Sabtu, 10 Desember 2016

NATAL YANG MANIS

Tema Natal di GKI Mangga Besar tahun 2016 ini adalah “Natal Yang Manis.” Mendengar kata “Manis”, kebanyak dari kita mungkin menghubungkannya dengan gula. Benar, gula adalah materi sumber rasa manis. Gula juga sebagai salah satu sumber kalori yang tentunya diperlukan oleh tubuh kita. Dalam batas tertentu, gula bermanfaat bagi tubuh kita. Namun, belakangan ini para ahli kesehatan menengarai bahwa selain sumber kalori dan pemberi cita rasa manis, ternyata dalam gula juga tersembunyi potensi bahaya. Antara lain dapat menjadi penyebab dari obesitas atau kelebihan berat badan yang selanjutnya dapat memicu sakit gula atau diabetes yang berpotensi merusak organ-organ vital dalam tubuh kita, seperti Jantung, lever, pankreas, ginjal, selaput otak dan yang lainnya.

“Natal Yang Manis”. Sangat mungkin banyak orang menafsirkan kalimat tema ini, Natal seperti menikmati manisnya gula. Banyangkan pada saat menjelang Natal, ada banyak pesta diskon, para pengunjung mall atau super market dimanjakan dengan pelbagai ornament atau hiasan Natal yang serba gemerlap. Kita menyiapkan kado atau hadiah untuk anak-anak dan orang-orang yang kita sayangi, pesta dan perayaan digelar dengan mewah. Semua berlangsung dengan kemeriahan. Manis memang! Namun, tanpa sadar kita telah menjadikan Natal bak mengkonsumsi gula yang berlebihan. Kita dimanjakan dengan pesta diskon dan membanjirnya barang-barang yang kita pandang murah. Di luar dugaan hal itu menggiring kita kepada sebuah tren yang dinamakan budaya konsumtif. Mendompleng Natal, banyak produsen dan penjual mempercantik etalase mereka dan katanya menurunkan harga. Kita tergoda untuk membeli, padahal bisa saja sesampainya di rumah barang-barang yang kita beli tidaklah terlalu diperlukan. Selanjutnya hanya mengisi dan memenuhi rumah kita yang semakin sumpek!

Anak-anak diberikan baju baru dan hadiah-hadiah yang menarik. Benar, memberikan sesuatu untuk menyenangkan buah hati kita tentu tidaklah salah. Namun, lagi-lagi kita tidak menyadari di balik itu tersimpan bahaya yang dapat merusak mentalitas mereka. Mentalitas yang selalu ingin diberi dan diperhatikan. Hal ini tentu terbalik dengan apa yang Tuhan Yesus ajarkan, bahwa Ia datang untuk melayani dan bukan dilayani; Ia datang untuk memperhatikan dan memberi bukan sebaliknya!

Lalu kalau begitu apa artinya “Natal Yang Manis” itu? Manis tidak selalu identik dengan gula. Manis dapat berarti kelepasan atau kelegaan dari pelbagai peristiwa hidup yang menyesakkan. Seorang anak yang dibesarkan dalam keterbatasan ekonomi, ia harus berjuang untuk bertahan hidup namun punya tekad untuk terus sekolah dan menggapai cita-cita. Ia membuang rasa malu ketika harus menjajakan kue sambil bersekolah. Setiap hari harus bercucuran peluh di tengah kelelahan. Ia belajar dalam segala keterbatasan ruang dan waktu, dan akhirnya dapat menyelesaikan bangku kuliahnya dengan predikat cumlaude! Kini, ia menjabat sebagai salah seorang direktur BUMN ternama. Itulah perjuangan yang manis! Ada sukacita dan kebahagiaan.

Lalu di manakah kebahagiaan dan sukacita Natal itu? Jelas bukan dengan meriahnya pesta diskon dan kado-kado Natal! Ketika kita mencoba meminjam catatan Injil tentang peristiwa kelahiran Yesus Kristus – yang kemudian kita sebut Natal itu. Di malam Yesus lahir, dunia terasa pekat dan kelam setidaknya bagi umat Israel. Mengapa? Mereka sedang dalam penderitaan. Dari sisi spiritual, penderitaan itu akibat krisis moral dari bangsa itu, diperparah dengan penjajahan oleh bangsa Romawi. Kekaisaran Romawi mewajibkan semua orang yang tinggal di wilayah jajahan mereka untuk melakukan sensus kependudukan yang ujungnya adalah untuk penghitungan pajak per kepala yang harus disetor ke koloni Romawi. Malam itu Yusuf dan Maria yang sedang mengandung memenuhi panggilan sensus di kota leluhur mereka, Betlehem. Waktu bersalin tidak mengenal kompromi. Sialnya, semua tempat penuh dan mereka tidak kebagian ruang yang layak bahkan untuk meletakan kepala mereka pun tidak ada, apalagi untuk melahirkan. DI tempat perhentian para musafir bersama-sama hewan-hewan mereka, di situlah Yusuf dan Maria berteduh dan bermalam.

