Jumat, 27 Januari 2017

PARA PEMILIK KEBAHAGIAAN

Tema kita hari ini “Para Pemilik Kebahagiaan.” Andakah salah satunya? Kalau ada yang bertanya, “Yakinkah Anda hari ini betul-betul bahagia dan apa alasan Anda bahagia?” Banyak orang tidak benar-benar yakin bahwa hidupnya saat ini benar-benar bahagia. Jika kita adalah salah satu dari kebanyakan orang yang merasa tidak berbahagia, maka logikanya tema ‘Para Pemilik Kebahagiaan” itu bukan berbicara tentang kita. Melainkan orang lain!

Aristoteles, sang filsuf kenamaan mengatakan bahwa semua cita-cita atau keinginan manusia bermuara pada kebahagiaan. Namun, kebahagiaan seperti apa? Bahagia menurut saya tentu akan berbeda dengan Anda. Kebahagiaan yang diimpikan oleh orang yang divonis kanker dan dinyatakan tidak dapat disembuhkan tentu berbeda dengan kebahagiaan yang dirindukan oleh pasangan yang tidak mempunyai anak. Kebahagiaan yang diimpikan oleh seorang minoritas yang tertekan dan menderita akan berlainan dengan keinginan mayoritas yang sedang berkuasa. Kebahagiaan yang dirindukan oleh orang-orang yang tinggal di padang gurun tandus yang panas menyengat tentu tidak sama dengan dambaan orang-orang eskimo yang hidup di kutub.

Tampaknya sudah menjadi hal umum yang diterima oleh kebanyakan orang bahwa mereka yang disebut berbahagia itu adalah orang-orang yang memiliki banyak uang, usaha mapan, berkuasa, kesehatan prima, keluarga rukun, memiliki banyak sahabat, hidup saleh, tidak melakukan kriminal dan taat beribadah. Ah, jika itu yang kita alami rasanya bahagia! Betulkah?

Apa yang diajarkan Yesus dalam Khotbah di Bukit, khususnya mengenai Ucapan Berbahagia ( Matius 5:1-12) ternyata berbeda bahkan berlawanan dari pandangan umum tentang kebahagaiaan. Yesus mengucapkan bahwa mereka yang miskin, berdukacita, lemah-lembut, dicela dan dianiaya adalah para pemilik kebahagiaan. Bagaimana mungkin itu terjadi? Dan kalau pun kita mengaminkan perkataan Yesus ini, apakah untuk mengalami kebahagiaan, kita harus miskin, berduka dan teraniaya dahulu?

James Bryan Smith dalam bukunya The Good and Beautiful Life mengatakan, “Konsep bahwa kita harus menyenangkan Allah melalui tindakan membuat saya secara otomatis berpikir bahwa Ucapan Bahagia merupakan sebuah resep untuk membuat Allah berkenan kepada diri saya. Yesus mengajarkan bahwa mereka yang memiliki sifat lemah-lembut dan keberanian untuk dicela adalah pengikut Yesus yang sejati. Ketika saya merenungkan Ucapan Bahagia dan mempelajarinya satu per satu, saya mulai berpikir bahwa mereka yang dapat menjalankan Ucapan Bahagia hanyalah para Kristen garis keras. Saya tidak sendirian…Beberapa tahun sebelumnya, saya mendengarkan khotbah seri Ucapan Bahagia, dan setiap Minggu pendeta tersebut mendorong jemaatnya untuk menjadi miskin atau menjadi lemah lembut atau membela Yesus, dan jika semuanya itu sudah dapat kami lakukan, maka barulah kami akan mengalami penganiayaan. Penganiayaan adalah bukti dari berkat yang akan kami terima. Pendeta tersebut sedang mengajarkan bahwa Ucapan Bahagia merupakan sebuah resep untuk mendapatkan berkat bahagia atau sebuah proses menuju kesehatan rohani.”

