Minggu lalu
bacaan Injil kita berakhir di Yohanes 20:31. Coba telisik kalimat dari perikop
ini. “…tetapi semua yang tercantum di
sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan
supaya kamu, oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.” Tak pelak lagi Yohanes
20:30-31 merupakan penutup dari seluruh rangkaian narasi Injil Yohanes. Melalui
perikop itu, pembaca tidak lagi menantikan adanya kisah-kisah penampakan,
pengajaran dan mujizat dari Yesus, sebab semua sudah tercantum dan tercatat
dirasakan oleh penulis Injil sudah cukup. Ia sudah menyatakan bahwa memang
masih ada banyak tanda yang dibuat oleh Yesus, tetapi tanda-tanda itu sengaja
tidak ditulisnya. Injil telah ditutup! Sebelumnya pembaca juga telah diberi
informasi melalui kisah Tomas yang semula menuntut bukti tentang Yesus yang
bangkit, kisah ini berakhir dengan, “berbahagialah mereka yang tidak melihat,
namun percaya.” Para murid juga sudah mengenali Yesus yang bangkit dan kini
mereka siap diutus.
Nyatanya, koq masih ada pasal 21 yang memulai
kisahnya dengan tujuh orang murid Yesus yang pergi untuk menangkap ikan di
danau Tiberias. Bermula dari inisiatif Petrus yang mengatakan bahwa dirinya mau
menangkap ikan. Inisiatipnya ini diikuti
oleh murid-murid yang lain. Kalau pasal 21 merupakan kelanjutan dari pasal 20,
mengapa para murid ini kembali ke pekerjaan semula sebagai nelayan di Danau
Tiberias (Genesaret) padahal mereka semua telah melihat Yesus yang bangkit,
mereka telah diutus dan mereka telah dihembusi Yesus dengan Roh Kudus. Apakah
Kuasa hembusan Roh Kudus kurang? Penulis Injil Yohanes tidak menjelaskan
sedikit pun mengapa mereka kembali ke pekerjaan semula dan tidak segera
melaksanakan tugas perutusan yang diberikan Yesus. Bisa saja kita menduganya
bahwa mereka masih dalam suasana gamang, trauma, takut dan terancam. Ya, walau
mereka telah melihat Yesus, namun Yesus yang mereka lihat tidak seperti dulu,
yang selalu ada: berkumpul, mengajar, berjalan dan bergumul bersama-sama mereka.
Atau, kita bisa menduganya; mereka lebih memilih kembali kepada kehidupan lama
yang tanpa resiko, menjadi orang baik-baik saja, seperti kebanyakan kalayak
ramai ketimbang harus bertaruh nyawa melaksanakan misi Yesus. Semua ini hanya
spekulasi, dugaan kita saja.
Sampai hari ini
perdebatan tentang orisinalitas pasal 21 Injil Yohanes masih saja terus
terjadi. Rudolf Bultmann menyimpulkan
bahwa bab 21 ini merupakan hasil pekerjaan editor yang menambahkannya dengan
tujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan para pengikut Yesus tentang peran dua
orang murid yang sangat berpengaruh. Mereka adalah “murid yang dikasihi” dan
Petrus. Petrus berpengaruh karena ia sering tampil memimpin murid-murid yang
lain. Sedangkan murid yang dikasihi berpengaruh karena kemungkinan dialah yang
begitu dihormati dalam jemaat yang dituju oleh Injil Yohanes ini.
Berbeda dengan
Bultmann, J. Zumstein berpendapat bahwa pasal 21 ini merupakan buah dari apa
yang dia sebut rilettura (pembacaan
ulang) Setelah banyak mengalami perjumpaan dengan saudara-saudara seiman yang
juga mendengar Injil, khususnya kisah kebangkitan dari Matius, Markus, Lukas
(Injil Sinoptik), jemaat yang membaca Injil Yohanes mencoba menginternalisasi
kembali Injil mereka. Pembacaan ulang Injil Yohanes bab 1-20 bermuara pada
peran yang menonjol dari Petrus dan Yohanes. Di samping itu, tampaknya penulis
Injil Yohanes ini ingin meluruskan gagasan tentang murid yang dikasihi yang
sudah lanjut usia dan orang-orang begitu yakin bahwa ia tidak akan mati sebelum
kedatangan Yesus kembali. Gagasan semacam ini harus dikoreksi. Itu semua berada
di tangan kuasa Yesus (20:22-23)
Fokus pertama
dalam pasal 21 ini adalah Petrus. Dialah yang berinisiatif untuk pergi mencari
ikan. Meskipun yang mengenali Yesus untuk pertama kalinya adalah murid yang
dikasihi, Petruslah yang dengan segera menceburkan diri ke danau dan berenang
menuju Yesus. Dia jugalah yang segera menuruti perintah Yesus untuk mengambil
beberapa ikan yang telah mereka tangkap. Dalam bagian ini tampil dialog antara
Yesus dan Petrus. Dalam ayat 15-17, Yesus tiga kali bertanya, “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi
Aku lebih dari merekaini?” Petrus menjawab bahwa ia mengasihi-Nya.
Pertanyaan yang diulang sampai tiga kali ini kadang dihubungkan dengan
peristiwa Petrus yang tiga kali menyangkal Yesus. Sekarang, melalui dialog ini,
Petrus harus memperbaharui hubungan kasih dan kesetiaannya terhadap Yesus. Tiga
kali menyangkal, maka tiga kali pula ia harus menyatakan kasihnya kepada Yesus.
