Jumat, 23 Desember 2016

ALLAH YANG MENDEKAT

Selama berpuluh tahun kita menyaksikan para pejabat, sebut saja Presiden, sudah terbiasa menerima kunjungan rakyatnya di istana kenegaraan atau rumah dinas. Sederet acar protokoler digelar. Kalau pun terjadi kunjungan ke daerah, maka jalan-jalan ke daerah itu segera diperbaiki, ditata rapi, dialog juga diatur sedemikian rupa supaya tidak  menurunkan pamor sang pejabat. Lalu kini, ketika ada presiden blusukan dengan pakaian apa adanya, tanpa pengawalan ketat dan asik bercengkrama dengan si jelata, sontak orang menduganya, “ini pencitraan!” Mengapa? Karena kita tidak punya referensi atau pun kalau ada sedikit sekali pejabat bergaya seperti itu!

Dalam kehidupan beragama punya tipikal seperti itu. Yang disembah harus ditempatkan pada posisi mulia, bertahta di tempat yang maha tinggi. Menghadap-Nya harus dengan tata cara ritual atau liturgy yang tidak boleh keliru sedikit pun dan si penyembah dalam posisi sujud sungkem. Pada umumnya penganut agama menjunjung tinggi posisi Tuhan atau Allah atau apa pun juga sebagai sosok yang disembahnya. Menghampiri takhta-Nya pastilah dibutuhkan ritual atau tata cara tertentu yang terbilang rumit. Mengapa? Ya, karena posisi-Nya yang begitu agung, mulia, kudus, pencipta, mahakuasa, dan maha segalanya sementara manusia adalah sosok fana, berdosa dan penuh cela. Dalam keyakinan Yahudi yang terekam dalam Perjanjian Lama, tidak ada manusia yang dapat memandang wajah Allah. Manusia akan mati, tidak tahan melihat cahaya kemuliaan dan kekudusan Allah. Hanya Musa yang diperkenankan Allah melihat kemuliaan-Nya ketika menerima hukum Allah (Taurat). Cahaya kemuliaan Allah itu berdampak pada diri Musa sehingga umat Israel tidak tahan memandang wajah Musa. Menurut Keluaran 34:29-35, umat Israel takut mendekati Musa karena wajahnya memancarkan sinar kemuliaan, Musa menyadari hal itu kemudian ia menyelubungi wajahnya untuk menutupi pancaran kemuliaan Allah itu. Bayangkan, hanya dengan pantulannya saja dari kemuliaan Allah yang ada di wajah Musa, umat itu tidak tahan berhadapan muka! Allah begitu mulia, nyaris tak tersentuh. Allah yang nyaris tak tersentuh juga tampak dalam tradisi Israel. Hukum ketiga dari Taurat mengatakan, “ Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu dengan sembarangan”, maka umat Israel benar-benar memaknainya secara harafiah, apabila mereka menemukan empat huruf suci (tetra gramaphon) hyhw (YHWH) maka mereka tidak akan mengucapkannya dengan Yahweh melainkan dengan אֲדֹנָי (Adonay) yang diterjemahkan oleh Alkitab terjemahan LAI dengan “TUHAN”.

Nah, dalam paradigma pemikiran seperti itu adalah sebuah ketidakmungkinan atau keanehan kalau Allah mau “turun” dari takhta-Nya, mendekat dan diam bersama dengan manusia. Allah Yang Mahakudus tidak mungkin hidup bersama-sama dengan manusia berdosa. Namun, ternyata apa yang tidak mungkin bagi manusia, apa yang aneh bagi logika berpikir manusia, justeru itu yang dilakukan Allah. Benar, apa yang dikatakan Alkitab bahwa Allah adalah Agung, Mulia, Kudus, dan seterusnya, tetapi Dia juga dengan kedaulatan-Nya berprakarsa menjalin relasi dengan manusia demi kesejahteran dan keselamatan manusia itu sendiri. Allah melakukan terobosan untuk mengambil sikap yang paling revolusioner, radikal, realistik, komunikatif, sekaligus kontoversial, hadir dan menyatakan diri dalam wujud manusia. Allah tidak kehilangan cara untuk menjalin komunikasi dengan manusia. Ibrani 1:1-2, mengatakan, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta.”

