Selamat Tahun
Baru! Barangkali kalimat inilah yang paling banyak kita dengar dan kita lihat.
Bisa jadi kita pun sudah cukup bosan mengucapkan dan menuliskan dalam status
media sosial kita. Kecuali, perubahan tanggal, bulan dan tahun yang telah
disepakati oleh masyarakat dunia, apanya yang baru? Toh, hari-hari bergulir
seperti biasa. Kita bangun pagi sampai terbenamnya matahari dan kembali dalam
dekapan malam, melakukan segala aktivitas hampir sama seperti hari-hari
kemarin. Tidak ada yang baru, kata Pengkhotbah! “Yang sekarang ada dulu sudah ada, dan yang akan ada sudah lama ada; dan
Allah mencari yang sudah lalu.” (Pengkhotbah 3:15).
Kalau demikian
buat apa kita merayakan Tahun Baru? Benar, pergantian hari dari tanggal 31
Desember ke 1 Januari sama saja seperti pergantian hari-hari yang lain di
sepanjang tahun. Menjadi berbeda oleh karena pada tanggal tersebut banyak
negara menyatakan hari libur nasional dan kemudian dipakai sebagai penanda
sebuah kurun waktu 365 hari atau satu tahun. Namun meskipun demikian, bagi orang
percaya setiap momen pergantian waktu pasti ada maknanya. Pada peristiwa inilah
kita disadarkan kembali akan ketidak berdayaan kita berhadapan dengan sang waktu. Tidak ada seorang pun yang dapat
menghentikan bergulirnya sang waktu.
Suka atau tidak, waktu akan terus bergulir.
Momentum
pergantian kurun waktu satu tahun bagi orang percaya dapat dipergunakan sebagai
saat merenungkan, tafakur akan segala
peristiwa yang telah dialami sambil mengimani bahwa dalam setiap detik itulah
TUHAN bekerja, memelihara, menyertai dan memberkati. Ia memberi pelbagai
kesempatan untuk kita pergunakan dengan sebaik-baiknya. Ketika dengan cermat
kita melihat kembali perjalanan hidup kita, sangat mungkin kita juga akan menemukan
bahwa dalam setiap kesempatan Allah memberikan pelbagai kebaikan. Sehingga
waktu-waktu yang kita jalani menjadi indah. “Segala
sesuatu indah pada waktunya!” Begitu kata Pengkhotbah 3:11. Jadi, dalam
pandangan yang seolah pesimis, Pekhotbah mau mengajak kita untuk melihat segala
sesuatu yang kita jalani lewat rutinitas sehari-hari (kronologi), ternyata TUHAN memberikan kesempatan (kairos) untuk kita gunakan dengan baik.
Dalam kronos, Ia memberikan kairos hingga segala sesuatu indah pada
waktunya.
“Indah pada waktunya”, kata Ibrani yang
digunakan untuk “indah” dalam Pekhotbah 3:11 adalah yafe, bukan kata tov seperti dalam kisah penciptaan yang
mengungkapkan segala sesuatu diciptakan dengan sungguh amat baik; sungguh
indah. Tov biasanya bermakna etis
atau estetis. Sedangkan yafe
mempunyai nuasa yang berbeda. Penggunaan kata yafe menunjukkan kedekatan penulis Pekhotbah (kohelet) dengan
pemahaman Yunani mengenai kehidupan ini. Allah membuat segala sesuatu indah
pada waktunya sesuai dengan rancangan-Nya. Ketika TUHAN merancangkan segala
sesuatu terhadap umat-Nya, bisa jadi umat tidak mengalami kenyamanan. Hal ini
sama seperti orang tua yang mendidik dan menggemleng anaknya. Dalam tradisi
Yahudi, bisa saja ada teguran, kemarahan dan pukulan, tujuannya si anak akan
tumbuh menjadi anak yang baik. Tentu pada waktu menerima gemlengan itu si anak
tidak merasa nyaman (bnd. Ibrani 12:10,11). Namun, di ujungnya si anak akan
merasakan keindahan. Jadi, indah pada
waktunya (yafe) dapat kita
simpulkan, sesuatu yang manis dan menyenangkan dapat kita nikmati dalam
kehidupan kita setelah melalui masa-masa yang sulit. Hal ini mirip-mirip
seperti kita menikmati adegan sebuah drama happy
ending. Bisa saja di awal cerita sang tokoh utama begitu banyak diterpa
pergumulan, dimusuhi dan begitu menderita. Namun, di akhir cerita ia dapat
tersenyum, karena dapat berakhir dengan manis!
Dalam kehidupan
manusia konsep yafe merupakan keindahan
atau tepatnya kebahagiaan yang sesungguhnya. Orang yang menghayati segala sesuatu indah pada waktunya akan
merasakan dan mengalami di penghujung kehidupannya ia akan tersenyum lebar oleh
karena melihat seluruh rangkaian kehidupannya (meskipun banyak pergumulan)
dapat diakhirinya dengan manis. Ya, saat itulah ia melihat rancangan TUHAN yang
begitu sempurna dalam kehidupannya.
Hidup ini tidak
langgeng, pasti akan segera berakhir. Bagaimanakah akhir kehidupan kita?
Kecuali TUHAN, tak satu pun di antara kita tahu. Yang jelas kehidupan pada saat
ini akan sangat menentukan akhir hidup kita. Sebagai umat Allah, kita percaya
bahwa di penghujung kehidupan kita akan terjadi sebuah penghakiman yang
menentukan apakah kita termasuk orang yang mendapatkan kebahagiaan atau tidak;
apakah hidup kita berakhir dengan keindahan yang manis atau sebaliknya.
Jauh-jauh hari, Yesus sudah mengingatkan kepada kita tentang penghakiman
terakhir itu, salah satunya apa yang tercatat dalam Matius 25:31-46. Di hari
penghakiman itu, manusia akan dipisahkan dalam dua kelompok : domba atau kambing.
Pembagian kelompok ini terkait dengan tindakan atau pekerjaan yang dilakukan
seseorang semasa hidupnya. Apa yang kita lakukan selama hidup ini akan dinilai:
apakah kita telah memanusiakan sesama, bahkan yang dianggap paling hina atau
mengabaikannya dengan sama sekali tidak memedulikannya.
Dari sejak lahir
sampai TUHAN memanggil kita, TUHAN telah memberikan sebuah kurun waktu (kronos) kehidupan. Di dalam kronos kehidupan kita, TUHAN berulang
kali memberikan kesempatan (Kairos)
untuk kita dapat menyatakan cinta kasih dan kepedulian kita terhadap sesama. Di
sinilah terdapat pilihan buat kita: menggunakan kesempatan itu dengan
menyalurkan kebaikan TUHAN atau menahan berkat TUHAN itu untuk diri sendiri?
Atas pilihan itu kita kelak dihakimi! Waktu yang singkat ini, jika kita
manfaatkan dengan sebaik-baiknya maka kita akan menikmati kehidupan yang kekal
(aion: waktu keabadian) dalam langit
baru dan bumi yang baru di mana Allah berkenan hadiir di tengah-tengah
umat-Nya.
Jika kita diberi
kesempatan memasuki tahun baru ini, ingatlah tidak setiap tahun menjadi
kesempatan. Tidak ada jaminan tersedia kesempatan dalam kehidupan kita, sebab aka
nada akhir dari kehidupan kita. Oleh karenanya pakailah kesempatan yang ada ini
dengan selalu berbuat dan engerjakan kebajikan seperti apa yang telah diajarkan
dan dicontohkan oleh Yesus.