Malam itu juga Sang Bayi mungil lahir. Di tengah campur aduknya kepanikan, sakit bersalin, sukacita menyambut lahirnya Sang Bayi, adalah para gembala datang dan memberitahukan apa yang telah mereka dengar dari Malaikat Tuhan bahwa, “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan di kota Daud.” (Luk.2:11). Jadi  dapat kita simpulkan, para gembalah yang pertama-tama mengatakan bahwa bayi itu adalah Juruselamat, Kristus (artinya: Mesias) dan Tuhan. Sungguh luar biasa, gembala yang sering kali tidak dipercaya, mereka kasta terendah dalam strata sosial Yahudi. Namun dipakai Allah untuk menyatakan kepada dunia tentang Mesias yang baru dilahirkan. Mesias yang telah dinanti-nantikan sejak zaman para nabi.

Tidak ada yang kebetulan. Mesias lahir di tengah penderitaan umat Allah, di tempat yang tidak layak dan disaksikan oleh para gembala yang sering kali dipandang rendah. Dalam suasana inilah bergema kabar baik itu. “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan di kota Daud.” (Lukas 2:10-11). Ternyatan di tengah kesederhaan dan kepapan, Sang Mesias menjawab kebutuhan yang paling fundamental, yakni ketakutan. Itulah kabar baik, kabar yang manis!

Menarik bukan? Natal yang manis ternyata bukan seperti gula. Yesus lahir dan hadir dalam dunia yang sedang kemelut. Ia membawa kelepasan dan kelegaan bagi orang-orang yang sedang menantikan-Nya. Natal yang manis dan indah pun dapat kita alami. Bisa saja saat ini kehidupan kita sedang pahit-getir atau penuh kemelut. Persiapkanlah hati kita, bukalah selebar-lebarnya sebagai palungan untuk kehadiran-Nya. Tidak ada tempat yang terlalu hina untuk kehadiran-Nya, karena tempat yang disebut hina dan rendah pun telah Ia singgahi.

Lihatlah para gembala. Apa yang terjadi dengan mereka setelah berjumpa dengan Mesias? Apakah stigma negative dari kalangan borjuis segera berubah menjadi penghargaan? Ternyata tidak mereka tetap saja dipandang sebagai orang-orang rendah yang tidak diakui kesaksiannya dalam perkara hukum. Mereka tetap saja cap sebagai orang-orang yang kurang punya etiket. Setelah perjumpaan dengan Kristus, status mereka tidak berubah menjadi pengusaha atau konglomeret domba. Tidak! Namun, ada perubahan mendasar dalam spiritual mereka: “Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala-sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka.” (Lukas 2:20). Mereka pulang. Mereka kembali menjadi gembala. Namun, mereka kini bersukacita: memuji dan memuliakan Allah! Setiap orang yang telah mengalami perjumpaan dengan Sang Mesias dan menjadikan hati mereka bagaikan palungan bagi Sang Mesias itu pastilah akan mengubah spiritualitasnya. Bisa saja kehidupan dan pergumulan yang dihadapi mereka tetap ada, namun kini tidak ditanggapi sebagai hal yang menakutkan, karena ketakutan itu telah dijawab dengan kehadiran-Nya. Dia hadir menjadi sumber sukacita. Itulah Natal yang manis!

Di lain pihak, bagi kita yang dilimpahi Tuhan dengan anugerah dan berkat. Natal yang manis dapat mendorong kita untuk lebih lagi menjadi berkat bagi sesama yang sedang membutuhkan. Kelahiran Sang Mesias akan mengubah prilaku egoisme dan egosentrisme menjadi prilaku peduli terhadap sesama manusia yang menderita. Bukankah Natal itu adalah wujud dari kepedulian Allah terhadap penderitaan manusia yang disebabkan oleh dosa. Maka semestinya, kita yang percaya kepada Allah yang peduli, Allah yang berbelarasa itu akan meneruskan kepedulian dan belarasa Allah itu dalam kehidupan kita. Adalah hal aneh, jika kita percaya bahwa Allah begitu peduli terhadap penderitaan manusia,  namun kita yang menyembah-Nya menahan belas kasih itu terhadap sesama manusia.

