Jumat, 15 April 2016

KASIH ALLAH: PENOPANG BAGI YANG LEMAH

Friedrich Nietzsche (1844-1900) adalah seorang filsuf ternama dari negerii Jerman. Ucapannya yang paling diingat orang sampai sekarang adalah bahwa kita dapat beraktualisasi tanpa batas. Kita bisa menjadi manusia super (Ubermensch). Namun, setiap manusia yang ingin mencapainya ia harus menanggalkan eksistensi dan peran Tuhan, Sang Mahakuasa itu. “Tuhan harus dibunuh, Tuhan harus mati dalam pemikiran kita”, katanya. Mengapa? Agar kita terbebas dan tidak dilemahkan oleh perasaan takut akan Tuhan karena bagaimanapun juga selama kita percaya dan takut akan Tuhan maka akan selalu ada batasan untuk kita berkreasi dan berekspresi. Manusia super adalah pribadi yang mutlak berkuasa, dan kedaulatan Tuhan hanya membelenggu kekuasaan kita. Jadi, menjadi manusia super harus berani membebaskan diri dari belenggu-belenggu moral seperti belas kasihan, kepatuhan, empati pada kaum lemah, serta nilai-nilai yang bisa mengerem nafsu dan naluri untuk berkuasa. Nietzsche ingin mengalirkan kekuasaan tanpa nurani, suatu kekuasaan manusia atas manusia yang dengan tegas melumat moralitas budak. Sebaliknya, sebaiknya setiap orang yang ingin berkuasa dan menjadi manusia super ia harus mengutamakan moralitas atau tepatnya mentalital tuan yang membenarkan kekuasaan mutlak dan mengutamakan kehendak untuk mencapai kekuasaan.

Gagasan manusia super menurut Nietzsche harus dengan tegas membuang keluhuran dan menampik kemuliaan dalam kekuasaan. Gagasannya ini tidak memercayai nilai-nilai luhur moralitas universal, seperti belas kasih atau belarasa bagi yang miskin dan lemah apalagi keberpihakan kepada mereka yang tersisih itu. Bertolak belakang dari Nietzsche, Yesus menghadirkan kuasa-Nya justeru dengan keberpihakan kepada yang lemah, miskin, menderita dan tersisih. Dia tidak hanya menggenapi peran hamba yang menderita, tetapi juga menyatakan diri-Nya sebagai Gembala Yang Baik (Yohanes 10:1-21) yang tidak mengekspoitasi para domba untuk kesenangan dan kepentingannya sendiri, melainkan merawat, memelihara dan membela kawanan domba-Nya. Hal ini tentu berbeda dengan gembala upahan.

Tidak lama setelah Ia menyatakan diri sebagai Gembala Yang Baik, orang-orang Yahudi segera mengugat-Nya da meminta-Nya untuk membuktikan bahwa diri-Nya adalah Mesias. Ya, jelas mesias yang mereka maksud adalah mesias politik. Dalam konsep ini, sang mesias harus menjadi penakluk. Mesias harus dapat menaklukkan penguasa Romawi dan memulihkan takhta kerajaan Daud.

Mereka mempertanyakan kemesiasan Yesus, “Berapa lama lagi Engkau membiarkan kami hidup dalam kebimbangan? Jika Engkau Mesias, katakanlah terus terang kepada kami.” (Yoh.10:24) Yesus menepisnya dengan menjawab bahwa diri-Nya telah mengatakannya bahkan disertai dengan pekerjaan-pekerjaan yang selama ini Ia lakukan. Ia menunjukkan perhatian dan keberpihakkan-Nya yang begitu besar terhadap mereka yang miskin, papa, tersisih, sakit dan menderita. Ia mengentaskan yang miskin, menanggalkan kekuatiran para penakut, mengampuni para pendosa, meluruskan hati si penjlat. Ia juga mengurapi orang-orang lemah yang dimarjinalkan secara massif oleh si jahat. Namun, tanpaknya itu tidak memuaskan hati sebagian besar orang Yahudi dan para pemimpin mereka. Mereka tetap meminta Yesus menyatakan kemesiasannya itu dengan menunjukkannya sebagai manusia super!

