Jumat, 29 Juli 2016

MENGHINDARI AKHIR HIDUP YANG SIA-SIA

John D Rockefeller (8 Juli 1839 – 23 Mei 23 Mei 1937), pengusaha dan dermawan ternama Amerika Serikat. Pada 1870, ia mendirikan Standard Oil Company. Perusahaannya terus berkembang dan pada masa keemasannya ia berhasil menguasai hampir 90% minyak di Amerika Serikat. Pada saat kematiannya (1937) ia membukukan kekayaannya US$ 1,4 milyar. (setara US$ 23 milyar th. 2015). Dengan demikian, Rockefeller menjadi orang terkaya di dunia pada zamannya.   Apakah kekayaan yang dimilikinya itu menjadikan dia bahagia?

Seorang reporter bertanya kepadanya tentang hubungan kekayaan dan kebahagiaan kepada Rockefeller. Lalu ia mengatakan kepada reporter itu bahwa dirinya tidak benar-benar merasa bahagia atau puas. Reporter itu melanjutkan pertanyaan berapa banyak lagi uang yang dibutuhkan Rockefeller agar ia benar-benar bahagia dan terpuaskan. Dan ia menjawab dengan kalimat yang terkenal, “sedikit lagi!” Mengapa jawaban Rockefeller tentang uang ini menjadi terkenal? Ya, karena hampir semua orang begitu! Hampir semua orang merasa kurang puas atau kurang banyak dengan uang dan kekayaan yang dimilikinya.

Mengapa pada umumnya manusia merasa terus kurang ketika diperhadapkan dengan uang dan harta benda? Hal ini tidak lain muncul dari sebuah konsep orang memahami bahwa dengan banyak uanglah kebahagiaan itu dengan sendirinya terwujud. Uang akan membuatmu bahagia dan aman. Uang akan membuat orang lain terkesan dan terkagum-kagum kepadamu. Uang bisa membuatmu berkuasa. Uang akan bisa membuat orang lain sujud menyembah!

Konsep uang adalah sumber kebahagiaan telah mengubah uang bukan lagi sebagai alat, melainkan tujuan hidup. Tujuan yang harus terus dicari bahkan sampai tarikan nafas terakhir. Konsep atau pemahaman seperti ini membuat manusia menjadi makhluk yang buas, siap memangsa siapa pun demi mendapatkan uang itu. Ada yang dengan cara halus, tetapi tidak sedikit pula dengan kekerasan. Itulah ketamakan! Ketamakan tidak dapat dipuaskan. Sekali ia berakar, maka selalu akan menginginkan lebih. “…mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar.” (Pkh.1:8)

Kurang apa lagi penulis Kitab Pengkhotbah, ia menyebut dirinya, “Aku, Pengkhotbah, adalah raja atas Israel di Yerusalem.” Tradisi mengatakan bahwa Salomolah penulis kitab ini. Kekayaannya luar biasa. Kekayaan itu berasal dari warisan Daud untuk pembangunan Bait Suci (1 Tawarikh 22:14) dan penghasilan dia sendiri sebagai raja (2 Tawarikh 9:13-29). Berapa nilai kekayaannya? Ada yang menaksir kekayaan Salomo sekitar US $ 127 milyar, bisa dibandingkan dengan kekayaan orang-orang terkaya di dunia saat ini. Misalnya Bill Gates yang membukukan kekayaannya US $ 53 milyar atau Warren Buffet yang memiliki US $ 47 milyar pada 2010, maka kekayaan Salomo jauh di atas mereka. Lantas, apakah Salomo merasa puas dengan itu? Menelisik tulisan bagian awal tulisannya, tampaknya Salomo memandang kehidupannya dengan nada minor-negatif. Semua sia-sia! Ia bercerita tentang apa yang sudah dikerjakannya (Pkh.2:4-9): dengan membangun rumah-rumah, menanami kebun anggur dan seterusnya hingga, “Dengan demikian aku menjadi besar, bahkan lebih besar dari siapa pun yang pernah hidup di Yerusalem…”(ay.9). Namun, pada ujungnya ia mengatakan, “Aku membenci segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari, sebab aku harus meninggalkannya kepada orang yang datang sesudah aku.” (ay.18)

Bukankah apa yang dialami Salomo sejalan dengan apa yang dikatakan Yesus“…jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan untuk siapakah itu nanti?” (Lukas 12:20). Pernyataan Yesus ini merupakan penutup sekaligus peringatan untuk orang yang menjadikan harta benda sebagai tujuan pencapaian kebahagiaan.

