Sabtu, 31 Desember 2016

BERKARYA KEBAIKAN BAGI MASA DEPAN

Selamat Tahun Baru! Barangkali kalimat inilah yang paling banyak kita dengar dan kita lihat. Bisa jadi kita pun sudah cukup bosan mengucapkan dan menuliskan dalam status media sosial kita. Kecuali, perubahan tanggal, bulan dan tahun yang telah disepakati oleh masyarakat dunia, apanya yang baru? Toh, hari-hari bergulir seperti biasa. Kita bangun pagi sampai terbenamnya matahari dan kembali dalam dekapan malam, melakukan segala aktivitas hampir sama seperti hari-hari kemarin. Tidak ada yang baru, kata Pengkhotbah! “Yang sekarang ada dulu sudah ada, dan yang akan ada sudah lama ada; dan Allah mencari yang sudah lalu.” (Pengkhotbah 3:15).

Kalau demikian buat apa kita merayakan Tahun Baru? Benar, pergantian hari dari tanggal 31 Desember ke 1 Januari sama saja seperti pergantian hari-hari yang lain di sepanjang tahun. Menjadi berbeda oleh karena pada tanggal tersebut banyak negara menyatakan hari libur nasional dan kemudian dipakai sebagai penanda sebuah kurun waktu 365 hari atau satu tahun. Namun meskipun demikian, bagi orang percaya setiap momen pergantian waktu pasti ada maknanya. Pada peristiwa inilah kita disadarkan kembali akan ketidak berdayaan kita berhadapan dengan sang waktu. Tidak ada seorang pun yang dapat menghentikan bergulirnya sang waktu. Suka atau tidak, waktu akan terus bergulir.

Momentum pergantian kurun waktu satu tahun bagi orang percaya dapat dipergunakan sebagai saat merenungkan, tafakur akan segala peristiwa yang telah dialami sambil mengimani bahwa dalam setiap detik itulah TUHAN bekerja, memelihara, menyertai dan memberkati. Ia memberi pelbagai kesempatan untuk kita pergunakan dengan sebaik-baiknya. Ketika dengan cermat kita melihat kembali perjalanan hidup kita, sangat mungkin kita juga akan menemukan bahwa dalam setiap kesempatan Allah memberikan pelbagai kebaikan. Sehingga waktu-waktu yang kita jalani menjadi indah. “Segala sesuatu indah pada waktunya!” Begitu kata Pengkhotbah 3:11. Jadi, dalam pandangan yang seolah pesimis, Pekhotbah mau mengajak kita untuk melihat segala sesuatu yang kita jalani lewat rutinitas sehari-hari (kronologi), ternyata TUHAN memberikan kesempatan (kairos) untuk kita gunakan dengan baik. Dalam kronos, Ia memberikan kairos hingga segala sesuatu indah pada waktunya.

Indah pada waktunya”, kata Ibrani yang digunakan untuk “indah” dalam Pekhotbah 3:11 adalah yafe, bukan  kata tov seperti dalam kisah penciptaan yang mengungkapkan segala sesuatu diciptakan dengan sungguh amat baik; sungguh indah. Tov biasanya bermakna etis atau estetis. Sedangkan yafe mempunyai nuasa yang berbeda. Penggunaan kata yafe menunjukkan kedekatan penulis Pekhotbah (kohelet) dengan pemahaman Yunani mengenai kehidupan ini. Allah membuat segala sesuatu indah pada waktunya sesuai dengan rancangan-Nya. Ketika TUHAN merancangkan segala sesuatu terhadap umat-Nya, bisa jadi umat tidak mengalami kenyamanan. Hal ini sama seperti orang tua yang mendidik dan menggemleng anaknya. Dalam tradisi Yahudi, bisa saja ada teguran, kemarahan dan pukulan, tujuannya si anak akan tumbuh menjadi anak yang baik. Tentu pada waktu menerima gemlengan itu si anak tidak merasa nyaman (bnd. Ibrani 12:10,11). Namun, di ujungnya si anak akan merasakan keindahan. Jadi, indah pada waktunya (yafe) dapat kita simpulkan, sesuatu yang manis dan menyenangkan dapat kita nikmati dalam kehidupan kita setelah melalui masa-masa yang sulit. Hal ini mirip-mirip seperti kita menikmati adegan sebuah drama happy ending. Bisa saja di awal cerita sang tokoh utama begitu banyak diterpa pergumulan, dimusuhi dan begitu menderita. Namun, di akhir cerita ia dapat tersenyum, karena dapat berakhir dengan manis!

