Pada saat itu Yehuda dipimpin oleh Ahas, mereka
merasa aman sebab musuh-musuhnya, yaitu raja Aram dan Israel Utara (Samaria) tidak bisa mengalahkannya. Tetapi, Sekitar tahun
735/734 SM raja Israel dan raja Aram
bersekutu menyerang Yehuda. Tentu hal ini mengagetkan Raja Ahas. Kini, Ahas dan Yehuda terancam. Raja diberi tahu oleh
Yesaya agar percaya Allah untuk kelepasan. Namun Ahas menolak untuk menerima
tawaran Allah akan sebuah tanda ajaib, ia malah meminta bantuan Asyur (lih.
2Raj 16:5-18; 2Taw 28:16-21).
Yesaya, sebagai Nabi Allah menawarkan kepada Ahas agar dirinya meminta tanda, bahwa Allah akan
memberikan kemenangan. Ahas menolak meminta tanda, dengan alasan tidak mau
mencobai Allah (tampaknya saleh sekali). Apakah benar motifasinya begitu
mulia? Sepintas, Ahas kelihatannya baik,
padahal kenyataannya, hidupnya tidak lebih baik dari raja-raja Israel dan
Yehuda sebelumnya, mereka menyembah berhala. Bahkan Ahas memberikan anaknya
untuk dipersembahkan kepada berhala!
Di balik pernyataan kesalehannya dan penolakan meminta tanda, sebenarnya
Ahas berupaya untuk meminta pertolongan dan perlindungan politik kepada raja
Asyur. Ahas memilih mengandalkan kekuatan manusia, dalam hal ini raja Asyur
yang terlihat kasat mata memiliki kekuatan besar ketimbang menuruti nasehat
Yesaya agar mengandalkan Allah. Akhirnya, apa yang terjadi? Asyur yang menjadi
andalan Ahas justeru kemudian berbalik menjadi musuhnya. Apakah Allah
menertawakan kedegilan Ahas? Ternyata tidak! Pada saat itulah Allah memberikan
janji keselamatan (Yesaya 7:13-17). Janji itu dikukuhkan dengan tanda yang
Allah berikan sendiri, yaitu hadirnya seorang anak dari seorang perempuan muda
yang diberi nama Imanuel!
Apakah Allah hanya dekat dan menyertai orang-orang yang baik-baik saja?
Dari kisah Ahas di atas memperlihatkan Allah tetap dekat dan menyertai manusia,
meskipun manusia itu sering menjauhi-Nya. Anda mungkin pernah mendengar lirik
lagu, “Tuhan” yang dilantunkan oleh
Bimbo. Sebagian lirik itu berbunyi, “Tuhan...Engkau
jauh, aku jauh. Engkau dekat, aku dekat...” Apakah benar Tuhan itu kadang
jauh dan kadang dekat? Bisa saja orang menafsirkannya begitu. Namun, sejatinya Tuhan
dekat dengan kita. Ia tidak pernah jauh dari kita. Ia ada di depan langkah kita,
Ia menopang dari belakang kita, tangan-Nya siap menatang kita, Ia ada di atas
kita, mata-Nya mengawasi dan menjaga kita, bahkan Ia bisa hadir di dalam kita!
Jadi ketika kita merasa bahwa Tuhan itu jauh, sesungguhnya kitalah yang tidak
merasakan hadira-Nya, terkadang juga menolak-Nya seperti Ahas menolak campur
tangan Allah. Ahas menepis hadirat Tuhan oleh karena ia merasa Asyur lebih bisa
diandalkan untuk menghadapi musuh-musuhnya. Bukankah kita juga sering seperti
Ahas yang menepis kehadiran-Nya lantaran kita merasa mampu menyelesaikannya
sendiri? Kita menepis hadirat dan campur tangan Tuhan karena sibuk dengan diri
sendiri. Kita seakan mengambil jarak dengan-Nya ketika sedang berselancar
dengan kenikmatan kekayaan, kejayaan, kekuasaan, dan popularitas.
Namun, apa yang terjadi ketika masa-masa sulit menerpa kita? Divonis
sakit yang mematikan, usaha terancam gulung tikar, pasangan berubah setia,
anak-anak tak terkendali terpengaruh pergaulan bebas dan narkoba, dan sederet
lagi kekacauan hidup melanda kita, nah pada masa-masa seperti ini kita
mempertanyakan di mana Engkau, Tuhan? Di manakah kasih setia dan janji-Mu? Kita
sering merasa butuh Tuhan pada masa-masa itu. Saya jadi teringat dengan
ritual-ritual penduduk suku asli di kepulauan Karibia. Mereka akan melakukan
ritual yang lebih dari biasanya ketika musim-musim badai yang mengancam mereka.
