Apa respons Anda,
ketika orang-orang yang berpengaruh dalam hidup Anda menyuruh meminta Anda
mengubah kebiasaan yang biasa Anda lakukan setiap hari? Bingun, kecewa, jengkel
atau apa? Kebanyakan sistem ingatan dan syaraf kita mirip-mirip seperti komputer
yang sudah terinstal dengan program tertentu. Dari kecil, bahkan banyak peneliti
mengatakan sejak dalam kandungan kita “diisi” dengan pelbagai macam
kebiasaan-kebiasan dan perlakuan yang berulang-ulang dan nantinya sangat berpengaruh
terhadap karakter kita. Ketika apa yang biasa menjadi tidak biasa atau
sebaliknya, maka pastilah sangat sulit untuk kita dapat menerima perubahan
radikal itu. Selanjutnya, membuat kita
pusing tujuh keliling.
Kita yang dibesarkan
dalam iman Kristen, sejak kecil atau pertama kali mengenal nilai-nilai
kekristenan pasti diajarkan tentang cinta kasih Allah yang mengampuni manusia
melalui pengorbanan Anak-Nya yang Tunggal, Yesus Kristus! Ia adalah pendamai
antara kita yang berdosa dengan Allah yang Mahakudus. Setiap orang yang telah
menerima anugerah keselamatan dalam Kristus diutus-Nya untuk meneruskan kasih
Allah dan pendamaian itu bagi semua orang. Setiap murid Kristus harus menjadi
pembawa damai dan cinta kasih! Ajaran itu terus-menerus dikhotbahkan,
diseminarkan, didiskusikan, dibuatkan materi dan modul-modul pembiaan dan
sebagainya sehingga megendap dalam diri setiap pengikut Kristus. Namun,
bagaimanakah respons kita ketika membaca Lukas 12:49-53, yang diberi judul oleh
Lembaga Alkitab Indonesia, “Yesus membawa
pemisah”? Bagaimanakah reaksi kita ketika Yesus mengatakan kebalikan dari
apa yang selama ini kita yakini? Ia mengatakan, “Kamu menyangka, bahwa Aku datang membawa damai di atas bumi? Bukan,
kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan. Karena mulai dari
sekarang akan ada pertentangan antara….ayah melawan anaknya laki-laki dan anak
laki-laki melawan ayahnya, ibu melawan anaknya perempuan, dan anak perempuan
melawan ibunya, ibu mertua melawan menantunya perempuan dan menantu perempuan
melawan ibu mertuanya.”
Mendengar ajaran
Yesus yang satu ini mungkin sekali kita akan bertanya: “Apakah benar ini ucapan
Yesus?” Atau, “Sungguh-sungguhkah Yesus mengatakannya?” Sangat mungkin kita
menjadi bingung dengan pernyataan Yesus yang satu ini.
Tidak sedikit orang
Kristen yang menggunakan ayat-ayat ini untuk pembenaran konflik-konflik yang
terjadi dalam keluarga mereka. Sebut saja Any. Ia begitu sibuk dengan kegiatan
gereja yang mengatasnamakan pelayanan. Saking sibuk, waktu di gereja lebih
banyak ketimbang di rumah. Sang suami mencoba mengingatkan akan tanggungjawabnya
sebagai ibu rumah tangga yang terbengkalai. Apa lacur, Any tidak mau menggubris
nasihat suaminya. Maka konflik tak terhindari. Dan ketika itu terjadi, Any
mencoba menghibur diri bahwa dulu pun Yesus sudah mengatakannya bahwa konflik
itu akan terjadi. Di lain pihak ada banyak orang yang menjadikan pernyataan
Yesus ini sebagai serang terhadap ajaran Kristen. Berdasarkan perikop ini
mereka menyimpulkan bahwa sejak awal Yesus datang bukan untuk membawa damai,
melainkan pertentangan!
Pertanyaan-pertanyaan
kebingungan dan keraguan sampai pada penerapan yang keliru dari pernyataan
Yesus yang satu ini sangat mungkin terjadi apabila kita tidak memahami konteks
menyeluruh dari apa yang sedang dibicarakan Yesus. Mari kita telisik apa
sebenarnya isi pesan dari Yesus ini.
Kalau kita membaca
bagian ucapan Yesus sebelum Lukas 12:49-53, Ia menasihati murid-murid-Nya
supaya mereka selalu waspada karena tidak ada seorang pun yang tahu kapan akan
datangnya “Sang Tuan”, yakni kedatangan Yesus kembali kelak pada akhir zaman. Akhir
zaman digambarkan seperti para hamba yang menantikan tuannya pulang. Tidak ada
yang tahu kapan akhir zaman tiba! Sama seperti para hamba yang dengan setia
melakukan tugas-tugasnya, maka para murid Yesus pun tidak boleh lengah. Harus
selalu siap dan waspada. Sikap waspada yang dimaksud adalah supaya mereka
selalu setia dalam memenuhi tugas panggilan yakni dengan melakukan setiap
ajaran-Nya. Selanjutnya, menyusullah sejumlah perkataan Yesus yang menjelaskan
bahwa zaman di mana murid-murid-Nya mendengar ajaran-Nya (termasuk kita kini) adalah
“zaman krisis”. Artinya, kini sudah
datang saat genting (mendesak) untuk
mengambil keputusan yang paling serius, yakni keputusan yang menentukan
kehidupan kekal atau kematian kekal. Karena manusia tidak pernah bisa tahu saat
kedatangan-Nya kembali (akhir zaman; kiamat) dan juga tidak pernah bisa tahu kapan
seseorang akan meninggal, maka setiap hari, setiap jam dan bahkan setiap detik
merupakan “saat genting” (sangat serius) untuk mengambil sebuah sikap, yakni
menerima atau menolak Yesus. Benar, setiap saat adalah genting karena setiap
saat Tuhan bisa datang kembali atau setiap saat kita bisa dipanggil pulang.
