John D
Rockefeller (8 Juli 1839 – 23 Mei 23 Mei 1937), pengusaha dan dermawan ternama
Amerika Serikat. Pada 1870, ia mendirikan Standard Oil Company. Perusahaannya
terus berkembang dan pada masa keemasannya ia berhasil menguasai hampir 90%
minyak di Amerika Serikat. Pada saat kematiannya (1937) ia membukukan
kekayaannya US$ 1,4 milyar. (setara US$ 23 milyar th. 2015). Dengan demikian,
Rockefeller menjadi orang terkaya di dunia pada zamannya. Apakah kekayaan yang dimilikinya itu
menjadikan dia bahagia?
Seorang reporter
bertanya kepadanya tentang hubungan kekayaan dan kebahagiaan kepada
Rockefeller. Lalu ia mengatakan kepada reporter itu bahwa dirinya tidak
benar-benar merasa bahagia atau puas. Reporter itu melanjutkan pertanyaan berapa
banyak lagi uang yang dibutuhkan Rockefeller agar ia benar-benar bahagia dan
terpuaskan. Dan ia menjawab dengan kalimat yang terkenal, “sedikit lagi!”
Mengapa jawaban Rockefeller tentang uang ini menjadi terkenal? Ya, karena hampir
semua orang begitu! Hampir semua orang merasa kurang puas atau kurang banyak
dengan uang dan kekayaan yang dimilikinya.
Mengapa pada
umumnya manusia merasa terus kurang ketika diperhadapkan dengan uang dan harta
benda? Hal ini tidak lain muncul dari sebuah konsep orang memahami bahwa dengan
banyak uanglah kebahagiaan itu dengan sendirinya terwujud. Uang akan membuatmu
bahagia dan aman. Uang akan membuat orang lain terkesan dan terkagum-kagum
kepadamu. Uang bisa membuatmu berkuasa. Uang akan bisa membuat orang lain sujud
menyembah!
Konsep uang adalah
sumber kebahagiaan telah mengubah uang bukan lagi sebagai alat, melainkan
tujuan hidup. Tujuan yang harus terus dicari bahkan sampai tarikan nafas
terakhir. Konsep atau pemahaman seperti ini membuat manusia menjadi makhluk
yang buas, siap memangsa siapa pun demi mendapatkan uang itu. Ada yang dengan
cara halus, tetapi tidak sedikit pula dengan kekerasan. Itulah ketamakan!
Ketamakan tidak dapat dipuaskan. Sekali ia berakar, maka selalu akan
menginginkan lebih. “…mata tidak kenyang
melihat, telinga tidak puas mendengar.” (Pkh.1:8)
Kurang apa lagi
penulis Kitab Pengkhotbah, ia menyebut dirinya, “Aku, Pengkhotbah, adalah raja atas Israel di Yerusalem.” Tradisi
mengatakan bahwa Salomolah penulis kitab ini. Kekayaannya luar biasa. Kekayaan
itu berasal dari warisan Daud untuk pembangunan Bait Suci (1 Tawarikh 22:14)
dan penghasilan dia sendiri sebagai raja (2 Tawarikh 9:13-29). Berapa nilai
kekayaannya? Ada yang menaksir kekayaan Salomo sekitar US $ 127 milyar, bisa
dibandingkan dengan kekayaan orang-orang terkaya di dunia saat ini. Misalnya
Bill Gates yang membukukan kekayaannya US $ 53 milyar atau Warren Buffet yang
memiliki US $ 47 milyar pada 2010, maka kekayaan Salomo jauh di atas mereka.
Lantas, apakah Salomo merasa puas dengan itu? Menelisik tulisan bagian awal
tulisannya, tampaknya Salomo memandang kehidupannya dengan nada minor-negatif.
Semua sia-sia! Ia bercerita tentang apa yang sudah dikerjakannya (Pkh.2:4-9):
dengan membangun rumah-rumah, menanami kebun anggur dan seterusnya hingga, “Dengan demikian aku menjadi besar, bahkan
lebih besar dari siapa pun yang pernah hidup di Yerusalem…”(ay.9). Namun,
pada ujungnya ia mengatakan, “Aku
membenci segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah di bawah matahari,
sebab aku harus meninggalkannya kepada orang yang datang sesudah aku.”
(ay.18)
Bukankah apa
yang dialami Salomo sejalan dengan apa yang dikatakan Yesus“…jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan untuk
siapakah itu nanti?” (Lukas 12:20). Pernyataan Yesus ini merupakan penutup
sekaligus peringatan untuk orang yang menjadikan harta benda sebagai tujuan
pencapaian kebahagiaan.
Dalam kerumunan
orang banyak, seseorang meminta kepada Yesus, “Guru, katakanlah kepada saudaraku, supaya ia berbagi warisan dengan
aku.” (Luk. 12:13). Rupanya, pembagian warisan menjadi sumber konflik bukan
hanya pada masa kini. Pada zaman Yesus, pengurusan warisan tidak ke notaris.