Tetapi ritual akan berhenti seiring berhentinya badai itu. Bukankah sama
seperti kebanyakan dari kita; ritual ibadah, doa permohonan dan yang serupa
dengan itu akan semakin gencar dilakukan apabila terpaan badai kehidupan
menimpa kita, sebaliknya ritual dan doa akan menjadi kendor, seiring dengan
meredanya badai kehidupan.
Kita seharusnya lebih bisa merasakan hadirat Tuhan, bukan saja ketika
jamahan Roh Kudus membungkus kita dalam Kebaktian Kebangunan Rohani. Tidak juga
sekedar merasakan hadirat Tuhan pada saat teduh, atau seminggu sekali dalam
ibadah minggu. Setiap hari, sejak mengenal Kristus mestinya kita merasakan
hadirat Tuhan. Bukankah di dalam Kristus, kita mengimani bahwa Dialah Sang
Imanuel itu!
Untuk dapat mengalami kehadiran Tuhan sepanjang masa dalam kehidupan
kita, maka dibutuhkan komitmen dan iman bukan hanya sekedar perasaan saja,
sebab terkadang perasan bisa menipu. Mungkin Anda punya pengalaman seperti ini:
Ketika dalam masa-masa sulit, seseorang pernah berjanji untuk menolong Anda,
namun pertolongan itu tidak kunjung datang. Mengapa? Sering orang berjanji
karena didasari oleh perasaan iba dan simpati sesaat. Biasanya seperti ini bisa
kita lihat dalam peristiwa kedukaan, bencana atau kecelakaan tragis. Karena
perasaan iba orang lantas berucap, “Nanti kalau ada kesulitan hubungi saya,
pasti saya akan menolong!” atau “Biarlah nanti biaya hidup dan anak-anak
sekolah akan saya tanggung!” Tapi setelah beberapa waktu perasaan iba itu
berkurang dan kemudian hilang sama sekali, maka janji itu terlupakan!
Barangkali Anda juga pernah tergerak hati menolong peneritaan anak-anak
terlantar, berniat menyantuni hidup mereka, namun urung Anda lakukan, mengapa?
Karena merasa belas kasihan itu sudah menjadi tawar. Ya, ada kalanya janji
hanya sebatas perasaan, dan ketika perasaan kita berubah, berubahlah pula
komitmen kita.
Tentang perasaan, apakah hubungan Anda juga pernah merasa Tuhan tidak
ada saat Anda membutuhkan Dia? Adakalanya kita merasa bahwa Tuhan meninggalkan
kita, seperti Daud pernah berseru, “Allahku,
Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh
dan tidak menolong aku. Allahku, aku berseru-seru pada waktu siang, tetapi Engkau
tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang.” (Mazmur
22:2-3). Benarkah Tuhan tidak ada? Apakah Tuhan bersembunyi, diam membisu saat
Anda dan saya merindukan-Nya? Tidak! Itu adalah perasaan kita semata, Tuhan
selalu ada, namun kita dan juga Daud tidak merasakan bahwa Dia ada!
Jika hubungan kita dengan Tuhan hanya sebatas perasaan, hubungan itu
akan pasang surut mengikuti perasaan kita yang senantiasa berubah. Tuhan ada
untuk kita; Imanuel! Tuhan ada bukan karena kita sedang merasakan bahwa Dia
sedang dekat. Tuhan selalu ada, meski kita merasa Dia jauh dari kita. Hubungan
kita dengan Tuhan tidak boleh direntangkan sebatas perasaan semata. Hubngan itu
seharusnya dilandasi oleh komitmen dan iman. Apakah Anda juga ingin mengukuhkan
kembali komitmen Anda kepada Tuhan? Lakukanlah sesuatu yang membuat Anda
semakin dekat dengan Tuhan. Mulailah mencintai apa yang Tuhan cintai, membenci
apa yang Tuhan benci. Mulailah dengan lebih teduh hati dalam beribadah, lebih
tulus melayani di gereja, lebih banyak mendoakan orang lain ketimbang keinginan
diri sendiri, lebih banyak mengucap syukur ketimbang mengeluh dan lebih banyak
melihat kebaikan dalam diri orang lain. Ketika kita dengan lebih keras lagi
untuk membuat Tuhan tersenyum maka seakan tiada jarak antara kita dengan Tuhan!