Tema besar dari pengajaran Yesus tentang Ucapan Bahagia adalah Kerajaan Allah. Ia sedang memberitakan Injil (kabar baik) Kerajaan Allah. Ketika Yesus tiba di bukit itu, banyak orang bertanya-tanya kapan Allah akan memulihkan kerajaan Israel yang kini sedang terjajah itu. Kapankah mereka yang sedang menderita dapat memiliki kebahagiaan? Ajaran para rabi Yahudi sangat jelas, mereka yang disebut berbahagia adalah orang Yahudi yang taat, sehat, kaya dan makmur sebagai tanda berlimpahnya berkat Allah. Para pemimpin Yahudi terkejut dengan pelayanan yang dilakukan Yesus. Ia melayani pendosa dan non Yahudi, orang-orang kecil yang terpinggirkan. Seolah Yesus berkata, “Semua orang diterima dalam Kerajaan Allah.” Itulah Injil!

Orang-orang Israel yang rapuh, berdosa dan jahat datang kepada Yesus. Mereka menaiki atap, memanjat pohon, dan berkumpul untuk dapat melihat-Nya. Mereka seakan tahu bahwa Yesus sedang menawarkan sebuah harta dan membagikannya secara Cuma-Cuma kepada semua orang yang mengelilingi Galilea dan memberi tahu semua orang bahwa Allah mengasihi mereka. Itulah Injil! Ucapan Bahagia bukanlah peraturan-peraturan atau syariat tambahan melainkan ucapan-ucapan harapan dan kesembuhan bagi mereka yang marjinal.

Berbahagialah! Tiap kalimat dimulai dengan kata “Berbahagialah”, kata Yunani yang dipergunakan adalah makarios. Makarios memiliki arti “benar-benar baik” atau “mereka yang kepadanya diberikan segala sesuatu yang baik. Apa yang diajarkan Yesus menjadi sangat kontras bahkan berlawanan dengan pandangan umum para pemimpin Yahudi karena Yesus melihat kepada kumpulan orang-orang yang putus asa, sedih, rapuh dan dihakimi lalu memanggil mereka sebagai makarios!

Mereka yang disebut dalam Ucapan Bahagia tidaklah serta-merta diberkati hanya karena mereka sudah memenuhi syarat-syarat itu. Mereka diberkati hanya karena Yesus sendiri mau memberkati mereka. Mereka memiliki harapan karena Kerajaan Allah tersedia bagi orang-orang seperti mereka. Matt Johnson mengatakan, “Ucapan Bahagia adalah pengajaran yang tidak memberikan kekuasaan, harga diri, atau harta.” Yesus membuka Khotbah di Bukit dengan pengajaran yang radikal bahwa orang-orang yang malang itu turut di undang dalam Perjamuan Agung. Mereka tidak serta merta diberkati hanya karena mereka miskin di hadapan Allah. Syarat kemiskinan ini tidak penting, yang terpenting adalah bahwa mereka tidak terpisah dari Allah. Situasi kehidupan – dalam hal ini kemiskinan, dukacita, teraniaya – tidak menghalangi mereka untuk dapat masuk dalam Kerajaan Allah.

Kebanyakan dari ajaran Yesus bertentangan dengan konsep umum di masyarakat (Kamu sudah mendengar bahwa….Tetapi Aku berkata kepadamu…”). Ucapan Bahagia juga begitu. Kondisi yang Yesus sampaikan dalam Ucapan Bahagia secara umum dianggap sebagai kemalangan. Ucapan Bahagia menjadi radikal karena berisi ajaran bahwa orang-orang malang seperti mereka bisa masuk dalam Kerajaan Allah sama seperti orang kaya dan mereka yang disebut bahagia. Pertanyaannya kemudian, “Bagaimana jika saya tidak miskin, menderita, dukacita dan teraniaya, apakah saya masih bisa masuk dalam Kerajaan Allah?” Atau, “Jika saya sekarang sudah bahagia, apakah masih ada penghiburan buat saya?” Tentu saja, Yesus tidak menyinggung mereka yang sudah mapan karena kita tahu bahwa mereka sudah bahagia. Namun, sebelum Yesus mengucapkan perkataan ini, mereka tidak tahu apabila si miskin, berduka, teraniaya dan terpinggirkan itu memiliki kesempatan yang sama di hadapan Allah. Itulah Injil!