Masalah warisan biasanya dibicarakan dengan seorang rabbi (guru Yahudi) atau
ahli kitab suci. Yesus dimintai tolong, rupanya orang-orang sudah mengganggap
diri-Nya sebagai guru yang mumpuni.
Menurut hukum
Yahudi, hanya anak-anak laki-laki saja yang berhak atas warisan ayahnya. Putra
tertualah yang berhak atas warisan ayahnya. Ia berhak menerima seluruh milik
ayahnya. Tanah maupun rumah, sebelum dibagi, menjadi hak anak sulung. Sesudah
sang ayah meninggal, putra tertualah yang kemudian menggantikan sebagai kepala
keluarga. Rupanya dalam Lukas 12 :13, Yesus didekati oleh adik si pewaris itu.
Kakaknya tidak mau membagi-bagi warisan dari mendiang sang ayah. Sang adik
rupanya ngotot minta bagian, padahal tradisi Yahudi biasanya akan megupayakan
supaya harta milik jangan dibagi-bagi. Semua anak-anak laki-laki harus
menikmati warisan bersama-sama dalam suasana damai. Hal ini untuk menghindari
tanah warisan dijual sesudah dibagi. Padahal, tanah menurut tradisi Yahudi
adalah milik pusaka. Tetapi rupa-rupanya dalam kasus ini, relasi antara
kakak-adik ini tidak harmonis karena itu si adik menuntut minta bagiannya.
Yesus tidak mau
bertindak sebagai “hakim” yang memutuskan pembagian warisan. Hal ini bukan
berarti Yesus tidak mau peduli dengan keadilan. Orang yang memohon pembagian
warisan ini tentunya bukan orang miskin. Ia meminta bagian warisannya, tetapi
bukan karena tanpa bagian warisan itu kemudian hidupnya terlantar! Dalam
konteks tradisi Yahudi, bisa saja yang serakah ini adalah orang yang meminta
pembagian warisan itu. Mengapa? Mestinya, tanah warisan itu dikelola bersama
dan hasilnya dinikmati bersama. Nah, orang ini tidak mau mempertahankan
kebersamaan itu. Ia ingin menguasai yang menurutnya adalah bagiannya. Alih-alih
Yesus menuruti permintaan pembagian warisan, Ia memakai kasus ini sebagai
kesempatan untuk menyampaikan ajaran tentang bahaya dari kemelekatan seseorang
kepada harta kekayaan. Kemudian ia memulai dengan perumpamaan orang kaya yang
bodoh (Luk.12:16-21).
Perumpamaan yang
disampaikan Yesus bercerita tantang orang kaya. Jika kita memerhatikan perumpamaan
ini, maka sedikitnya terdapat sebelas kali kata aku. Orang kaya
itu begitu sibuk dengan dirinya sendiri, sehingga ia melupakan peran serta
Allah dan sesama. Setelah tanah dan hasilnya begitu melimpah, ternyata tidak
cukup lagi lumbung-lumbung itu menampung hasil panen. Maka ia merombak dan membangun
lumbung-lumbung itu dan kemudian ia merasa aman dan nyaman. Namun, pada kondisi
inilah teguran Allah terjadi. “Hai engkau
orang bodoh!” Mengapa Allah menyebutnya bodoh, bukankah logis kalau ada
harta benda kehidupan terjamin? Ternyata tidak! Harta benda tidak bisa menjamin
dan memertahankan jiwa atau nyawa!
Kekayaan pada
dasarnya bukan sesuatu yang buruk bahkan kita memahami sebagai salah satu
berkat dari Tuhan. Orang-orang kaya malah dapat membantu pelayanan dan
pekerjaan-pekerjaan riset agar perkembangan dunia bisa lebih baik. Namun,
kekayaan dapat menjadi sesuatu yang berbahaya. Bahayanya adalah ketika hati
kita mulai melekat pada kekayaan itu. Bila seseorang mencari kekayaan hanya
untuk kesenangan dirinya sehingga menjadi hamba uang dan menutup mata bagi
penderitaan orang lain maka sesungguhnya ia sedang dikuasai oleh materi.
Lalu apa yang
harus kita lakukan terhadap uang, harta benda dan kekayaan itu. Prinsipnya
sederhana: jangan melekatkan hati padanya, pakailah sebagai alat dan bukan
tujuan hidup kita. Tujuan hidup kita, meminjam kata-kata Paulus, “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang
di bumi. Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus
di dalam Allah.” (Kolose 3:2-3). Bukan materi atau harta benda tidak perlu.
Kita, bisa mempergunakannya dengan memaknai sebagai alat untuk mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan Tuhan di bumi ini. Di situlah letaknya bahwa dalam harta yang
Tuhan titipkan kepada kita, kita dapat memakainya untuk mengerjakan misi Allah.
Kembali ke kisah Rockefeller dan Salomo, bahagiakah
mereka di akhir hidupnya? Walahu’alam, namun melihat kalimat pernyataan mereka,
ternyata uang dan kekayaan bukanlah penolong menemukan kebahagiaan di akhir
kehidupan. Hanya sikap bergantung dan mengenal Allah yang akan
membuat kita damai sejahtera ketika menutup mata!