Sejak awal Allah berusaha menjalin kontak dengan manusia. Ada begitu banyak cara yang dipakai-Nya, misalnya melalui Taurat, para nabi, perumpamaan dan seterusnya. Cara-cara itu mengindikasikan bahwa Allah serius mengupayakan pemulihan harkat dan martabat sekaligus untuk kesejahteraan manusia. Allah tidak mempedulikan gengsi yang seharusnya menjadi hak-Nya tetapi terus berinisiatif mencari manusia yang sudah memberontak kepada-Nya untuk diraih kembali dan dikasihi-Nya.

Dulu, ketika saya belum menikah dan punya anak, kadang bertanya-tanya mengapa orang dewasa berbicara kepada anaknya yang masih kecil koq ngomongnya ikut-ikutan seperti anak kecil, ikut jadi cadel, mimik mukanya dibuat seperti anak kecil. Baru setelah kami punya anak, saya pun melakukan hal yang sama. Namun, sekarang jadi mengerti mengapa saya melakukan itu. Tidak lain, supaya komunikasi nyambung, sang anak mengerti bahwa saya memperhatikan, menyayangi dan merasa bahagia akan kehadirannya! Saya membayangkan apa jadinya kalau saya berbicara menggunakan gaya bahasa dan bahasa tubuh orang dewasa ketika bicara dengan anak kecil? Pasti ia tidak mengerti!
Cesar Millan adalah seorang pelatih anjing ternama. Bagi pecinta anjing, pasti mengenal namanya. Program tayangan televisi yang dibuatnya sudah merambah di delapan puluh negara. Saya pun sempat terkagum-kagum menyaksikan tayangan serial televisi yang memperlihatkan bagaimana Cesar Millan menangani anjing-anjing bermasalah. Di hadapannya semua anjing seakan tunduk dan memahami keinginannya. Apa sebenarnya yang membuat Millan mempunyai talenta itu? Tidak lain, karena pertama-tama ia begitu mencintai anjing.  Sejak kecil, ia terbiasa bergaul dengan hewan dipeternakan kakeknya dan, secara alami ia memahami “bahasa” anjing, kemudian orang-orang menyebutnya dengan julukan, “el Perrero” (The dog boy). Menyadari talentanya, Millan mengembangkan pemahaman psikologis anjing. Tak pelak lagi, Millan mengerti “bahasa” anjing! Akibatnya, anjing-anjing itu mengerti komunikasi yang dilakukan oleh Millan. Bayangkan, andaikata Millan menuntut anjing-anjing itu yang harus mengerti bahasanya tanpa peduli psikologi anjing. Anjing akan stress dan suatu saat berontak serta melukainya.

Tentu, manusia tidak sama dengan anjing. Namun, dalam komunikasi antara Allah dan manusia, manusia sering mengalami gagal faham. Tidak selamanya manusia mengerti dan melakukan kehendak-Nya. Tentu banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Namun, keseluruhan faktor itu bermuara pada keegoisan manusia yang selalu ingin mengedepankan keinginannya. Allah tidak menuntut agar manusia itu memahami dan mengerti “bahasa Allah”. Allahlah yang kemudian “merendahkan” diri-Nya, menjadi sama seperti manusia, bukan supaya Allah mengerti bahasa manusia, tetapi agar manusia mengerti dan memahami bahwa Allah itu sungguh baik, Allah tidak menginginkan manusia binasa karena dosa-dosa mereka. Allah menginginkan manusia mengalami damai sejahtera!

Sebenarnya, dalam Perjanjian Lama ada indikasi benih-benih yang mengambarkan bahwa Allah tidak hanya tinggal diam dalam singgasana-Nya yang tak terhampiri. Namun, Allah yang tinggal bersama manusia,  telah lama dikenal. Kata “tinggal” (skeno) merupakan konsep penting Perjanjian Lama, misalnya Keluaran 25:8,9, yang mengisahkan Israel diminta untuk mendirikan tenda (tabernakel, skene) sehingga Allah bisa dekat dan tinggal di antara umat-Nya. Ketika tenda itu didirikan maka, “Kemuliaan Tuhan memenuhi Kemah Suci.”(Kel. 40:34). Allah hadir dan mendekat di sekitar komunitas tenda atau Kemah Suci itu. Mungkin, sekarang kita memahaminya, koq naif sekali Allah mau hadir asalkan dibuatkan tenda, bukankah Ia Mahahadir, tanpa tenda buatan manusia! Ya, itu kalau kita berpikir sekarang. Namun, sekali lagi Allah ingin berkomunikasi dengan manusia, maka Ia menggunakan bahasa manusia. Pada masa Keluaran, itulah bahasa yang dimengerti manusia pada zaman mereka! Itu hanya bungkusnya, isinya adalah Allah hadir dan membawa perubahan pada umat-Nya.