Dalam kehidupan manusia konsep yafe merupakan keindahan atau tepatnya kebahagiaan yang sesungguhnya. Orang yang menghayati segala sesuatu indah pada waktunya akan merasakan dan mengalami di penghujung kehidupannya ia akan tersenyum lebar oleh karena melihat seluruh rangkaian kehidupannya (meskipun banyak pergumulan) dapat diakhirinya dengan manis. Ya, saat itulah ia melihat rancangan TUHAN yang begitu sempurna dalam kehidupannya.

Hidup ini tidak langgeng, pasti akan segera berakhir. Bagaimanakah akhir kehidupan kita? Kecuali TUHAN, tak satu pun di antara kita tahu. Yang jelas kehidupan pada saat ini akan sangat menentukan akhir hidup kita. Sebagai umat Allah, kita percaya bahwa di penghujung kehidupan kita akan terjadi sebuah penghakiman yang menentukan apakah kita termasuk orang yang mendapatkan kebahagiaan atau tidak; apakah hidup kita berakhir dengan keindahan yang manis atau sebaliknya. Jauh-jauh hari, Yesus sudah mengingatkan kepada kita tentang penghakiman terakhir itu, salah satunya apa yang tercatat dalam Matius 25:31-46. Di hari penghakiman itu, manusia akan dipisahkan dalam dua kelompok : domba atau kambing. Pembagian kelompok ini terkait dengan tindakan atau pekerjaan yang dilakukan seseorang semasa hidupnya. Apa yang kita lakukan selama hidup ini akan dinilai: apakah kita telah memanusiakan sesama, bahkan yang dianggap paling hina atau mengabaikannya dengan sama sekali tidak memedulikannya.

Dari sejak lahir sampai TUHAN memanggil kita, TUHAN telah memberikan sebuah kurun waktu (kronos) kehidupan. Di dalam kronos kehidupan kita, TUHAN berulang kali memberikan kesempatan (Kairos) untuk kita dapat menyatakan cinta kasih dan kepedulian kita terhadap sesama. Di sinilah terdapat pilihan buat kita: menggunakan kesempatan itu dengan menyalurkan kebaikan TUHAN atau menahan berkat TUHAN itu untuk diri sendiri? Atas pilihan itu kita kelak dihakimi! Waktu yang singkat ini, jika kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya maka kita akan menikmati kehidupan yang kekal (aion: waktu keabadian) dalam langit baru dan bumi yang baru di mana Allah berkenan hadiir di tengah-tengah umat-Nya.

Jika kita diberi kesempatan memasuki tahun baru ini, ingatlah tidak setiap tahun menjadi kesempatan. Tidak ada jaminan tersedia kesempatan dalam kehidupan kita, sebab aka nada akhir dari kehidupan kita. Oleh karenanya pakailah kesempatan yang ada ini dengan selalu berbuat dan engerjakan kebajikan seperti apa yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh Yesus.

30 Desember 2016

Kamis, 29 Desember 2016

BIJAKSANA DAN BERLAKU ADIL

Seminggu yang lalu kita merayakan Natal dengan tema : Natal Yang Manis (versi buku : Dian Penuntun, Rancangan Khotbah Leksionari GKI). Ironisnya, justeru dalam tahun 2016 kehidupan masyarakat dunia tidak dalam kondisi manis. Harian Kompas (29/12) dalam rubrik Internasional menurunkan headline “Era Pahit Kemanusiaan”. Lebih lanjut, Kompas menulis (disertai gambar-gambar):
               