Penulis Lukas
memakai gambaran “api” untuk sebuah keseriusan (Luk. 12: 49). Api bisa
menggambarkan tentang pencurahan Roh Kudus. Namun, tampaknya di sini gambaran
api bukan itu melainkan bersangkut paut dengan krisis, pemisahan, hukuman dan
penganiayaan (kata “krisis” dalam bahasa Yunani krino yang berarti memisahkan, mengadili, menghukum, memutuskan)
Yesus mengklaim bahwa diri-Nyalah yang melemparkan “api” ke bumi, hal itu
berarti bahwa dengan munculnya Yesus di bumi ini maka itu berarti perkataan dan
perbuatan-Nya, dan terutama kematian serta kebangkitan-Nya menimbulkan krisis,
yang memaksa manusia untuk mengambil keputusan; dan konsekuensi keputusan itu
akan membawa akibat, yakni perlawanan, pertentangan atau konfliks seperti yang
digambarkan dalam Lukas 12:51-53.
Jadi, para
pendengar Yesus tidak diminta untuk dengan sengaja mencari-cari atau
menciptakan masalah agar terjadi konfliks apalagi merasa sok paling saleh dan
paling beriman, melainkan diminta untuk hidup serius karena setiap saat
merupakan krisis. Serius dalam memutuskan dan bertindak menerima atau menolak
Yesus. Menerima Yesus berarti memberlakukan setiap ajaran-Nya dalam kehidupan
sehari-hari, berusaha dengan sepenuh hati dan sekuat tenaga meneladani apa yang
dilakukan-Nya dan mengimani bahwa Dialah Tuhan dan Juruselamat! Jadi, bukan
sekedar pengakuan sesaat tetapi sepanjang hayat dikandung badan. Dengan
demikian membuahkan kehidupan kekal. Ingatlah, Tuhan benar-benar tahu siapa
yang menggunakan kesempatan dengan baik dan siapa yang menolak-Nya atau sekedar
berpura-pura, “Sekiranya ada seseorang
menyembunyikan diri dalam tempat persembunyian, masakan Aku tidak melihat dia? Demikianlah
firman TUHAN. Tidakkah Aku memenuhi langit dan bumi? Demikianlah firman TUHAN”
(Yeremia 23:24)
Kita mengetahui
bagaimana Yesus hidup, seringkali Ia memperlihatkan ajaran dan sikap-Nya yang
bertentangan dengan norma dunia ini sehingga banyak orang tidak menyukai-Nya
dan berusaha menyingkirkan-Nya. Hal ini menjadi peringatan buat kita bahwa, hidup
beriman kepada Yesus berarti menanggung banyak resiko. Resiko itu adalah
penolakan, penganiayaan dan penderitaan bahkan kematian seperti yang
dialami-Nya sendiri. Ia mengatakan dengan kiasan, “Aku harus menerima baptisan, dan betapa susahnya hati-Ku, sebelum hal
itu berlangsung!” (Luk.12:51). Namun, di balik itu tersedia kemuliaan dan kehidupan
kekal. Itulah iman yang sesungguhnya; bersedia menanggung segala bentuk
penderitaan dan aniaya bahkan dari orang-orang terdekat sekali pun karena yakin
bahwa di ujungnya nanti TUHAN tidak pernah mengecewakan. Dalam Ibrani 11 :29 –
12:2, penulis surat Ibrani memberikan banyak contoh pengalaman pahit bangsa
Israel dan tokoh-tokoh iman yang teguh dan tangguh berpegang kepada janji TUHAN,
akhirnya ketika pemisahan itu terjadi, mereka yang benar-benar setia mendapat
bagian dalam anugerah-Nya. Ibrani 11 dan 12 setidaknya menjadi gambaran salah
satu bentuk motivasi agar umat TUHAN di sepanjang masa dapat menentukan
prioritas utama dalam hidupnya; tetap taat dan setia berpegang pada imannya.
Bagaimanakah dengan
kita? Apakah kita memandang bahwa waktu yang kita jalani ini adalah “saat
krisis” yang memaksa kita untuk menentukan sikap? Dan apa yang kita putuskan?
Ingat waktu akan terus bergulir jangan sampai kita tidak memanfaatkannya dengan
tepat!
Jakarta, 12 Agustus 2016