Firman itu tinggal di antara kita, itu pesan natal kita sekarang ini. Siapakah “kita” yang dimaksudkan di sini? Setelah panjang lebar, penulis Injil Yohanes menceritakan Sang Firman, baru dalam Yohanes 1:14, muncul kata “kita”. Yang muncul sebelumnya adalah “dunia”, “orang-orang kepunyaan-Nya, “orang-orang yang menerima-Nya”, “orang yang percaya kepada-Nya”. “Kita” menunjukan orang pertama jamak, kita adalah sebuah komunitas yang menerima dan mengaminkan Sang Firman yang menjadi manusia itu. “Kita” adalah komunitas yang dimampukan untuk melihat kemuliaan yang diberikan Allah. Sekali lagi kata “kemuliaan” (doksa) mengingatkan kembali kepada gagasan pendirian tabernakel tempat bersemayam Allah di tengah-tengah manusia. Di dalam komunitas, tenda tepat tinggal Allah itu adalah Yesus sendiri, Firman yang menjadi daging. Dalam perjalanan kisah Injil kemudian, Firman yang menjelma menjadi daging ini menyebut diri-Nya “Anak Allah” (sesuai dengan apa yang disebut Ibrani 1;2).

Bagaimana sekarang dengan komunitas “kita”, apakah memancarkan kemuliaan Allah yang benar-benar ada dan hadir itu? Jika benar bahwa Sang Firman itu ada dan hadir di tengah-tengah kita maka perayaan natal yang kita lakukan bukanlah sekedar harafiah-artifisial yang mewah dan romantis. Tetapi berupaya untuk meneladani kemuliaan yang hadir melalu kesederhanaan, kesetiakawanan dan penghargaan terhadap sesama manusia. Namun, sayangnya kita enggan untuk melakoninya dengan cara demikian. Mengapa? Karena cara pandang kita tidak bisa memahami kalau Allah itu bisa menjadi manusia, Yang tidak terbatas menjadi terbatas, Yang Ilahi mewujud dalam diri seorang manusia yang bersahaja. Padahal mengingkari ini berarti sama dengan menyatakan bahwa Allah bukan Mahakuasa lagi!

Gereja tidak boleh hidup dalam menara gading kenyamanan, kelimpahan berkat, dan keselamatannya sendiri. Namun, harus menyatakan keprihatinan Tuhan dengan berinisiatif hadir dan menyatakan belarasa Allah di tengah-tengah penderitaan umat manusia. Allah melalui Yesus Kristus, Sang Firman itu mencontohkan kepedulian itu, masa kita yang mengaku penyembah-Nya hanya mau duduk diam menikmati berkat dan kemuliaan-Nya. Jika demikian, orang Mangga Besar mengatakan, bo ceng lie. Gereja sebagai komunitas di mana Allah hadir di dalamnya harus memberikan tanda-tanda untuk menerima semua orang dalam damai sejahtera, bersedia meneruskan kasih dan pengampunan Allah, memulihkan kembali martabat manusia. Itulah Natal: Kala Allah tinggal di antara kita.

Selamat merayakan natal!