Kehidupan kita akan menjadi semakin manis apabila mengulurkan tangan seluas-luasnya bagi mereka yang membutuhkan pertolongan. Bukankah adalah lebih berbahagia atau lebih meanis orang yang memberi dengan sukacita ketimbang yang menerima. Ah, jika ini terjadi maka Natal kali ini adalah Natal yang benar-benar manis! Selamat merayakan Natal dan menyongsong Tahun Baru, Tuhan memberkati!

Jakarta, 8 Desember 2016

Kamis, 08 Desember 2016

ENGKAU YANG AKAN DATANG

Pada Minggu Adven III, sebagian besar gereja menyalakan lilin ketiga dengan warna pink atau merah muda. Berbeda dari tiga lilin lainnnya. Mengapa? Pink menunjukkan warna sukacita. Jadi di tengah-tengah penantian yang diwarnai dengan perasaan harap-harap cemas itu, tetap ada sukacita karena yang dinanti itu pasti datang membawa sukacita dan pembebasan. Pada umumnya, ketika kita mengharapkan kedatangan seseorang yang dijanjikan dan dipercaya dapat memberi kelegaan dengan mengangkat beban berat penderitaan kehidupan kita, kita akan begitu merindukanya. Ada perasaan dalam hati, “Koq lama amat ya, jadi datang atau tidak?” Itulah mungkin yang disebut galau. Menyertai pengharapan dan kegalauan dalam hati kita sering muncul keraguan.

Keraguan itulah yang barangkali hinggap dalam diri Yohanes Pembaptis yang kini berada dalam jeruji penjara. Belum lama ia berseru dengan suara lantang di padang gurun. Baru sekejap rasanya ia menelanjangi ulama dan umaroh dengan menyebut mereka sebagai “keturunan ular beludak”. Kemarin sore ia mengatakan bahwa dirinya bukanlah Mesias itu. Ia hanya menyerukan pertobatan sedangkan Dia yang akan datang kemudian jauh lebih mulia dan berkuasa. Ia merasa terlalu hina jika dibandingkan dengan Sang Mesias itu, sehingga membuka kasutnya pun tidak layak. Yohanes yakin betul bahwa Mesias itu adalah Yesus sehingga ketika Yesus hendak ikut dibaptis, Yohanes mencegahnya karena merasa dirinyalah yang perlu dibaptis oleh Yesus (Matius 3 :14). Tetapi mengapa selang beberapa hari, Yohanes seolah ingin menarik kembali pernyataan yang belum lama disampaikannya itu. Ia meragukan apakah Yesus benar-benar “Dia yang akan datang itu”? Ada apa dengan Yohanes?

Yohanes Pembaptis dipenjara karena sebuah komitmen menegakkan kebenaran dan membuat orang segera bertobat sebab jika tidak, hukuman sudah di depan mata. Keberaniannya menegur sebenarnya berangkat dari kecemasannya terhadap murka Allah yang akan datang. Baginya, lebih baik bertobat sekarang dari pada binasa kemudian. Tanpa ragu juga ia menegur Herodes Antipas, penguasa Galilea dan Perea yang mengambil isteri saudaranya sendiri. Atas teguran itu, Herodes menganjar Yohanes dengan masuk penjara di benteng Makheront, sebelah timur Laut Mati.

Yohanes dan komunitasnya mempunyai pandangan sendiri tentang “Dia yang akan datang itu”. Dalam benak mereka, Mesias yang akan datang itu punya kriteria. Yohanes dalam khotbahnya membandingkan dengan petani yang mengambil kapak untuk menebang pohon “yang tidak berbuah”. Pohon itu akan dibuangnya ke dalam api. Ia membandingkan juga petani yang mengambil pelepah palem, membersihkan lantai tampiannya dan membakar apa saja yang bukan bulir gandum bermutu (bnd. Mat.3:10,12). Itulah sebabnya Yohanes dengan sekuat tenaga berseru supaya para pendosa segera bertobat. Lalu ia menawarkan kepada mereka suatu baptisan untuk pengampunan dosa. Mereka harus bergegas untuk menerimanya sebelum kedatangan Dia yang akan membaptis dengan Roh Kudus dan dengan api (Mat.3:11). Dengan kata lain, memandang “Dia yang akan datang itu” sebagai Hakim tanpa ampun, yang dengan api tak terpadamkan akan menyingkirkan semua pendosa dari muka bumi.

Mesias akan tampil sebagai Hakim perkasa, adil namun tanpa ampun. Karena itu Yohanes merasa wajib memersiapkan Israel akan penghakiman yang dasyat. Ia tidak ingin Israel binasa. Justeru karena Mesias akan tampil segera, maka Yohanes memberikan peringatan keras: Sia-sialah kamu, kalau Mesias sudah terlanjur datang; pendosa tidak mungkin berdiri di hadapannya!

