“…pada hari ketiga bangkit pula dari antara orang mati,
naik ke sorga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa,..”
Sepenggal kalimat
ini adalah bagian dari Pengakuan Iman
Rasuli yang setiap Ibadah Minggu kita ucapkan. Setelah menyelesaikan tugas
perutusannya, Yesus kembali ke sorga. Ia naik ke sorga! Kenaikan Yesus ke sorga
menandakan berakhirnya semua penampakan Yesus setelah peristiwa
kebangkitan-Nya. Berakhir pula segala pekerjaan fisik Yesus di bumi ini. Hanya
empat ayat, Lukas melukiskan peristiwa kenaikan Yesus (Lukas 24:50-53). Singkat
sekali. Yesus membawa para murid-Nya ke dekat Betania, Dia memberkati mereka di
sana. “Dan ketika Ia sedang memberkati
mereka, Ia terpisah di antara mereka dan terangkat ke sorga.”(Luk. 24:51).
Yesus terangkat dan
naik ke sorga! Jadi, apakah benar sorga itu ada di atas? Bukankah gambaran ini
membawa kesan bahwa alam semesta ini terdiri dari tiga lapisan; ada alam bawah,
yakni dunia orang mati. Ada alam semesta yang di dalamnya kita hidup saat
sekarang ini. Dan kemudian ada alam atas, yakni sorga? Tentu, kita memahami
sekarang bahwa sorga bukan semata-mata sebuah tempat. John Calvin pernah
mengungkapkan sorga mestinya lebih dipahami sebagai sebuah situasi dan kondisi
di mana manusia dapat berhubungan intim dengan Allah. Namun, dapat dikatakan
bahwa hampir tidak ada cara untuk menggambarkan pemindahan total antara manusia
dan Yesus yang kembali ke sorga, kecuali sebagai gerakan ke atas. “Atas”
merupakan bayangan atau kesadaran manusia untuk menunjuk pada situasi dan
kondisi mulia. Sulit di bayangkan kalau Yesus pergi ke sorga, lalu Ia bergerak
ke kiri atau ke kanan atau ke depan dan belakang. Lebih tidak masuk akal lagi
kalau kepergian-Nya ke sorga Ia menembus bumi. Peristiwa-peristiwa dalam
Perjanjian Lama tentang Henokh dan Elia memerlihatkan gerak yang sama, ke atas.
Lagi pula “naik dan terangkat” merupakan kata-kata liturgis. Kita ingat,
Perjanjian Lama juga memakai kata-kata ini untuk korban-korban persembahan. Hal
itu pulahlah yang kita lakukan ketika berdoa dan bernyanyi, tanpa sadar kita
mengatakan, “Marilah kita menaikkan doa”, atau, “marilah kita menaikkan pujian
NKB no…” Kita memahami bahwa Allah ada di atas maka doa dan nyanyian ibarat
persembahan yang terangkat dan naik kepada Allah Bapa. Demikianlah seluruh rangkaian
kehidupan, pelayanan, pengorbanan Yesus merupakan persembahan yang naik dalam
kemuliaan kepada Bapa-Nya yang di sorga.
Yesus pergi ke
sorga, mau tidak mau memakai gagasan ruang, tetapi gerakan naiknya Yesus ke
sorga bukanlah sebagai tujuan utama pesan itu. Pusat perhatiannya justeru pada
awan yang kemudian menutupi Yesus. Awan adalah gambaran takhta kemuliaan Allah.
Kenaikan Yesus mendapatkan maknanya bukan karena gerekan Yesus yang naik,
tetapi karena merupakan penutup dari rangkaian kisah pelayanan Yesus di bumi
ini. Pemandangan ini didukung oleh pernyataan suara Langit, “Mengapakah kamu berdiri melihat ke langit?”
(Kis 1:11) Namun kemudian, suara dari langit itu mengarahkan perhatian mereka untuk
menantikan ke datangan Yesus kembali.
Tampaknya penulis
Lukas belum puas dengan empat ayat untuk melukiskan Yesus yang naik ke sorga (Luk.
24:51-53). Dalam tulisan kedua yang ditujukan kepada Teofilus, ia kembali
menggambarkan peristiwa kenaikan itu (Kisah Para Rasul 1:1-11). Sempat ada
dialog dengan para murid. Dialog itu terjadi di meja makan dan Yesus berpesan
agar mereka tidak meninggalkan Yerusalem. Mereka harus menantikan peristiwa
baptisan oleh Roh Kudus, artinya menerima pencurahan Roh Kudus yang akan
melengkapi mereka dengan pelbagai karunia untuk meneruskan pemberitaan Injil.
