Untuk menggaet pemilih, pada umumnya setiap partai
politik melakukan pelbagai macam cara. Citra harus dibangun, agar khalayak
percaya bahwa mereka punya kemampuan, komitmen, dan program yang baik untuk
membangun kesejahteraan bersama. Agar dapat dipercaya, mereka juga menggelar pakta
integritas. Beberapa waktu yang lalu ada partai politik yang menuntut seluruh
kadernya untuk menandatangani pakta integritas bahwa mereka tidak akan
melakukan tindakan korup ketika dipercaya menjadi pejabat publik atau pejabat pemerintah.
Bahkan, jargon iklannya pun tegas-tegas menolak korupsi. Nyatanya, janji
tinggal janji, pakta integritas hanya tinggal secarik kertas. Kini, publik
melihat beberapa orang yang menjadi bintang iklan menolak korupsi, justeru
meringkuk di penjara karena tersandung kasus korupsi.
Senada-seirama, setiap pejabat publik atau pejabat
negara ketika akan memulai kariernya, mereka disumpah. Isi sumpahnya sudah
teramat gamblang, yakni akan sungguh-sungguh mengabdi dan setia kepada bangsa
dan negara serta menolak segala bentuk korupsi. Nyatanya, begitu banyak sumpah
dilanggar demi memperkaya diri dan kerabatnya. Begitu pula dalam sidang pengadilan,
sumpah kerap kali dilanggar, betapa pun sumpah itu dilakukan di bawah kitab
suci! Pernyataan, pakta integritas dan sumpah pada akhirnya tidak hanya
kehilangan makna tetapi juga mempermalukan diri sendiri apabila si pelakunya
tidak dengan setia menjalaninya.
Bagaimana dalam kehidupan spiritual keagamaan? Apakah
selalu sejalan antara apa yang diucapkan dengan apa yang dilakukan? Ternyata,
untuk menyelaraskan pernyataan iman verbal dengan apa yang dilakukan
sehari-hari tidaklah mudah. Banyak orang mengaku dirinya beriman, telah
dibaptiskan dan dalam peristiwa baptisan itu menyatakan tekad, janji kesediaan
untuk mengikut Tuhan dalam suka dan duka serta melakukan apa yang diyakininya
sebagai kebenaran. Nyatanya? Banyak di antara kita yang gagal atau justeru
memilih untuk tidak melakukan komitmen semula. Kita dapat bercermin, apakah
Tuhan gembira dengan prilaku seperti itu?
Dalam hubungannya dengan Tuhan, kira-kira apa yang
dirindukan oleh Tuhan dan orang percaya? Apa yang Anda dan saya kehendaki dari
Tuhan? O, tentu setiap orang punya harapannya sendiri. Ada yang menginginkan
kehidupannya selalu diberkati. Ada pula yang menginginkan Tuhan segera hadir
ketika kita menghadapi masalah, entah itu krisis keuangan, kesehatan, konflik
rumah tangga dan sebagainya. Namun, rasanya tidak berlebihan bila kita
simpulkan bahwa satu hal yang kita rindukan dari Tuhan dan Tuhan inginkan dari
kita adalah kehidupan kita berkenan kepada-Nya. Sebab dengan Tuhan berkenan
terhadap kita, akan dengan sendirinya Ia menyertai, memberkati dan memberikan
pertolongan-Nya.
“Berkenan”, dari kata dasar “kenan”, Kamus Bahasa
Indonesia mengartikannya: I. merasa
senang (suka, sudi, setuju), 2. Dengan
senang hati. Sungguh luar biasa jika hidup kita membuat Allah merasa
senang, setuju, sudi pendek kata segala apa yang kita kerjakan disukai Tuhan.
Bukankah tujuan di atas segala tujuan, kita sebagai ciptaan adalah menyenangkan
Sang Pencita?
Bagaimana caranya agar kehidupan kita dapat
menyenangkan Tuhan? Cukupkah hanya mengaku percaya, dibaptiskan, memberikan
persembahan dan menjalani ritual ibadah yang ditetapkan gereja? Dalam Alkitab
banyak mengajarkan bagaimana kehidupan kita dapat berkenan kepada Tuhan. Benar,
ibadah dan segala aspek ritual yang terkandung di dalamnya merupakan sarana
atau cara kita dapat menyenangkan hati Tuhan. Tetapi Alkitab juga mengajarkan
bahwa segala macam ritual ibadah, persembahan dan doa-doa manusia dapat
berkenan kepada Allah hanya kalau orang yang melakukannya itu berkenan
kepada-Nya. Penerimaan korban persembahan Habel membuktikan bahwa karakter
Habel telah menyukakan hati Allah terlebih dahulu. Melalui korban
persembahannya “ia memperoleh kesaksian
bahwa ia benar karena Allah berkenan akan persembahannya” (Ibrani 11:4).
Sebaliknya, Kain juga diberi peringatan, bahwa korban persembahannya akan
diindahkan apabila kehidupannya berkenan kepada Tuhan ( Kejadian 4:7).
Ada begitu banyak kesaksian para nabi dalam Perjanjian
Lama yang tidak segan mencemooh pemikiran manusia, termasuk di dalamnya para
raja dan imam-imam yang membayangkan bahwa Allah dapat disuap oleh korban
persembahan dan kemeriahan dalam ibadah, agar Allah berkenan kepada mereka.
