Pemilihan kepala
daerah serentak di beberapa daerah beberapa bulan ke depan segera di gelar,
termasuk Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Jakarta katanya menjadi baro meter atau
etalase demokrasi di Indonesia. Itulah sebabnya, jauh-jauh hari “genderang perang”
Pemilukada DKI Jakarta sudah ditabuh. Apalagi petahana sejak pagi buta sudah menyatakan diri
maju kembali dalam perhelatan kepemimpinan di DKI Jakarta ini. Semua partai
yang mempunyai kursi di DPRD DKI Jakarta sibuk menjalin komunikasi politik,
mencari calon kuat dan kemudian “menggorengnya” agar menjadi lawan yang sepadan
dengan sang petahana. Wacana yang berkembang kemudian bukanlah menyodorkan
program-program unggulan untuk memperbaiki infrastruktur atau pembangunan
manusia Jakarta, melainkan: asal bukan Ahok! Kalau pun ada program-program yang
ditawarkan isinya bukanlah hal baru, melainkan sebagai wujud kritik terhadap
apa yang sudah ada, selebihnya janji-janji manis yang tidak realistis.
Jelang Pemilu,
sudah biasa kita disuguhi janji-janji manis para calon dan partai politik yang
mengusungnya. Sangat sedikit – untuk tidak mengatakan tidak ada – yang berani
menyatakan bahwa kalau memilih dirinya maka harus berani menelan “pil pahit”
demi perbaikan di masa yang akan datang. Misalnya, penertiban dan penegakkan aturan yang
sering dipahami sebagai penggusuran, penghematan dan transparansi anggaran yang
bermuara tidak bisa lagi berfoya-foya dengan uang negara, kompetensi aparat
pemerintahan dengan konsekuensi kinerja yang terukur dan punya target, penduduk
mandiri yang berarti tidak cengeng yang terus merengek meminta subsidi dan lain
sebagainya. Ya, sejatinya seorang calon kepala daerah yang baik tidak akan
menawarkan banyak kemudahan dan janji-janji untuk menina bobokan penduduknya.
Namun, ia akan berani mengambil resiko tidak populis demi sebuah perbaikan di
masa mendatang. Sebaliknya, calon pemilih yang dewasa ia akan menyadari betul
konsekuensi dari pilihannya: tidak akan mudah diberi janji-janji surga. Seoran
dewasa pasti tidak akan mau menerima “permen manis” dengan resiko menggadaikan
kepercayaannya kepada sang calon pemimpin!
Yesus bukanlah tipe
pemimpin yang senang dengan banyak pengikut yang mengelu-elukan dan mengagumi-Nya serta
menawarkan janji-janji surga – meskipun para pengikut-Nya di kemudian hari
banyak menjual janji surga agar orang mau menjadi Kristen. Ia sangat serius!
Dalam Injil yang kita baca Minggu ini (Lukas 14 : 25 -33), ketika banyak orang Yahudi tertarik kepada-Nya dan
hendak mengikuti-Nya, maka Ia mengajukan syarat-syarat seseorang untuk dapat
menjadi murid-Nya. Yesus berpaling kepada orang banyak yang mengikuti-Nya dan
berbicara tentang bagaimana seseorang dapat menjadi pengikut-Nya. Yesus tidak
pernah berusaha memengaruhi orang banyak supaya mereka mengikuti-Nya secara
membabi buta. Ia justeru mau menyadarkan mereka bahwa mengikuti Dia bukanlah
sebuah perkara yang mudah: menikmati berkat, hidup sukses tanpa kesulitan dan
masalah. Ia menyadarkan orang banyak bahwa perjalanannya tidak mudah.
Untuk mengikut Yesus, seseorang harus memenuhi persyaratan yang berat.
Tidak cukup sekedar “percaya”, mengagumi mujizat dan kuasanya, dan terpesona
sesaat. Hal yang sama sebenarnya telah Ia ungkapkan dalam Lukas 9:23, namun
kali ini Ia berbicara lebih tegas lagi. Yesus menggukan kata membenci sebagai syarat untuk seseorang
dapat menjadi pengikut-Nya. Kita mungkin heran mengapa Yesus yang menyuruh para
murid-Nya untuk mengasihi semua orang, termasuk para musuh sekali pun,
tiba-tiba kini berbicara tentang perlunya membenci
orang tua, isteri, anak, saudara-saudara dan mereka semua adalah orang-orang
terdekat; orang satu rumah! Betulkah, sungguh-sungguhkah Yesus memerintahkan
untuk membenci?
