Seminggu yang
lalu kita merayakan Natal dengan tema : Natal
Yang Manis (versi buku : Dian Penuntun, Rancangan Khotbah Leksionari GKI). Ironisnya, justeru dalam tahun 2016
kehidupan masyarakat dunia tidak dalam kondisi manis. Harian Kompas (29/12) dalam rubrik Internasional
menurunkan headline “Era Pahit
Kemanusiaan”. Lebih lanjut, Kompas menulis
(disertai gambar-gambar):
Dalam hitungan jam, tahun 2016 akan segera berlalu. Dunia mencatat,
2016 bukanlah era yang manis bagi kemanusiaan. Perang yang tak kunjung henti di
Suriah, Irak, Afganistan, dan sejumlah negara di Afrika mendorong gelombang
pengungsi paling besar sejak Perang Dunia II. Jutaan pengungsi mengalir ke
negara-negara Eropa, menimbulkan krisis di banyak negara yang dituju. Ratusan
nyawa pengungsi melayang sia-sia dalam upaya mencari kedamaian di negeri lain,
terutama mereka yang menyambung nyawa lewat Laut Mediterania menuju Itali.
Lebih dari 150 pengungsi asal sub-Sahara terperangkap di sebuah perahu karet
yang penuh sesak dalam upaya mereka menyeberang ke Eropa melalui lepas pantai
Libya menuju Laut Mediterania.
Perang juga menimbulkan penderitaan panjang bagi yang tercecer di
negeri yang membara. Sebuah keluarga di sebuah kuburan yang sudah dihancurkan
oleh milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), di Qaraya, sekitar 50
kilometer sebelah selatan Mosul, Irak.
Selain perang, rasa kemanusian pun terkoyak oleh sejumlah bencana alam
yang melanda pada tahun 2016, seperti yang terjadi di Haitti yang diterjang
oleh topan Matthew pada Oktober 2016. Dunia juga terkejut karena rakyat Amerika
akhirnya memilih Donald Trump sebagai peresiden mereka ketimbang Hilary
Clinton. Di belahan bumi lain, sebagian rakyat Inggris menyesali hasil
referendum yang membuat negeri mereka bercerai dengan Uni Eropa, Juni lalu.
Bagi sebagian rakyat Inggris, keputusan itu merupakan keputusan yang keliru.
Tentu ulasan di
atas hanya secuil saja dari pelbagai kisah tragis di dunia, termasuk di negeri
tercinta Indonesia yang dihantui oleh bahaya perpecahan NKRI yang dipicu oleh sentimen
berbau Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA). Di sinilah kita menyaksikan
perang opini, saling menghujat dan wajah-wajah radikal penganut agama
bermunculan. Agama yang seharusnya memberi kedamaian, dan menjunjung tinggi
harkat dan martabat kemanusiaan, kini berubah rupa menjadi intoleran, bengis,
dan garang.
Belum lagi
persoalan pribadi dan keluarga kita. Bisa saja benar seperti ulasan Kompas, kepahitan hidup sedang melanda
kita. Barangkali 2016 adalah tahun di mana kita harus melepas pergi orang yang kita
kasihi untuk selamanya. Atau kita divonis sakit yang mematikan. Bisa juga kita
menjadi orang yang menderita akibat tekanan, intimidasi, keserakahan dan
tindakan kejahatan orang lain. Sanggupkah tema Natal Yang Manis itu menjawab semua kepahitan hidup yang kita dan
dunia ini alami? Ataukah hanya sebatas tema isapan jempol belaka?
Tragedi dan
kepahitan hidup manusia dan alam raya ini tentu terjadi bukan karena kebetulan.
Ada yang kita yakini sebagai peringatan dari Yang Ilahi supaya kita berbenah
dari segala tindak prilaku yang buruk. Namun, lebih banyak lagi disebabkan oleh
karena kedegilan manusia. Manusia dikuasai oleh nafsu pementingan diri sendiri,
tidak dapat berlaku adil dan bijaksana. Cobalah kita renungkan tragedi dan
kepahitan manusia; perang dan penindasan, pengrusakan alam dan bencana
kemanusiaan, bukankah itu semua bersumber pada kerakusan, kesombongan dan
keegoisan manusia? Manusia yang tidak memberlakukan keadilan dan hikmat Allah!