Dalam Ucapan Bahagia versi Lukas, Yesus mengatakan, “Tetapi celakalah kamu yang kaya, karena dengan kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu. Celakalah kamu, yang sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar. Celakalah kamu yang sekarang ini tertawa, karena kamu akan berdukacita dan menangis.” (Lukas 6:24-25). Yesus memperingatkan mereka bukan karena Allah tidak suka dengan orang kaya, berpuas diri atau bahagia. Tetapi lebih karena sering kali orang yang kaya, bepuas dir dan berbahagia merasa bahwa mereka tidak membutuhkan lagi pertolongan Allah. Kekayaan, kuasa dan harta dapat  dengan mudah membuat kita lupa untuk bergantung kepada Allah. Orang kaya haruslah memerhatikan orang miskin. Makan makanan mewah ketika ada orang lain yang tidak dapat makan seharusnya membuat kita mengevaluasi diri. Mengejar kenikmatan dunia yang penuh dengan kesakitan seharusnya membuat para pengikut Yesus merasa tidak nyaman.

Allah tidak melarang kita makan makanan enak atau mencari kesenangan, tetapi kita harus merenungkannya dalam-dalam mengenai keputusan yang kita ambil – apa dan seberapa banyak kita membeli, apa yang sebenarnya penting – karena kita hidup dalam dunia yang tidak seimbang. Menutup rekening bank dan menyumbangkan semua uang kita kepada lembaga amal atau berhenti makan dan memiskinkan diri bukanlah sebuah solusi. Peringatan Yesus yang keras didasarkan kepada kasih. Dia tahu bahwa kita mencari penghiburan melalui kekayaan dan perut yang kenyang. Kita juga mencampuradukan sukacita dan kenikmatan. Ketika segala sesuatunya terasa baik-baik saja, kita cenderung merasa bahwa kita tidak memerlukan Allah. Ketika orang kaya, mapan dan bahagia berbagi dengan mereka yang tidak punya, maka mereka akan menemukan kepuasan yang sejati.

Jakarta, Malam Imlek 2017

Jumat, 20 Januari 2017

MEMBERITAKAN INJIL DENGAN KEKUATAN ALLAH

Setelah peristiwa baptisan di sungai Yordan, beberapa hari Yesus bergabung dengan Yohanes. Selama berada dalam takerakat Yohanes, pastilah Ia menyaksikan apa yang dilakukan dan diperjuangkan oleh Yohanes. Namun, tibalah saatnya Yesus pergi. “Pada keesokan harinya Yesus memutuskan untuk berangkat ke Galilea.” (Yohanes 1 :43). Mengapa Yesus harus meninggalkan komunitas Yohanes lalu memilih pergi? Dan mengapa harus  ke Galilea, tidak ke Samaria atau Yerusalem? Injil Yohanes tidak menyajikan alasan yang jelas. Kita dapat menemukan alasan kepergian Yesus dalam Injil Matius. “Tetapi waktu Yesus mendengar, bahwa Yohanes telah ditangkap, menyingkirlah Ia ke Galilea.” (Matius 4:12).

Mengapa Yohanes Pembaptis ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara? Penyebabnya, Yohanes terlalu lantang menegur raja Herodes Antipas di depan umum. Herodes telah mengusir isterinya dan menjadikan Herodias, isteri Filipus yang adalah saudaranya sendiri menjadi isterinya. Bagi Yohanes, apa yang dilakukan oleh Herodes Antipas ini bukan sekedar pelanggaran hukum atau etika moral, tetapi juga merupakan kekejian di mata Tuhan. Namun, sialnya setiap orang yang menegur raja, apalagi di muka umum dipandang sebagai orang yang menghina raja. Dan setiap orang yang menghina raja tidak ada yang selamat. Keberanian Yohanes harus dibayar dengan mendekap dipenjara bawah tanah dan pada gilirannya harus dibayar dengan kepalanya sendiri (Matius 14:3-12).

