Kamis, 29 Desember 2016

BIJAKSANA DAN BERLAKU ADIL

Seminggu yang lalu kita merayakan Natal dengan tema : Natal Yang Manis (versi buku : Dian Penuntun, Rancangan Khotbah Leksionari GKI). Ironisnya, justeru dalam tahun 2016 kehidupan masyarakat dunia tidak dalam kondisi manis. Harian Kompas (29/12) dalam rubrik Internasional menurunkan headline “Era Pahit Kemanusiaan”. Lebih lanjut, Kompas menulis (disertai gambar-gambar):
               
Dalam hitungan jam, tahun 2016 akan segera berlalu. Dunia mencatat, 2016 bukanlah era yang manis bagi kemanusiaan. Perang yang tak kunjung henti di Suriah, Irak, Afganistan, dan sejumlah negara di Afrika mendorong gelombang pengungsi paling besar sejak Perang Dunia II. Jutaan pengungsi mengalir ke negara-negara Eropa, menimbulkan krisis di banyak negara yang dituju. Ratusan nyawa pengungsi melayang sia-sia dalam upaya mencari kedamaian di negeri lain, terutama mereka yang menyambung nyawa lewat Laut Mediterania menuju Itali. Lebih dari 150 pengungsi asal sub-Sahara terperangkap di sebuah perahu karet yang penuh sesak dalam upaya mereka menyeberang ke Eropa melalui lepas pantai Libya menuju Laut Mediterania.

Perang juga menimbulkan penderitaan panjang bagi yang tercecer di negeri yang membara. Sebuah keluarga di sebuah kuburan yang sudah dihancurkan oleh milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), di Qaraya, sekitar 50 kilometer sebelah selatan Mosul, Irak.

Selain perang, rasa kemanusian pun terkoyak oleh sejumlah bencana alam yang melanda pada tahun 2016, seperti yang terjadi di Haitti yang diterjang oleh topan Matthew pada Oktober 2016. Dunia juga terkejut karena rakyat Amerika akhirnya memilih Donald Trump sebagai peresiden mereka ketimbang Hilary Clinton. Di belahan bumi lain, sebagian rakyat Inggris menyesali hasil referendum yang membuat negeri mereka bercerai dengan Uni Eropa, Juni lalu. Bagi sebagian rakyat Inggris, keputusan itu merupakan keputusan yang keliru.

Tentu ulasan di atas hanya secuil saja dari pelbagai kisah tragis di dunia, termasuk di negeri tercinta Indonesia yang dihantui oleh bahaya perpecahan NKRI yang dipicu oleh sentimen berbau Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA). Di sinilah kita menyaksikan perang opini, saling menghujat dan wajah-wajah radikal penganut agama bermunculan. Agama yang seharusnya memberi kedamaian, dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan, kini berubah rupa menjadi intoleran, bengis, dan garang.

Belum lagi persoalan pribadi dan keluarga kita. Bisa saja benar seperti ulasan Kompas, kepahitan hidup sedang melanda kita. Barangkali 2016 adalah tahun di mana kita harus melepas pergi orang yang kita kasihi untuk selamanya. Atau kita divonis sakit yang mematikan. Bisa juga kita menjadi orang yang menderita akibat tekanan, intimidasi, keserakahan dan tindakan kejahatan orang lain. Sanggupkah tema Natal Yang Manis itu menjawab semua kepahitan hidup yang kita dan dunia ini alami? Ataukah hanya sebatas tema isapan jempol belaka?

