Jumat, 16 Desember 2016

TUHAN SELALU BESERTA

Pada saat itu Yehuda dipimpin oleh Ahas, mereka merasa aman sebab musuh-musuhnya, yaitu raja Aram dan Israel Utara (Samaria) tidak bisa mengalahkannya. Tetapi, Sekitar tahun 735/734 SM raja Israel dan raja Aram bersekutu menyerang Yehuda. Tentu hal ini mengagetkan Raja Ahas. Kini, Ahas dan Yehuda terancam. Raja diberi tahu oleh Yesaya agar percaya Allah untuk kelepasan. Namun Ahas menolak untuk menerima tawaran Allah akan sebuah tanda ajaib, ia malah meminta bantuan Asyur (lih. 2Raj 16:5-18; 2Taw 28:16-21).
Yesaya, sebagai Nabi Allah menawarkan kepada Ahas agar dirinya meminta tanda, bahwa Allah akan memberikan kemenangan. Ahas menolak meminta tanda, dengan alasan tidak mau mencobai Allah (tampaknya saleh sekali). Apakah benar motifasinya begitu mulia?  Sepintas, Ahas kelihatannya baik, padahal kenyataannya, hidupnya tidak lebih baik dari raja-raja Israel dan Yehuda sebelumnya, mereka menyembah berhala. Bahkan Ahas memberikan anaknya untuk dipersembahkan kepada berhala!

Di balik pernyataan kesalehannya dan penolakan meminta tanda, sebenarnya Ahas berupaya untuk meminta pertolongan dan perlindungan politik kepada raja Asyur. Ahas memilih mengandalkan kekuatan manusia, dalam hal ini raja Asyur yang terlihat kasat mata memiliki kekuatan besar ketimbang menuruti nasehat Yesaya agar mengandalkan Allah. Akhirnya, apa yang terjadi? Asyur yang menjadi andalan Ahas justeru kemudian berbalik menjadi musuhnya. Apakah Allah menertawakan kedegilan Ahas? Ternyata tidak! Pada saat itulah Allah memberikan janji keselamatan (Yesaya 7:13-17). Janji itu dikukuhkan dengan tanda yang Allah berikan sendiri, yaitu hadirnya seorang anak dari seorang perempuan muda yang diberi nama Imanuel!

Apakah Allah hanya dekat dan menyertai orang-orang yang baik-baik saja? Dari kisah Ahas di atas memperlihatkan Allah tetap dekat dan menyertai manusia, meskipun manusia itu sering menjauhi-Nya. Anda mungkin pernah mendengar lirik lagu, “Tuhan” yang dilantunkan oleh Bimbo. Sebagian lirik itu berbunyi, “Tuhan...Engkau jauh, aku jauh. Engkau dekat, aku dekat...” Apakah benar Tuhan itu kadang jauh dan kadang dekat? Bisa saja orang menafsirkannya begitu. Namun, sejatinya Tuhan dekat dengan kita. Ia tidak pernah jauh dari kita. Ia ada di depan langkah kita, Ia menopang dari belakang kita, tangan-Nya siap menatang kita, Ia ada di atas kita, mata-Nya mengawasi dan menjaga kita, bahkan Ia bisa hadir di dalam kita! Jadi ketika kita merasa bahwa Tuhan itu jauh, sesungguhnya kitalah yang tidak merasakan hadira-Nya, terkadang juga menolak-Nya seperti Ahas menolak campur tangan Allah. Ahas menepis hadirat Tuhan oleh karena ia merasa Asyur lebih bisa diandalkan untuk menghadapi musuh-musuhnya. Bukankah kita juga sering seperti Ahas yang menepis kehadiran-Nya lantaran kita merasa mampu menyelesaikannya sendiri? Kita menepis hadirat dan campur tangan Tuhan karena sibuk dengan diri sendiri. Kita seakan mengambil jarak dengan-Nya ketika sedang berselancar dengan kenikmatan kekayaan, kejayaan, kekuasaan, dan popularitas.

Namun, apa yang terjadi ketika masa-masa sulit menerpa kita? Divonis sakit yang mematikan, usaha terancam gulung tikar, pasangan berubah setia, anak-anak tak terkendali terpengaruh pergaulan bebas dan narkoba, dan sederet lagi kekacauan hidup melanda kita, nah pada masa-masa seperti ini kita mempertanyakan di mana Engkau, Tuhan? Di manakah kasih setia dan janji-Mu? Kita sering merasa butuh Tuhan pada masa-masa itu. Saya jadi teringat dengan ritual-ritual penduduk suku asli di kepulauan Karibia. Mereka akan melakukan ritual yang lebih dari biasanya ketika musim-musim badai yang mengancam mereka. Tetapi ritual akan berhenti seiring berhentinya badai itu. Bukankah sama seperti kebanyakan dari kita; ritual ibadah, doa permohonan dan yang serupa dengan itu akan semakin gencar dilakukan apabila terpaan badai kehidupan menimpa kita, sebaliknya ritual dan doa akan menjadi kendor, seiring dengan meredanya badai kehidupan.

