Selama berpuluh tahun kita menyaksikan para
pejabat, sebut saja Presiden, sudah terbiasa menerima kunjungan rakyatnya di
istana kenegaraan atau rumah dinas. Sederet acar protokoler digelar. Kalau pun
terjadi kunjungan ke daerah, maka jalan-jalan ke daerah itu segera diperbaiki,
ditata rapi, dialog juga diatur sedemikian rupa supaya tidak menurunkan pamor sang pejabat. Lalu kini,
ketika ada presiden blusukan dengan pakaian apa adanya, tanpa pengawalan ketat
dan asik bercengkrama dengan si jelata, sontak orang menduganya, “ini
pencitraan!” Mengapa? Karena kita tidak punya referensi atau pun
kalau ada sedikit sekali pejabat bergaya seperti itu!
Dalam kehidupan beragama punya tipikal seperti
itu. Yang disembah harus ditempatkan pada posisi mulia, bertahta di tempat yang maha tinggi. Menghadap-Nya harus dengan tata cara
ritual atau liturgy yang tidak boleh keliru sedikit pun dan si penyembah dalam
posisi sujud sungkem. Pada umumnya penganut agama menjunjung tinggi posisi
Tuhan atau Allah atau apa pun juga sebagai sosok yang disembahnya. Menghampiri
takhta-Nya pastilah dibutuhkan ritual atau tata cara tertentu yang terbilang
rumit. Mengapa? Ya, karena posisi-Nya yang begitu agung, mulia, kudus, pencipta,
mahakuasa, dan maha segalanya sementara manusia adalah sosok fana, berdosa dan
penuh cela. Dalam keyakinan Yahudi yang terekam dalam Perjanjian Lama, tidak
ada manusia yang dapat memandang wajah Allah. Manusia akan mati, tidak tahan
melihat cahaya kemuliaan dan kekudusan Allah. Hanya Musa yang diperkenankan
Allah melihat kemuliaan-Nya ketika menerima hukum Allah (Taurat). Cahaya
kemuliaan Allah itu berdampak pada diri Musa sehingga umat Israel tidak tahan
memandang wajah Musa. Menurut Keluaran 34:29-35, umat Israel takut mendekati
Musa karena wajahnya memancarkan sinar kemuliaan, Musa menyadari hal itu
kemudian ia menyelubungi wajahnya untuk menutupi pancaran kemuliaan Allah itu.
Bayangkan, hanya dengan pantulannya saja dari kemuliaan Allah yang ada di wajah
Musa, umat itu tidak tahan berhadapan muka! Allah begitu mulia, nyaris tak
tersentuh. Allah yang nyaris tak tersentuh juga tampak dalam tradisi Israel.
Hukum ketiga dari Taurat mengatakan, “
Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu dengan sembarangan”, maka umat Israel
benar-benar memaknainya secara harafiah, apabila mereka menemukan empat huruf
suci (tetra gramaphon) hyhw (YHWH) maka mereka tidak akan mengucapkannya dengan
Yahweh melainkan dengan אֲדֹנָי (Adonay) yang diterjemahkan oleh Alkitab
terjemahan LAI dengan “TUHAN”.
Nah, dalam paradigma pemikiran seperti itu
adalah sebuah ketidakmungkinan atau keanehan kalau Allah mau “turun” dari
takhta-Nya, mendekat dan diam bersama dengan manusia. Allah Yang Mahakudus tidak
mungkin hidup bersama-sama dengan manusia berdosa. Namun, ternyata apa yang
tidak mungkin bagi manusia, apa yang aneh bagi logika berpikir manusia, justeru
itu yang dilakukan Allah. Benar, apa yang dikatakan Alkitab bahwa Allah adalah
Agung, Mulia, Kudus, dan seterusnya, tetapi Dia juga dengan kedaulatan-Nya
berprakarsa menjalin relasi dengan manusia demi kesejahteran dan keselamatan
manusia itu sendiri. Allah melakukan terobosan untuk mengambil sikap yang
paling revolusioner, radikal, realistik, komunikatif, sekaligus kontoversial,
hadir dan menyatakan diri dalam wujud manusia. Allah tidak kehilangan cara
untuk menjalin komunikasi dengan manusia. Ibrani 1:1-2, mengatakan, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang
kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan
perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita
dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak
menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.”