Tragedi dan kepahitan hidup manusia dan alam raya ini tentu terjadi bukan karena kebetulan. Ada yang kita yakini sebagai peringatan dari Yang Ilahi supaya kita berbenah dari segala tindak prilaku yang buruk. Namun, lebih banyak lagi disebabkan oleh karena kedegilan manusia. Manusia dikuasai oleh nafsu pementingan diri sendiri, tidak dapat berlaku adil dan bijaksana. Cobalah kita renungkan tragedi dan kepahitan manusia; perang dan penindasan, pengrusakan alam dan bencana kemanusiaan, bukankah itu semua bersumber pada kerakusan, kesombongan dan keegoisan manusia? Manusia yang tidak memberlakukan keadilan dan hikmat Allah!
Sulit memang mendefinisikan kata adil dan bijaksana. Ada berbagai pandangan terhadap terminologi adil dan bijaksana. Masing-masing punya argumen sesuai dengan latar belakang dan kajian hikmat yang dianutnya. Adil menurut saya bisa jadi berbeda menurut Anda. Bijaksana menurut Anda mungkin saja berlainan dengan pandangan mereka. Meski bermacam-macam definisi adil dan bijaksana mestinya ada hal yang menyatukan sehingga jika seseorang berlaku adil, semua akan mengakuinya. Demikian pula ketika ia disebut bijaksana, maka akan terlihat dari tindakkannya dan orang yang menyaksikannya akan mengakui bahwa ia adalah seorang yang bijaksana.

Salomo dikenal sebagai Raja yang adil dan bijaksana. Tentu sebutan yang harum itu didukung oleh sikapnya dalam memutuskan perkara yang pelik dan dramatis. 1 Raja-raja 3 :16-28, mengisahkan bagaimana Salomo menentukan siapa yang berhak menjadi ibu yang sesungguhnya atas anak yang diperebutkan. “Ketika seluruh orang Israel mendengar keputusan hukum yang diberikan raja, maka takutlah mereka kepada raja, sebab mereka melihat, bahwa hikmat dari pada Allah ada dalam hatinya untuk melakukan keadilan.” (1 Raja-raja 3:28). Sangat mungkin, masih banyak perkara-perkara pelik dan mengandung jebakan yang dapat diselesaikan dengan adil dan bijaksana oleh Salomo ini.

Hikmat Allah menuntun Salomo untuk bertindak bijaksana dan memberlakukan keadilan Allah. Berhikmat dalam konteks Salomo, adalah mengambil keputusan yang adil untuk masalah yang tepat, dengan cara yang tepat, dan pada waktu yang tepat. Orang Israel percaya bahwa hikmat seperti itu bukan datang dari kemampuan manusia, melainkan bersumber dari Allah sendiri. Benar, Salomo punya hikmat seperti itu oleh karena sebelumnya itulah yang dia minta kepada Allah (1 Raja-raja 3:1-15). Suatu ketika Salomo memberikan seribu korban bakaran di bukit Gibeon (bukit pengorbanan yang terbesar pada masa itu). Di situlah TUHAN menampakkan diri kepada Salomo dalam mimpi. Firman-Nya,”Mintalah apa yang hendak kuberikan kepadamu”. Salomo tidak memakai tawaran TUHAN ini sebagai kepuasan untuk dirinya: ia tidak meminta kekuasaan yang berlipat ganda atau materi yang berlimpah-limbah bahkan ia pun tidak meminta umur panjang dan kesehatan. Sebaliknya, Salomo berkata, “Maka berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat-Mu yang sangat besar ini?” (1 Raj-3:9). Salomo meminta hikmat agar ia bijaksana dalam memberikan keadilan! Ternyata, TUHAN mengapresiasi permintaan Salomo dan kemudian TUHAN memberikan kemuliaan kepada Salomo.

Kisah Salomo mengajarkan bahwa hikmat itu datangnya dari TUHAN. TUHAN memberikan kepada setiap orang yang memintanya dengan sungguh, dengan maksud bukan untuk kepentingan sendiri, seperti popularitas dan meraih kekayaan serta kuasa bagi diri sendiri. Melainkan untuk kepentingan dan keadilan orang banyak. Untuk memberlakukan keadilan Allah bagi semua ciptaan-Nya. Salomo telah mendapat hidayyah dari Allah. Hatinya diliputi oleh terang yang bersumber dari terang ilahi. Ia tidak keliru atau terkecoh dalam memutuskan perkara rumit meskipun perkara itu berada di wilayah abu-abu atau gelap sekali pun. Karena terang yang sesungguhnya telah ia miliki.  