Sulit memang
mendefinisikan kata adil dan bijaksana. Ada berbagai pandangan terhadap terminologi
adil dan bijaksana. Masing-masing punya argumen sesuai dengan latar belakang
dan kajian hikmat yang dianutnya. Adil menurut saya bisa jadi berbeda menurut
Anda. Bijaksana menurut Anda mungkin saja berlainan dengan pandangan mereka.
Meski bermacam-macam definisi adil dan bijaksana mestinya ada hal yang menyatukan
sehingga jika seseorang berlaku adil, semua akan mengakuinya. Demikian pula
ketika ia disebut bijaksana, maka akan terlihat dari tindakkannya dan orang
yang menyaksikannya akan mengakui bahwa ia adalah seorang yang bijaksana.
Salomo dikenal
sebagai Raja yang adil dan bijaksana. Tentu sebutan yang harum itu didukung
oleh sikapnya dalam memutuskan perkara yang pelik dan dramatis. 1 Raja-raja 3
:16-28, mengisahkan bagaimana Salomo menentukan siapa yang berhak menjadi ibu
yang sesungguhnya atas anak yang diperebutkan. “Ketika seluruh orang Israel mendengar keputusan hukum yang diberikan
raja, maka takutlah mereka kepada raja, sebab mereka melihat, bahwa hikmat dari
pada Allah ada dalam hatinya untuk melakukan keadilan.” (1 Raja-raja 3:28).
Sangat mungkin, masih banyak perkara-perkara pelik dan mengandung jebakan yang
dapat diselesaikan dengan adil dan bijaksana oleh Salomo ini.
Hikmat Allah
menuntun Salomo untuk bertindak bijaksana dan memberlakukan keadilan Allah.
Berhikmat dalam konteks Salomo, adalah mengambil keputusan yang adil untuk
masalah yang tepat, dengan cara yang tepat, dan pada waktu yang tepat. Orang
Israel percaya bahwa hikmat seperti itu bukan datang dari kemampuan manusia,
melainkan bersumber dari Allah sendiri. Benar, Salomo punya hikmat seperti itu
oleh karena sebelumnya itulah yang dia minta kepada Allah (1 Raja-raja 3:1-15).
Suatu ketika Salomo memberikan seribu korban bakaran di bukit Gibeon (bukit
pengorbanan yang terbesar pada masa itu). Di situlah TUHAN menampakkan diri
kepada Salomo dalam mimpi. Firman-Nya,”Mintalah
apa yang hendak kuberikan kepadamu”. Salomo tidak memakai tawaran TUHAN ini
sebagai kepuasan untuk dirinya: ia tidak meminta kekuasaan yang berlipat ganda
atau materi yang berlimpah-limbah bahkan ia pun tidak meminta umur panjang dan
kesehatan. Sebaliknya, Salomo berkata, “Maka
berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk
menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat,
sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat-Mu yang sangat besar ini?” (1
Raj-3:9). Salomo meminta hikmat agar ia bijaksana dalam memberikan keadilan!
Ternyata, TUHAN mengapresiasi permintaan Salomo dan kemudian TUHAN memberikan kemuliaan
kepada Salomo.
Kisah Salomo
mengajarkan bahwa hikmat itu datangnya dari TUHAN. TUHAN memberikan kepada
setiap orang yang memintanya dengan sungguh, dengan maksud bukan untuk
kepentingan sendiri, seperti popularitas dan meraih kekayaan serta kuasa bagi
diri sendiri. Melainkan untuk kepentingan dan keadilan orang banyak. Untuk
memberlakukan keadilan Allah bagi semua ciptaan-Nya. Salomo telah mendapat hidayyah dari Allah. Hatinya diliputi
oleh terang yang bersumber dari terang ilahi. Ia tidak keliru atau terkecoh
dalam memutuskan perkara rumit meskipun perkara itu berada di wilayah abu-abu
atau gelap sekali pun. Karena terang yang sesungguhnya telah ia miliki.
Banyak perkara
dalam kehidupan kita yang berada dalam area “abu-abu” atau “hitam pekat”.
Bercampur-baur antara keinginan egosentrime kita dengan kondisi keadilan Allah
yang harus diwujudnyatakan. Seringkali kita terjebak dalam subyektifitas diri:
seolah-olah yang kita lakukan adalah benar, adil dan bijaksana, padahal di sisi
lain dapat merugikan orang atau pihak lain. Di sinilah kita harus bersikap
seperti Salomo. Dengan segala kerendahan hati memohon hikmat agar Terang Yang
Ilahi itu menuntun kita untuk dapat melakukan tindakan bijaksana dan adil.