Penegasan ini menjadi penting untuk mengembalikan keyakinan diri Petrus dalam
mengemban tugas yang berat, yakni mengembalakan domba-domba-Nya.
Ada perbedaan
kata kerja yang digunakan tentang mengasihi (agapan dan filein),
mengembalakan (boskein dan pomainein), domba (probate dan arnia). Tentu
ada kekayaan tersendiri, jika kita mau menelusuri perbedaan kata-kata ini dalam
bahasa Yunaninya. Namun, dalam kaitan bahwa dialog ini digunakan Yesus untuk
memulihkan kepercayaan diri dan kesungguhannya untuk menjalani tugas perutusan,
maka yang paling sentral adalah pertanyaan Yesus, “Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari mereka?” Artinya, apakah
Petrus mengasihi Yesus lebih dari teman-temannya yang lain. Namun, ada yang menerjemahkan frase ini
dengan, “Apakah engkau mengasihi Aku
lebih dari hal-hal ini?” Dalam terjemahan ini, Yesus bertanya apakah ia
mengasihi Yesus lebih dari pekerjaannya, juga ketika pekerjaan itu
menghasilkan uang, penghidupan, kepopuleran,
pendeknya yang hebat-hebat seperti itu. Jadi kalau keduanya diterapkan, itu
artinya bahwa Yesus bertanya, apakah Petrus mengasihi Yesus melebihi
teman-temannya, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan mata pencahariannya.
Pendeknya, apakah kasihnya kepada Yesus melebih segalanya? Dan Petrus
menjawabnya, “Tuhan, Engkau tahu segla
sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.”
Setelah Yesus
memberikan tugas pengutusan kepada Yesus, kemudian Yesus berbicara tentang masa
lalu dan masa depan Petrus yang menyatakan bahwa Petrus akan mati dengan
memuliakan Allah. Dialog masih berlanjut. Barangkali pertanyaan Petrus
berkaitan dengan undangan Yesus untuk mengikut Yesus, kalau ia harus mengikut
Yesus sampai mati, lalu apa yang akan dialami oleh murid yang dikasihi itu?
Kalau Petrus sudah menerima perutusan dari Yesus, kemudian apa yang akan
diterima oleh murid yang dikasihi itu? Hal itulah yang dikatakannya kepada
Yesus. Sangat mungkin Petrus mewakili orang-orang yang penasaran tentang
kehidupan Yohanes, sang murid yang dikasihi itu. Apakah benar-benar Yohanes ini
tidak akan mati sebelum Yesus datang kembali. Hal ini berbeda dengan nasib
dirinya bahwa ia akan mati. Yesus tidak menjawab pertanyaan Petrus. Ia hanya
mengulang dan menegaskan undangan bagi Petrus untuk mengikut Dia. Seolah Yesus
mau mengatakan, ketika seseorang terpanggil untuk mengikuti-Nya maka yang
dibutuhkan adalah focus terhadap diri-Nya, bukan sibuk mencari tahu posisi
orang lain (kepo?). Petrus tidak
perlu ikut campur tentang nasib orang lain. Ia harus mengambil sikap dan
keputusannya sendiri untuk mengikut Yesus sampai akhir. Dari jawaban Yesus juga
nyata sekali bahwa penulis Injil Yohanes
hendak meluruskan pandangan bahwa sang murid yang dikasihi itu tidak akan mati
sebelum melihat kedatangan Yesus kembali. Penulis Injil menjelaskan bahwa Yesus
enggan mengatakan bahwa murid itu tidak akan mati. Mati atau tidak bukan urusan
orang lain, semua tergantung kepada Tuhan yang menghendaki.
Perjumpaan Tuhan
Yesus yang bangkit dengan Simon Petrus, anak Yohanes mengajarkan kepada kita
bahwa Yesus sanggup memulihkan kepercayaan diri sari seorang yang telah
menyangkal tiga kali berturut-turut. Perjumpaan itu akhirnya menumbuhkan iman
yang baru. Iman yang siap melakukan tugas perutusan bahkan sampai mati. Kini, kematian
bagi Petrus – kendatipun bagi Petrus dengan jalan mengerikan - tidak lagi
menjadi momok yang menakutkan. Melainkan, sama seperti yang dijalani Yesus,
merupakan jalan memuliakan Allah. Paralel dari kisah Petrus ini, kita dapat
menemukannya dalam diri Saulus (Kisah Para Rasul 9:1-20). Perjumpaan dari
seorang penganiaya murid-murid Tuhan, kini berubah total. Ia menyerahkan
dirinya bagi pekerjaan Tuhan.
Bila Petrus,
Yohanes, selanjutnya Paulus dan masih banyak lagi tokoh-tokoh lain mengalami
perubahan radikal dalam kehidupan mereka karena berjumpa dengan Kristus yang
bangkit, bagaimana dengan kita? Apakah kita harus mengalami perjumpaan seperti
pengalaman mereka? Ya, perjumpaan mutlak harus terjadi apabila kita ingin
berubah. Namun, perjumpaan itu tidak harus
disimpulkan seperti pengalaman mereka. Pembacaan Kitab Suci dan
perenungannya, perjumpaan dengan sesama, refleksi atas pengalaman hidup (khususnya
yang tidak menyenangkan), itu semua dapat dipakai-Nya untuk menjadi sarana
perjumpaan. Sudahkah melalui itu, iman kita tumbuh dan kita mengalami pembaruan
hidup seperti yang dikehendaki-Nya?