Jumat, 12 Agustus 2016

KRISTUS DATANG UNTUK MEMBAWA PEMISAH

Apa respons Anda, ketika orang-orang yang berpengaruh dalam hidup Anda menyuruh meminta Anda mengubah kebiasaan yang biasa Anda lakukan setiap hari? Bingun, kecewa, jengkel atau apa? Kebanyakan sistem ingatan dan syaraf kita mirip-mirip seperti komputer yang sudah terinstal dengan program tertentu. Dari kecil, bahkan banyak peneliti mengatakan sejak dalam kandungan kita “diisi” dengan pelbagai macam kebiasaan-kebiasan dan perlakuan yang berulang-ulang dan nantinya sangat berpengaruh terhadap karakter kita. Ketika apa yang biasa menjadi tidak biasa atau sebaliknya, maka pastilah sangat sulit untuk kita dapat menerima perubahan radikal itu. Selanjutnya,  membuat kita pusing tujuh keliling.

Kita yang dibesarkan dalam iman Kristen, sejak kecil atau pertama kali mengenal nilai-nilai kekristenan pasti diajarkan tentang cinta kasih Allah yang mengampuni manusia melalui pengorbanan Anak-Nya yang Tunggal, Yesus Kristus! Ia adalah pendamai antara kita yang berdosa dengan Allah yang Mahakudus. Setiap orang yang telah menerima anugerah keselamatan dalam Kristus diutus-Nya untuk meneruskan kasih Allah dan pendamaian itu bagi semua orang. Setiap murid Kristus harus menjadi pembawa damai dan cinta kasih! Ajaran itu terus-menerus dikhotbahkan, diseminarkan, didiskusikan, dibuatkan materi dan modul-modul pembiaan dan sebagainya sehingga megendap dalam diri setiap pengikut Kristus. Namun, bagaimanakah respons kita ketika membaca Lukas 12:49-53, yang diberi judul oleh Lembaga Alkitab Indonesia, “Yesus membawa pemisah”? Bagaimanakah reaksi kita ketika Yesus mengatakan kebalikan dari apa yang selama ini kita yakini? Ia mengatakan, “Kamu menyangka, bahwa Aku datang membawa damai di atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan. Karena mulai dari sekarang akan ada pertentangan antara….ayah melawan anaknya laki-laki dan anak laki-laki melawan ayahnya, ibu melawan anaknya perempuan, dan anak perempuan melawan ibunya, ibu mertua melawan menantunya perempuan dan menantu perempuan melawan ibu mertuanya.”  

Mendengar ajaran Yesus yang satu ini mungkin sekali kita akan bertanya: “Apakah benar ini ucapan Yesus?” Atau, “Sungguh-sungguhkah Yesus mengatakannya?” Sangat mungkin kita menjadi bingung dengan pernyataan Yesus yang satu ini.

Tidak sedikit orang Kristen yang menggunakan ayat-ayat ini untuk pembenaran konflik-konflik yang terjadi dalam keluarga mereka. Sebut saja Any. Ia begitu sibuk dengan kegiatan gereja yang mengatasnamakan pelayanan. Saking sibuk, waktu di gereja lebih banyak ketimbang di rumah. Sang suami mencoba mengingatkan akan tanggungjawabnya sebagai ibu rumah tangga yang terbengkalai. Apa lacur, Any tidak mau menggubris nasihat suaminya. Maka konflik tak terhindari. Dan ketika itu terjadi, Any mencoba menghibur diri bahwa dulu pun Yesus sudah mengatakannya bahwa konflik itu akan terjadi. Di lain pihak ada banyak orang yang menjadikan pernyataan Yesus ini sebagai serang terhadap ajaran Kristen. Berdasarkan perikop ini mereka menyimpulkan bahwa sejak awal Yesus datang bukan untuk membawa damai, melainkan pertentangan!