Tidak! Bagi Allah, persembahan itu berkenan kepada-Nya, hanya jika kehidupan
manusia itu berkenan kepada-Nya, yakni dengan menjalankan apa yang
dikehendaki-Nya. Contohnya bisa kita lihat dalam Hosea 8:13, “Mereka mencintai korban sembelihan: mereka
mempersembahkan daging dan memakannya; tetapi TUHAN tidak berkenan kepada
mereka. Sekarang Ia akan mengingat kesalahan mereka; mereka harus kembali ke
Mesir!”
Ternyata untuk menyenangkan hati Tuhan tidak bisa kita
memisahkan antara prilaku sehari-hari dengan ritual ibadah di gereja. Tidak
bisa hanya dengan sekali dibaptis atau mengaku percaya kemudian segalanya
menjadi beres dan berkenan kepada-Nya. Melainkan dengan rasa hormat dan takut
akan Dia, dalam segala aspek kehidupan kita mengerjakan kehendak-Nya. Allah
tidak memandang dari ras dan bangsa mana seseorang dapat berkenan kepada-Nya. “Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut
akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.” (Kisah Para
Rasul 10:35) Kata “berkenan” dalam ayat ini diterjemahkandari kata (: diterima / accepted, acceptable). Jadi,
Allah menerima siapa saja yang mengerjakan semua kehendak-Nya.
Dalam Alkitab hanya Yesus yang secara gamblang
dinyatakan sebagai orang yang berkenan kepada Allah. Peristiwa itu terjadi
dalam peristiwa baptisan di sungai Yordan oleh Yohanes. Yohanes menyerukan
pertobatan kepada seluruh Israel dan Yehuda. Hanya dengan cara itulah kehidupan
mereka akan kembali berkenan kepada Allah. Hadir di antara mereka orang Farisi
dan Saduki yang merasa diri berasal dari keturunan umat istimewa. Tampaknya,
Yohanes tidak peduli. Bertobat! Hanya itulah satu-satunya kemungkinan Allah
berkenan. Namun, bagaimanakah dengan Yesus? Apakah Dia juga berdosa sehingga
harus dibaptiskan juga? Perasaan rikuh dan tidak layak yang tampak dari Yohanes
mencerminkan bahwa pembaptisan yang dilakukan Yesus bukanlah karena Yesus
berdosa lalu harus disucikan. Melainkan, Yesus menyadari bahwa inilah yang
kehendaki Bapa dan Ia kini menggenapinya (Matius 3:15). Lagi pula, sepertinya
Yesus mendukung dengan apa yang dilakukan Yohanes dalam gerakan pertobatan
nasional. Dalam momen inilah, ketika Yesus selesai dibaptis terdengar suara
dari langit, “Inilah Anak-Ku yang
kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” (Matius 3:17)
Kata yang dipergunakan ευδοκησα
kata kerja dalam bentuk orisrt active
indicative, first person singular dari kata dasar ευδοκεω leksikon Yunani menerangkan kata tersebut dengan:
1.It seems good
to one, is one’s good pleasure a) think it good, choose, determine, decide b)
to do eillingly c) to be ready to, to prefer, choose rather
2. to be well
pleased with, take pleasure in, to be favourably inclined towrd one
Ketika Allah Bapa menyatakan kepada khalayak ramai di
sungai Yordan bahwa Dia berkenan (memilih, menentukan, memutuskan dengan senang)
jelas bukan karena pembaptisan itu sendiri, melainkan lebih karena memang
Yesuslah yang telah dan akan terus menyenangkan hati Bapa seumur hidup-Nya. Dengan
demikian baptisan, dalam peristiwa ini hanyalah sebagai tanda atau momentum di
mana pernyataan Allah Bapa itu diperdengarkan.
Lalu, apakah baptisan itu menjadi tidak penting? Tidak
juga! Bagi Yesus, baptisan-Nya di sungai Yordan justeru menjadi penting oleh
karena di situlah Allah meneguhkan diri-Nya untuk menjalani misi di dunia ini.
Dan bagi dunia, peristiwa itu menjadi bermakna oleh karena melalui Yesuslah
kehidupan yang berkenan itu secara gamlang dapat terlihat, terasa, dan dialami
dalam kesehari kehidupan. Baptisan bukan sekedar tanda harfiah atau riutual
keagamaan yang hampa makna.
Bagi kita, baptisan menjadi bermakna apabila kita mau
belajar dari peristiwa baptisan Yesus sendiri. Apakah kita memaknainya bahwa
pada saat dibaptis, di situlah Allah meneguhkan kita untuk hidup setia dan
beribadah kepada-Nya. Pada pihak lain kita menyambutnya dengan bertekad untuk hidup
menyenangkan hati Tuhan setiap hari?
Kita dapat mengingat benang merah ritual ibadah dari Perjanjian Lama: bukan
kemeriahan ibadah atau baiknya hewan persembahan yang diberikan kepada Allah,
yang menentukan Allah berkenan, melainkan prilaku hidup dan karakter baik
seseorang yang membuat persembahan itu diindahkan oleh Allah.
Cara, tempat, dan oleh siapa kita dibaptis bukan yang
menjadi penentu kehidupan kita berkenan kepada Allah. Melainkan, bagaimana kita
hidup: Apakah memberlakukan firman-Nya atau tidak!