Dalam hitungan jam, tahun 2016 akan segera berlalu. Dunia mencatat, 2016 bukanlah era yang manis bagi kemanusiaan. Perang yang tak kunjung henti di Suriah, Irak, Afganistan, dan sejumlah negara di Afrika mendorong gelombang pengungsi paling besar sejak Perang Dunia II. Jutaan pengungsi mengalir ke negara-negara Eropa, menimbulkan krisis di banyak negara yang dituju. Ratusan nyawa pengungsi melayang sia-sia dalam upaya mencari kedamaian di negeri lain, terutama mereka yang menyambung nyawa lewat Laut Mediterania menuju Itali. Lebih dari 150 pengungsi asal sub-Sahara terperangkap di sebuah perahu karet yang penuh sesak dalam upaya mereka menyeberang ke Eropa melalui lepas pantai Libya menuju Laut Mediterania.

Perang juga menimbulkan penderitaan panjang bagi yang tercecer di negeri yang membara. Sebuah keluarga di sebuah kuburan yang sudah dihancurkan oleh milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), di Qaraya, sekitar 50 kilometer sebelah selatan Mosul, Irak.

Selain perang, rasa kemanusian pun terkoyak oleh sejumlah bencana alam yang melanda pada tahun 2016, seperti yang terjadi di Haitti yang diterjang oleh topan Matthew pada Oktober 2016. Dunia juga terkejut karena rakyat Amerika akhirnya memilih Donald Trump sebagai peresiden mereka ketimbang Hilary Clinton. Di belahan bumi lain, sebagian rakyat Inggris menyesali hasil referendum yang membuat negeri mereka bercerai dengan Uni Eropa, Juni lalu. Bagi sebagian rakyat Inggris, keputusan itu merupakan keputusan yang keliru.

Tentu ulasan di atas hanya secuil saja dari pelbagai kisah tragis di dunia, termasuk di negeri tercinta Indonesia yang dihantui oleh bahaya perpecahan NKRI yang dipicu oleh sentimen berbau Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA). Di sinilah kita menyaksikan perang opini, saling menghujat dan wajah-wajah radikal penganut agama bermunculan. Agama yang seharusnya memberi kedamaian, dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, kini berubah rupa menjadi intoleran, bengis, dan garang.

Belum lagi persoalan pribadi dan keluarga kita. Bisa saja benar seperti ulasan Kompas, kepahitan hidup sedang melanda kita. Barangkali 2016 adalah tahun di mana kita harus melepas pergi orang yang kita kasihi untuk selamanya. Atau kita divonis sakit yang mematikan. Bisa juga kita menjadi orang yang menderita akibat tekanan, intimidasi, keserakahan dan tindakan kejahatan orang lain. Sanggupkah tema Natal Yang Manis itu menjawab semua kepahitan hidup yang kita dan dunia ini alami? Ataukah hanya sebatas tema isapan jempol belaka?

Tragedi dan kepahitan hidup manusia dan alam raya ini tentu terjadi bukan karena kebetulan. Ada yang kita yakini sebagai peringatan dari Yang Ilahi supaya kita berbenah dari segala tindak prilaku yang buruk. Namun, lebih banyak lagi disebabkan oleh karena kedegilan manusia. Manusia dikuasai oleh nafsu pementingan diri sendiri, tidak dapat berlaku adil dan bijaksana. Cobalah kita renungkan tragedi dan kepahitan manusia; perang dan penindasan, pengrusakan alam dan bencana kemanusiaan, bukankah itu semua bersumber pada kerakusan, kesombongan dan keegoisan manusia? Manusia yang tidak memberlakukan keadilan dan hikmat Allah!
Sulit memang mendefinisikan kata adil dan bijaksana. Ada berbagai pandangan terhadap terminologi adil dan bijaksana. Masing-masing punya argumen sesuai dengan latar belakang dan kajian hikmat yang dianutnya. Adil menurut saya bisa jadi berbeda menurut Anda. Bijaksana menurut Anda mungkin saja berlainan dengan pandangan mereka. Meski bermacam-macam definisi adil dan bijaksana mestinya ada hal yang menyatukan sehingga jika seseorang berlaku adil, semua akan mengakuinya. Demikian pula ketika ia disebut bijaksana, maka akan terlihat dari tindakkannya dan orang yang menyaksikannya akan mengakui bahwa ia adalah seorang yang bijaksana.