Sejak awal Allah berusaha menjalin kontak
dengan manusia. Ada begitu banyak cara yang dipakai-Nya, misalnya melalui
Taurat, para nabi, perumpamaan dan seterusnya. Cara-cara itu mengindikasikan
bahwa Allah serius mengupayakan pemulihan harkat dan martabat sekaligus untuk kesejahteraan
manusia. Allah tidak mempedulikan gengsi yang seharusnya menjadi hak-Nya tetapi
terus berinisiatif mencari manusia yang sudah memberontak kepada-Nya untuk
diraih kembali dan dikasihi-Nya.
Dulu, ketika saya belum menikah dan punya
anak, kadang bertanya-tanya mengapa orang dewasa berbicara kepada anaknya yang
masih kecil koq ngomongnya ikut-ikutan
seperti anak kecil, ikut jadi cadel, mimik mukanya dibuat seperti anak kecil.
Baru setelah kami punya anak, saya pun melakukan hal yang sama. Namun, sekarang
jadi mengerti mengapa saya melakukan itu. Tidak lain, supaya komunikasi
nyambung, sang anak mengerti bahwa saya memperhatikan, menyayangi dan merasa bahagia
akan kehadirannya! Saya membayangkan apa jadinya kalau saya berbicara
menggunakan gaya bahasa dan bahasa tubuh orang dewasa ketika bicara dengan anak
kecil? Pasti ia tidak mengerti!
Cesar Millan adalah seorang pelatih anjing
ternama. Bagi pecinta anjing, pasti mengenal namanya. Program tayangan televisi
yang dibuatnya sudah merambah di delapan puluh negara. Saya pun sempat
terkagum-kagum menyaksikan tayangan serial televisi yang memperlihatkan
bagaimana Cesar Millan menangani anjing-anjing bermasalah. Di hadapannya semua
anjing seakan tunduk dan memahami keinginannya. Apa sebenarnya yang membuat
Millan mempunyai talenta itu? Tidak lain, karena pertama-tama ia begitu
mencintai anjing. Sejak kecil, ia
terbiasa bergaul dengan hewan dipeternakan kakeknya dan, secara alami ia
memahami “bahasa” anjing, kemudian orang-orang menyebutnya dengan julukan, “el Perrero” (The dog boy). Menyadari
talentanya, Millan mengembangkan pemahaman psikologis anjing. Tak pelak lagi,
Millan mengerti “bahasa” anjing! Akibatnya, anjing-anjing itu mengerti
komunikasi yang dilakukan oleh Millan. Bayangkan, andaikata Millan menuntut
anjing-anjing itu yang harus mengerti bahasanya tanpa peduli psikologi anjing.
Anjing akan stress dan suatu saat berontak serta melukainya.
Tentu, manusia tidak sama dengan anjing.
Namun, dalam komunikasi antara Allah dan manusia, manusia sering mengalami
gagal faham. Tidak selamanya manusia mengerti dan melakukan kehendak-Nya. Tentu
banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Namun, keseluruhan faktor itu bermuara
pada keegoisan manusia yang selalu ingin mengedepankan keinginannya. Allah
tidak menuntut agar manusia itu memahami dan mengerti “bahasa Allah”. Allahlah
yang kemudian “merendahkan” diri-Nya, menjadi sama seperti manusia, bukan
supaya Allah mengerti bahasa manusia, tetapi agar manusia mengerti dan memahami
bahwa Allah itu sungguh baik, Allah tidak menginginkan manusia binasa karena
dosa-dosa mereka. Allah menginginkan manusia mengalami damai sejahtera!
