Kamis, 01 September 2016

BUKAN AKU YANG MENENTUKAN, TETAPI DIA

Pemilihan kepala daerah serentak di beberapa daerah beberapa bulan ke depan segera di gelar, termasuk Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Jakarta katanya menjadi baro meter atau etalase demokrasi di Indonesia. Itulah sebabnya, jauh-jauh hari “genderang perang” Pemilukada DKI Jakarta sudah ditabuh. Apalagi petahana sejak pagi buta sudah menyatakan diri maju kembali dalam perhelatan kepemimpinan di DKI Jakarta ini. Semua partai yang mempunyai kursi di DPRD DKI Jakarta sibuk menjalin komunikasi politik, mencari calon kuat dan kemudian “menggorengnya” agar menjadi lawan yang sepadan dengan sang petahana. Wacana yang berkembang kemudian bukanlah menyodorkan program-program unggulan untuk memperbaiki infrastruktur atau pembangunan manusia Jakarta, melainkan: asal bukan Ahok! Kalau pun ada program-program yang ditawarkan isinya bukanlah hal baru, melainkan sebagai wujud kritik terhadap apa yang sudah ada, selebihnya janji-janji manis yang tidak realistis.

Jelang Pemilu, sudah biasa kita disuguhi janji-janji manis para calon dan partai politik yang mengusungnya. Sangat sedikit – untuk tidak mengatakan tidak ada – yang berani menyatakan bahwa kalau memilih dirinya maka harus berani menelan “pil pahit” demi perbaikan di masa yang akan datang. Misalnya, penertiban dan penegakkan aturan yang sering dipahami sebagai penggusuran, penghematan dan transparansi anggaran yang bermuara tidak bisa lagi berfoya-foya dengan uang negara, kompetensi aparat pemerintahan dengan konsekuensi kinerja yang terukur dan punya target, penduduk mandiri yang berarti tidak cengeng yang terus merengek meminta subsidi dan lain sebagainya. Ya, sejatinya seorang calon kepala daerah yang baik tidak akan menawarkan banyak kemudahan dan janji-janji untuk menina bobokan penduduknya. Namun, ia akan berani mengambil resiko tidak populis demi sebuah perbaikan di masa mendatang. Sebaliknya, calon pemilih yang dewasa ia akan menyadari betul konsekuensi dari pilihannya: tidak akan mudah diberi janji-janji surga. Seoran dewasa pasti tidak akan mau menerima “permen manis” dengan resiko menggadaikan kepercayaannya kepada sang calon pemimpin!

Yesus bukanlah tipe pemimpin yang senang dengan banyak pengikut yang mengelu-elukan dan mengagumi-Nya serta menawarkan janji-janji surga – meskipun para pengikut-Nya di kemudian hari banyak menjual janji surga agar orang mau menjadi Kristen. Ia sangat serius! Dalam Injil yang kita baca Minggu ini (Lukas 14 : 25 -33), ketika banyak orang Yahudi tertarik kepada-Nya dan hendak mengikuti-Nya, maka Ia mengajukan syarat-syarat seseorang untuk dapat menjadi murid-Nya. Yesus berpaling kepada orang banyak yang mengikuti-Nya dan berbicara tentang bagaimana seseorang dapat menjadi pengikut-Nya. Yesus tidak pernah berusaha memengaruhi orang banyak supaya mereka mengikuti-Nya secara membabi buta. Ia justeru mau menyadarkan mereka bahwa mengikuti Dia bukanlah sebuah perkara yang mudah: menikmati berkat, hidup sukses tanpa kesulitan dan masalah. Ia menyadarkan orang banyak bahwa perjalanannya tidak mudah.

Untuk mengikut Yesus, seseorang harus memenuhi persyaratan yang berat. Tidak cukup sekedar “percaya”, mengagumi mujizat dan kuasanya, dan terpesona sesaat. Hal yang sama sebenarnya telah Ia ungkapkan dalam Lukas 9:23, namun kali ini Ia berbicara lebih tegas lagi. Yesus menggukan kata membenci sebagai syarat untuk seseorang dapat menjadi pengikut-Nya. Kita mungkin heran mengapa Yesus yang menyuruh para murid-Nya untuk mengasihi semua orang, termasuk para musuh sekali pun, tiba-tiba kini berbicara tentang perlunya membenci orang tua, isteri, anak, saudara-saudara dan mereka semua adalah orang-orang terdekat; orang satu rumah! Betulkah, sungguh-sungguhkah Yesus memerintahkan untuk membenci?