Namun kini, di balik jeruji penjara, Yohanes menjadi bingung. Meski ia dipenjarakan, rupanya Herodes masih sedikit punya rasa segan sehingga murid-murid Yohanes masih bisa mengunjunginya. Murid-muridnya bercerita tentang apa yang dilakukan oleh orang yang dia sebut Mesias itu; Yesus. Yesus tidak pernah tampil sebagai Hakim yang keras dan berkuasa mutlak. Oleh karena itu, melalui para muridnya ini, Yohanes bertanya kepada Yesus, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” (Mat. 11;3).

Atas keraguan Yohanes itu, Yesus tidak memberikan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Ia bungkam, tidak menyatakan apa pun tentang diri-Nya. Tetapi Ia meminta murid-murid Yohanes melaporkan kepada guru mereka tentang apa yang telah mereka lihat dan dengar: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberikan kabar baik. Apa yang dikatakan Yesus itu menyatakan apa yang selama ini dikerjakan-Nya. Jawaban Yesus ini mengacu kepada nubuat Nabi Yesaya mengenai kedatangan keselamatan bagi umat Tuhan. “Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka. Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai; sebab mata air memancar di padang gurun, dan sungai di padang belantara,..” (Yesaya 35:5-6).

Jawaban Yesus juga memuat nubuat tentang Hamba Allah yang “Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku: Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberikan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN dan hari pembalasan Allah kita, untuk menghibur orang-orang berkabung, untuk mengaruniakan kepada mereka perhiasan kepala ganti abu, minyak untuk pesta ganti kain kabung, nyanyian puji-pujian ganti semangat yang pudar, supaya orang menyebut mereka ‘pohon terbantin kebenaran’, ‘tanaman TUHAN’ untuk memperlihatkan keagungan-Nya.” (Yesaya 61:1-3). Dengan menghubungkan Yesaya 35 dengan Yesaya 61, Yesus mau menunjukkan bahwa apa yang dikerjakan-Nya adalah apa yang seharusnya dikerjakan oleh “Dia yang akan datang itu”

….katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar…” Sekarang murid-murid Yohanes dan juga termasuk Yohanes harus menyimpulkan sendiri, apakah Yesus itu memang Dia yang akan datang itu! Yesus secara halus mau mengajak Yohanes untuk memandang Mesias bukan melulu seperti yang dibayangkan Yohanes dan mungkin juga oleh seluruh Israel: sosok Adidaya, Hakim yang keras, Penakluk dan penghukum para pendosa. Melainkan, Mesias yang peduli terhadap penderitaan umat berdosa. Mesias yang berbelarasa kepada beban atau kuk yang ditanggung manusia dan Dia yang akan datang itu menawarkan kelegaan, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.” (Mat.11:28).

Yesus menyadari bahwa mungkin saja jawaban yang diberikan-Nya tidak memuaskan Yohanes dan komunitasnya karena cara pandang tentang kiprah atau misi Sang Mesias itu berbeda. Harus diakui bahwa diri Yesus adalah ujian berat bagi Yohanes. Meski demikian Yesus menjamin, “..berbahagialah orang orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku.” (Mat.11:6). Dalam kalimat ini tersirat bahwa Yesus menghendaki Yohanes dan juga komunitasnya tetap percaya kepada-Nya sebagai Mesias tetapi dengan cara pandang baru.

Ada banyak perkara Tuhan ijinkan terjadi dalam kehidupa kita. Hari-hari kita lewati dengan berpegang teguh pada janji dan firman-Nya. Namun, kerap kali harapan yang kita inginkan tidak terjadi. Seperti Yohanes Pembaptis kita terbelenggu. Lalu kita bertanya, “Koq bisa begini?” Kita berharap Tuhan menampakkan keperkasaan-Nya. Ia segera menyingkirkan orang-orang lalim, munafik dan para pendosa lainnya. Tetapi mengapa mereka terlihat justeru makin perkasa dan makin angkuh? Ternyata, menang benar jalan Tuhan bukanlah jalan kita, rancangan-Nya juga tidak mudah kita tebak tetapi di balik itu pasti ada sesuatu yang terbaik sedang Ia rancangkan buat kita. Bukan rancangan kebinasaan, melainkan rancangan sukacita: bukan hanya untuk kita, tetapi buat orang lain juga!

Tidaklah keliru ketika Minggu ini kita menyalakan lilin ke-3, lilin pink sukacita! Di balik bayangan pemahaman Yohanes tentang Mesias sebagai penakluk, seorang perkasa yang akan menghabiskan nyawa pendosa karena murka Allah, ternyata bukan itu yang terjadi. Ia adalah Mesias pembawa kabar baik, kabar sukacita!

Jakarta, 12 Desember 2016