Jumat, 16 Desember 2016

TUHAN SELALU BESERTA

Pada saat itu Yehuda dipimpin oleh Ahas, mereka merasa aman sebab musuh-musuhnya, yaitu raja Aram dan Israel Utara (Samaria) tidak bisa mengalahkannya. Tetapi, Sekitar tahun 735/734 SM raja Israel dan raja Aram bersekutu menyerang Yehuda. Tentu hal ini mengagetkan Raja Ahas. Kini, Ahas dan Yehuda terancam. Raja diberi tahu oleh Yesaya agar percaya Allah untuk kelepasan. Namun Ahas menolak untuk menerima tawaran Allah akan sebuah tanda ajaib, ia malah meminta bantuan Asyur (lih. 2Raj 16:5-18; 2Taw 28:16-21).
Yesaya, sebagai Nabi Allah menawarkan kepada Ahas agar dirinya meminta tanda, bahwa Allah akan memberikan kemenangan. Ahas menolak meminta tanda, dengan alasan tidak mau mencobai Allah (tampaknya saleh sekali). Apakah benar motifasinya begitu mulia?  Sepintas, Ahas kelihatannya baik, padahal kenyataannya, hidupnya tidak lebih baik dari raja-raja Israel dan Yehuda sebelumnya, mereka menyembah berhala. Bahkan Ahas memberikan anaknya untuk dipersembahkan kepada berhala!

Di balik pernyataan kesalehannya dan penolakan meminta tanda, sebenarnya Ahas berupaya untuk meminta pertolongan dan perlindungan politik kepada raja Asyur. Ahas memilih mengandalkan kekuatan manusia, dalam hal ini raja Asyur yang terlihat kasat mata memiliki kekuatan besar ketimbang menuruti nasehat Yesaya agar mengandalkan Allah. Akhirnya, apa yang terjadi? Asyur yang menjadi andalan Ahas justeru kemudian berbalik menjadi musuhnya. Apakah Allah menertawakan kedegilan Ahas? Ternyata tidak! Pada saat itulah Allah memberikan janji keselamatan (Yesaya 7:13-17). Janji itu dikukuhkan dengan tanda yang Allah berikan sendiri, yaitu hadirnya seorang anak dari seorang perempuan muda yang diberi nama Imanuel!

Apakah Allah hanya dekat dan menyertai orang-orang yang baik-baik saja? Dari kisah Ahas di atas memperlihatkan Allah tetap dekat dan menyertai manusia, meskipun manusia itu sering menjauhi-Nya. Anda mungkin pernah mendengar lirik lagu, “Tuhan” yang dilantunkan oleh Bimbo. Sebagian lirik itu berbunyi, “Tuhan...Engkau jauh, aku jauh. Engkau dekat, aku dekat...” Apakah benar Tuhan itu kadang jauh dan kadang dekat? Bisa saja orang menafsirkannya begitu. Namun, sejatinya Tuhan dekat dengan kita. Ia tidak pernah jauh dari kita. Ia ada di depan langkah kita, Ia menopang dari belakang kita, tangan-Nya siap menatang kita, Ia ada di atas kita, mata-Nya mengawasi dan menjaga kita, bahkan Ia bisa hadir di dalam kita! Jadi ketika kita merasa bahwa Tuhan itu jauh, sesungguhnya kitalah yang tidak merasakan hadira-Nya, terkadang juga menolak-Nya seperti Ahas menolak campur tangan Allah. Ahas menepis hadirat Tuhan oleh karena ia merasa Asyur lebih bisa diandalkan untuk menghadapi musuh-musuhnya. Bukankah kita juga sering seperti Ahas yang menepis kehadiran-Nya lantaran kita merasa mampu menyelesaikannya sendiri? Kita menepis hadirat dan campur tangan Tuhan karena sibuk dengan diri sendiri. Kita seakan mengambil jarak dengan-Nya ketika sedang berselancar dengan kenikmatan kekayaan, kejayaan, kekuasaan, dan popularitas.

Namun, apa yang terjadi ketika masa-masa sulit menerpa kita? Divonis sakit yang mematikan, usaha terancam gulung tikar, pasangan berubah setia, anak-anak tak terkendali terpengaruh pergaulan bebas dan narkoba, dan sederet lagi kekacauan hidup melanda kita, nah pada masa-masa seperti ini kita mempertanyakan di mana Engkau, Tuhan? Di manakah kasih setia dan janji-Mu? Kita sering merasa butuh Tuhan pada masa-masa itu. Saya jadi teringat dengan ritual-ritual penduduk suku asli di kepulauan Karibia. Mereka akan melakukan ritual yang lebih dari biasanya ketika musim-musim badai yang mengancam mereka. Tetapi ritual akan berhenti seiring berhentinya badai itu. Bukankah sama seperti kebanyakan dari kita; ritual ibadah, doa permohonan dan yang serupa dengan itu akan semakin gencar dilakukan apabila terpaan badai kehidupan menimpa kita, sebaliknya ritual dan doa akan menjadi kendor, seiring dengan meredanya badai kehidupan.