Yesus menengarai, ketika mereka gagal paham dengan apa yang dikerjakan-Nya, itu menandakan bahwa memang mereka bukanlah domba-domba-Nya. “…tetapi kamu tidak percaya, karena kamu tidak termasuk domba-domba-Ku.” (Yoh. 10:26) Sebaliknya, Yesus menegaskan, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikuti Aku, dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorang pun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku.” (ay.27). Dengan cara itulah Yesus membuktikan dirinya sebagai Gembala Baik, sebagai Manusia Super sesungguhnya!

Sekali lagi tidak mudah, bahkan para murid-Nya pun sering mengalami gagal paham. Dalam saat-saat tertentu mereka juga hampir sama seperti kebanyakan orang Yahudi lainnya. Hanya ketika mereka telah mengalami dan melewati masa-masa sulit dalam krisis iman, barulah mereka memahami siapa sesungguhnya Sang Gembala baik itu. Setelah kematian-Nya yang mengerikan dan memukul pengharapan para murid, ternyata Yesus bangkit dan kemudian Ia menghampiri mereka, meneguhkan dan menguatkan mereka. Tomas yang meragukan kebenaran kebangkitan itu, Ia yakinkan dengan mempersilahkan menyentuh bekas luka-luka-Nya. Petrus yang pernah menyangkal-Nya tiga kali, tidak Ia gugat, melainkan dikembalikan lagi kepercayaan dirinya dan diutus untuk melakukan tugas yang sama dengan diri-Nya, yakni menggembalakan domba-domba kepunyaan Allah.

Barulah ketika Petrus telah mengalami dan menyelami Yesus sebagai Gembala Yang Baik itu, ia dapat meneruskan tugas panggilannya dengan luar biasa. Petrus yang biasanya digambarkan temperamental, spontan dan suka menonjolkan diri kini, ia tunduk dalam kuasa Yesus. Petrus menjadi luar biasa dalam menyaksikan Injil Kristus bukan karena ia mengandalkan dirinya dan menampik kuasa Tuhan. Justru, dengan dia tunduk pada Tuhan, maka perannya semakin besar dalam pemberitaan Injil. Ketika Petrus menyembuhkan Eneas seorang penduduk Lida yang telah delapan tahun lumpuh, dia tidak mengatakan “Aku menyembuhkan engkau!” Melainkan, “Yesus menyembuhkan engkau!” Sebelum dia berkata kepada Tabita (Dorkas),” Tabita, bangkitlah!” Ia terlebih dahulu perlutu dan berdoa (Kis.9:40a). Petrus tidak menggunakan kekuatan yang ada pada dirinya - sebab pada dasarnya dirinya tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Itulah kekuatan yang berasal dari Yesus!

Petrus memakai kuasa Yesus untuk memulihkan Eneas yang lumpuh dan membangkitkan Tabita yang mati. Tak pelak lagi apa yang dilakukannya adalah meneruskan karya Sang Gembala Agung itu. Gembala yang memerhatikan domba-domba-Nya dengan demikian ia menghadirkan syalom Kerajaan Allah. Banyak cara dipakai Allah untuk menopang domba-domba-Nya yang sedang lemah, menderita dan terbelenggu oleh kematian. Tuhan pun dapat memakai siapa saja sebagai alat di tangan-Nya untuk menopang beban penderitaan kita. Ia bisa memakai dokter, pendeta, pejabat negara, teman, anggota keluarga, dan yang lainnya. Namun, Allah juga menghendaki agar setiap orang yang telah mengenal dengan baik suara dan kehendak Sang Gembala untuk tidak tinggal diam berpangku tangan ketika melihat saudara-saudaranya yang lain hidup menanggung beban penderitaan. Ia berharap hatinya akan peka penuh empati, panca inderanya akan dipakai untuk menjadi alat-Nya dalam memulihkan dan menyembuhkan. Masih banyak di sekitar kita yang sama seperti Eneas. Lumpuh! Lumpuh bukan hanya fisik, namun tidak berdaya dalam pelbagai hal: Tidak dapat menggunakan potensi yang ada karena pelbagai macam himpitan, tekanan dan ancaman. Lalu apa yang sudah kita lakukan? Cukupkah hanya sekedar mendoakannya dan memita supaya Tuhan dengan kuasa dan mujizat-Nya yang ajaib akan membebaskan mereka? Ya, jelas Tuhan mampu melakukannya. Namun, tampaknya Ia ingin Anda dan saya dipakai-Nya seperti Ia memakai Petrus.

