Tema kita hari ini “Para Pemilik Kebahagiaan.” Andakah salah satunya?
Kalau ada yang bertanya, “Yakinkah Anda hari ini betul-betul bahagia dan apa
alasan Anda bahagia?” Banyak orang tidak benar-benar yakin bahwa hidupnya saat
ini benar-benar bahagia. Jika kita adalah salah satu dari kebanyakan orang yang
merasa tidak berbahagia, maka logikanya tema ‘Para Pemilik Kebahagiaan” itu
bukan berbicara tentang kita. Melainkan orang lain!
Aristoteles, sang filsuf kenamaan mengatakan bahwa semua cita-cita atau
keinginan manusia bermuara pada kebahagiaan. Namun, kebahagiaan seperti apa?
Bahagia menurut saya tentu akan berbeda dengan Anda. Kebahagiaan yang diimpikan
oleh orang yang divonis kanker dan dinyatakan tidak dapat disembuhkan tentu
berbeda dengan kebahagiaan yang dirindukan oleh pasangan yang tidak mempunyai
anak. Kebahagiaan yang diimpikan oleh seorang minoritas yang tertekan dan
menderita akan berlainan dengan keinginan mayoritas yang sedang berkuasa.
Kebahagiaan yang dirindukan oleh orang-orang yang tinggal di padang gurun tandus
yang panas menyengat tentu tidak sama dengan dambaan orang-orang eskimo yang
hidup di kutub.
Tampaknya sudah menjadi hal umum yang diterima oleh kebanyakan orang
bahwa mereka yang disebut berbahagia itu adalah orang-orang yang memiliki
banyak uang, usaha mapan, berkuasa, kesehatan prima, keluarga rukun, memiliki
banyak sahabat, hidup saleh, tidak melakukan kriminal dan taat beribadah. Ah,
jika itu yang kita alami rasanya bahagia! Betulkah?
Apa yang diajarkan Yesus dalam Khotbah di Bukit, khususnya mengenai
Ucapan Berbahagia ( Matius 5:1-12) ternyata berbeda bahkan berlawanan dari
pandangan umum tentang kebahagaiaan. Yesus mengucapkan bahwa mereka yang
miskin, berdukacita, lemah-lembut, dicela dan dianiaya adalah para pemilik
kebahagiaan. Bagaimana mungkin itu terjadi? Dan kalau pun kita mengaminkan
perkataan Yesus ini, apakah untuk mengalami kebahagiaan, kita harus miskin,
berduka dan teraniaya dahulu?
James Bryan Smith dalam bukunya The
Good and Beautiful Life mengatakan, “Konsep bahwa kita harus menyenangkan
Allah melalui tindakan membuat saya secara otomatis berpikir bahwa Ucapan Bahagia
merupakan sebuah resep untuk membuat Allah berkenan kepada diri saya. Yesus mengajarkan
bahwa mereka yang memiliki sifat lemah-lembut dan keberanian untuk dicela
adalah pengikut Yesus yang sejati. Ketika saya merenungkan Ucapan Bahagia dan
mempelajarinya satu per satu, saya mulai berpikir bahwa mereka yang dapat
menjalankan Ucapan Bahagia hanyalah para Kristen garis keras. Saya tidak
sendirian…Beberapa tahun sebelumnya, saya mendengarkan khotbah seri Ucapan
Bahagia, dan setiap Minggu pendeta tersebut mendorong jemaatnya untuk menjadi
miskin atau menjadi lemah lembut atau membela Yesus, dan jika semuanya itu
sudah dapat kami lakukan, maka barulah kami akan mengalami penganiayaan.
Penganiayaan adalah bukti dari berkat yang akan kami terima. Pendeta tersebut
sedang mengajarkan bahwa Ucapan Bahagia merupakan sebuah resep untuk
mendapatkan berkat bahagia atau sebuah proses menuju kesehatan rohani.”
Tema besar dari pengajaran Yesus tentang Ucapan Bahagia adalah Kerajaan
Allah. Ia sedang memberitakan Injil (kabar baik) Kerajaan Allah. Ketika Yesus
tiba di bukit itu, banyak orang bertanya-tanya kapan Allah akan memulihkan
kerajaan Israel yang kini sedang terjajah itu. Kapankah mereka yang sedang
menderita dapat memiliki kebahagiaan? Ajaran para rabi Yahudi sangat jelas,
mereka yang disebut berbahagia adalah orang Yahudi yang taat, sehat, kaya dan
makmur sebagai tanda berlimpahnya berkat Allah. Para pemimpin Yahudi terkejut
dengan pelayanan yang dilakukan Yesus. Ia melayani pendosa dan non Yahudi,
orang-orang kecil yang terpinggirkan. Seolah Yesus berkata, “Semua orang
diterima dalam Kerajaan Allah.” Itulah Injil!
Orang-orang Israel yang rapuh, berdosa dan jahat datang kepada Yesus.
Mereka menaiki atap, memanjat pohon, dan berkumpul untuk dapat melihat-Nya.