Kita seharusnya lebih bisa merasakan hadirat Tuhan, bukan saja ketika jamahan Roh Kudus membungkus kita dalam Kebaktian Kebangunan Rohani. Tidak juga sekedar merasakan hadirat Tuhan pada saat teduh, atau seminggu sekali dalam ibadah minggu. Setiap hari, sejak mengenal Kristus mestinya kita merasakan hadirat Tuhan. Bukankah di dalam Kristus, kita mengimani bahwa Dialah Sang Imanuel itu!

Untuk dapat mengalami kehadiran Tuhan sepanjang masa dalam kehidupan kita, maka dibutuhkan komitmen dan iman bukan hanya sekedar perasaan saja, sebab terkadang perasan bisa menipu. Mungkin Anda punya pengalaman seperti ini: Ketika dalam masa-masa sulit, seseorang pernah berjanji untuk menolong Anda, namun pertolongan itu tidak kunjung datang. Mengapa? Sering orang berjanji karena didasari oleh perasaan iba dan simpati sesaat. Biasanya seperti ini bisa kita lihat dalam peristiwa kedukaan, bencana atau kecelakaan tragis. Karena perasaan iba orang lantas berucap, “Nanti kalau ada kesulitan hubungi saya, pasti saya akan menolong!” atau “Biarlah nanti biaya hidup dan anak-anak sekolah akan saya tanggung!” Tapi setelah beberapa waktu perasaan iba itu berkurang dan kemudian hilang sama sekali, maka janji itu terlupakan! Barangkali Anda juga pernah tergerak hati menolong peneritaan anak-anak terlantar, berniat menyantuni hidup mereka, namun urung Anda lakukan, mengapa? Karena merasa belas kasihan itu sudah menjadi tawar. Ya, ada kalanya janji hanya sebatas perasaan, dan ketika perasaan kita berubah, berubahlah pula komitmen kita.

Tentang perasaan, apakah hubungan Anda juga pernah merasa Tuhan tidak ada saat Anda membutuhkan Dia? Adakalanya kita merasa bahwa Tuhan meninggalkan kita, seperti Daud pernah berseru, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku. Allahku, aku berseru-seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang.” (Mazmur 22:2-3). Benarkah Tuhan tidak ada? Apakah Tuhan bersembunyi, diam membisu saat Anda dan saya merindukan-Nya? Tidak! Itu adalah perasaan kita semata, Tuhan selalu ada, namun kita dan juga Daud tidak merasakan bahwa Dia ada!

Jika hubungan kita dengan Tuhan hanya sebatas perasaan, hubungan itu akan pasang surut mengikuti perasaan kita yang senantiasa berubah. Tuhan ada untuk kita; Imanuel! Tuhan ada bukan karena kita sedang merasakan bahwa Dia sedang dekat. Tuhan selalu ada, meski kita merasa Dia jauh dari kita. Hubungan kita dengan Tuhan tidak boleh direntangkan sebatas perasaan semata. Hubngan itu seharusnya dilandasi oleh komitmen dan iman. Apakah Anda juga ingin mengukuhkan kembali komitmen Anda kepada Tuhan? Lakukanlah sesuatu yang membuat Anda semakin dekat dengan Tuhan. Mulailah mencintai apa yang Tuhan cintai, membenci apa yang Tuhan benci. Mulailah dengan lebih teduh hati dalam beribadah, lebih tulus melayani di gereja, lebih banyak mendoakan orang lain ketimbang keinginan diri sendiri, lebih banyak mengucap syukur ketimbang mengeluh dan lebih banyak melihat kebaikan dalam diri orang lain. Ketika kita dengan lebih keras lagi untuk membuat Tuhan tersenyum maka seakan tiada jarak antara kita dengan Tuhan! Imanuel itu nyata, ada di sini, ada di hati ini!