Kata membenci ini jelas berlatar
belakang Yahudi! Ini tidak sama dengan yang biasa kita pahami. Misei, begitu dituliskan untuk kata “membenci”,
bukanlah egoisme yang memutuskan segala macam teli silahturahmi cinta kasih
manusiawi, melainkan relativisasi sengaja dari segala bentuk relasi cinta untuk
dapat memilih sesuatu yang bernilai lebih tinggi - dalam hal ini mencintai
lebih. Sehingga dalam kalimat Yesus yang mengatakan “Jika seseorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapatknya,
ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya….” (Lukas 14:26), harus
diartikan “Jika seseorang datang kepada-Ku dan ia lebih mencintai /
mengutamakan bapaknya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya… ia
tidak dapat menjadi murid-Ku” Dengan begitu, Yesus mengegaskan bahwa untuk
seseorang dapat menjadi pengikut-Nya, ia harus mementingkan nilai-nilai
Kerajaan Sorga ketimbang nilai-nilai yang berlaku di dunia ini.
Dengan bicara tentang membenci,
Yesus menuntut kasih dan kesetiaan yang radikal. Kita ingat, sebelumnya Yesus
berbicara dalam perumpamaan tentang orang-orang
yang berdalih (Lukas 14:15-24). Di situ jelas diungkapkan ada begitu banyak
alasan seseorang tidak mau menerima undangan dalam karya Keselamatan Allah;
selalu saja ada alasan untuk tidak serius atau menaruh Yesus pada prioritas
akhir! Kini, Yesus menuntut keseriusan radikal tanpa syarat. Demi mengikut
Yesus, seseorang tidak menyangkal atau pun membuang ikatan-ikatan komunal yang
sudah ada, melainkan menundukkannya pada sesuatu yang lebih bernilai. Jadi,
permusuhan tidak usah dicari-cari. Namun, ketika seseorang dihadapkan hanya
pada pilhan mengikuti suara TUHAN atau kepentingan keluarga. Maka jelaslah
suara TUHAN itulah yang harus diikuti atau dinomorsatukan, meskipun konsekuensi
untuk itu ia akan dibenci dan dimusuhi oleh orang-orang terdekatnya. Bahkan,
Gregorius Agung pernah berkata, “Tidak cukup meninggalkan apa yang ada pada
kita saja; diri kita pun perlu ditinggalkan.” Apabila itu menjadi penghalang
bagi kita dalam mengikut Yesus. Di sinilah kita menemukan arti penyangkalan
diri dan memikul salib itu!
Bagi orang Yahudi, apa yang dituntut Yesus sebagai syarat mengikuti-Nya
bukanlah perkara asing. Setidaknya Musa pernah menantang umat Israel. Ulangan
30:15-16, “Ingatlah, aku menghadapkan
kepadamu hari ini kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan, karena
pada hari ini aku memerintahkan kepadamu untuk mengasihi TUHAN, Allahmu, dengan
hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya dan berpegang pada perintah,
ketetapan, dan peraturan-Nya, supaya engkau hidup dan bertambah banyak dan
diberkati oleh TUHAN, Allahmu, di negeri ke mana engkau masuk untuk
mendudukinya.” Musa juga mengatakan hanya ada dua pilihan ya atau tidak dalam mengikut TUHAN. JIka ya, itu berarti umat atau seseorang harus menyingkirkan apa yang
menjadi hambatan atau penghalang dalam mengikut TUHAN.
Selanjutnya, Yesus berbicara tentang memikul
salib dan mengikut Aku. Bahasa Ibrani dan Aram tidak mengenal kata mengikut, sehingga dipakai ungkapan berjalan di belakang. Artinya, sama
dengan menjadi murid, hidup bersama dan berbagi nasib. Ikut di belakang berarti
juga mengikut Yesus di jalan hidup-Nya yang berakhir dengan kematian di salib.
Menarik bahwa ungkapan “memikul salib” dan “berjalan di belakang” Yesus, dalam
Injil-injil Sinoptik selalu dijadikan sepasang kata yang tidak terpisahkan.
Memikul salib semasa kehidupan Yesus berarti meninggalkan
eksistensi sendiri, siap mati, bahkan benar-benar mati bagi Kristus. Memikul
salib menjadi searti dengan menerima (dengan lapang dada) segala hal yang
menyengsarakan demi mengikut Yesus. Pada masa Injil Lukas ditulis, memikul
salib benar-benar nyata. Pada tahun 6, akibat pemberontakan Yudas dari Galilea,
ratusan orang Yahudi disalibkan. Memikul salib berati “menjadi senasib dengan
Yesus dalam kematian”. Yesus tidak main-main dengan persyaratan seseorang
ketika ingin mengikuti-Nya. Ia meminta setiap orang, bahkan yang telah menjadi
murid-Nya sekali pun untuk mempertimbangkan masak-masak tentang keputusan untuk
mengikuti-Nya. Pertimbangan yang matang itu Ia umpamakan seperti seorang yang
hendak membangun menara yang harus membuat perencanaan dan anggaran atau seorang
raja yang hendak berperang. Ia harus menghitung dengan cermat.
Jadi yang menentukan layak tidaknya seseorang menjadi pengikut Yesus, bukanlah orang itu. Melainkan Yesus sendiri. Di sinilah relevansi tema bacaan kita, “Bukan aku yang menentukan, tetapi Dia.”