Banyak perkara dalam kehidupan kita yang berada dalam area “abu-abu” atau “hitam pekat”. Bercampur-baur antara keinginan egosentrime kita dengan kondisi keadilan Allah yang harus diwujudnyatakan. Seringkali kita terjebak dalam subyektifitas diri: seolah-olah yang kita lakukan adalah benar, adil dan bijaksana, padahal di sisi lain dapat merugikan orang atau pihak lain. Di sinilah kita harus bersikap seperti Salomo. Dengan segala kerendahan hati memohon hikmat agar Terang Yang Ilahi itu menuntun kita untuk dapat melakukan tindakan bijaksana dan adil.

Salomo, memberikan seribu korban bakaran dan TUHAN berkenan menjumpainya. Kini, Allah di dalam Kristus pun berkenan menjumpai setiap kita. Ia melakukan tawaran yang sama seperti kepada Salomo. Ia mengatakan, “Akulah terang dunia; barang siapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup.” (Yohanes 8:12). Pernyataan diri Yesus ini sudah dinyatakan sejak dari awal Injil Yohanes ditulis. Yesus dinyatakan sebagai terang bagi bangsa-bangsa (Yoh.1:4). Terang itu menjadi terang hidup karena menyelamatkan manusia dari kegelapan dan kematian. Yesuslah terang dunia yang membawa keselamatan itu. Setiap orang yang berjalan di dalam dan bersama Dia, tidak akan berjalan dalam kegelapan.

Apa yang terjadi dengan orang-orang Farisi yang mendengar-Nya? Mereka menolak dengan mengatakan bahwa kesaksian Yesus tidak sah karena bersaksi mengenai diri-Nya sendiri. Namun, Yesus mengatakan bahwa kesaksian-Nya adalah sah karena  Ia bersama-sama dengan Sang Bapa yang menyaksikannya kepada dunia ini. Namun, tampaknya orang-orang Farisi tidak puas dengan argument yang disampaikan Yesus. Persoalannya karena orang-orang Farisi itu hanya melihat Yesus sebagai manusia biasa. Mereka tidak mengerti bahwa Yesus dan Bapa adalah satu. Oleh karena itu mereka bertanya kepada Yesus, “Di manakah Bapa-Mu?” Mungkin ini mirip-mirip pertanyaan sekarang, “Koq Tuhan beranak?”

Sudah berulangkali Yesus menyatakan identitas dan asul-usul diri-Nya. Berkali-kali Ia menjelaskan bahwa Ia datang dari Bapa karena diutus oleh Bapa. Namun, demikian hubungan erat antara Yesus dan Bapa itu tidak dimengerti oleh lawan-lawan bicara-Nya. Oleh karena itu, ketika Ia berkata Bapa memberi kesaksian tentang diri-Nya, orang menanyakan, “Di manakah Bapa-Nya itu.” Pertanyaan ini adalah sebuah pertanyaan legalis. Kalau seseorang mengatakan bahwa orang lain bisa memberikan kesaksian tentang dirinya, orang itu harus bisa menghadirkan orang yang dimaksudnya itu. Kalau Yesus mengatakan bahwa Bapa bersaksi tentang Dia, Yesus juga harus dapat membawa Bapa itu ke hadapan mereka.

Jawaban Yesus masih menekankan kembali kesatuan-Nya dengan Bapa. Orang-orang tidak mengenal baik Anak maupun Bapa. Seandainya mereka mengenali identitas sejati Yesus, mereka akan mengenali Bapa juga. Dengan menolak Yesus, mereka menolak Bapa yang mengutus-Nya dan dengan demikian mereka tidak pernah mengenal Sang Bapa. Hal ini kelak akan dinyatakan kembali kepada Filipus yang meminta kepada-Nya agar Ia menunjukkan Bapa kepadanya. Kepada Filipus, Yesus menjawab, “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami. Tidak percayakah engkau, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku? Apa yang Aku katakana kepadamu, tidak Aku katakana dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa, yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya.” (Yohanes 14:9-10)

Terang itu telah menjadi Manusia. Ia mengajarkan dan memberi contoh tentang hikmat yang sesungguhnya supaya manusia bisa hidup bijaksana, memberlakukan keadilan Allah di dunia ini. Sehingga dengan demikian setiap orang percaya dimampukan untuk menjawab tantangan kepahitan dunia yang miskin belarasa ini dengan memberlakukan belarasa cinta kasih Allah akan dunia ini. Kepahitan dunia tidak semestinya ditanggapi dengan penyesalan dan kekecewaan, justeru di sinilah TUHAN menghadirkan Anda dan saya untuk meneruskan belarasa dan keadilan Allah. Inilah jawaban dari kepahitan hidup dengan Natal yang manis itu! Kita sambut tahun baru dengan tekad dan komitmen untuk hidup memberlakukan hikmat dan keadilan-Nya.