Dalam kerumunan orang banyak, seseorang meminta kepada Yesus, “Guru, katakanlah kepada saudaraku, supaya ia berbagi warisan dengan aku.” (Luk. 12:13). Rupanya, pembagian warisan menjadi sumber konflik bukan hanya pada masa kini. Pada zaman Yesus, pengurusan warisan tidak ke notaris. Masalah warisan biasanya dibicarakan dengan seorang rabbi (guru Yahudi) atau ahli kitab suci. Yesus dimintai tolong, rupanya orang-orang sudah mengganggap diri-Nya sebagai guru yang mumpuni.

Menurut hukum Yahudi, hanya anak-anak laki-laki saja yang berhak atas warisan ayahnya. Putra tertualah yang berhak atas warisan ayahnya. Ia berhak menerima seluruh milik ayahnya. Tanah maupun rumah, sebelum dibagi, menjadi hak anak sulung. Sesudah sang ayah meninggal, putra tertualah yang kemudian menggantikan sebagai kepala keluarga. Rupanya dalam Lukas 12 :13, Yesus didekati oleh adik si pewaris itu. Kakaknya tidak mau membagi-bagi warisan dari mendiang sang ayah. Sang adik rupanya ngotot minta bagian, padahal tradisi Yahudi biasanya akan megupayakan supaya harta milik jangan dibagi-bagi. Semua anak-anak laki-laki harus menikmati warisan bersama-sama dalam suasana damai. Hal ini untuk menghindari tanah warisan dijual sesudah dibagi. Padahal, tanah menurut tradisi Yahudi adalah milik pusaka. Tetapi rupa-rupanya dalam kasus ini, relasi antara kakak-adik ini tidak harmonis karena itu si adik menuntut minta bagiannya.

Yesus tidak mau bertindak sebagai “hakim” yang memutuskan pembagian warisan. Hal ini bukan berarti Yesus tidak mau peduli dengan keadilan. Orang yang memohon pembagian warisan ini tentunya bukan orang miskin. Ia meminta bagian warisannya, tetapi bukan karena tanpa bagian warisan itu kemudian hidupnya terlantar! Dalam konteks tradisi Yahudi, bisa saja yang serakah ini adalah orang yang meminta pembagian warisan itu. Mengapa? Mestinya, tanah warisan itu dikelola bersama dan hasilnya dinikmati bersama. Nah, orang ini tidak mau mempertahankan kebersamaan itu. Ia ingin menguasai yang menurutnya adalah bagiannya. Alih-alih Yesus menuruti permintaan pembagian warisan, Ia memakai kasus ini sebagai kesempatan untuk menyampaikan ajaran tentang bahaya dari kemelekatan seseorang kepada harta kekayaan. Kemudian ia memulai dengan perumpamaan orang kaya yang bodoh (Luk.12:16-21).

Perumpamaan yang disampaikan Yesus bercerita tantang orang kaya. Jika kita memerhatikan perumpamaan ini, maka sedikitnya terdapat sebelas kali kata aku. Orang kaya itu begitu sibuk dengan dirinya sendiri, sehingga ia melupakan peran serta Allah dan sesama. Setelah tanah dan hasilnya begitu melimpah, ternyata tidak cukup lagi lumbung-lumbung itu menampung hasil panen. Maka ia merombak dan membangun lumbung-lumbung itu dan kemudian ia merasa aman dan nyaman. Namun, pada kondisi inilah teguran Allah terjadi. “Hai engkau orang bodoh!” Mengapa Allah menyebutnya bodoh, bukankah logis kalau ada harta benda kehidupan terjamin? Ternyata tidak! Harta benda tidak bisa menjamin dan memertahankan jiwa atau nyawa!