Di sekitar juga banyak tercium bau amis kematian!  Bukan, hanya fisik tetapi kematian spirit, semangat, ketiadaan pengharapan hidup dengan pesimisme. Selain itu banyak juga yang mengalami kematian moralitas dan hati nurani sehingga tidak lagi mampu melihat apalagi melakukan kebenaran. Saat ini semakin banyak orang, yang mungkin saja tidak terang-terangan, mengikuti nasehat Nietzsche, harus mematikan nurani dan belarasa terhadap penderitaan rakyat kecil, tidak lagi mengindahkan kaidah moralitas tetapi terus memupuk egoism, melakukan kekerasan, memupuk kerakusan diri sehingga korupsi dan keserakahan diagungkan. Di sinilah, Tuhan menempatkan kita untuk berperan seperti Petrus yang membangkitkan!

Petrus dapat melakukan tugasnya dengan baik bahkan sampai akhir hidupnya ketika ia sendiri telah mengalami kasih dan kebangkitan Tuhan. Tidak ada yang mustahil dapat kita lakukan di era modern ini jika saja kebangkitan dan kuasa Allah yang menopang dan memulihkan itu bukan hanya sebagai dijadikan sebagai wacana dan keyakinan saja melainkan telah menjadi pengalaman eksistensial yang mendarah daging dalam kehidupan kita kini dan di sini.

Jumat, 08 April 2016

PERJUMPAAN YANG MENUMBUHKAN IMAN DAN PERTOBATAN

Minggu lalu bacaan Injil kita berakhir di Yohanes 20:31. Coba telisik kalimat dari perikop ini. “…tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu, oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.” Tak pelak lagi Yohanes 20:30-31 merupakan penutup dari seluruh rangkaian narasi Injil Yohanes. Melalui perikop itu, pembaca tidak lagi menantikan adanya kisah-kisah penampakan, pengajaran dan mujizat dari Yesus, sebab semua sudah tercantum dan tercatat dirasakan oleh penulis Injil sudah cukup. Ia sudah menyatakan bahwa memang masih ada banyak tanda yang dibuat oleh Yesus, tetapi tanda-tanda itu sengaja tidak ditulisnya. Injil telah ditutup! Sebelumnya pembaca juga telah diberi informasi melalui kisah Tomas yang semula menuntut bukti tentang Yesus yang bangkit, kisah ini berakhir dengan, “berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” Para murid juga sudah mengenali Yesus yang bangkit dan kini mereka siap diutus.

Nyatanya, koq masih ada pasal 21 yang memulai kisahnya dengan tujuh orang murid Yesus yang pergi untuk menangkap ikan di danau Tiberias. Bermula dari inisiatif Petrus yang mengatakan bahwa dirinya mau menangkap ikan. Inisiatipnya  ini diikuti oleh murid-murid yang lain. Kalau pasal 21 merupakan kelanjutan dari pasal 20, mengapa para murid ini kembali ke pekerjaan semula sebagai nelayan di Danau Tiberias (Genesaret) padahal mereka semua telah melihat Yesus yang bangkit, mereka telah diutus dan mereka telah dihembusi Yesus dengan Roh Kudus. Apakah Kuasa hembusan Roh Kudus kurang? Penulis Injil Yohanes tidak menjelaskan sedikit pun mengapa mereka kembali ke pekerjaan semula dan tidak segera melaksanakan tugas perutusan yang diberikan Yesus. Bisa saja kita menduganya bahwa mereka masih dalam suasana gamang, trauma, takut dan terancam. Ya, walau mereka telah melihat Yesus, namun Yesus yang mereka lihat tidak seperti dulu, yang selalu ada: berkumpul, mengajar, berjalan dan bergumul bersama-sama mereka. Atau, kita bisa menduganya; mereka lebih memilih kembali kepada kehidupan lama yang tanpa resiko, menjadi orang baik-baik saja, seperti kebanyakan kalayak ramai ketimbang harus bertaruh nyawa melaksanakan misi Yesus. Semua ini hanya spekulasi, dugaan kita saja.  