Jakarta 29 Desember 2016

Jumat, 23 Desember 2016

ALLAH YANG MENDEKAT

Selama berpuluh tahun kita menyaksikan para pejabat, sebut saja Presiden, sudah terbiasa menerima kunjungan rakyatnya di istana kenegaraan atau rumah dinas. Sederet acar protokoler digelar. Kalau pun terjadi kunjungan ke daerah, maka jalan-jalan ke daerah itu segera diperbaiki, ditata rapi, dialog juga diatur sedemikian rupa supaya tidak  menurunkan pamor sang pejabat. Lalu kini, ketika ada presiden blusukan dengan pakaian apa adanya, tanpa pengawalan ketat dan asik bercengkrama dengan si jelata, sontak orang menduganya, “ini pencitraan!” Mengapa? Karena kita tidak punya referensi atau pun kalau ada sedikit sekali pejabat bergaya seperti itu!

Dalam kehidupan beragama punya tipikal seperti itu. Yang disembah harus ditempatkan pada posisi mulia, bertahta di tempat yang maha tinggi. Menghadap-Nya harus dengan tata cara ritual atau liturgy yang tidak boleh keliru sedikit pun dan si penyembah dalam posisi sujud sungkem. Pada umumnya penganut agama menjunjung tinggi posisi Tuhan atau Allah atau apa pun juga sebagai sosok yang disembahnya. Menghampiri takhta-Nya pastilah dibutuhkan ritual atau tata cara tertentu yang terbilang rumit. Mengapa? Ya, karena posisi-Nya yang begitu agung, mulia, kudus, pencipta, mahakuasa, dan maha segalanya sementara manusia adalah sosok fana, berdosa dan penuh cela. Dalam keyakinan Yahudi yang terekam dalam Perjanjian Lama, tidak ada manusia yang dapat memandang wajah Allah. Manusia akan mati, tidak tahan melihat cahaya kemuliaan dan kekudusan Allah. Hanya Musa yang diperkenankan Allah melihat kemuliaan-Nya ketika menerima hukum Allah (Taurat). Cahaya kemuliaan Allah itu berdampak pada diri Musa sehingga umat Israel tidak tahan memandang wajah Musa. Menurut Keluaran 34:29-35, umat Israel takut mendekati Musa karena wajahnya memancarkan sinar kemuliaan, Musa menyadari hal itu kemudian ia menyelubungi wajahnya untuk menutupi pancaran kemuliaan Allah itu. Bayangkan, hanya dengan pantulannya saja dari kemuliaan Allah yang ada di wajah Musa, umat itu tidak tahan berhadapan muka! Allah begitu mulia, nyaris tak tersentuh. Allah yang nyaris tak tersentuh juga tampak dalam tradisi Israel. Hukum ketiga dari Taurat mengatakan, “ Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu dengan sembarangan”, maka umat Israel benar-benar memaknainya secara harafiah, apabila mereka menemukan empat huruf suci (tetra gramaphon) hyhw (YHWH) maka mereka tidak akan mengucapkannya dengan Yahweh melainkan dengan אֲדֹנָי (Adonay) yang diterjemahkan oleh Alkitab terjemahan LAI dengan “TUHAN”.

Nah, dalam paradigma pemikiran seperti itu adalah sebuah ketidakmungkinan atau keanehan kalau Allah mau “turun” dari takhta-Nya, mendekat dan diam bersama dengan manusia. Allah Yang Mahakudus tidak mungkin hidup bersama-sama dengan manusia berdosa. Namun, ternyata apa yang tidak mungkin bagi manusia, apa yang aneh bagi logika berpikir manusia, justeru itu yang dilakukan Allah. Benar, apa yang dikatakan Alkitab bahwa Allah adalah Agung, Mulia, Kudus, dan seterusnya, tetapi Dia juga dengan kedaulatan-Nya berprakarsa menjalin relasi dengan manusia demi kesejahteran dan keselamatan manusia itu sendiri. Allah melakukan terobosan untuk mengambil sikap yang paling revolusioner, radikal, realistik, komunikatif, sekaligus kontoversial, hadir dan menyatakan diri dalam wujud manusia. Allah tidak kehilangan cara untuk menjalin komunikasi dengan manusia. Ibrani 1:1-2, mengatakan, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.”