Imanuel itu nyata, ada di sini, ada di hati ini!
Kembali
ke kisah Yehuda dan Raja Ahas. Apakah yang dipikirkan Ahas ketika ia memutuskan
untuk meminta tolong kepada Asyur? Ketika itu Ahas dalam keadaan panik dan
takut, sebab Aram dan Israel akan menyerang Yehuda. Karena ketakutannya itulah
maka Ahas melakukan tindakan yang "rasional". Sebagai seorang kepala
negara, ia harus memikirkan keselamatan bangsanya dan dirinya sendiri. Ia tidak
bisa menunggu lagi karena Aram dan Israel akan segera menghancurkan Yerusalam
dan Yehuda. Ia harus bertindak cepat, berpikir logis dan minta bantuan kepada
Asyur. Harus, harus, harus! Kelihatannya Ahas sudah terjebak dengan situasi.
Pada waktu itu, memang tidak gampang -- Ahas diminta Allah untuk beriman. Dalam
situasi krisis, bukankah beriman merupakan pilihan paling akhir yang akan
diambil oleh seorang yang berpikir logis?
Ahas
diminta untuk memohon sebuah tanda. Sayang sekali, Ahas sudah menutup hatinya.
Ia tidak akan mengubah keputusannya untuk meminta tolong kepada Asyur. Karena
itu, Tuhan memberikan tanda meskipun Ahas tidak memintanya. Pemberian tanda ini
merupakan sebuah demonstrasi yang dilakukan Allah untuk menentang Ahas. Allah
ingin menunjukkan bahwa janji-Nya pasti terlaksana namun Ahas tetap buta. Tanda
yang diberikan adalah akan lahirnya seorang anak sebagai simbol Imanuel, simbol
bahwa "Allah beserta dengan kita [umat-Nya]." Namun, Ahas tetap keras
hati. Maka, Allah menunjukkan bahwa Asyur akan memusnahkan Yehuda.
Imanuel dalam bahasa
Ibrani berarti “Allah beserta kita.” Hanya tiga ayat dalam Alkitab yang
menulis “Imanuel”, yaitu dalam Yesaya 7:14; 8:8; dan Matius 1:23. Mari kita
perhatikan dua dari tiga ayat-ayat itu yang menjelaskan tentang makna dari
Imanuel itu. Yang pertama, Yesaya 7:14 mengatakan, “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu
pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan
seorang anak laki-laki, dan ia akan manamakan Dia Imanuel.” Ayat yang kedua
dari Matius 1:23, “Sesungguhnya, anak
dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan
menamakan Dia Imanuel – yang berarti: Allah menyertai kita.”
Sangatlah gamlang
bahwa kedua ayat ini “saling bersautan”. Yesaya 7:14 merupakan nubuat akan
lahirnya Imanuel sedangkan Matius 1:23 merupakan penggenapan dari nubuat itu.
Anak dara itu adalah Maria. Maria melahirkan seorang bayi laki-laki yang
kemudian oleh Yusuf diberinya nama Yesus (Matius 1:25). Jadi dengan demikian
Sang Imanuel itu adalah Yesus sendiri!
Yesus adalah Imanuel,
itu berarti melalui kelahiran Yesus, Allah datang ke dunia untuk menyertai dan
menolong umat manusia. Allah bukan lagi Allah yang jauh dan sulit digapai oleh
manusia. Melalui Yesus manusia dapat merasakan bahwa kini Allah itu begitu
dekat. Ia hadir, memahami dan turut serta dalam pergumulan umat manusia.
Sebaliknya, dari sisi manusia: Manusia dapat melihat, mengerti, memahami esensi
dari karakter Allah itu. Jika manusia ingin tahu tentang kasih Allah, Yesuslah
jawabannya! Hidup Yesus merupakan gambaran yang utuh dari cinta kasih Allah
yang disebut agave itu. Ia mengasihi tanpa syarat dan tanpa pandang bulu. Jika
manusia ingin tahu tentang pengampunan Allah, Yesuslah jawabannya! Melalui
penderitaan-Nya di kayu salib, Yesus tidak menuntut pembalasan tetapi
mengampuni setiap orang yang telah menganiaya dan memperlakukan-Nya dengan
diadab. Melalui Yesus manusia mengenal kehendak Allah itu maka dengan demikian
kita tahu sekarang bahwa Yesus adalah Allah yang memperkenalkan diri-Nya
sendiri dan datang ke dalam dunia.