Kata membenci ini jelas berlatar belakang Yahudi! Ini tidak sama dengan yang biasa kita pahami. Misei, begitu dituliskan untuk kata “membenci”, bukanlah egoisme yang memutuskan segala macam teli silahturahmi cinta kasih manusiawi, melainkan relativisasi sengaja dari segala bentuk relasi cinta untuk dapat memilih sesuatu yang bernilai lebih tinggi - dalam hal ini mencintai lebih. Sehingga dalam kalimat Yesus yang mengatakan “Jika seseorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapatknya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya….” (Lukas 14:26), harus diartikan “Jika seseorang datang kepada-Ku dan ia lebih mencintai / mengutamakan bapaknya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya… ia tidak dapat menjadi murid-Ku” Dengan begitu, Yesus mengegaskan bahwa untuk seseorang dapat menjadi pengikut-Nya, ia harus mementingkan nilai-nilai Kerajaan Sorga ketimbang nilai-nilai yang berlaku di dunia ini.

Dengan bicara tentang membenci, Yesus menuntut kasih dan kesetiaan yang radikal. Kita ingat, sebelumnya Yesus berbicara dalam perumpamaan  tentang orang-orang yang berdalih (Lukas 14:15-24). Di situ jelas diungkapkan ada begitu banyak alasan seseorang tidak mau menerima undangan dalam karya Keselamatan Allah; selalu saja ada alasan untuk tidak serius atau menaruh Yesus pada prioritas akhir! Kini, Yesus menuntut keseriusan radikal tanpa syarat. Demi mengikut Yesus, seseorang tidak menyangkal atau pun membuang ikatan-ikatan komunal yang sudah ada, melainkan menundukkannya pada sesuatu yang lebih bernilai. Jadi, permusuhan tidak usah dicari-cari. Namun, ketika seseorang dihadapkan hanya pada pilhan mengikuti suara TUHAN atau kepentingan keluarga. Maka jelaslah suara TUHAN itulah yang harus diikuti atau dinomorsatukan, meskipun konsekuensi untuk itu ia akan dibenci dan dimusuhi oleh orang-orang terdekatnya. Bahkan, Gregorius Agung pernah berkata, “Tidak cukup meninggalkan apa yang ada pada kita saja; diri kita pun perlu ditinggalkan.” Apabila itu menjadi penghalang bagi kita dalam mengikut Yesus. Di sinilah kita menemukan arti penyangkalan diri dan memikul salib itu!

Bagi orang Yahudi, apa yang dituntut Yesus sebagai syarat mengikuti-Nya bukanlah perkara asing. Setidaknya Musa pernah menantang umat Israel. Ulangan 30:15-16, “Ingatlah, aku menghadapkan kepadamu hari ini kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan, karena pada hari ini aku memerintahkan kepadamu untuk mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya dan berpegang pada perintah, ketetapan, dan peraturan-Nya, supaya engkau hidup dan bertambah banyak dan diberkati oleh TUHAN, Allahmu, di negeri ke mana engkau masuk untuk mendudukinya.” Musa juga mengatakan hanya ada dua pilihan ya atau tidak dalam mengikut TUHAN. JIka ya, itu berarti umat atau seseorang harus menyingkirkan apa yang menjadi hambatan atau penghalang dalam mengikut TUHAN.

Selanjutnya, Yesus berbicara tentang memikul salib  dan mengikut Aku. Bahasa Ibrani dan Aram tidak mengenal kata mengikut, sehingga dipakai ungkapan berjalan di belakang. Artinya, sama dengan menjadi murid, hidup bersama dan berbagi nasib. Ikut di belakang berarti juga mengikut Yesus di jalan hidup-Nya yang berakhir dengan kematian di salib. Menarik bahwa ungkapan “memikul salib” dan “berjalan di belakang” Yesus, dalam Injil-injil Sinoptik selalu dijadikan sepasang kata yang tidak terpisahkan.

Memikul salib semasa kehidupan Yesus berarti meninggalkan eksistensi sendiri, siap mati, bahkan benar-benar mati bagi Kristus. Memikul salib menjadi searti dengan menerima (dengan lapang dada) segala hal yang menyengsarakan demi mengikut Yesus. Pada masa Injil Lukas ditulis, memikul salib benar-benar nyata. Pada tahun 6, akibat pemberontakan Yudas dari Galilea, ratusan orang Yahudi disalibkan. Memikul salib berati “menjadi senasib dengan Yesus dalam kematian”. Yesus tidak main-main dengan persyaratan seseorang ketika ingin mengikuti-Nya. Ia meminta setiap orang, bahkan yang telah menjadi murid-Nya sekali pun untuk mempertimbangkan masak-masak tentang keputusan untuk mengikuti-Nya. Pertimbangan yang matang itu Ia umpamakan seperti seorang yang hendak membangun menara yang harus membuat perencanaan dan anggaran atau seorang raja yang hendak berperang. Ia harus menghitung dengan cermat.      