Sebenarnya, dalam Perjanjian Lama ada indikasi
benih-benih yang mengambarkan bahwa Allah tidak hanya tinggal diam dalam
singgasana-Nya yang tak terhampiri. Namun, Allah yang tinggal bersama
manusia, telah lama dikenal. Kata
“tinggal” (skeno) merupakan konsep
penting Perjanjian Lama, misalnya Keluaran 25:8,9, yang mengisahkan Israel
diminta untuk mendirikan tenda (tabernakel,
skene) sehingga Allah bisa dekat dan tinggal di antara umat-Nya. Ketika
tenda itu didirikan maka, “Kemuliaan
Tuhan memenuhi Kemah Suci.”(Kel. 40:34). Allah hadir dan mendekat di
sekitar komunitas tenda atau Kemah Suci itu. Mungkin, sekarang kita
memahaminya, koq naif sekali Allah
mau hadir asalkan dibuatkan tenda, bukankah Ia Mahahadir, tanpa tenda buatan
manusia! Ya, itu kalau kita berpikir sekarang. Namun, sekali lagi Allah ingin
berkomunikasi dengan manusia, maka Ia menggunakan bahasa manusia. Pada masa
Keluaran, itulah bahasa yang dimengerti manusia pada zaman mereka! Itu hanya
bungkusnya, isinya adalah Allah hadir dan membawa perubahan pada umat-Nya.
Firman itu tinggal di antara kita, itu pesan
natal kita sekarang ini. Siapakah “kita” yang dimaksudkan di sini? Setelah
panjang lebar, penulis Injil Yohanes menceritakan Sang Firman, baru dalam
Yohanes 1:14, muncul kata “kita”. Yang muncul sebelumnya adalah “dunia”,
“orang-orang kepunyaan-Nya, “orang-orang yang menerima-Nya”, “orang yang
percaya kepada-Nya”. “Kita” menunjukan orang pertama jamak, kita adalah sebuah
komunitas yang menerima dan mengaminkan Sang Firman yang menjadi manusia itu.
“Kita” adalah komunitas yang dimampukan untuk melihat kemuliaan yang diberikan
Allah. Sekali lagi kata “kemuliaan” (doksa)
mengingatkan kembali kepada gagasan pendirian tabernakel tempat bersemayam
Allah di tengah-tengah manusia. Di dalam komunitas, tenda tepat tinggal Allah
itu adalah Yesus sendiri, Firman yang menjadi daging. Dalam perjalanan kisah
Injil kemudian, Firman yang menjelma menjadi daging ini menyebut diri-Nya “Anak
Allah” (sesuai dengan apa yang disebut Ibrani 1;2).
Bagaimana sekarang dengan komunitas “kita”,
apakah memancarkan kemuliaan Allah yang benar-benar ada dan hadir itu? Jika
benar bahwa Sang Firman itu ada dan hadir di tengah-tengah kita maka perayaan
natal yang kita lakukan bukanlah sekedar harafiah-artifisial yang mewah dan
romantis. Tetapi berupaya untuk meneladani kemuliaan yang hadir melalu
kesederhanaan, kesetiakawanan dan penghargaan terhadap sesama manusia. Namun,
sayangnya kita enggan untuk melakoninya dengan cara demikian. Mengapa? Karena
cara pandang kita tidak bisa memahami kalau Allah itu bisa menjadi manusia,
Yang tidak terbatas menjadi terbatas, Yang Ilahi mewujud dalam diri seorang
manusia yang bersahaja. Padahal mengingkari ini berarti sama dengan menyatakan
bahwa Allah bukan Mahakuasa lagi!
Gereja tidak boleh hidup dalam menara gading
kenyamanan, kelimpahan berkat, dan keselamatannya sendiri. Namun, harus
menyatakan keprihatinan Tuhan dengan berinisiatif hadir dan menyatakan belarasa
Allah di tengah-tengah penderitaan umat manusia. Allah melalui Yesus Kristus,
Sang Firman itu mencontohkan kepedulian itu, masa kita yang mengaku
penyembah-Nya hanya mau duduk diam menikmati berkat dan kemuliaan-Nya. Jika
demikian, orang Mangga Besar mengatakan, bo
ceng lie. Gereja sebagai komunitas di mana Allah hadir di dalamnya harus
memberikan tanda-tanda untuk menerima semua orang dalam damai sejahtera,
bersedia meneruskan kasih dan pengampunan Allah, memulihkan kembali martabat
manusia. Itulah Natal: Kala Allah tinggal di antara kita.
Selamat merayakan natal!