Pertanyaan-pertanyaan kebingungan dan keraguan sampai pada penerapan yang keliru dari pernyataan Yesus yang satu ini sangat mungkin terjadi apabila kita tidak memahami konteks menyeluruh dari apa yang sedang dibicarakan Yesus. Mari kita telisik apa sebenarnya isi pesan dari Yesus ini.

Kalau kita membaca bagian ucapan Yesus sebelum Lukas 12:49-53, Ia menasihati murid-murid-Nya supaya mereka selalu waspada karena tidak ada seorang pun yang tahu kapan akan datangnya “Sang Tuan”, yakni kedatangan Yesus kembali kelak pada akhir zaman. Akhir zaman digambarkan seperti para hamba yang menantikan tuannya pulang. Tidak ada yang tahu kapan akhir zaman tiba! Sama seperti para hamba yang dengan setia melakukan tugas-tugasnya, maka para murid Yesus pun tidak boleh lengah. Harus selalu siap dan waspada. Sikap waspada yang dimaksud adalah supaya mereka selalu setia dalam memenuhi tugas panggilan yakni dengan melakukan setiap ajaran-Nya. Selanjutnya, menyusullah sejumlah perkataan Yesus yang menjelaskan bahwa zaman di mana murid-murid-Nya mendengar ajaran-Nya (termasuk kita kini) adalah “zaman krisis”. Artinya, kini sudah datang saat genting (mendesak) untuk mengambil keputusan yang paling serius, yakni keputusan yang menentukan kehidupan kekal atau kematian kekal. Karena manusia tidak pernah bisa tahu saat kedatangan-Nya kembali (akhir zaman; kiamat) dan juga tidak pernah bisa tahu kapan seseorang akan meninggal, maka setiap hari, setiap jam dan bahkan setiap detik merupakan “saat genting” (sangat serius) untuk mengambil sebuah sikap, yakni menerima atau menolak Yesus. Benar, setiap saat adalah genting karena setiap saat Tuhan bisa datang kembali atau setiap saat kita bisa dipanggil pulang.

Penulis Lukas memakai gambaran “api” untuk sebuah keseriusan (Luk. 12: 49). Api bisa menggambarkan tentang pencurahan Roh Kudus. Namun, tampaknya di sini gambaran api bukan itu melainkan bersangkut paut dengan krisis, pemisahan, hukuman dan penganiayaan (kata “krisis” dalam bahasa Yunani krino yang berarti memisahkan, mengadili, menghukum, memutuskan) Yesus mengklaim bahwa diri-Nyalah yang melemparkan “api” ke bumi, hal itu berarti bahwa dengan munculnya Yesus di bumi ini maka itu berarti perkataan dan perbuatan-Nya, dan terutama kematian serta kebangkitan-Nya menimbulkan krisis, yang memaksa manusia untuk mengambil keputusan; dan konsekuensi keputusan itu akan membawa akibat, yakni perlawanan, pertentangan atau konfliks seperti yang digambarkan dalam Lukas 12:51-53.

Jadi, para pendengar Yesus tidak diminta untuk dengan sengaja mencari-cari atau menciptakan masalah agar terjadi konfliks apalagi merasa sok paling saleh dan paling beriman, melainkan diminta untuk hidup serius karena setiap saat merupakan krisis. Serius dalam memutuskan dan bertindak menerima atau menolak Yesus. Menerima Yesus berarti memberlakukan setiap ajaran-Nya dalam kehidupan sehari-hari, berusaha dengan sepenuh hati dan sekuat tenaga meneladani apa yang dilakukan-Nya dan mengimani bahwa Dialah Tuhan dan Juruselamat! Jadi, bukan sekedar pengakuan sesaat tetapi sepanjang hayat dikandung badan. Dengan demikian membuahkan kehidupan kekal. Ingatlah, Tuhan benar-benar tahu siapa yang menggunakan kesempatan dengan baik dan siapa yang menolak-Nya atau sekedar berpura-pura, “Sekiranya ada seseorang menyembunyikan diri dalam tempat persembunyian, masakan Aku tidak melihat dia? Demikianlah firman TUHAN. Tidakkah Aku memenuhi langit dan bumi? Demikianlah firman TUHAN” (Yeremia 23:24)