Kekayaan pada dasarnya bukan sesuatu yang buruk bahkan kita memahami sebagai salah satu berkat dari Tuhan. Orang-orang kaya malah dapat membantu pelayanan dan pekerjaan-pekerjaan riset agar perkembangan dunia bisa lebih baik. Namun, kekayaan dapat menjadi sesuatu yang berbahaya. Bahayanya adalah ketika hati kita mulai melekat pada kekayaan itu. Bila seseorang mencari kekayaan hanya untuk kesenangan dirinya sehingga menjadi hamba uang dan menutup mata bagi penderitaan orang lain maka sesungguhnya ia sedang dikuasai oleh materi.

Lalu apa yang harus kita lakukan terhadap uang, harta benda dan kekayaan itu. Prinsipnya sederhana: jangan melekatkan hati padanya, pakailah sebagai alat dan bukan tujuan hidup kita. Tujuan hidup kita, meminjam kata-kata Paulus, “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi. Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah.” (Kolose 3:2-3). Bukan materi atau harta benda tidak perlu. Kita, bisa mempergunakannya dengan memaknai sebagai alat untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan Tuhan di bumi ini. Di situlah letaknya bahwa dalam harta yang Tuhan titipkan kepada kita, kita dapat memakainya untuk mengerjakan misi Allah.

Kembali ke kisah Rockefeller dan Salomo, bahagiakah mereka di akhir hidupnya? Walahu’alam, namun melihat kalimat pernyataan mereka, ternyata uang dan kekayaan bukanlah penolong menemukan kebahagiaan di akhir kehidupan. Hanya sikap bergantung dan mengenal Allah yang akan membuat kita damai sejahtera ketika menutup mata!

Rabu, 20 Juli 2016

BEDOA KEPADA ALLAH DALAM KERENDAHAN HATI

Tujuan dari doa bukan untuk memberi tahu Tuhan tentang kebutuhan-kebutuhan kita, tetapi mengundang-Nya agar mengatur hidup kita.”
(Clarence Bauman)

“Hore! Doa kita terkabul.” Teriak Eirene, anak kami yang kala itu berumur tiga tahun, dengan begitu gembira. Pagi-pagi benar ia bangun untuk memeriksa freezer. Ternyata, air yang dituangkannya ke cetakan es yang berbentuk bunga-bunga itu telah berhasil menjadi es! Mengapa ia begitu gembira? Doanya didengar Tuhan!

Seperti biasa ketika kami berkumpul malam menjelang tidur ada semacam ibadah kecil. Kami bernyanyi dan doa. Setiap hari kami bergilir berdoa. Malam itu, Eirene mendapat giliran berdoa. Dengan polosnya, ia berdoa, “Tuhan, malam ini saya memasukan air ke pencetakan es. Tolonglah agar besok menjadi es. Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin!” Mendengar doa itu, kami menahan tawa. Logika kami berpikir, tidak usah didoakan pun air yang disimpan lebih dari 8 jam di freezer pasti akan membeku, menjadi es! Namun, ketika kami menyelami lebih dalam, bukankah kalau aliran listrik mati atau kulkasnya rusak, air itu tidak akan menjadi es? Orang dewasa cenderung mengedepankan logika, namun di atas logika ternyata manusia punya banyak keterbatasan. Di situlah perlu kerendahan hati untuk memohon pertolongan Tuhan.