Bisa dibayangkan, kemarahan Herodes yang merasa telah dipermalukan ditambah pula  hasutan dari sang isteri baru. Pastilah ia akan menumpas setiap orang yang mengecam dan mengeritiknya. Yesus berada dalam pusaran arus Yohanes Pembaptis yang menyerukan pertobatan moral bagi bangsanya tentu saja Ia bersama para murid Yohanes dalam kondisi terancam. Bukankah pada masa awal kiprah-Nya, hampir  tidak ada bedanya, apa yang diserukan Yesus dan apa yang dikerjakan oleh Yohanes Pembatis? “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Matius 4:17).

Yesus menyingkir (anakhoreo). Mengapa Ia menyingkir? Salah satu alasannya agar terluput dari amarah Herodes. Ia memilih Galilea, tepatnya Kapernaum sebuah wilayah paling ujung Utara dari kekuasaan Herodes. Bila sewaktu-waktu terjadi ancaman semakin seirus, Yesus dengan mudah dapat menyingkir ke wilayah kekuasaan Filipus, seorang raja yang baik hati. Jarak dari Kapernaum ke perbatasan wilayah kekuasaan Filipus hanya empat kilometer saja!

Ditinjau dari sisi pengamatan sosio politik bisa sangat masuk akal kalau Yesus menyingkir dari Nazaret dan memilih Galilea demi strategi keamanan. Namun, apakah hanya itu alasan satu-satunya? Dalam kerangka pemikiran Matius, awal pelayanan Yesus di Galilea bukanlah sebuah kebetulan atau strategi pelarian diri dari Herodes. Kutipan dari nabi Yesaya pada Matius 4: 15-16 setidaknya menjadi alasan utama Yesus pergi ke Galilea. Nubuat Yesaya 8 ini menegaskan bahwa orang-orang asing pun semenjak awal masuk dalam rencana penyelamatan Allah melalui Yesus. Kehadiran Yesus merupakan Terang bagi bangsa-bangsa yang diam dalam kegelapan dan bagi mereka yang diam di negeri yang dinaungi maut!

Galilea pada zaman Yesus diberi label sebagai wilayah orang-orang yang tidak mengenal TUHAN. Daerah 75 km x 40 km yang terdiri dari 204 desa itu dikelilingi oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Di sebelah Barat tinggal orang-orang Funisia, di seblah Utara dan Timur, didiami oleh orang-orang Syria di wilayah Selatan berbatasan dengan orang Samaria. Galilea merupakan wilayah Israel yang selalu berhubungan dengan unsur-unsur dan pengaruh non-Yahudi oleh karenanya, orang Israel menyebut wilayah itu sebagai daerah “kafir” (Galil: sebuah lingkaran, Galilea: milik orang-orang kafir). Meskipun demikian, Yosepus seorang sejarawan sekaligus orang yang pernah menjadi gubernur wilayah Galilea punya catatan tersendiri tentang penduduk Galilea. Ia mencatat: Mereka sangat senang terhadap hal-hal baru. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang cepat naik darah dan gemar bertengkar. Dan sebagai tambahan, mereka adalah orang-orang yang mempunyai sifat ksatria. Orang-orang Galilea dikenal sebagai orang pemberani. Mereka lebih sukamenerima kehormatan dari pada menerima keuntungan-keuntungan yang lain. (W Barclay)

Yesus Kristus memilih Galilea dan bukan Yerusalem merupakan batu sandungan bagi orang Yahudi (Yoh.7:25) sebab merakalah yang terlebih dahulu menerima Terang itu. Di sinilah juga Yesus memanggil murid-murid yang pertama. Di tepi danau Galilea pula Yesus melihat Simon dan Andreas yang bekerja sebagai nelayan di danau itu. Mereka sedang menebarkan jala lalu Yesus memanggil mereka untuk menjadi murid-Nya. Kemudian Yesus melihat dua orang bersaudara lagi, Yakobus dan Yohanes keduanya juga sebagai penjala ikan. Apa yang menarik dari kisah pemanggilan ini? Mereka semua meninggalkan pekerjaannya dan kemudian mengikut Yesus! Ketertarikannya terhadap Yesus bukan semata-mata karena keterbukaan orang-orang Galilea dalam menyerap hal-hal baru. Melainkan karena yang memanggil itu: Yesus yang memberikan kepercayaan kepada mereka untuk sebuah misi dan pekerjaan baru: “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.” (Matius 4:19)