Kita seharusnya lebih bisa merasakan hadirat Tuhan, bukan saja ketika jamahan Roh Kudus membungkus kita dalam Kebaktian Kebangunan Rohani. Tidak juga sekedar merasakan hadirat Tuhan pada saat teduh, atau seminggu sekali dalam ibadah minggu. Setiap hari, sejak mengenal Kristus mestinya kita merasakan hadirat Tuhan. Bukankah di dalam Kristus, kita mengimani bahwa Dialah Sang Imanuel itu!

Untuk dapat mengalami kehadiran Tuhan sepanjang masa dalam kehidupan kita, maka dibutuhkan komitmen dan iman bukan hanya sekedar perasaan saja, sebab terkadang perasan bisa menipu. Mungkin Anda punya pengalaman seperti ini: Ketika dalam masa-masa sulit, seseorang pernah berjanji untuk menolong Anda, namun pertolongan itu tidak kunjung datang. Mengapa? Sering orang berjanji karena didasari oleh perasaan iba dan simpati sesaat. Biasanya seperti ini bisa kita lihat dalam peristiwa kedukaan, bencana atau kecelakaan tragis. Karena perasaan iba orang lantas berucap, “Nanti kalau ada kesulitan hubungi saya, pasti saya akan menolong!” atau “Biarlah nanti biaya hidup dan anak-anak sekolah akan saya tanggung!” Tapi setelah beberapa waktu perasaan iba itu berkurang dan kemudian hilang sama sekali, maka janji itu terlupakan! Barangkali Anda juga pernah tergerak hati menolong peneritaan anak-anak terlantar, berniat menyantuni hidup mereka, namun urung Anda lakukan, mengapa? Karena merasa belas kasihan itu sudah menjadi tawar. Ya, ada kalanya janji hanya sebatas perasaan, dan ketika perasaan kita berubah, berubahlah pula komitmen kita.

Tentang perasaan, apakah hubungan Anda juga pernah merasa Tuhan tidak ada saat Anda membutuhkan Dia? Adakalanya kita merasa bahwa Tuhan meninggalkan kita, seperti Daud pernah berseru, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku. Allahku, aku berseru-seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang.” (Mazmur 22:2-3). Benarkah Tuhan tidak ada? Apakah Tuhan bersembunyi, diam membisu saat Anda dan saya merindukan-Nya? Tidak! Itu adalah perasaan kita semata, Tuhan selalu ada, namun kita dan juga Daud tidak merasakan bahwa Dia ada!

Jika hubungan kita dengan Tuhan hanya sebatas perasaan, hubungan itu akan pasang surut mengikuti perasaan kita yang senantiasa berubah. Tuhan ada untuk kita; Imanuel! Tuhan ada bukan karena kita sedang merasakan bahwa Dia sedang dekat. Tuhan selalu ada, meski kita merasa Dia jauh dari kita. Hubungan kita dengan Tuhan tidak boleh direntangkan sebatas perasaan semata. Hubngan itu seharusnya dilandasi oleh komitmen dan iman. Apakah Anda juga ingin mengukuhkan kembali komitmen Anda kepada Tuhan? Lakukanlah sesuatu yang membuat Anda semakin dekat dengan Tuhan. Mulailah mencintai apa yang Tuhan cintai, membenci apa yang Tuhan benci. Mulailah dengan lebih teduh hati dalam beribadah, lebih tulus melayani di gereja, lebih banyak mendoakan orang lain ketimbang keinginan diri sendiri, lebih banyak mengucap syukur ketimbang mengeluh dan lebih banyak melihat kebaikan dalam diri orang lain. Ketika kita dengan lebih keras lagi untuk membuat Tuhan tersenyum maka seakan tiada jarak antara kita dengan Tuhan! Imanuel itu nyata, ada di sini, ada di hati ini!