Jadi yang menentukan layak tidaknya seseorang menjadi pengikut Yesus, bukanlah orang itu. Melainkan Yesus sendiri. Di sinilah relevansi tema bacaan kita, “Bukan aku yang menentukan, tetapi Dia.”

Rabu, 24 Agustus 2016

GKI, SUDAHKAH MENJADI GEREJA YANG MENGINDONESIA?


Archandra Tahar dan Gloria Natapradja Hamel adalah dua nama yang sempat menjadi trending topic di berbagai media sosial beberapa minggu belakangan ini. Archandra Tahar dalam kacamata Presiden Joko Widodo mempunyai kompetensi akademis dan praktisi mumpuni dalam bidang perminyakan, maka sang Presiden memintanya untuk pulang ke tanah air mengambil alih kursi kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dari Sudirman Said. Namun, sayangnya ternyata kepandaian dan sederet prestasi yang sudah ditorehkannya di negeri Paman Sam tidak bisa begitu saja membuatnya nyaman menjadi orang nomor satu di kementrian ESDM. Kewarganegaraannya dipertanyakan! Pasalnya, pada 2012 ia telah memeroleh paspor dari negara di mana ia menimba ilmu dan berkarier, USA. Pembelaan diri yang menyatakan bahwa ia sungguh-sungguh orang Padang dan pembelaan beberapa menteri termasuk Menkopolhukam yang baru, Wiranto tidak bisa memertahankannya sebagai Menteri ESDM. Indonesia tidak mengenal dwi kewarganegaraan, dan Tahar pun harus mendapat rekor sebagai Menteri yang paling pendek menjabat, tidak lebih dari 20 hari!

Lain lagi yang menimpa Gloria Natapradja Hamel, jerih lelahnya setelah berbulan-bulan mengikuti
latihan Paskibraka tidak bisa menjaminnya ikut bersama dengan 67 temannya dalam kirab dan pengibaran bendera di Istana Merdeka. Meskipun, Presiden Joko Widodo memutuskan Gloria masuk kembali ke dalam pasukannya pada petang hari dalam acara penurunan bendera, tetap saja ia harus menelan pil pahit yang bernama kecewa. Keindonesiaannya diragukan karena ia terlahir dari benih seorang ayah berkebangsaan Perancis.

Banyak pengamat dan tokoh berbicara. Ada yang menyayangkan kecerobohan apparat negara dalam proses penyeleksian menteri atau anggota paskibraka. Namun, tidak sedikit pula yang melihat kewarganegaraan dalam hal ini keindonesiaan seseorang bukan semata-mata ditunjukkan oleh secarik kerta legalitas, melainkan jauh di balik itu. Di mana di dalam dada seseorang tertanam kecintaan yang luar biasa terhadap tanah air yang diwujudkan dengan rela berkorban, berjuang dan mempersembahkan apa yang terbaik untuk ibu pertiwi. Ironis, pada pihak lain, justeru ada yang berteriak-teriak “pribumi asli” namun, idealisme dan perjuangan justeru berkiblat pada kepentingan asing, entah itu pemodal atau aliran faham radikalisme keagamaan. Atau juga berkoar-koar paling nasionalis namun ternyata realitas membuktikan dirinya seorang koruptor! Dalam tataran ini kita bertanya, “Mana yang mengindonesia?”