Sejak awal Allah berusaha menjalin kontak dengan manusia. Ada begitu banyak cara yang dipakai-Nya, misalnya melalui Taurat, para nabi, perumpamaan dan seterusnya. Cara-cara itu mengindikasikan bahwa Allah serius mengupayakan pemulihan harkat dan martabat sekaligus untuk kesejahteraan manusia. Allah tidak mempedulikan gengsi yang seharusnya menjadi hak-Nya tetapi terus berinisiatif mencari manusia yang sudah memberontak kepada-Nya untuk diraih kembali dan dikasihi-Nya.

Dulu, ketika saya belum menikah dan punya anak, kadang bertanya-tanya mengapa orang dewasa berbicara kepada anaknya yang masih kecil koq ngomongnya ikut-ikutan seperti anak kecil, ikut jadi cadel, mimik mukanya dibuat seperti anak kecil. Baru setelah kami punya anak, saya pun melakukan hal yang sama. Namun, sekarang jadi mengerti mengapa saya melakukan itu. Tidak lain, supaya komunikasi nyambung, sang anak mengerti bahwa saya memperhatikan, menyayangi dan merasa bahagia akan kehadirannya! Saya membayangkan apa jadinya kalau saya berbicara menggunakan gaya bahasa dan bahasa tubuh orang dewasa ketika bicara dengan anak kecil? Pasti ia tidak mengerti!
Cesar Millan adalah seorang pelatih anjing ternama. Bagi pecinta anjing, pasti mengenal namanya. Program tayangan televisi yang dibuatnya sudah merambah di delapan puluh negara. Saya pun sempat terkagum-kagum menyaksikan tayangan serial televisi yang memperlihatkan bagaimana Cesar Millan menangani anjing-anjing bermasalah. Di hadapannya semua anjing seakan tunduk dan memahami keinginannya. Apa sebenarnya yang membuat Millan mempunyai talenta itu? Tidak lain, karena pertama-tama ia begitu mencintai anjing.  Sejak kecil, ia terbiasa bergaul dengan hewan dipeternakan kakeknya dan, secara alami ia memahami “bahasa” anjing, kemudian orang-orang menyebutnya dengan julukan, “el Perrero” (The dog boy). Menyadari talentanya, Millan mengembangkan pemahaman psikologis anjing. Tak pelak lagi, Millan mengerti “bahasa” anjing! Akibatnya, anjing-anjing itu mengerti komunikasi yang dilakukan oleh Millan. Bayangkan, andaikata Millan menuntut anjing-anjing itu yang harus mengerti bahasanya tanpa peduli psikologi anjing. Anjing akan stress dan suatu saat berontak serta melukainya.

Tentu, manusia tidak sama dengan anjing. Namun, dalam komunikasi antara Allah dan manusia, manusia sering mengalami gagal faham. Tidak selamanya manusia mengerti dan melakukan kehendak-Nya. Tentu banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Namun, keseluruhan faktor itu bermuara pada keegoisan manusia yang selalu ingin mengedepankan keinginannya. Allah tidak menuntut agar manusia itu memahami dan mengerti “bahasa Allah”. Allahlah yang kemudian “merendahkan” diri-Nya, menjadi sama seperti manusia, bukan supaya Allah mengerti bahasa manusia, tetapi agar manusia mengerti dan memahami bahwa Allah itu sungguh baik, Allah tidak menginginkan manusia binasa karena dosa-dosa mereka. Allah menginginkan manusia mengalami damai sejahtera!