Kembali ke kisah Yehuda dan Raja Ahas. Apakah yang dipikirkan Ahas ketika ia memutuskan untuk meminta tolong kepada Asyur? Ketika itu Ahas dalam keadaan panik dan takut, sebab Aram dan Israel akan menyerang Yehuda. Karena ketakutannya itulah maka Ahas melakukan tindakan yang "rasional". Sebagai seorang kepala negara, ia harus memikirkan keselamatan bangsanya dan dirinya sendiri. Ia tidak bisa menunggu lagi karena Aram dan Israel akan segera menghancurkan Yerusalam dan Yehuda. Ia harus bertindak cepat, berpikir logis dan minta bantuan kepada Asyur. Harus, harus, harus! Kelihatannya Ahas sudah terjebak dengan situasi. Pada waktu itu, memang tidak gampang -- Ahas diminta Allah untuk beriman. Dalam situasi krisis, bukankah beriman merupakan pilihan paling akhir yang akan diambil oleh seorang yang berpikir logis?
Ahas diminta untuk memohon sebuah tanda. Sayang sekali, Ahas sudah menutup hatinya. Ia tidak akan mengubah keputusannya untuk meminta tolong kepada Asyur. Karena itu, Tuhan memberikan tanda meskipun Ahas tidak memintanya. Pemberian tanda ini merupakan sebuah demonstrasi yang dilakukan Allah untuk menentang Ahas. Allah ingin menunjukkan bahwa janji-Nya pasti terlaksana namun Ahas tetap buta. Tanda yang diberikan adalah akan lahirnya seorang anak sebagai simbol Imanuel, simbol bahwa "Allah beserta dengan kita [umat-Nya]." Namun, Ahas tetap keras hati. Maka, Allah menunjukkan bahwa Asyur akan memusnahkan Yehuda.
Imanuel dalam bahasa Ibrani berarti “Allah beserta kita.” Hanya tiga ayat dalam Alkitab yang menulis “Imanuel”, yaitu dalam Yesaya 7:14; 8:8; dan Matius 1:23. Mari kita perhatikan dua dari tiga ayat-ayat itu yang menjelaskan tentang makna dari Imanuel itu. Yang pertama, Yesaya 7:14 mengatakan, “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan manamakan Dia Imanuel.” Ayat yang kedua dari Matius 1:23, “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel – yang berarti: Allah menyertai kita.”

Sangatlah gamlang bahwa kedua ayat ini “saling bersautan”. Yesaya 7:14 merupakan nubuat akan lahirnya Imanuel sedangkan Matius 1:23 merupakan penggenapan dari nubuat itu. Anak dara itu adalah Maria. Maria melahirkan seorang bayi laki-laki yang kemudian oleh Yusuf diberinya nama Yesus (Matius 1:25). Jadi dengan demikian Sang Imanuel itu adalah Yesus sendiri!

Yesus adalah Imanuel, itu berarti melalui kelahiran Yesus, Allah datang ke dunia untuk menyertai dan menolong umat manusia. Allah bukan lagi Allah yang jauh dan sulit digapai oleh manusia. Melalui Yesus manusia dapat merasakan bahwa kini Allah itu begitu dekat. Ia hadir, memahami dan turut serta dalam pergumulan umat manusia. Sebaliknya, dari sisi manusia: Manusia dapat melihat, mengerti, memahami esensi dari karakter Allah itu. Jika manusia ingin tahu tentang kasih Allah, Yesuslah jawabannya! Hidup Yesus merupakan gambaran yang utuh dari cinta kasih Allah yang disebut agave itu. Ia mengasihi tanpa syarat dan tanpa pandang bulu. Jika manusia ingin tahu tentang pengampunan Allah, Yesuslah jawabannya! Melalui penderitaan-Nya di kayu salib, Yesus tidak menuntut pembalasan tetapi mengampuni setiap orang yang telah menganiaya dan memperlakukan-Nya dengan diadab. Melalui Yesus manusia mengenal kehendak Allah itu maka dengan demikian kita tahu sekarang bahwa Yesus adalah Allah yang memperkenalkan diri-Nya sendiri dan datang ke dalam dunia.

Sabtu, 10 Desember 2016

NATAL YANG MANIS

Tema Natal di GKI Mangga Besar tahun 2016 ini adalah “Natal Yang Manis.” Mendengar kata “Manis”, kebanyak dari kita mungkin menghubungkannya dengan gula. Benar, gula adalah materi sumber rasa manis. Gula juga sebagai salah satu sumber kalori yang tentunya diperlukan oleh tubuh kita. Dalam batas tertentu, gula bermanfaat bagi tubuh kita. Namun, belakangan ini para ahli kesehatan menengarai bahwa selain sumber kalori dan pemberi cita rasa manis, ternyata dalam gula juga tersembunyi potensi bahaya. Antara lain dapat menjadi penyebab dari obesitas atau kelebihan berat badan yang selanjutnya dapat memicu sakit gula atau diabetes yang berpotensi merusak organ-organ vital dalam tubuh kita, seperti Jantung, lever, pankreas, ginjal, selaput otak dan yang lainnya.