Rupanya, perdebatan keindonesiaan memang tidak sederhana atau sesempit yang kita bayangkan. Sama tidak sederhananya ketika sekelompok orang yang menamakan diri Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee, gereja yang beretnis Tionghoa  memutuskan mengganti nama menjadi Gereja Kristen Indonesia. Bayangkan, sebuah entitas yang menyandang dua gelar identitas “asing” (etnisitas Tionghoa dan kristianitas) tiba-tiba memilih nama Gereja Kristen Indonesia dan bukan Gereja Kristen Di Indonesia. Hal ini jelas berbeda, Gereja Kristen Di Indonesia itu berarti orang-orang Kristen yang berkumpul di Indonesia mendirikan sebuah Gereja. Sedangkan Gereja Kristen Indonesia bermakna warga negara Indonesia yang menghayati dan menyatakan iman Kristennya di Indonesia. Pemikiran ini timbul dari refleksi sebagai berikut. Pertama, Gereja harus menemukan jati dirinya di tengah kehidupan suatu bangsa di mana ia hidup. Kedua, bertolak dari pertimbangan pertama ini, gereja menemukan kenyataan bahwa hampir seluruh anggotanya, gereja adalah orang-orang berwarganegara Indonesia dan berbahasa Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari penerapan hasil konferensi Meja Bundar (27 Desember 1949) dan Perdjandjian Republik Indonesia – Republik Rakjat Tiongkok (22 April 1955). Ketiga, bertolak dari hal pertama dan kedua, gereja menyadari bahwa dirinya harus terbuka bagi segala golongan etnik, yang dalam konteks Indonesia, gereja harus terbuka bagi segala golongan dan suku. Maka pada tahun 1956 THKTKH Djawa Tengah mengubah nama menjadi Gereja Kristen Indonesia Djawa Tengah. Menyusul pada 2 Oktober 1958 TKHTKH Djawa Barat mengganti nama dengan Gereja Kristen Indonesia Djawa Barat. Dalam tahun yang sama juga TKHTHK Djawa Timur mengganti nama dengan Gereja Kristen Indonesia Djawa Timur (Sumber: Buku Panduan Bagi Aktivis dan Pejabat Gerejawi – Bina Warga 1996).

Menyadari ada begitu banyak persamaan dan sumber-sumber sejarah, maka diupayakanlah penyatuan ketiga sinode Gereja Kristen Indonesia Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur untuk menjadi satu Sinode. Kesamaan visi-misi ini mendorong para pejabat gereja untuk menggalang upaya nyata penyatuan itu. Upaya itu terwujud pada tanggal 27 Maret 1962 dengan membentuk Sinode Am GKI. Setelah menempuh satu generasi, maka pada 26 Agustus 1988 ketiga gereja tersebut menyatakan ikrarnya menjadi satu gereja, yakni Gereja Kristen Indonesia.

Minggu ini kita merayakan HUT Gereja Kristen Indonesia yang ke-28 dengan tema GKI, Sudahkah Menjadi Gereja Yang Mengindonesia? Tema dengan kalimat tanya menyiratkan kita uuntuk berefleksi. Kata kerja yang mewakili awalan “meng-“ memiliki banyak arti, di antaranya: menjadi, menyatakan, mengaku. Dengan demikian “mengindonesia” bisa dipahami sebagai upaya untuk menjadi Indonesia, menyatakan dan mengaku diri Indonesia. Menjadi gereja yang menyandang nama “Indonesia” bukanlah sekedar embel-embel supaya keren atau gagah. Melainkan gereja yang hidup sesuai dengan dan untuk menjawab pergumulan dalam konteks Indonesia sesuai dengan visi-misi awal para penggagas nama Gereja Kristen Indonesia. Apa sajakah kontribusi yang telah diberikan GKI dalam konteks  kehadirannya di Indonesia? Saat inilah waktunya yang tepat untuk kita merenungkannya.

Di dunia tidak ada yang sempurna, begitu kata pepatah. Demikian juga dengan gereja: pasti ada cacat cela namun tidak sedikit pula capaian dan keberhasilan. Cacat-cela dan kegagalan bukanlah perkara yang membelenggu langkah kita untuk terus maju. Namun, keberhasilan dengan pelbagai capaian bukan menjadi alasan untuk pongah dan jumawa. Kegagalan, cacat-cela harus dan mutlak diperbaiki. Keberhasilan harus terus dipertahankan dan dikembangkan dengan segala sikap rendah hati.

Ada banyak capaian dan keberhasilan selama 28 tahun GKI berkiprah, sebut saja: Sumbangsih penyatuan ketiga sinode GKI Jateng, Jabar dan Jatim menjadi satu Sinode GKI di tengah banyaknya perpecahan gereja yang terjadi. Keteraturan dan ketertiban yang diwujudkan dalam Tata Gereja yang dinamis dalam system presbitarial sinodal, dipercaya mengelola harta milik kepunyaan Tuhan yang diwujudkan dalam tanggungjawab, tidak jatuh dalam pengkultusan individu, memiliki tata ibadah ekumenis dengan kelengkapan buku nyanyian dan mazmur, terlibat dan dipercaya menangani bencana melalui Gerakan Kemanusiaan Indonesia, pembinaan kader-kader pemimpin yang sistematik dan terencana, lembaga-lembaga pendidikan unggulan, dan sebagainya. Berbagai capaian itu tidak seharusnya membuat GKI lupa diri, melainkan dengan penuh kerendahan hati bahwa anugerah Tuhanlah yang memungkinkan GKI mencapai hal-hal tersebut. Ingatlah bahwa Tuhan lebih menyukai orang-orang yang rendah hati ketimbang pongah dengan pelbagai capaian dan prestasi.