Salomo dikenal sebagai Raja yang adil dan bijaksana. Tentu sebutan yang harum itu didukung oleh sikapnya dalam memutuskan perkara yang pelik dan dramatis. 1 Raja-raja 3 :16-28, mengisahkan bagaimana Salomo menentukan siapa yang berhak menjadi ibu yang sesungguhnya atas anak yang diperebutkan. “Ketika seluruh orang Israel mendengar keputusan hukum yang diberikan raja, maka takutlah mereka kepada raja, sebab mereka melihat, bahwa hikmat dari pada Allah ada dalam hatinya untuk melakukan keadilan.” (1 Raja-raja 3:28). Sangat mungkin, masih banyak perkara-perkara pelik dan mengandung jebakan yang dapat diselesaikan dengan adil dan bijaksana oleh Salomo ini.

Hikmat Allah menuntun Salomo untuk bertindak bijaksana dan memberlakukan keadilan Allah. Berhikmat dalam konteks Salomo, adalah mengambil keputusan yang adil untuk masalah yang tepat, dengan cara yang tepat, dan pada waktu yang tepat. Orang Israel percaya bahwa hikmat seperti itu bukan datang dari kemampuan manusia, melainkan bersumber dari Allah sendiri. Benar, Salomo punya hikmat seperti itu oleh karena sebelumnya itulah yang dia minta kepada Allah (1 Raja-raja 3:1-15). Suatu ketika Salomo memberikan seribu korban bakaran di bukit Gibeon (bukit pengorbanan yang terbesar pada masa itu). Di situlah TUHAN menampakkan diri kepada Salomo dalam mimpi. Firman-Nya,”Mintalah apa yang hendak kuberikan kepadamu”. Salomo tidak memakai tawaran TUHAN ini sebagai kepuasan untuk dirinya: ia tidak meminta kekuasaan yang berlipat ganda atau materi yang berlimpah-limbah bahkan ia pun tidak meminta umur panjang dan kesehatan. Sebaliknya, Salomo berkata, “Maka berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat-Mu yang sangat besar ini?” (1 Raj-3:9). Salomo meminta hikmat agar ia bijaksana dalam memberikan keadilan! Ternyata, TUHAN mengapresiasi permintaan Salomo dan kemudian TUHAN memberikan kemuliaan kepada Salomo.

Kisah Salomo mengajarkan bahwa hikmat itu datangnya dari TUHAN. TUHAN memberikan kepada setiap orang yang memintanya dengan sungguh, dengan maksud bukan untuk kepentingan sendiri, seperti popularitas dan meraih kekayaan serta kuasa bagi diri sendiri. Melainkan untuk kepentingan dan keadilan orang banyak. Untuk memberlakukan keadilan Allah bagi semua ciptaan-Nya. Salomo telah mendapat hidayyah dari Allah. Hatinya diliputi oleh terang yang bersumber dari terang ilahi. Ia tidak keliru atau terkecoh dalam memutuskan perkara rumit meskipun perkara itu berada di wilayah abu-abu atau gelap sekali pun. Karena terang yang sesungguhnya telah ia miliki.  

Banyak perkara dalam kehidupan kita yang berada dalam area “abu-abu” atau “hitam pekat”. Bercampur-baur antara keinginan egosentrime kita dengan kondisi keadilan Allah yang harus diwujudnyatakan. Seringkali kita terjebak dalam subyektifitas diri: seolah-olah yang kita lakukan adalah benar, adil dan bijaksana, padahal di sisi lain dapat merugikan orang atau pihak lain. Di sinilah kita harus bersikap seperti Salomo. Dengan segala kerendahan hati memohon hikmat agar Terang Yang Ilahi itu menuntun kita untuk dapat melakukan tindakan bijaksana dan adil.