Sampai hari ini perdebatan tentang orisinalitas pasal 21 Injil Yohanes masih saja terus terjadi.  Rudolf Bultmann menyimpulkan bahwa bab 21 ini merupakan hasil pekerjaan editor yang menambahkannya dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan para pengikut Yesus tentang peran dua orang murid yang sangat berpengaruh. Mereka adalah “murid yang dikasihi” dan Petrus. Petrus berpengaruh karena ia sering tampil memimpin murid-murid yang lain. Sedangkan murid yang dikasihi berpengaruh karena kemungkinan dialah yang begitu dihormati dalam jemaat yang dituju oleh Injil Yohanes ini.

Berbeda dengan Bultmann, J. Zumstein berpendapat bahwa pasal 21 ini merupakan buah dari apa yang dia sebut rilettura (pembacaan ulang) Setelah banyak mengalami perjumpaan dengan saudara-saudara seiman yang juga mendengar Injil, khususnya kisah kebangkitan dari Matius, Markus, Lukas (Injil Sinoptik), jemaat yang membaca Injil Yohanes mencoba menginternalisasi kembali Injil mereka. Pembacaan ulang Injil Yohanes bab 1-20 bermuara pada peran yang menonjol dari Petrus dan Yohanes. Di samping itu, tampaknya penulis Injil Yohanes ini ingin meluruskan gagasan tentang murid yang dikasihi yang sudah lanjut usia dan orang-orang begitu yakin bahwa ia tidak akan mati sebelum kedatangan Yesus kembali. Gagasan semacam ini harus dikoreksi. Itu semua berada di tangan kuasa Yesus (20:22-23)

Fokus pertama dalam pasal 21 ini adalah Petrus. Dialah yang berinisiatif untuk pergi mencari ikan. Meskipun yang mengenali Yesus untuk pertama kalinya adalah murid yang dikasihi, Petruslah yang dengan segera menceburkan diri ke danau dan berenang menuju Yesus. Dia jugalah yang segera menuruti perintah Yesus untuk mengambil beberapa ikan yang telah mereka tangkap. Dalam bagian ini tampil dialog antara Yesus dan Petrus. Dalam ayat 15-17, Yesus tiga kali bertanya, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari merekaini?” Petrus menjawab bahwa ia mengasihi-Nya. Pertanyaan yang diulang sampai tiga kali ini kadang dihubungkan dengan peristiwa Petrus yang tiga kali menyangkal Yesus. Sekarang, melalui dialog ini, Petrus harus memperbaharui hubungan kasih dan kesetiaannya terhadap Yesus. Tiga kali menyangkal, maka tiga kali pula ia harus menyatakan kasihnya kepada Yesus. Penegasan ini menjadi penting untuk mengembalikan keyakinan diri Petrus dalam mengemban tugas yang berat, yakni mengembalakan domba-domba-Nya.

Ada perbedaan kata kerja yang digunakan tentang mengasihi (agapan dan filein), mengembalakan (boskein dan pomainein), domba (probate dan arnia). Tentu ada kekayaan tersendiri, jika kita mau menelusuri perbedaan kata-kata ini dalam bahasa Yunaninya. Namun, dalam kaitan bahwa dialog ini digunakan Yesus untuk memulihkan kepercayaan diri dan kesungguhannya untuk menjalani tugas perutusan, maka yang paling sentral adalah pertanyaan Yesus, “Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari mereka?” Artinya, apakah Petrus mengasihi Yesus lebih dari teman-temannya yang lain.  Namun, ada yang menerjemahkan frase ini dengan, “Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari hal-hal ini?” Dalam terjemahan ini, Yesus bertanya apakah ia mengasihi Yesus lebih dari pekerjaannya, juga ketika pekerjaan itu menghasilkan  uang, penghidupan, kepopuleran, pendeknya yang hebat-hebat seperti itu. Jadi kalau keduanya diterapkan, itu artinya bahwa Yesus bertanya, apakah Petrus mengasihi Yesus melebihi teman-temannya, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan mata pencahariannya. Pendeknya, apakah kasihnya kepada Yesus melebih segalanya? Dan Petrus menjawabnya, “Tuhan, Engkau tahu segla sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.”