Kembali ke kisah Yehuda dan Raja Ahas. Apakah yang dipikirkan Ahas ketika ia memutuskan untuk meminta tolong kepada Asyur? Ketika itu Ahas dalam keadaan panik dan takut, sebab Aram dan Israel akan menyerang Yehuda. Karena ketakutannya itulah maka Ahas melakukan tindakan yang "rasional". Sebagai seorang kepala negara, ia harus memikirkan keselamatan bangsanya dan dirinya sendiri. Ia tidak bisa menunggu lagi karena Aram dan Israel akan segera menghancurkan Yerusalam dan Yehuda. Ia harus bertindak cepat, berpikir logis dan minta bantuan kepada Asyur. Harus, harus, harus! Kelihatannya Ahas sudah terjebak dengan situasi. Pada waktu itu, memang tidak gampang -- Ahas diminta Allah untuk beriman. Dalam situasi krisis, bukankah beriman merupakan pilihan paling akhir yang akan diambil oleh seorang yang berpikir logis?
Ahas diminta untuk memohon sebuah tanda. Sayang sekali, Ahas sudah menutup hatinya. Ia tidak akan mengubah keputusannya untuk meminta tolong kepada Asyur. Karena itu, Tuhan memberikan tanda meskipun Ahas tidak memintanya. Pemberian tanda ini merupakan sebuah demonstrasi yang dilakukan Allah untuk menentang Ahas. Allah ingin menunjukkan bahwa janji-Nya pasti terlaksana namun Ahas tetap buta. Tanda yang diberikan adalah akan lahirnya seorang anak sebagai simbol Imanuel, simbol bahwa "Allah beserta dengan kita [umat-Nya]." Namun, Ahas tetap keras hati. Maka, Allah menunjukkan bahwa Asyur akan memusnahkan Yehuda.
Imanuel dalam bahasa Ibrani berarti “Allah beserta kita.” Hanya tiga ayat dalam Alkitab yang menulis “Imanuel”, yaitu dalam Yesaya 7:14; 8:8; dan Matius 1:23. Mari kita perhatikan dua dari tiga ayat-ayat itu yang menjelaskan tentang makna dari Imanuel itu. Yang pertama, Yesaya 7:14 mengatakan, “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan manamakan Dia Imanuel.” Ayat yang kedua dari Matius 1:23, “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel – yang berarti: Allah menyertai kita.”

Sangatlah gamlang bahwa kedua ayat ini “saling bersautan”. Yesaya 7:14 merupakan nubuat akan lahirnya Imanuel sedangkan Matius 1:23 merupakan penggenapan dari nubuat itu. Anak dara itu adalah Maria. Maria melahirkan seorang bayi laki-laki yang kemudian oleh Yusuf diberinya nama Yesus (Matius 1:25). Jadi dengan demikian Sang Imanuel itu adalah Yesus sendiri!

Yesus adalah Imanuel, itu berarti melalui kelahiran Yesus, Allah datang ke dunia untuk menyertai dan menolong umat manusia. Allah bukan lagi Allah yang jauh dan sulit digapai oleh manusia. Melalui Yesus manusia dapat merasakan bahwa kini Allah itu begitu dekat. Ia hadir, memahami dan turut serta dalam pergumulan umat manusia. Sebaliknya, dari sisi manusia: Manusia dapat melihat, mengerti, memahami esensi dari karakter Allah itu. Jika manusia ingin tahu tentang kasih Allah, Yesuslah jawabannya! Hidup Yesus merupakan gambaran yang utuh dari cinta kasih Allah yang disebut agave itu. Ia mengasihi tanpa syarat dan tanpa pandang bulu. Jika manusia ingin tahu tentang pengampunan Allah, Yesuslah jawabannya! Melalui penderitaan-Nya di kayu salib, Yesus tidak menuntut pembalasan tetapi mengampuni setiap orang yang telah menganiaya dan memperlakukan-Nya dengan diadab. Melalui Yesus manusia mengenal kehendak Allah itu maka dengan demikian kita tahu sekarang bahwa Yesus adalah Allah yang memperkenalkan diri-Nya sendiri dan datang ke dalam dunia.