Archandra Tahar dan
Gloria Natapradja Hamel adalah dua nama yang sempat menjadi trending topic di berbagai media sosial
beberapa minggu belakangan ini. Archandra Tahar dalam kacamata Presiden Joko
Widodo mempunyai kompetensi akademis dan praktisi mumpuni dalam bidang
perminyakan, maka sang Presiden memintanya untuk pulang ke tanah air mengambil
alih kursi kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dari Sudirman Said.
Namun, sayangnya ternyata kepandaian dan sederet prestasi yang sudah
ditorehkannya di negeri Paman Sam tidak bisa begitu saja membuatnya nyaman
menjadi orang nomor satu di kementrian ESDM. Kewarganegaraannya dipertanyakan!
Pasalnya, pada 2012 ia telah memeroleh paspor dari negara di mana ia menimba
ilmu dan berkarier, USA. Pembelaan diri yang menyatakan bahwa ia
sungguh-sungguh orang Padang dan pembelaan beberapa menteri termasuk
Menkopolhukam yang baru, Wiranto tidak bisa memertahankannya sebagai Menteri
ESDM. Indonesia tidak mengenal dwi kewarganegaraan, dan Tahar pun harus
mendapat rekor sebagai Menteri yang paling pendek menjabat, tidak lebih dari 20
hari!
Lain lagi yang
menimpa Gloria Natapradja Hamel, jerih lelahnya setelah berbulan-bulan
mengikuti
latihan Paskibraka tidak
bisa menjaminnya ikut bersama dengan 67 temannya dalam kirab dan pengibaran
bendera di Istana Merdeka. Meskipun, Presiden Joko Widodo memutuskan Gloria
masuk kembali ke dalam pasukannya pada petang hari dalam acara penurunan
bendera, tetap saja ia harus menelan pil pahit yang bernama kecewa.
Keindonesiaannya diragukan karena ia terlahir dari benih seorang ayah
berkebangsaan Perancis.
Banyak pengamat dan
tokoh berbicara. Ada yang menyayangkan kecerobohan apparat negara dalam proses
penyeleksian menteri atau anggota paskibraka. Namun, tidak sedikit pula yang
melihat kewarganegaraan dalam hal ini keindonesiaan seseorang bukan
semata-mata ditunjukkan oleh secarik kerta legalitas, melainkan jauh di balik
itu. Di mana di dalam dada seseorang tertanam kecintaan yang luar biasa
terhadap tanah air yang diwujudkan dengan rela berkorban, berjuang dan
mempersembahkan apa yang terbaik untuk ibu pertiwi. Ironis, pada pihak lain,
justeru ada yang berteriak-teriak “pribumi asli” namun, idealisme dan
perjuangan justeru berkiblat pada kepentingan asing, entah itu pemodal atau
aliran faham radikalisme keagamaan. Atau juga berkoar-koar paling nasionalis namun ternyata realitas membuktikan dirinya seorang koruptor! Dalam tataran ini kita bertanya, “Mana yang
mengindonesia?”
Rupanya, perdebatan
keindonesiaan memang tidak sederhana atau sesempit yang kita bayangkan. Sama
tidak sederhananya ketika sekelompok
orang yang menamakan diri Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee,
gereja yang beretnis Tionghoa memutuskan
mengganti nama menjadi Gereja Kristen Indonesia. Bayangkan, sebuah entitas yang
menyandang dua gelar identitas “asing” (etnisitas Tionghoa dan kristianitas) tiba-tiba memilih nama
Gereja Kristen Indonesia dan bukan Gereja Kristen Di Indonesia. Hal ini jelas
berbeda, Gereja Kristen Di Indonesia itu berarti orang-orang Kristen yang
berkumpul di Indonesia mendirikan sebuah Gereja. Sedangkan Gereja Kristen
Indonesia bermakna warga negara Indonesia yang menghayati dan menyatakan iman
Kristennya di Indonesia. Pemikiran ini timbul dari refleksi sebagai berikut. Pertama, Gereja
harus menemukan jati dirinya di tengah kehidupan suatu bangsa di mana ia hidup.