Mereka seakan tahu bahwa Yesus sedang menawarkan sebuah harta dan membagikannya
secara Cuma-Cuma kepada semua orang yang mengelilingi Galilea dan memberi tahu
semua orang bahwa Allah mengasihi mereka. Itulah Injil! Ucapan Bahagia bukanlah
peraturan-peraturan atau syariat tambahan melainkan ucapan-ucapan harapan dan
kesembuhan bagi mereka yang marjinal.
Berbahagialah! Tiap kalimat dimulai dengan kata “Berbahagialah”,
kata Yunani yang dipergunakan adalah makarios.
Makarios memiliki arti “benar-benar
baik” atau “mereka yang kepadanya diberikan segala sesuatu yang baik. Apa yang
diajarkan Yesus menjadi sangat kontras bahkan berlawanan dengan pandangan umum
para pemimpin Yahudi karena Yesus melihat kepada kumpulan orang-orang yang
putus asa, sedih, rapuh dan dihakimi lalu memanggil mereka sebagai makarios!
Mereka yang disebut dalam Ucapan Bahagia tidaklah serta-merta diberkati
hanya karena mereka sudah memenuhi syarat-syarat itu. Mereka diberkati hanya karena Yesus sendiri mau memberkati mereka.
Mereka memiliki harapan karena Kerajaan Allah tersedia bagi orang-orang seperti
mereka. Matt Johnson mengatakan, “Ucapan Bahagia adalah pengajaran yang tidak
memberikan kekuasaan, harga diri, atau harta.” Yesus membuka Khotbah di Bukit
dengan pengajaran yang radikal bahwa orang-orang yang malang itu turut di
undang dalam Perjamuan Agung. Mereka tidak serta merta diberkati hanya karena
mereka miskin di hadapan Allah. Syarat kemiskinan ini tidak penting, yang
terpenting adalah bahwa mereka tidak terpisah dari Allah. Situasi kehidupan –
dalam hal ini kemiskinan, dukacita, teraniaya – tidak menghalangi mereka untuk
dapat masuk dalam Kerajaan Allah.
Kebanyakan dari ajaran Yesus bertentangan dengan konsep umum di
masyarakat (Kamu sudah mendengar bahwa….Tetapi
Aku berkata kepadamu…”). Ucapan Bahagia juga begitu. Kondisi yang Yesus
sampaikan dalam Ucapan Bahagia secara umum dianggap sebagai kemalangan. Ucapan
Bahagia menjadi radikal karena berisi ajaran bahwa orang-orang malang seperti
mereka bisa masuk dalam Kerajaan Allah sama seperti orang kaya dan mereka yang
disebut bahagia. Pertanyaannya kemudian, “Bagaimana jika saya tidak miskin,
menderita, dukacita dan teraniaya, apakah saya masih bisa masuk dalam Kerajaan
Allah?” Atau, “Jika saya sekarang sudah bahagia, apakah masih ada penghiburan
buat saya?” Tentu saja, Yesus tidak menyinggung mereka yang sudah mapan karena
kita tahu bahwa mereka sudah bahagia. Namun, sebelum Yesus mengucapkan
perkataan ini, mereka tidak tahu apabila si miskin, berduka, teraniaya dan
terpinggirkan itu memiliki kesempatan yang sama di hadapan Allah. Itulah Injil!
Dalam Ucapan Bahagia versi Lukas, Yesus mengatakan, “Tetapi celakalah kamu yang kaya, karena
dengan kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu. Celakalah kamu, yang
sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar. Celakalah kamu yang sekarang ini
tertawa, karena kamu akan berdukacita dan menangis.” (Lukas 6:24-25). Yesus
memperingatkan mereka bukan karena Allah tidak suka dengan orang kaya, berpuas
diri atau bahagia. Tetapi lebih karena sering kali orang yang kaya, bepuas dir
dan berbahagia merasa bahwa mereka tidak membutuhkan lagi pertolongan Allah.
Kekayaan, kuasa dan harta dapat dengan
mudah membuat kita lupa untuk bergantung kepada Allah. Orang kaya haruslah
memerhatikan orang miskin. Makan makanan mewah ketika ada orang lain yang tidak
dapat makan seharusnya membuat kita mengevaluasi diri. Mengejar kenikmatan
dunia yang penuh dengan kesakitan seharusnya membuat para pengikut Yesus merasa
tidak nyaman.
Allah tidak melarang kita makan makanan enak atau mencari kesenangan,
tetapi kita harus merenungkannya dalam-dalam mengenai keputusan yang kita ambil
– apa dan seberapa banyak kita membeli, apa yang sebenarnya penting – karena kita
hidup dalam dunia yang tidak seimbang. Menutup rekening bank dan menyumbangkan
semua uang kita kepada lembaga amal atau berhenti makan dan memiskinkan diri
bukanlah sebuah solusi. Peringatan Yesus yang keras didasarkan kepada kasih. Dia
tahu bahwa kita mencari penghiburan melalui kekayaan dan perut yang kenyang.
Kita juga mencampuradukan sukacita dan kenikmatan. Ketika segala sesuatunya
terasa baik-baik saja, kita cenderung merasa bahwa kita tidak memerlukan Allah.
Ketika orang kaya, mapan dan bahagia berbagi dengan mereka yang tidak punya,
maka mereka akan menemukan kepuasan yang sejati.