Kita mengetahui bagaimana Yesus hidup, seringkali Ia memperlihatkan ajaran dan sikap-Nya yang bertentangan dengan norma dunia ini sehingga banyak orang tidak menyukai-Nya dan berusaha menyingkirkan-Nya. Hal ini menjadi peringatan buat kita bahwa, hidup beriman kepada Yesus berarti menanggung banyak resiko. Resiko itu adalah penolakan, penganiayaan dan penderitaan bahkan kematian seperti yang dialami-Nya sendiri. Ia mengatakan dengan kiasan, “Aku harus menerima baptisan, dan betapa susahnya hati-Ku, sebelum hal itu berlangsung!” (Luk.12:51). Namun, di balik itu tersedia kemuliaan dan kehidupan kekal. Itulah iman yang sesungguhnya; bersedia menanggung segala bentuk penderitaan dan aniaya bahkan dari orang-orang terdekat sekali pun karena yakin bahwa di ujungnya nanti TUHAN tidak pernah mengecewakan. Dalam Ibrani 11 :29 – 12:2, penulis surat Ibrani memberikan banyak contoh pengalaman pahit bangsa Israel dan tokoh-tokoh iman yang teguh dan tangguh berpegang kepada janji TUHAN, akhirnya ketika pemisahan itu terjadi, mereka yang benar-benar setia mendapat bagian dalam anugerah-Nya. Ibrani 11 dan 12 setidaknya menjadi gambaran salah satu bentuk motivasi agar umat TUHAN di sepanjang masa dapat menentukan prioritas utama dalam hidupnya; tetap taat dan setia berpegang pada imannya.  

Bagaimanakah dengan kita? Apakah kita memandang bahwa waktu yang kita jalani ini adalah “saat krisis” yang memaksa kita untuk menentukan sikap? Dan apa yang kita putuskan? Ingat waktu akan terus bergulir jangan sampai kita tidak memanfaatkannya dengan tepat!
 
Jakarta, 12 Agustus 2016

Kamis, 04 Agustus 2016

YAKIN DAN TAAT AKAN JANJI PEMELIHARAAN TUHAN

The Great Escape, sebuah film garapan sutradara John Sturges pada tahun 1963 menjadi sebuah film inspiratif. Film tersebut diangkat dari kisah nyata tentang tawanan perang Nazi yang berusaha melarikan diri dari kamp Stalag Luft III. Kamp ini sangat besar dan terletak 160 kilometer kea rah tenggara Berlin, digunakan untuk menahan sepuluh ribu tentara sekutu. Pada 1944, di dalam kamp itu terbentuk kelompok tawanan ini yang bertekad melarikan diri. Tujuan mereka adalah melarikan setidaknya 250 tawanan dalam semalam. Jelas bukan perkara mudah!

Ketika niat itu muncul, pada saat bersamaan terbentang tantangan yang tidak main-main. Pertama-tama, tantangan itu menggali dan menyembunyikan beberapa terowongan yang akan menjadi jalur pelarian mereka. Bagaimana mereka bekerja? Para tawanan bersama-sama merancang terowongan. Sesudah itu mulailah pekerjaan diam-diam. Mereka menggali dan menopangnya dengan bilah kayu yang diambil dari tempat tidur para tawanan. Mereka membuang tanah galian dengan cara yang sangat kreatif. Mereka memompakan udara ke dalam terowongan. Mereka membangun rel dan troli. Bahkan, mereka melengkapi gang sempit itu dengan lampu-lampu listrik. Daftar persediaan barang yang dibutuhkan untuk pekerjaan itu sungguh mencengangkan: 4.000 bilah kayu tempat tidur, 1.370 papan bangku panjang, 1.699 selimut, 52 meja panjanng, 1.219 pisau, 30 sekop, hampir 183 meter tali, 305 meter kabel listrik, dan sebagainya. (Rob Davis, “The Real Escape – The Tunnels: ‘Tom,’’Dick’ and ‘Harry’,                                  http://www.historyinfilm.com/escape.)

