Friedrich
Nietzsche (1844-1900) adalah seorang filsuf ternama dari negerii Jerman.
Ucapannya yang paling diingat orang sampai sekarang adalah bahwa kita dapat
beraktualisasi tanpa batas. Kita bisa menjadi manusia super (Ubermensch). Namun, setiap manusia yang
ingin mencapainya ia harus menanggalkan eksistensi dan peran Tuhan, Sang
Mahakuasa itu. “Tuhan harus dibunuh, Tuhan harus mati dalam pemikiran kita”,
katanya. Mengapa? Agar kita terbebas dan tidak dilemahkan oleh perasaan takut
akan Tuhan karena bagaimanapun juga selama kita percaya dan takut akan Tuhan
maka akan selalu ada batasan untuk kita berkreasi dan berekspresi. Manusia super
adalah pribadi yang mutlak berkuasa, dan kedaulatan Tuhan hanya membelenggu
kekuasaan kita. Jadi, menjadi manusia super harus berani membebaskan diri dari
belenggu-belenggu moral seperti belas kasihan, kepatuhan, empati pada kaum
lemah, serta nilai-nilai yang bisa mengerem nafsu dan naluri untuk berkuasa.
Nietzsche ingin mengalirkan kekuasaan tanpa nurani, suatu kekuasaan manusia
atas manusia yang dengan tegas melumat moralitas budak. Sebaliknya, sebaiknya setiap
orang yang ingin berkuasa dan menjadi manusia super ia harus mengutamakan
moralitas atau tepatnya mentalital tuan yang membenarkan kekuasaan mutlak dan
mengutamakan kehendak untuk mencapai kekuasaan.
Gagasan manusia
super menurut Nietzsche harus dengan tegas membuang keluhuran dan menampik
kemuliaan dalam kekuasaan. Gagasannya ini tidak memercayai nilai-nilai luhur
moralitas universal, seperti belas kasih atau belarasa bagi yang miskin dan
lemah apalagi keberpihakan kepada mereka yang tersisih itu. Bertolak belakang
dari Nietzsche, Yesus menghadirkan kuasa-Nya justeru dengan keberpihakan kepada
yang lemah, miskin, menderita dan tersisih. Dia tidak hanya menggenapi peran
hamba yang menderita, tetapi juga menyatakan diri-Nya sebagai Gembala Yang Baik
(Yohanes 10:1-21) yang tidak mengekspoitasi para domba untuk kesenangan dan kepentingannya
sendiri, melainkan merawat, memelihara dan membela kawanan domba-Nya. Hal ini
tentu berbeda dengan gembala upahan.
Tidak lama
setelah Ia menyatakan diri sebagai Gembala Yang Baik, orang-orang Yahudi segera
mengugat-Nya da meminta-Nya untuk membuktikan bahwa diri-Nya adalah Mesias. Ya,
jelas mesias yang mereka maksud adalah mesias politik. Dalam konsep ini, sang
mesias harus menjadi penakluk. Mesias harus dapat menaklukkan penguasa Romawi
dan memulihkan takhta kerajaan Daud.
Mereka
mempertanyakan kemesiasan Yesus, “Berapa
lama lagi Engkau membiarkan kami hidup dalam kebimbangan? Jika Engkau Mesias,
katakanlah terus terang kepada kami.” (Yoh.10:24) Yesus menepisnya dengan
menjawab bahwa diri-Nya telah mengatakannya bahkan disertai dengan
pekerjaan-pekerjaan yang selama ini Ia lakukan. Ia menunjukkan perhatian dan keberpihakkan-Nya
yang begitu besar terhadap mereka yang miskin, papa, tersisih, sakit dan
menderita. Ia mengentaskan yang miskin, menanggalkan kekuatiran para penakut,
mengampuni para pendosa, meluruskan hati si penjlat. Ia juga mengurapi
orang-orang lemah yang dimarjinalkan secara massif oleh si jahat. Namun,
tanpaknya itu tidak memuaskan hati sebagian besar orang Yahudi dan para
pemimpin mereka. Mereka tetap meminta Yesus menyatakan kemesiasannya itu dengan
menunjukkannya sebagai manusia super!
Yesus
menengarai, ketika mereka gagal paham
dengan apa yang dikerjakan-Nya, itu menandakan bahwa memang mereka bukanlah
domba-domba-Nya. “…tetapi kamu tidak
percaya, karena kamu tidak termasuk domba-domba-Ku.” (Yoh. 10:26)
Sebaliknya, Yesus menegaskan, “Domba-domba-Ku
mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikuti Aku, dan Aku
memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa
sampai selama-lamanya dan seorang pun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku.”
(ay.27). Dengan cara itulah Yesus membuktikan dirinya sebagai Gembala Baik, sebagai
Manusia Super sesungguhnya!
