkan sebuah kemungkinan jawaban atas pertanyaan, “Mengapa tubuh Yesus tidak ada lagi di dalam kubur?” Kecurigaan mereka, murid-murid Yesuslah yang mencurinya. Namun, sekarang kubur itu dijaga dan disegel, jelaslah para murid tidak mungkin dapat mengambil jasad Yesus yang dikubur di dalam kubur yang digali di dalam bukit batu itu!

Situasi tegang menghinggapi para murid, khusunya murid-murid perempuan dan juga Yusuf dari Arimatea. Betapa tidak, mereka begitu mengasihi Yesus. Mereka mencemaskan jasad Yesus. Ketegangan juga menghinggapi para pemimpin Yahudi. Namun, ketegangan itu berbeda. Yang pertama, berharap untuk dapat terus mencintai Yesus tetapi yang kedua, semakin diliputi oleh kebencian dan ketakutan munculnya gerakan baru setelah kematian Yesus.

Kebencian yang disertai ketakutan kebangkitan kembali gerakan Yesus mendorong mereka yang membenci-Nya melakukan berbagai manuver yang akhirnya justeru mempertegas dan menguatkan fakta tak terbantahkan bahwa benar Yesus bangkit!

Bisa jadi, saat sekarang kita sedang dilanda oleh berbagai kecemasan, kegelisahan dan kesedihan, satu hal yang bisa kita pelajari dari kisah pemakaman Yesus adalah: tenangkan dirimu, “Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang supaya kamu dapat berdoa.” (1 Pet.4:7). Kesunyian tidak selalu sepi. Kita membutuhkan saat-saat seperti itu agar dapat dengan jernih mendengar suara-Nya. Percayakan kepada-Nya, pasti ia akan merancangkan rancangan yang indah, rancangan damai sejahtera bukan rancangan kecelakaan. Dengan cara-Nya yang ajaib ia dapat mengeluarkan kita dari jerat yang dipasang oleh orang-orang yang membenci kita atau dari pergumulan yang begitu berat sekali pun. “Engkau akan mengeluarkan aku dari jaring yang dipasang orang terhadap aku, sebab Engkaulah tempat perlindunganku.” (Mzm.31:5) Begitu kata pemazmur. Jadi, ketenangan dan mempercayakan diri kepada TUHAN adalah cara terbaik mengatasi ketegangan hidup!  

Sabtu Sunyi, 2017