Pembangunan terowongan hanyalah salah satu bagian saja dari sejumlah tahapan rencana pelarian diri. Selanjutnya, mereka membutuhkan pelbagai persedian dan perlengkapan: baju sipil, dokumen dan kartu identitas Jerman, peta, kompas buatan sendiri, ransum dalurat, serta benda-benda lainnya. Dari mana semua itu mereka dapatkan? Setiap orang mendapatkan tugas sesuai dengan keahliannya. Ada yang menjadi penjahit, pandai besi, pencopet, dan pemalsu dokumen yang bekerja diam-diam bulan demi bulan. Para tawanan bahkan membentuk tim kerja yang khusus mengendalikan perhatian dan kamuflase, agar tentara Jerman tidak curiga.

Pada 24 Maret 1944 malam, setelah bekerja lebih dari setahun, 220 tawanan bersiap-siap merangkak melewati terowongan untuk menuju hutan di luar kamp konsentrasi. Rencana mereka adalah meloloskan satu tawanan per menit sehingga semua berhasil kabur. Namun, ketika tawanan pertama muncul di ujung terowongan, ia menyadari bahwa pintu keluarnya bukanlah di hutan. Jangankan meloloskan satu tawanan per menit, mereka bahkan tidak dapat meloloskan selusin tawanan per jam. Akhirnya, 86 orang berhasil keluar sebelum keberadaan terowongan itu ketahuan. Nazi langsung gempar dan menyatakan siaga nasional. Delapan puluh tiga pelarian tertangkap, dan 41 di antaranya dieksekusi atas perintah Adolf Hitler. Hanya tiga orang yang berhasil bebas!

John Sturges berujar, “Butuh tekad baja dan kewaspadaan lebih dari enam ratus orang – setiap orang, setiap menit, setiap jam, setiap hari, dan setiap malam selama lebih dari setahun. Belum pernah ada daya juang manusia yang bertahan selama itu atau memperlihatkan kebulatan tekad dan keberanian seperti itu.” Sturges berhasil menangkap dan menggambarkan apa itu tekad, perjuangan, berjaga-jaga dan ketaatan pada misi dalam konteks The Great Escape: yakni pengharapan terbebas dari tawanan. Tantangan, ancaman bahaya dan pelbagai kesulitan tidak dapat membendung niat mereka untuk keluar dari kamp konsentrasi Stalag Luft III.

Berbeda dengan cerita The Great Escape, banyak orang percaya tidak mampu melihat visi Tuhan dengan baik, baik bagi dirinya maupun bagi semesta alam ini. Akibatnya, ketika mengalami kesulitan, terancam bahaya, dan pelbagai-bagai penderitaan alih-alih berjuang mengatasi dan melewati itu semua, lebih banyak mengeluh: menyalahkan keadaan, menyalahkan orang-orang di sekitar dan akhirnya menyalahkan Tuhan. Tuhan dipandang tidak menggenapi janji-Nya. Iman menjadi mudah pudar manakala keadaan tidak sesuai dengan harapan.