Tidak hanya meneruskan gerakan pertobatan yang telah disuarakan dengan lantang oleh pendahulunya, yakni Yohanes. Tetapi Yesus melampaui Yohanes. Yesus tidak hanya menyerukan pertobatan, berkhotbah dan mengajar, tetapi Ia juga menyembuhkan orang-orang sakit, menyingkirkan penderitaan manusia. Yesus seakan tidak puas hanya memberitakan tentang kebenaran melalui kata-kata saja. Ia datang untuk merubah kebenaran itu menjadi perbuatan dan tindakan. Dalam Yesus orang melihat kebenaran yang dinyatakan dan tindakan nyata yang menyapa pergumulan manusia. Itulah Injil; itulah Kabar Baik!

Apa yang dikerjakan Yesus menarik banyak orang. Cerita dari mulut ke mulut terus beredar. Semakin banyak orang yang ingin tahu Yesus dan semakin banyak orang bermasalah datang kepada-Nya. Mereka membawa yang sakit dan lemah. Nama Yesus semakin tersiar bahkan samapai Yerusalem dan semakin banyak orang datang berbondong-bondong datang kepada-Nya.

Kini, sebagaimana Yesus telah memilih dan menetapkan murid-murid pertama dari penjala ikan menjadi penjala manusia, Ia pun tentu mengutus setiap orang yang telah mengenal-Nya untuk memberitakan Kabar Baik itu kepada semua makhluk. Tugas itu akan dapat dilakukan dengan baik apabila kita belajar dari Yesus Kristus sendiri. Kisah penyingkiran-Nya ke Galilea – Kapernaum bukan hanya semata-mata berdasarkan pertimbangan keamanan dan kenyamanan diri-Nya yang terancam amarah Herodes. Di balik itu ternyata Ia sedang menggenapi perintah Bapa-Nya: agar Terang itu bercahaya di tempat yang gelap! Banyak orang Kristen justeru enggan meninggalkan kenyamanannya. Hanya mau bersinar di gereja dan pada saat-saat seremonial ibadah saja. Bagaimana di lingkungan kita sehari-hari, apakah terang Kristus itu bersinar melalui sikap dan tutur kata kita?

Yesus berkarya di tengah-tengah pengaruh dasyat ajaran dan pandangan hidup dari orang-orang yang tidak mengenal Allah. Namun, Ia tetap setia menjalankan misi Bapa-Nya. Bisa saja hari ini Tuhan menempatkan kita di lingkungan yang sama sekali berbeda dari nilai-nilai Kristiani: Apakah di sana kita memberi pengaruh atau justeru kita tergoda untuk melakukan apa yang mereka lakukan? Menganggap wajar dan lumrah atas apa yang mereka kerjakan walau itu bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran? Mestinya tidak, di situlah kita harus menunjukkan integritas sebagai penjala manusia dan bukan penjala ikan. Sebab, penjala ikan hanya memikirkan keuntungan bagi diri sendiri dengan pelbagai macam cara. Namun, penjala manusia akan memikirkan nilai-nilai luhur kemanusiaan.

Ingatlah apa yang dilakukan Yesus. Ia tidak sekedar berbicara, mengajar dan berkhotbah tetapi juga melakukan apa yang diucapkan-Nya. Ia memberi pelayanan nyata untuk mengatasi pergumulan dan penderitaan manusia. Setiap murid Yesus pastinya terpanggil untuk melakukan hal yang sama. Memberitakan Kabar Baik tidak cukup dengan perkataan; melainkan juga dengan perbuatan. Kita dapat melakukan tugas dan panggilan itu bukan dengan mengandalkan kekuatan sendiri, melainkan – seperti Yesus melakukannya – mengandalkan kuasa dari Allah.

Jakarta 20 Januari 2017