Salomo, memberikan seribu korban bakaran dan TUHAN berkenan menjumpainya. Kini, Allah di dalam Kristus pun berkenan menjumpai setiap kita. Ia melakukan tawaran yang sama seperti kepada Salomo. Ia mengatakan, “Akulah terang dunia; barang siapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup.” (Yohanes 8:12). Pernyataan diri Yesus ini sudah dinyatakan sejak dari awal Injil Yohanes ditulis. Yesus dinyatakan sebagai terang bagi bangsa-bangsa (Yoh.1:4). Terang itu menjadi terang hidup karena menyelamatkan manusia dari kegelapan dan kematian. Yesuslah terang dunia yang membawa keselamatan itu. Setiap orang yang berjalan di dalam dan bersama Dia, tidak akan berjalan dalam kegelapan.

Apa yang terjadi dengan orang-orang Farisi yang mendengar-Nya? Mereka menolak dengan mengatakan bahwa kesaksian Yesus tidak sah karena bersaksi mengenai diri-Nya sendiri. Namun, Yesus mengatakan bahwa kesaksian-Nya adalah sah karena  Ia bersama-sama dengan Sang Bapa yang menyaksikannya kepada dunia ini. Namun, tampaknya orang-orang Farisi tidak puas dengan argument yang disampaikan Yesus. Persoalannya karena orang-orang Farisi itu hanya melihat Yesus sebagai manusia biasa. Mereka tidak mengerti bahwa Yesus dan Bapa adalah satu. Oleh karena itu mereka bertanya kepada Yesus, “Di manakah Bapa-Mu?” Mungkin ini mirip-mirip pertanyaan sekarang, “Koq Tuhan beranak?”

Sudah berulangkali Yesus menyatakan identitas dan asul-usul diri-Nya. Berkali-kali Ia menjelaskan bahwa Ia datang dari Bapa karena diutus oleh Bapa. Namun, demikian hubungan erat antara Yesus dan Bapa itu tidak dimengerti oleh lawan-lawan bicara-Nya. Oleh karena itu, ketika Ia berkata Bapa memberi kesaksian tentang diri-Nya, orang menanyakan, “Di manakah Bapa-Nya itu.” Pertanyaan ini adalah sebuah pertanyaan legalis. Kalau seseorang mengatakan bahwa orang lain bisa memberikan kesaksian tentang dirinya, orang itu harus bisa menghadirkan orang yang dimaksudnya itu. Kalau Yesus mengatakan bahwa Bapa bersaksi tentang Dia, Yesus juga harus dapat membawa Bapa itu ke hadapan mereka.

Jawaban Yesus masih menekankan kembali kesatuan-Nya dengan Bapa. Orang-orang tidak mengenal baik Anak maupun Bapa. Seandainya mereka mengenali identitas sejati Yesus, mereka akan mengenali Bapa juga. Dengan menolak Yesus, mereka menolak Bapa yang mengutus-Nya dan dengan demikian mereka tidak pernah mengenal Sang Bapa. Hal ini kelak akan dinyatakan kembali kepada Filipus yang meminta kepada-Nya agar Ia menunjukkan Bapa kepadanya. Kepada Filipus, Yesus menjawab, “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami. Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakana kepadamu, tidak Aku katakana dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.” (Yohanes 14:9-10)

Terang itu telah menjadi Manusia. Ia mengajarkan dan memberi contoh tentang hikmat yang sesungguhnya supaya manusia bisa hidup bijaksana, memberlakukan keadilan Allah di dunia ini. Sehingga dengan demikian setiap orang percaya dimampukan untuk menjawab tantangan kepahitan dunia yang miskin belarasa ini dengan memberlakukan belarasa cinta kasih Allah akan dunia ini. Kepahitan dunia tidak semestinya ditanggapi dengan penyesalan dan kekecewaan, justeru di sinilah TUHAN menghadirkan Anda dan saya untuk meneruskan belarasa dan keadilan Allah. Inilah jawaban dari kepahitan hidup dengan Natal yang manis itu! Kita sambut tahun baru dengan tekad dan komitmen untuk hidup memberlakukan hikmat dan keadilan-Nya.

Jakarta 29 Desember 2016