“Natal Yang Manis”. Sangat mungkin banyak orang menafsirkan kalimat tema ini, Natal seperti menikmati manisnya gula. Banyangkan pada saat menjelang Natal, ada banyak pesta diskon, para pengunjung mall atau super market dimanjakan dengan pelbagai ornament atau hiasan Natal yang serba gemerlap. Kita menyiapkan kado atau hadiah untuk anak-anak dan orang-orang yang kita sayangi, pesta dan perayaan digelar dengan mewah. Semua berlangsung dengan kemeriahan. Manis memang! Namun, tanpa sadar kita telah menjadikan Natal bak mengkonsumsi gula yang berlebihan. Kita dimanjakan dengan pesta diskon dan membanjirnya barang-barang yang kita pandang murah. Di luar dugaan hal itu menggiring kita kepada sebuah tren yang dinamakan budaya konsumtif. Mendompleng Natal, banyak produsen dan penjual mempercantik etalase mereka dan katanya menurunkan harga. Kita tergoda untuk membeli, padahal bisa saja sesampainya di rumah barang-barang yang kita beli tidaklah terlalu diperlukan. Selanjutnya hanya mengisi dan memenuhi rumah kita yang semakin sumpek!

Anak-anak diberikan baju baru dan hadiah-hadiah yang menarik. Benar, memberikan sesuatu untuk menyenangkan buah hati kita tentu tidaklah salah. Namun, lagi-lagi kita tidak menyadari di balik itu tersimpan bahaya yang dapat merusak mentalitas mereka. Mentalitas yang selalu ingin diberi dan diperhatikan. Hal ini tentu terbalik dengan apa yang Tuhan Yesus ajarkan, bahwa Ia datang untuk melayani dan bukan dilayani; Ia datang untuk memperhatikan dan memberi bukan sebaliknya!

Lalu kalau begitu apa artinya “Natal Yang Manis” itu? Manis tidak selalu identik dengan gula. Manis dapat berarti kelepasan atau kelegaan dari pelbagai peristiwa hidup yang menyesakkan. Seorang anak yang dibesarkan dalam keterbatasan ekonomi, ia harus berjuang untuk bertahan hidup namun punya tekad untuk terus sekolah dan menggapai cita-cita. Ia membuang rasa malu ketika harus menjajakan kue sambil bersekolah. Setiap hari harus bercucuran peluh di tengah kelelahan. Ia belajar dalam segala keterbatasan ruang dan waktu, dan akhirnya dapat menyelesaikan bangku kuliahnya dengan predikat cumlaude! Kini, ia menjabat sebagai salah seorang direktur BUMN ternama. Itulah perjuangan yang manis! Ada sukacita dan kebahagiaan.

Lalu di manakah kebahagiaan dan sukacita Natal itu? Jelas bukan dengan meriahnya pesta diskon dan kado-kado Natal! Ketika kita mencoba meminjam catatan Injil tentang peristiwa kelahiran Yesus Kristus – yang kemudian kita sebut Natal itu. Di malam Yesus lahir, dunia terasa pekat dan kelam setidaknya bagi umat Israel. Mengapa? Mereka sedang dalam penderitaan. Dari sisi spiritual, penderitaan itu akibat krisis moral dari bangsa itu, diperparah dengan penjajahan oleh bangsa Romawi. Kekaisaran Romawi mewajibkan semua orang yang tinggal di wilayah jajahan mereka untuk melakukan sensus kependudukan yang ujungnya adalah untuk penghitungan pajak per kepala yang harus disetor ke koloni Romawi. Malam itu Yusuf dan Maria yang sedang mengandung memenuhi panggilan sensus di kota leluhur mereka, Betlehem. Waktu bersalin tidak mengenal kompromi. Sialnya, semua tempat penuh dan mereka tidak kebagian ruang yang layak bahkan untuk meletakan kepala mereka pun tidak ada, apalagi untuk melahirkan. DI tempat perhentian para musafir bersama-sama hewan-hewan mereka, di situlah Yusuf dan Maria berteduh dan bermalam.