Meski demikian, sepertinya para murid belum sungguh-sungguh memahami. Mereka
masih membayangkan – seperti orang Yahudi pada umumnya – bahwa Yesus akan
segera memulihkan kerajaan Daud secara politis (Kis 1:6-8). Alih-alih menjawab
permintaan mereka, Yesus menjanjikan bahwa mereka akan menerima kuasa kalau Roh
Kudus turun dan meminta mereka untuk menjadi saksi-Nya sampai ke ujung-ujung
bumi.
Roh Kudus itu akan
memampukan mereka mengerti Mesias seperti apa
Yesus itu. Roh Kudus juga akan memberikan kuasa kepada mereka untuk
berani dan cakap menjadi pemberita Injil. Dari sini kita memahami, para murid
adalah orang-orang biasa yang sederhana. Mereka bukan orang hebat. Mereka
sering terjebak dalam pola piker dan keinginan seperti kebanyakan orang lain
juga. Ingin merdeka, mempunyai kedudukan, mulia dan terhormat. Namun, Yesus
memercayakan tugas yang tidak mudah ini kepada mereka. Tugas meneruskan
pemberitaan yang sudah Ia mulai!
Mereka adalah
orang-orang yang pernah jatuh dalam imannya. Mereka pernah menyangkal dan
kocar-kacir ketika menyaksikan Sang Guru harus menanggung banyak penderitaan,
mati dibunuh dengan cara mengerikan. Namun, Yesus kembali meneguhkan,
memulihkan dan meluruskan iman mereka. Perjumpaan-Nya selama empat puluh hari
dirasa cukup untuk memulihkan kondisi para murid. Kini, Ia harus “naik” kembali
kepada Bapa yang telah mengutus-Nya.
Tanpa ada yang bisa
mencegah, Yesus terus naik dana wan itu menutup-Nya. Mereka tidak lagi
melihat-Nya dengan kasat mata seperti tiga tahun sebelumnya ketika bersama-sama
menelusuri Nazaret, Galilea, Samaria dan Yesuralem. Ketika awan itu benar-benar
menutup-Nya, Yesus hilang dari pandangan mereka, maka berkatalah dua orang yang
berpakaian putih, “Hai orang-orang
Galilea, mengapakah engkau berdiri melihat langit? Yesus ini, yang terangkat ke
sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu
melihat Dia naik ke sorga.” (Kis 1:11). Setelah mendengar pernyataan itu
mereka pulang ke Yerusalem dengan sukacita (Luk 24:52). Selanjutnya, apa yang
mereka lakukan? Kis 2:12 dan seterusnya menceritakan bagaimana mereka bertekun
menantikan penggenapan ucapan Yesus tentang pencurahan Roh Kudus. Selanjutnya,
ketika Roh Kudus dicurahkan pada Hari Pentakosta, mereka melakukan tugas
perutusan itu. Mereka menyaksikan Injil itu betapa pun harus mengalami
penderitaan dan penganiayaan mereka melakukannya dengan sukacita.
Orang-orang
sederhana yang semula jatuh bangun dalam iman mereka, kini dipercaya meneruskan
karya Yesus dari Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ujung-ujung bumi. Pada
pihak lain, para murid, dalam bimbingan Roh Kudus terus berkarya. Mereka
berusaha menjadi orang-orang yang pantas dan dapat dipercaya.
Kini, berita Injil
itu sampai kepada kita. Bagaimana kita menyikapi? Mestinya, sama seperti para
murid, kita pun turut terlibat dalam karya penyelamatan Allah bagi dunia ini.
Sama seperti para murid, pada umumnya kita bukanlah orang-orang hebat.
Kebanyakan kita adalah orang yang pernah jatuh dalam dosa. Kita pernah gagal
memelihara iman. Banyak cacat cela! Namun, dalam kenyataannya, Tuhan justeru
memakai orang-orang seperti ini. Cerita
kesaksian para murid Tuhan justeru menggambarkan bahwa Tuhan sendirilah yang
pada akhirnya melengkapi mereka dengan pelbagai karunia agar mampu menjalankan
tugas perutusan itu dengan sebaik-baiknya. Satu saja yang diharapkan-Nya dari
kita, yakni kesediaan hati untuk menyambut tugas kepercayaan yang diberikan-Nya
kepada kita. Nah, apakah kita mau menyambut kepercayaan itu? Masihkah kita
berdalih untuk menolaknya? Kalau kita menyatakan kesediaan menyambut tugas
kepercayaan itu, pertahankanlah. Jadilah orang-orang yang pantas dan dapat
dipercaya. Buktikanlah dengan mengerjakan perkara-perkara sederhana dengan
kesungguhan hati dan dengan cinta yang besar!