Berdoa bukan perkara aneh. Konon, keistimewaan manusia ditandai oleh kepekaan batinnya terhadap kehadiran yang Ilahi. Manusia memiliki dorongan kuat untuk terhubung dengan yang Ilahi itu. Doa diyakini sebagai kegiatan manusia untuk dapat berkomunikasi dengan yang Ilahi itu. Bila doa adalah komunikasi manusia dengan Tuhan, maka mestinya terjadi dialog antara si pendoa dengan Tuhan. Namun, jika kita mengevaluasi doa-doa kita, harus diakui bahwa komunikasi sering kali timpang. Hanya dari pihak kitalah yang terus berbicara dan kita mengabaikan mendengar suara-Nya.

George Bernard Shaw, seorang penulis Irlandia mencoba mengamati doa. Ia menemukan bahwa pada umumnya manusia berdoa hanya untuk menyampaikan permohonan dan keluhan-keluhannya. “Kebanyakan orang pada dasarnya tak berdoa, mereka hanya memohon sesuatu, meminta!” katanya. Lain lagi pendapat Mahatma Gandhi, “Doa itu bukan meminta! Berdoa adalah pancaran jiwa. Lebih baik berdoa dengan hati dan tanpa kata-kata daripada berdoa dengan kata-kata namun tanpa hati.” Sedangkan Meister Eckhart, seorang teolog Jerman mengatakan, “Bila satu-satunya doa yang Anda sampaikan selama hidup Anda adalah bersyukur, itu sudah cukup.” Sementara Norman Vincent Peale mengusulkan, “Doa adalah sebuah kesempatan untuk mengucapkan apa pun. Lebih baik bila tidak memohon pelbagai hal melainkan berterima kasih sebelumnya atas apa yang Anda inginkan lalu menyerahkannya kepada Tuhan dan memvisualisasikan hasil yang baik. Silahkan terkejut melihat efektivitasnya!”

Tentu, ketika kita menggali dan membaca pelbagai sumber tentang doa, pasti ada begitu banyak definisi, kajian dan hal-hal teknis praktis tentang doa dan cara mendaraskannya. Pada masyarakat Yahudi zaman Yesus, pastilah doa dan ajaran-ajaran doa telah begitu banyak. Suatu ketika Yesus berdoa, dan memang selalu seperti itu. Ketika Ia selesai berdoa, berkatalah salah seorang murid-Nya, “Tuhan ajarlah kami berdoa!” (Lukas 11:1)

Permohonan ini terasa tidak biasa. Mengapa? Sebab semua murid Yesus itu adalah orang Yahudi yang sejak kecil diajari berdoa. Mereka tahu berdoa dan mengenal berbagai jenis doa. Umat Yahudi adalah umat pendoa. Mereka terampil mendaraskan doa-doa di sinagoge maupun di Bait Allah. Lalu mengapa mereka masih meminta untuk diajari? Bisa jadi mereka mempunyai pemahaman bahwa setiap rabbi atau guru Yahudi punya doa-doa khusus, seperti doa khas para  pengikut Yohanes Pembaptis. Atau mungkin mereka melihat ada hal yang sangat menarik yang dipraktekan Yesus dalam doa-doanya. Saya, kira yang terakhir yang lebih mendorong murid Yesus itu meminta agar Dia mengajari mereka berdoa. Ada yang unik yang dipraktekan dalam doa Yesus . Ia menyebut Allah sebagai “Bapa”. Namun, bukankah juga para nabi dalam Perjanjian Lama juga menyebut Allah sebagai Bapa. Nabi Yesaya berdoa, “Bukankah Engkau Bapa kami?...Kami tanah liat. Engkau yang membentuk kami, kami semua adalah buatan tangan-Mu. Jadi jangan murka!” (Yes 63:16; 64:8 dst). Lalu apa bedanya dengan Yesus menyapa Allah sebagai Bapa?