Salomo,
memberikan seribu korban bakaran dan TUHAN berkenan menjumpainya. Kini, Allah
di dalam Kristus pun berkenan menjumpai setiap kita. Ia melakukan tawaran yang
sama seperti kepada Salomo. Ia mengatakan, “Akulah
terang dunia; barang siapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam
kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup.” (Yohanes 8:12).
Pernyataan diri Yesus ini sudah dinyatakan sejak dari awal Injil Yohanes
ditulis. Yesus dinyatakan sebagai terang bagi bangsa-bangsa (Yoh.1:4). Terang
itu menjadi terang hidup karena menyelamatkan manusia dari kegelapan dan
kematian. Yesuslah terang dunia yang membawa keselamatan itu. Setiap orang yang
berjalan di dalam dan bersama Dia, tidak akan berjalan dalam kegelapan.
Apa yang terjadi
dengan orang-orang Farisi yang mendengar-Nya? Mereka menolak dengan mengatakan
bahwa kesaksian Yesus tidak sah karena bersaksi mengenai diri-Nya sendiri.
Namun, Yesus mengatakan bahwa kesaksian-Nya adalah sah karena Ia bersama-sama dengan Sang Bapa yang
menyaksikannya kepada dunia ini. Namun, tampaknya orang-orang Farisi tidak puas
dengan argument yang disampaikan Yesus. Persoalannya karena orang-orang Farisi
itu hanya melihat Yesus sebagai manusia biasa. Mereka tidak mengerti bahwa
Yesus dan Bapa adalah satu. Oleh karena itu mereka bertanya kepada Yesus, “Di manakah Bapa-Mu?” Mungkin ini
mirip-mirip pertanyaan sekarang, “Koq
Tuhan beranak?”
Sudah
berulangkali Yesus menyatakan identitas dan asul-usul diri-Nya. Berkali-kali Ia
menjelaskan bahwa Ia datang dari Bapa karena diutus oleh Bapa. Namun, demikian
hubungan erat antara Yesus dan Bapa itu tidak dimengerti oleh lawan-lawan
bicara-Nya. Oleh karena itu, ketika Ia berkata Bapa memberi kesaksian tentang
diri-Nya, orang menanyakan, “Di manakah Bapa-Nya itu.” Pertanyaan ini adalah
sebuah pertanyaan legalis. Kalau seseorang mengatakan bahwa orang lain bisa
memberikan kesaksian tentang dirinya, orang itu harus bisa menghadirkan orang
yang dimaksudnya itu. Kalau Yesus mengatakan bahwa Bapa bersaksi tentang Dia,
Yesus juga harus dapat membawa Bapa itu ke hadapan mereka.
Jawaban Yesus
masih menekankan kembali kesatuan-Nya dengan Bapa. Orang-orang tidak mengenal
baik Anak maupun Bapa. Seandainya mereka mengenali identitas sejati Yesus,
mereka akan mengenali Bapa juga. Dengan menolak Yesus, mereka menolak Bapa yang
mengutus-Nya dan dengan demikian mereka tidak pernah mengenal Sang Bapa. Hal
ini kelak akan dinyatakan kembali kepada Filipus yang meminta kepada-Nya agar
Ia menunjukkan Bapa kepadanya. Kepada Filipus, Yesus menjawab, “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu,
Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia
telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada
kami. Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku?
Apa yang Aku katakana kepadamu, tidak Aku katakana dari diri-Ku sendiri, tetapi
Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.”
(Yohanes 14:9-10)
Terang itu telah
menjadi Manusia. Ia mengajarkan dan memberi contoh tentang hikmat yang
sesungguhnya supaya manusia bisa hidup bijaksana, memberlakukan keadilan Allah
di dunia ini. Sehingga dengan demikian setiap orang percaya dimampukan untuk
menjawab tantangan kepahitan dunia yang miskin belarasa ini dengan
memberlakukan belarasa cinta kasih Allah akan dunia ini. Kepahitan dunia tidak
semestinya ditanggapi dengan penyesalan dan kekecewaan, justeru di sinilah
TUHAN menghadirkan Anda dan saya untuk meneruskan belarasa dan keadilan Allah.
Inilah jawaban dari kepahitan hidup dengan Natal yang manis itu! Kita sambut tahun baru dengan tekad dan
komitmen untuk hidup memberlakukan hikmat dan keadilan-Nya.
Jakarta 29
Desember 2016