Sekali lagi
tidak mudah, bahkan para murid-Nya pun sering mengalami gagal paham. Dalam saat-saat tertentu mereka juga hampir sama
seperti kebanyakan orang Yahudi lainnya. Hanya ketika mereka telah mengalami
dan melewati masa-masa sulit dalam krisis iman, barulah mereka memahami siapa
sesungguhnya Sang Gembala baik itu. Setelah kematian-Nya yang mengerikan dan
memukul pengharapan para murid, ternyata Yesus bangkit dan kemudian Ia
menghampiri mereka, meneguhkan dan menguatkan mereka. Tomas yang meragukan
kebenaran kebangkitan itu, Ia yakinkan dengan mempersilahkan menyentuh bekas
luka-luka-Nya. Petrus yang pernah menyangkal-Nya tiga kali, tidak Ia gugat,
melainkan dikembalikan lagi kepercayaan dirinya dan diutus untuk melakukan
tugas yang sama dengan diri-Nya, yakni menggembalakan domba-domba kepunyaan
Allah.
Barulah ketika
Petrus telah mengalami dan menyelami Yesus sebagai Gembala Yang Baik itu, ia
dapat meneruskan tugas panggilannya dengan luar biasa. Petrus yang biasanya
digambarkan temperamental, spontan dan suka menonjolkan diri kini, ia tunduk
dalam kuasa Yesus. Petrus menjadi luar biasa dalam menyaksikan Injil Kristus
bukan karena ia mengandalkan dirinya dan menampik kuasa Tuhan. Justru, dengan
dia tunduk pada Tuhan, maka perannya semakin besar dalam pemberitaan Injil.
Ketika Petrus menyembuhkan Eneas seorang penduduk Lida yang telah delapan tahun
lumpuh, dia tidak mengatakan “Aku menyembuhkan engkau!” Melainkan, “Yesus
menyembuhkan engkau!” Sebelum dia berkata kepada Tabita (Dorkas),” Tabita,
bangkitlah!” Ia terlebih dahulu perlutu dan berdoa (Kis.9:40a). Petrus tidak
menggunakan kekuatan yang ada pada dirinya - sebab pada dasarnya dirinya tidak
mempunyai kekuatan apa-apa. Itulah kekuatan yang berasal dari Yesus!
Petrus memakai
kuasa Yesus untuk memulihkan Eneas yang lumpuh dan membangkitkan Tabita yang
mati. Tak pelak lagi apa yang dilakukannya adalah meneruskan karya Sang Gembala
Agung itu. Gembala yang memerhatikan domba-domba-Nya dengan demikian ia
menghadirkan syalom Kerajaan Allah.
Banyak cara dipakai Allah untuk menopang domba-domba-Nya yang sedang lemah,
menderita dan terbelenggu oleh kematian. Tuhan pun dapat memakai siapa saja
sebagai alat di tangan-Nya untuk menopang beban penderitaan kita. Ia bisa
memakai dokter, pendeta, pejabat negara, teman, anggota keluarga, dan yang
lainnya. Namun, Allah juga menghendaki agar setiap orang yang telah mengenal
dengan baik suara dan kehendak Sang Gembala untuk tidak tinggal diam berpangku
tangan ketika melihat saudara-saudaranya yang lain hidup menanggung beban
penderitaan. Ia berharap hatinya akan peka penuh empati, panca inderanya akan
dipakai untuk menjadi alat-Nya dalam memulihkan dan menyembuhkan. Masih banyak
di sekitar kita yang sama seperti Eneas. Lumpuh! Lumpuh bukan hanya fisik,
namun tidak berdaya dalam pelbagai hal: Tidak dapat menggunakan potensi yang
ada karena pelbagai macam himpitan, tekanan dan ancaman. Lalu apa yang sudah
kita lakukan? Cukupkah hanya sekedar mendoakannya dan memita supaya Tuhan
dengan kuasa dan mujizat-Nya yang ajaib akan membebaskan mereka? Ya, jelas
Tuhan mampu melakukannya. Namun, tampaknya Ia ingin Anda dan saya dipakai-Nya
seperti Ia memakai Petrus.
Di sekitar juga
banyak tercium bau amis kematian! Bukan,
hanya fisik tetapi kematian spirit, semangat, ketiadaan pengharapan hidup
dengan pesimisme. Selain itu banyak juga yang mengalami kematian moralitas dan
hati nurani sehingga tidak lagi mampu melihat apalagi melakukan kebenaran. Saat
ini semakin banyak orang, yang mungkin saja tidak terang-terangan, mengikuti
nasehat Nietzsche, harus mematikan nurani dan belarasa terhadap penderitaan
rakyat kecil, tidak lagi mengindahkan kaidah moralitas tetapi terus memupuk egoism,
melakukan kekerasan, memupuk kerakusan diri sehingga korupsi dan keserakahan
diagungkan. Di sinilah, Tuhan menempatkan kita untuk berperan seperti Petrus
yang membangkitkan!
Petrus dapat
melakukan tugasnya dengan baik bahkan sampai akhir hidupnya ketika ia sendiri
telah mengalami kasih dan kebangkitan Tuhan. Tidak ada yang mustahil dapat kita
lakukan di era modern ini jika saja kebangkitan dan kuasa Allah yang menopang
dan memulihkan itu bukan hanya sebagai dijadikan sebagai wacana dan keyakinan
saja melainkan telah menjadi pengalaman eksistensial yang mendarah daging dalam
kehidupan kita kini dan di sini.