Malam itu juga Sang Bayi mungil lahir. Di tengah campur aduknya kepanikan, sakit bersalin, sukacita menyambut lahirnya Sang Bayi, adalah para gembala datang dan memberitahukan apa yang telah mereka dengar dari Malaikat Tuhan bahwa, “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan di kota Daud.” (Luk.2:11). Jadi  dapat kita simpulkan, para gembalah yang pertama-tama mengatakan bahwa bayi itu adalah Juruselamat, Kristus (artinya: Mesias) dan Tuhan. Sungguh luar biasa, gembala yang sering kali tidak dipercaya, mereka kasta terendah dalam strata sosial Yahudi. Namun dipakai Allah untuk menyatakan kepada dunia tentang Mesias yang baru dilahirkan. Mesias yang telah dinanti-nantikan sejak zaman para nabi.

Tidak ada yang kebetulan. Mesias lahir di tengah penderitaan umat Allah, di tempat yang tidak layak dan disaksikan oleh para gembala yang sering kali dipandang rendah. Dalam suasana inilah bergema kabar baik itu. “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan di kota Daud.” (Lukas 2:10-11). Ternyatan di tengah kesederhaan dan kepapan, Sang Mesias menjawab kebutuhan yang paling fundamental, yakni ketakutan. Itulah kabar baik, kabar yang manis!

Menarik bukan? Natal yang manis ternyata bukan seperti gula. Yesus lahir dan hadir dalam dunia yang sedang kemelut. Ia membawa kelepasan dan kelegaan bagi orang-orang yang sedang menantikan-Nya. Natal yang manis dan indah pun dapat kita alami. Bisa saja saat ini kehidupan kita sedang pahit-getir atau penuh kemelut. Persiapkanlah hati kita, bukalah selebar-lebarnya sebagai palungan untuk kehadiran-Nya. Tidak ada tempat yang terlalu hina untuk kehadiran-Nya, karena tempat yang disebut hina dan rendah pun telah Ia singgahi.

Lihatlah para gembala. Apa yang terjadi dengan mereka setelah berjumpa dengan Mesias? Apakah stigma negative dari kalangan borjuis segera berubah menjadi penghargaan? Ternyata tidak mereka tetap saja dipandang sebagai orang-orang rendah yang tidak diakui kesaksiannya dalam perkara hukum. Mereka tetap saja cap sebagai orang-orang yang kurang punya etiket. Setelah perjumpaan dengan Kristus, status mereka tidak berubah menjadi pengusaha atau konglomeret domba. Tidak! Namun, ada perubahan mendasar dalam spiritual mereka: “Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala-sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka.” (Lukas 2:20). Mereka pulang. Mereka kembali menjadi gembala. Namun, mereka kini bersukacita: memuji dan memuliakan Allah! Setiap orang yang telah mengalami perjumpaan dengan Sang Mesias dan menjadikan hati mereka bagaikan palungan bagi Sang Mesias itu pastilah akan mengubah spiritualitasnya. Bisa saja kehidupan dan pergumulan yang dihadapi mereka tetap ada, namun kini tidak ditanggapi sebagai hal yang menakutkan, karena ketakutan itu telah dijawab dengan kehadiran-Nya. Dia hadir menjadi sumber sukacita. Itulah Natal yang manis!

Di lain pihak, bagi kita yang dilimpahi Tuhan dengan anugerah dan berkat. Natal yang manis dapat mendorong kita untuk lebih lagi menjadi berkat bagi sesama yang sedang membutuhkan. Kelahiran Sang Mesias akan mengubah prilaku egoisme dan egosentrisme menjadi prilaku peduli terhadap sesama manusia yang menderita. Bukankah Natal itu adalah wujud dari kepedulian Allah terhadap penderitaan manusia yang disebabkan oleh dosa. Maka semestinya, kita yang percaya kepada Allah yang peduli, Allah yang berbelarasa itu akan meneruskan kepedulian dan belarasa Allah itu dalam kehidupan kita. Adalah hal aneh, jika kita percaya bahwa Allah begitu peduli terhadap penderitaan manusia,  namun kita yang menyembah-Nya menahan belas kasih itu terhadap sesama manusia.

Kehidupan kita akan menjadi semakin manis apabila mengulurkan tangan seluas-luasnya bagi mereka yang membutuhkan pertolongan. Bukankah adalah lebih berbahagia atau lebih meanis orang yang memberi dengan sukacita ketimbang yang menerima. Ah, jika ini terjadi maka Natal kali ini adalah Natal yang benar-benar manis! Selamat merayakan Natal dan menyongsong Tahun Baru, Tuhan memberkati!

Jakarta, 8 Desember 2016