Kedua, bertolak dari pertimbangan pertama ini, gereja menemukan kenyataan bahwa
hampir seluruh anggotanya, gereja adalah orang-orang berwarganegara Indonesia
dan berbahasa Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari penerapan hasil konferensi
Meja Bundar (27 Desember 1949) dan Perdjandjian Republik Indonesia – Republik Rakjat
Tiongkok (22 April 1955). Ketiga, bertolak dari hal pertama dan kedua, gereja
menyadari bahwa dirinya harus terbuka bagi segala golongan etnik, yang dalam
konteks Indonesia, gereja harus terbuka bagi segala golongan dan suku. Maka
pada tahun 1956 THKTKH Djawa Tengah mengubah nama menjadi Gereja Kristen
Indonesia Djawa Tengah. Menyusul pada 2 Oktober 1958 TKHTKH Djawa Barat
mengganti nama dengan Gereja Kristen Indonesia Djawa Barat. Dalam tahun yang
sama juga TKHTHK Djawa Timur mengganti nama dengan Gereja Kristen Indonesia
Djawa Timur (Sumber: Buku Panduan Bagi Aktivis dan Pejabat Gerejawi – Bina Warga
1996).
Menyadari ada
begitu banyak persamaan dan sumber-sumber sejarah, maka diupayakanlah penyatuan
ketiga sinode Gereja Kristen Indonesia Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur
untuk menjadi satu Sinode. Kesamaan visi-misi ini mendorong para pejabat gereja
untuk menggalang upaya nyata penyatuan itu. Upaya itu terwujud pada tanggal 27
Maret 1962 dengan membentuk Sinode Am GKI. Setelah menempuh satu generasi, maka
pada 26 Agustus 1988 ketiga gereja tersebut menyatakan ikrarnya menjadi satu
gereja, yakni Gereja Kristen Indonesia.
Minggu ini kita
merayakan HUT Gereja Kristen Indonesia yang ke-28 dengan tema GKI, Sudahkah Menjadi Gereja Yang Mengindonesia?
Tema dengan kalimat tanya menyiratkan kita uuntuk berefleksi. Kata kerja yang
mewakili awalan “meng-“ memiliki banyak arti, di antaranya: menjadi, menyatakan, mengaku. Dengan demikian “mengindonesia” bisa
dipahami sebagai upaya untuk menjadi Indonesia, menyatakan dan mengaku diri
Indonesia. Menjadi gereja yang menyandang nama “Indonesia” bukanlah sekedar
embel-embel supaya keren atau gagah. Melainkan gereja yang hidup sesuai dengan
dan untuk menjawab pergumulan dalam konteks Indonesia sesuai dengan visi-misi
awal para penggagas nama Gereja Kristen Indonesia. Apa sajakah kontribusi yang
telah diberikan GKI dalam konteks
kehadirannya di Indonesia? Saat inilah waktunya yang tepat untuk kita
merenungkannya.
Di dunia tidak ada
yang sempurna, begitu kata pepatah. Demikian juga dengan gereja: pasti ada
cacat cela namun tidak sedikit pula capaian dan keberhasilan. Cacat-cela dan
kegagalan bukanlah perkara yang membelenggu langkah kita untuk terus maju.
Namun, keberhasilan dengan pelbagai capaian bukan menjadi alasan untuk pongah
dan jumawa. Kegagalan, cacat-cela harus dan mutlak diperbaiki. Keberhasilan
harus terus dipertahankan dan dikembangkan dengan segala sikap rendah hati.
Ada banyak capaian
dan keberhasilan selama 28 tahun GKI berkiprah, sebut saja: Sumbangsih
penyatuan ketiga sinode GKI Jateng, Jabar dan Jatim menjadi satu Sinode GKI di
tengah banyaknya perpecahan gereja yang terjadi. Keteraturan dan ketertiban
yang diwujudkan dalam Tata Gereja yang dinamis dalam system presbitarial
sinodal, dipercaya mengelola harta milik kepunyaan Tuhan yang diwujudkan dalam
tanggungjawab, tidak jatuh dalam pengkultusan individu, memiliki tata ibadah
ekumenis dengan kelengkapan buku nyanyian dan mazmur, terlibat dan dipercaya
menangani bencana melalui Gerakan Kemanusiaan Indonesia, pembinaan kader-kader
pemimpin yang sistematik dan terencana, lembaga-lembaga pendidikan unggulan,
dan sebagainya. Berbagai capaian itu tidak seharusnya membuat GKI lupa diri,
melainkan dengan penuh kerendahan hati bahwa anugerah Tuhanlah yang
memungkinkan GKI mencapai hal-hal tersebut. Ingatlah bahwa Tuhan lebih menyukai
orang-orang yang rendah hati ketimbang pongah dengan pelbagai capaian dan
prestasi.