Benar, para nabi Perjanjian Lama juga menyapa Allah sebagai Bapa. Namun, demikian dalam doa sehari-hari bangsa Yahudi hampir tidak pernah menyapa Allah sebagai Bapa. Mengapa? Karena dalam perkembangan selanjutnya, bangsa Israel menggunakan gelar “bapa” itu ditujukan kepada Abraham, Ishak, dan Yakub. Ketika Yesus mengajarkan para murid menyapa Allah dengan “Bapa” hal ini mau menyatakan bahwa Allah begitu dekat; seperti orang tua yang mau dan bersedia mendekap anak-anaknya dengan kasih sayang. Apabila Yesus begitu akrab dengan Allah, Ia pun ingin keintiman dengan Bapa-Nya itu dapat dirasakan juga oleh para murid-murid-Nya.

Dalam Injil Lukas 11:2-4, Yesus mengajarkan “Doa Bapa Kami” dalam versi yang lebih pendek dari Matius 6:   Isi doa yang singkat ini mengatakan bahwa sebelum memohon segala sesuatu, kita harus menyatukan keinginan diri sendiri dengan kehendak Sang Bapa. Permohonan ini berbentuk pasif, “Bapa dikuduskanlah nama-Mu.” Artinya, nama Allah hanya dapat dikuduskan oleh Allah sendiri. Ia menguduskannya dengan menegakkan kerajaan-Nya di bumi. “Datanglah Kerajaan-Mu” adalah doa supaya kuasa Allah berdaya guna di bumi ini. Kedua permohonan yang terdapat dalam ayat 2 ini seharusnya menjadi kerinduan setiap pengikut Kristus untuk mewujudkannya. Dua permohonan ini jelas ditujukan demi kemuliaan Bapa. Dalam bagian ini manusia diajak untuk terlibat dalam karya kasih Allah bagi dunia dan bukan mendahulukan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginannya. Barulah setelah itu Yesus  mengajar untuk meminta. Apa yang diminta? Ada tiga hal, yakni: makanan yang secukupnya, pengampunan dosa dan untuk tidak terbawa dalam pencobaan.

Permintaan dalam doa bukanlah sesuatu yang tabu. Namun, lihatlah apa yang diajarkan Yesus. Meminta makanan yang secukupnya. Yesus tidak mengajarkan para murid-Nya untuk hidup berlebihan. Cukup secukupnya! Siapa yang tahu persis kebutuhan kita secukupnya itu? Bahkan kita sendiri pun kadang tidak bisa membedakan antara mana kebutuhan dan keinginan. Jelas yang tahu kecukupan buat kita hanyalah Bapa. Maka dengan segala kerendahan hati kita memohon dan menyerahkan kepada Bapa untuk berkarya memberikan secukupnya. Tidak kurang dan tidak juga berlebih!

Mengapa Yesus mengajar supaya kita memohon pengampunan dosa? Karena tidak ada seorang pun yang luput dari dosa (1 Yoh.1:8) dan dosa itulah yang menghalangi relasi kita dengan Allah Bapa (Yes 59:1-2). Tidak ada cara lain agar pengampunan itu benar-benar terjadi, kecuali dengan merendahkan diri di hadapan-Nya sambil berharap anugerah-Nya. Sebab, tidak mungkin pengampunan itu terjadi ketika doa itu hanya berhenti dalam ucapan saja!

Sebagai penutup permohonan, Yesus mengajarkan, “…janganlah membawa kami ke dalam pencobaan.” Doa ini jangan disalah mengerti bahwa kita meminta Allah untuk membebaskan dari pelbagai pencobaan ,namun lebih dekat kepada: supaya Bapa menolong kita untuk mengatasi pelbagai pencobaan itu. Rabindranath Tagore mengingatkan, “Jangan berdoa untuk berlindung dari bahaya, tetapi berdoalah untuk terbebas dari rasa takut saat menghadapinya.” Semua permohonan ini akan menjadi basa-basi dalam doa apabila tidak disertai dengan sikap hati yang mau merendah di hadapat Allah. Lalu, seperti apakah sikap rendah hati di hadapan Allah? Kita dapat meminjam perkataan Clarence Bauman, “Tujuan dari doa bukan untuk memberi tahu Tuhan tentang kebutuhan-kebutuhan kita, tetapi mengundang-Nya agar mengatur hidup kita.”

20 Juli 2016