Pada Minggu ini bacaan Injil kita Lukas 14:1, 7-14 mengingatkan kita untuk tetap bersikap rendah hati. Dikisahkan ada seorang pemimpin Fasiri mengundang Yesus dalam suatu jamuan makan pada hari Sabat. Perjamuan makan dengan mengundang para tamu merupakan kegiatan sosial penting dalam kehidupan masyarakat Yahudi. Dalam jamuan itu para undangan dari pelbagai status sosial hadir dan tentunya saling “mengasah ilmu” di antara mereka. Status dan kedudukan para undangan dalam perjamuan itu tampak lewat lokasi tempat duduk mereka. Orang-orang yang terhormat akan duduk di dekat tuan rumah atau di deretan paling depan. Kadang-kadang tuan rumah terpaksa mempermalukan tamu yang ‘tidak tahu diri” dan sekaligus meninggikan tamu yang perlu ditinggikan. Allah pun kelak akan “merendahkan” ataupun “meninggikan” orang tertentu dalam Kerajaan-Nya (Luk.14:11).

Yesus hadir pada saat itu sebagai undangan. Namun, Ia memanfaatkan momentum itu untuk mengajar para murid-Nya. Yesus sama sekali tidak menyerang, apalagi menyinggung perasaan orang-orang yang duduk dalam perjamuan makan itu. Kata-kata-Nya berisi nasehat bijak, “Tidak bijaksanalah kalau Anda mengambil tempat yang utama di ruang resepsi. Sebab bisa saja datang seorang yang lebih terhormat dari Anda. Orang tersebut biasanya datang pada menit-menit terakhir atau sedikit terlambat. Tuan rumah tentu harus memberi tempat utama kepada orang itu. Maka, apabila Anda menempati tempat yang seharusnya diberikan kepada orang yang terhormat itu, Anda akan harus mundur ke tempat di belakang. Maka janganlah Anda terlalu ambisius, supaya jangan dipermalukan!” Kalimat senada ini juga terdapat dalam Amsal 25:6 dst.

Ambisi untuk kehormatan diri sendiri, itulah pesan utama yang disampaikan Yesus kepada para murid-Nya. Ambisi untuk mencapai kehormatan mengatasnamakan pelayanan gereja merupakan virus yang membunuh gereja itu sendiri, sebab berkaca dari perumpamaan Yesus ini kita mengerti di posisi mana Tuhan akan menempatkan orang (baca: gereja) yang tinggi hati.

Pada bagian percakapan kedua, Yesus menasihatkan bahwa sebaiknya undangan jamuan makan itu ditujukan kepada mereka yang tidak mampu makan dengan layak, seperti orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh, dan orang-orang buta. Mereka ini adalah kaum lemah yang tersisih dalam tatanan masyarakat Yahudi. Ini menyiratkan keprihatinan Yesus yang menitipkan mereka kepada setiap pengikut-Nya; gereja dan orang Kristen agar memerhatikan mereka.

Mengasihi orang yang sederajat dan bisa membalas lagi kebaikan kita adalah hal lumrah, tetapi mengasihi orang yang lemah, memberi tumpangan kepada orang asing, dan yang terlupakan, ketika itu dilakukan dengan tulus, tanpa motivasi politis maka sama artinya kita sedang menjamu para malaikat (Ibrani 13:2). Gereja Kristen Indonesia mestinya gereja yang ramah dengan menyambut orang-orang yang tersisih dan pastinya tidak akan dapat membalas dengan “undangan jamuan makan” kembali. Di sinilah konteks keindonesiaan itu! Membuka ruang dan menerima dalam peluk dan cinta kasih. Bukan sebaliknya, ramah dan memberi “jamuan makan” oleh karena di belakangnya nanti ada kepentingan agar gereja menjadi aman dan nyama serta dihormati sebagai lembaga dermawan. Selamat berulang tahun ke-28 GKI, tetaplah menjadi Gereja Yang Mengindonesia!
24 Agustus 2016