Sebenarnya, dalam Perjanjian Lama ada indikasi benih-benih yang mengambarkan bahwa Allah tidak hanya tinggal diam dalam singgasana-Nya yang tak terhampiri. Namun, Allah yang tinggal bersama manusia,  telah lama dikenal. Kata “tinggal” (skeno) merupakan konsep penting Perjanjian Lama, misalnya Keluaran 25:8,9, yang mengisahkan Israel diminta untuk mendirikan tenda (tabernakel, skene) sehingga Allah bisa dekat dan tinggal di antara umat-Nya. Ketika tenda itu didirikan maka, “Kemuliaan Tuhan memenuhi Kemah Suci.”(Kel. 40:34). Allah hadir dan mendekat di sekitar komunitas tenda atau Kemah Suci itu. Mungkin, sekarang kita memahaminya, koq naif sekali Allah mau hadir asalkan dibuatkan tenda, bukankah Ia Mahahadir, tanpa tenda buatan manusia! Ya, itu kalau kita berpikir sekarang. Namun, sekali lagi Allah ingin berkomunikasi dengan manusia, maka Ia menggunakan bahasa manusia. Pada masa Keluaran, itulah bahasa yang dimengerti manusia pada zaman mereka! Itu hanya bungkusnya, isinya adalah Allah hadir dan membawa perubahan pada umat-Nya.

Firman itu tinggal di antara kita, itu pesan natal kita sekarang ini. Siapakah “kita” yang dimaksudkan di sini? Setelah panjang lebar, penulis Injil Yohanes menceritakan Sang Firman, baru dalam Yohanes 1:14, muncul kata “kita”. Yang muncul sebelumnya adalah “dunia”, “orang-orang kepunyaan-Nya, “orang-orang yang menerima-Nya”, “orang yang percaya kepada-Nya”. “Kita” menunjukan orang pertama jamak, kita adalah sebuah komunitas yang menerima dan mengaminkan Sang Firman yang menjadi manusia itu. “Kita” adalah komunitas yang dimampukan untuk melihat kemuliaan yang diberikan Allah. Sekali lagi kata “kemuliaan” (doksa) mengingatkan kembali kepada gagasan pendirian tabernakel tempat bersemayam Allah di tengah-tengah manusia. Di dalam komunitas, tenda tepat tinggal Allah itu adalah Yesus sendiri, Firman yang menjadi daging. Dalam perjalanan kisah Injil kemudian, Firman yang menjelma menjadi daging ini menyebut diri-Nya “Anak Allah” (sesuai dengan apa yang disebut Ibrani 1;2).

Bagaimana sekarang dengan komunitas “kita”, apakah memancarkan kemuliaan Allah yang benar-benar ada dan hadir itu? Jika benar bahwa Sang Firman itu ada dan hadir di tengah-tengah kita maka perayaan natal yang kita lakukan bukanlah sekedar harafiah-artifisial yang mewah dan romantis. Tetapi berupaya untuk meneladani kemuliaan yang hadir melalu kesederhanaan, kesetiakawanan dan penghargaan terhadap sesama manusia. Namun, sayangnya kita enggan untuk melakoninya dengan cara demikian. Mengapa? Karena cara pandang kita tidak bisa memahami kalau Allah itu bisa menjadi manusia, Yang tidak terbatas menjadi terbatas, Yang Ilahi mewujud dalam diri seorang manusia yang bersahaja. Padahal mengingkari ini berarti sama dengan menyatakan bahwa Allah bukan Mahakuasa lagi!

Gereja tidak boleh hidup dalam menara gading kenyamanan, kelimpahan berkat, dan keselamatannya sendiri. Namun, harus menyatakan keprihatinan Tuhan dengan berinisiatif hadir dan menyatakan belarasa Allah di tengah-tengah penderitaan umat manusia. Allah melalui Yesus Kristus, Sang Firman itu mencontohkan kepedulian itu, masa kita yang mengaku penyembah-Nya hanya mau duduk diam menikmati berkat dan kemuliaan-Nya. Jika demikian, orang Mangga Besar mengatakan, bo ceng lie. Gereja sebagai komunitas di mana Allah hadir di dalamnya harus memberikan tanda-tanda untuk menerima semua orang dalam damai sejahtera, bersedia meneruskan kasih dan pengampunan Allah, memulihkan kembali martabat manusia. Itulah Natal: Kala Allah tinggal di antara kita.

Selamat merayakan natal!