Setelah Yesus memberikan tugas pengutusan kepada Yesus, kemudian Yesus berbicara tentang masa lalu dan masa depan Petrus yang menyatakan bahwa Petrus akan mati dengan memuliakan Allah. Dialog masih berlanjut. Barangkali pertanyaan Petrus berkaitan dengan undangan Yesus untuk mengikut Yesus, kalau ia harus mengikut Yesus sampai mati, lalu apa yang akan dialami oleh murid yang dikasihi itu? Kalau Petrus sudah menerima perutusan dari Yesus, kemudian apa yang akan diterima oleh murid yang dikasihi itu? Hal itulah yang dikatakannya kepada Yesus. Sangat mungkin Petrus mewakili orang-orang yang penasaran tentang kehidupan Yohanes, sang murid yang dikasihi itu. Apakah benar-benar Yohanes ini tidak akan mati sebelum Yesus datang kembali. Hal ini berbeda dengan nasib dirinya bahwa ia akan mati. Yesus tidak menjawab pertanyaan Petrus. Ia hanya mengulang dan menegaskan undangan bagi Petrus untuk mengikut Dia. Seolah Yesus mau mengatakan, ketika seseorang terpanggil untuk mengikuti-Nya maka yang dibutuhkan adalah focus terhadap diri-Nya, bukan sibuk mencari tahu posisi orang lain (kepo?). Petrus tidak perlu ikut campur tentang nasib orang lain. Ia harus mengambil sikap dan keputusannya sendiri untuk mengikut Yesus sampai akhir. Dari jawaban Yesus juga nyata  sekali bahwa penulis Injil Yohanes hendak meluruskan pandangan bahwa sang murid yang dikasihi itu tidak akan mati sebelum melihat kedatangan Yesus kembali. Penulis Injil menjelaskan bahwa Yesus enggan mengatakan bahwa murid itu tidak akan mati. Mati atau tidak bukan urusan orang lain, semua tergantung kepada Tuhan yang menghendaki.

Perjumpaan Tuhan Yesus yang bangkit dengan Simon Petrus, anak Yohanes mengajarkan kepada kita bahwa Yesus sanggup memulihkan kepercayaan diri sari seorang yang telah menyangkal tiga kali berturut-turut. Perjumpaan itu akhirnya menumbuhkan iman yang baru. Iman yang siap melakukan tugas perutusan bahkan sampai mati. Kini, kematian bagi Petrus – kendatipun bagi Petrus dengan jalan mengerikan - tidak lagi menjadi momok yang menakutkan. Melainkan, sama seperti yang dijalani Yesus, merupakan jalan memuliakan Allah. Paralel dari kisah Petrus ini, kita dapat menemukannya dalam diri Saulus (Kisah Para Rasul 9:1-20). Perjumpaan dari seorang penganiaya murid-murid Tuhan, kini berubah total. Ia menyerahkan dirinya bagi pekerjaan Tuhan.

Bila Petrus, Yohanes, selanjutnya Paulus dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lain mengalami perubahan radikal dalam kehidupan mereka karena berjumpa dengan Kristus yang bangkit, bagaimana dengan kita? Apakah kita harus mengalami perjumpaan seperti pengalaman mereka? Ya, perjumpaan mutlak harus terjadi apabila kita ingin berubah. Namun, perjumpaan itu tidak harus  disimpulkan seperti pengalaman mereka. Pembacaan Kitab Suci dan perenungannya, perjumpaan dengan sesama, refleksi atas pengalaman hidup (khususnya yang tidak menyenangkan), itu semua dapat dipakai-Nya untuk menjadi sarana perjumpaan. Sudahkah melalui itu, iman kita tumbuh dan kita mengalami pembaruan hidup seperti yang dikehendaki-Nya?