Pada Minggu ini
bacaan Injil kita Lukas 14:1, 7-14 mengingatkan kita untuk tetap bersikap
rendah hati. Dikisahkan ada seorang pemimpin Fasiri mengundang Yesus dalam
suatu jamuan makan pada hari Sabat. Perjamuan makan dengan mengundang para tamu
merupakan kegiatan sosial penting dalam kehidupan masyarakat Yahudi. Dalam
jamuan itu para undangan dari pelbagai status sosial hadir dan tentunya saling “mengasah
ilmu” di antara mereka. Status dan kedudukan para undangan dalam perjamuan itu
tampak lewat lokasi tempat duduk mereka. Orang-orang yang terhormat akan duduk
di dekat tuan rumah atau di deretan paling depan. Kadang-kadang tuan rumah
terpaksa mempermalukan tamu yang ‘tidak tahu diri” dan sekaligus meninggikan
tamu yang perlu ditinggikan. Allah pun kelak akan “merendahkan” ataupun “meninggikan”
orang tertentu dalam Kerajaan-Nya (Luk.14:11).
Yesus hadir pada
saat itu sebagai undangan. Namun, Ia memanfaatkan momentum itu untuk mengajar
para murid-Nya. Yesus sama sekali tidak menyerang, apalagi menyinggung perasaan
orang-orang yang duduk dalam perjamuan makan itu. Kata-kata-Nya berisi nasehat
bijak, “Tidak bijaksanalah kalau Anda mengambil tempat yang utama di ruang
resepsi. Sebab bisa saja datang seorang yang lebih terhormat dari Anda. Orang
tersebut biasanya datang pada menit-menit terakhir atau sedikit terlambat. Tuan
rumah tentu harus memberi tempat utama kepada orang itu. Maka, apabila Anda
menempati tempat yang seharusnya diberikan kepada orang yang terhormat itu,
Anda akan harus mundur ke tempat di belakang. Maka janganlah Anda terlalu
ambisius, supaya jangan dipermalukan!” Kalimat senada ini juga terdapat dalam
Amsal 25:6 dst.
Ambisi untuk
kehormatan diri sendiri, itulah pesan utama yang disampaikan Yesus kepada para
murid-Nya. Ambisi untuk mencapai kehormatan mengatasnamakan pelayanan gereja merupakan
virus yang membunuh gereja itu sendiri, sebab berkaca dari perumpamaan Yesus
ini kita mengerti di posisi mana Tuhan akan menempatkan orang (baca: gereja)
yang tinggi hati.
Pada bagian
percakapan kedua, Yesus menasihatkan bahwa sebaiknya undangan jamuan makan itu
ditujukan kepada mereka yang tidak mampu makan dengan layak, seperti
orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh, dan orang-orang
buta. Mereka ini adalah kaum lemah yang tersisih dalam tatanan masyarakat
Yahudi. Ini menyiratkan keprihatinan Yesus yang menitipkan mereka kepada setiap
pengikut-Nya; gereja dan orang Kristen agar memerhatikan mereka.
Mengasihi orang
yang sederajat dan bisa membalas lagi kebaikan kita adalah hal lumrah, tetapi
mengasihi orang yang lemah, memberi tumpangan kepada orang asing, dan yang
terlupakan, ketika itu dilakukan dengan tulus, tanpa motivasi politis maka sama
artinya kita sedang menjamu para malaikat (Ibrani 13:2). Gereja Kristen
Indonesia mestinya gereja yang ramah dengan menyambut orang-orang yang tersisih
dan pastinya tidak akan dapat membalas dengan “undangan jamuan makan” kembali.
Di sinilah konteks keindonesiaan itu! Membuka ruang dan menerima dalam peluk dan cinta kasih. Bukan sebaliknya, ramah dan memberi “jamuan makan” oleh karena di
belakangnya nanti ada kepentingan agar gereja menjadi aman dan nyama serta
dihormati sebagai lembaga dermawan. Selamat berulang tahun ke-28 GKI, tetaplah
menjadi Gereja Yang Mengindonesia!
24 Agustus 2016