Penulis Injil Lukas diyakini adalah orang Kristen generasi ketiga, yang hidup dalam penantian Yesus yang berjanji akan datang kembali. Ia  menyadari bahwa pada zamannya ada umat yang begitu serius menanti-nantikan kedatangan Yesus. Namun nyatanya Yesus tidak kunjung datang, beberapa di antara mereka menjadi putus asa lalu memandang bahwa janji Tuhan itu palsu. Sebagai penulis berbakat, Lukas menghimpun sejumlah teks tradisional dan mengolahnya secara kreatif, lalu menyajikannya sebagai bahan untuk direnungkan. Menurut Lukas, umat Kristen berada dalam situasi yang mirip seperti yang dialami oleh hamba-hamba yang menantikan kedatangan tuannya (Lukas 12 :35-40). Sebab mereka pun menantikan kedatangan Tuan, yaitu menifestasi definitive Kerajaan Allah. Mereka tidak tahu hari maupun saat kedatangan-Nya. Lukas menekankan dari ketidaktahuan kapan waktunya tiba, sikap yang paling logis adalah berjaga-jaga dan bukan berleha-leha, seperti yang diingatkan Yesus “Hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga.” (Lukas 12:40)

Dalam konteks Perjanjian Baru kata “berjaga-jaga” atau “siap sedia” selalu dikaitkan dalam konteks eskatologis, yakni kedatangan Yesus kembali. Apa dan bagaimana sikap berjaga-jaga atau siap sedia? Jelas, kata ini bukan dimaksudkan secara harafiah, misalnya orang yang tidak tidur semalam suntuk. Bukan itu! Orang yang berjaga-jaga itu adalah orang  yang hidup demi melakukan kehendak Tuhan sambil terus menantikan-Nya, ia siap menyambut-Nya dalam setiap peristiwa dan dalam diri sesama. Ia mampu mengenali orang-orang yang ditempatkan Tuhan dalam kehidupannya sebagai perwujudan kehadiran-Nya juga. Orang itu tidak memikirkan kedatangan Tuhan dari sudut kepentingannya sendiri, hanya untuk membereskan masalah dan memenuhi kemauannya. Melainkan, ia dapat memandang dari sudut kepentingan Tuhan bagi dunia ini.

Orang yang disebut berjaga-jaga adalah mereka yang mengenal betul visi dan misi Tuhan untuk dunia ini. Visi dan misi itu adalah agar dunia mengenal, merasakan dan menyambut kasih karunia-Nya. Selanjutnya, orang ini akan berada dalam arus pekerjaan Allah untuk kebaikan dan pemulihan manusia dan semesta alam, maka dia akan rela dan bersukacita untuk menjalankan misi itu. Karena sikapnya yang demikian, maka ia tidak akan melekatkan hatinya pada harta benda, sebab harta benda bukan tujuan hidupnya. Tidak sulit baginya untuk menjual harta bendanya (Luk.12:33) demi menolong sesamanya karena di situlah ia memahami sedang berada dalam arus Kerajaan Allah yang sedang datang. Semangat dan tekadnya membaja, percis sama seperti semangat para tawanan Hitler. Mereka melakukan apa saja yang dapat mendukung visi dan misi mereka. Tidak ada pamrih, ingat mereka melakukannya setiap menit, setiap jam, setiap hari, berbulan-bulan.

Sikap berjaga-jaga itu tidak jauh berbeda dengan hidup dalam sikap Datanglah Kerajaan-Mu. Dilihat dengan cara ini, kedatangan Tuhan bukan sesuatu yang akan terwujud pada saat sesudah kematian melainkan sesuatu yang memberi warna kepada keseluruhan kehidupan dan sejarah. Orang yang hidup sebagai penanti Tuhan tidak memikirkan  kematian sendiri melainkan Tuhan yang terus-menerus membawa kehidupan sejati ke dalam dunia ini. Baginya, tidak pernah akan meragukan janji dan penyertaan Tuhan. Setiap peristiwa akan dipahami sebagai bentu pemeliharaan dan perwujudan janii Allah.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita termasuk “hamba yang setia”, yang selalu berjaga-jaga, siap sedia mengerjakan kehendak-Nya? Ataukah pada akhirnya, ternyata bahwa kita adalah hamba-hamba yang malas, yang melakukan segala sesuatu berdasarkan keinginan dan pemenuhan hawa nafsu sendiri?