Kamis, 31 Maret 2016

KEBANGKITAN-NYA MEMBAWA DAMAI SEJAHTERA

Beberapa setelah pagi-pagi buta yang mengejutkan telah berlalu. Ketika Maria Magdalena pergi ke kubur Yesus dan mendapati kubur itu kosong lalu memberi kabar kepada Petrus dan murid yang dikasihi. Sedikit-demi sedikit tabir misteri itu terjawab. Jasad Yesus tidak ada dalam kubur-Nya bukan dicuri orang. Ia sudah bangkit! Bukankah seharusnya, para murid merayakannya dengan antusias; sorak-sorai penuh kemenangan?. Namun, mengapa mereka masih mengunci diri dalam ruangan (Yohanes 20:19-23)? Kalau mereka masih dalam keadaan shock, apakah waktu duabelas jam tidak cukup untuk memulihkan diri? Ataukah mereka masih memerlukan lebih banyak lagi waktu untuk meyakini bahwa Yesus benar-benar telah bangkit? Barangkali benarlah apa yang pernah dikatakan Yesus kepada para murid yang menemani-Nya ketika bergumul di tanam Getsemani, “…roh memang penurut, tetapi daging lemah.” (Mark 14:38). Mereka begitu lemah!

Pintu-pintu terkunci! Apa yang menyebabkan orang mengunci diri dalam ruangan? Tentu, ada banyak alasan. Biasanya orang mengunci diri dalam suatu ruangan oleh  karena menginginkan privasi. Ada sesuatu yang sedang dan tidak menginginkan orang lain tahu. Alasan lain, tidak mau diganggu oleh orang lain. Kita beristirahat atau tidur, biasanya mengunci pintu kamar kita. Maksudnya agar memperoleh ketenangan dan beristirahat. Bisa jadi, seseorang mengurung diri dengan pintu yang terkunci adalah bentuk pelarian diri, takut dan kemudian bersembunyi. Para murid mengunci diri setelah peristiwa kematian Sang Guru mereka, meski kabar kebangkitan itu mulai nyata terlihat. Mungkin kita bisa memakluminya bahwa meskipun mereka tahu kebangkitan itu telah terjadi, namun sepertinya mereka masih dikuasai oleh ketakutan terhadap orang-orang yang telah menganiaya dan membunuh Yesus. Mungkin, juga mereka tidak lagi tahu apa yang harus diperbuat dan berpikir: Mengapa Yesus yang sudah bangkit itu koq tidak mau bergabung bersama-sama mereka lagi seperti dulu sebelum pembunuhan itu terjadi?

Pintu-pintu yang terkunci itu ternyata tidak dapat menghalangi Yesus. Ia mampu menembusnya dan berada di tengah-tengah mereka. “Damai sejahtera bagi kamu!” Sapaan itulah yang pertama kali diucapkan Yesus. Apa itu damai sejahtera? Banyak orang telah mendefinisikan dan menguraiankan tentang kata yang berasal dari syalom (Ibr) dan eirene (Yun) itu. Bila kita cermati, semua definisi itu akhirnya bermuara agar orang yang kepadanya ucapan itu ditujukan mengalami segala kebaikan dan anugerah dari TUHAN: Damai sejahtera bagi yang kelaparan itu berarti tersedianya makanan. Damai sejahtera bagi yang sedang bermusuhan, itu berarti kini ada perdamaian. Damai sejahtera bagi yang bodoh, itu berarti kini ada pencerahan. Damai sejahtera bagi yang tertindas, itu berarti kini ada pembebasan. Damai sejahtera itu ketika setumpuk hutang yang sudah pasti tidak akan terbayar, kini ada yang melunasinya. Dalam konteks ucapan Yesus yang bangkit kepada para murid yang mengunci diri “damai sejahtera” itu berarti kini ada kesediaan dan keberanian untuk membuka pintu-pintu yang telah terkunci itu. Hal itu hanya dimungkinkan apabila belenggu yang mengunci hati mereka dapat dibuka terlebih dahulu. Tidaklah mungkin kita berani membuka diri, bangkit dari keterpurukkan tanpa hati yang dipulihkan!

Penampakkan Yesus kepada para murid yang mengurung diri kali ini bukan lagi untuk menyatakan dan meyakinkan bahwa diri-Nya telah bangkit. Hal itu sudah terjadi pagi tadi! Kini, kepentingan-Nya hadir di tengah para murid adalah untuk membuka belenggu ketakutan yang merampas damai sejahtera para murid itu. Setelah itu, para murid berani bukan saja membuka kunci pintu-pintu yang tertutup itu, tetapi mereka siap diutus untuk mewartakan kebangkitan Kristus itu. Itu berarti mereka dimampukan untuk berani berhadapan dengan para pemimpin dan penguasa yang sebelumnya telah membunuh Yesus. Sama seperti Bapa telah mengutus Yesus, kini Ia mengutus para murid.

Damai sejahtera itu tidak hanya diucapkan Yesus. Ia juga menghembusi mereka. Apa yang Yesus hembuskan? Tentu bukan angin kosong, Ia sendiri menjelaskan-Nya, “Terimalah Roh Kudus.” Yesus menghembusi mereka dengan Roh Kudus. Apa yang dilakukan Yesus dengan menghembuskan Roh Kudus mengingatkan kita pada peristiwa penciptaan. Allah menghembuskan nafas kehidupan ke hidung Adam sehingga ia menjadi makhluk yang hidup (Kej. 2:7). Tanpa Roh Allah manusia hanyalah debu dan tanah. Emfyso mengingatkan orang Israel pada penglihatan Yehezkiel tentang tulang-tulang kering, kematian massive orang-orang Israel yang kemudian TUHAN menghembuskan dengan Roh-Nya dan lihatlah apa yang terjadi? Tulang-tulang itu hidup kembali bahkan mereka menjadi sebuah laskar besar!

Hembusan Roh Kudus ini mau menggambarkan bahwa Ia berkuasa menghidupkan! Hembusan Yesus berkuasa menghidupkan kematian pengharapan para murid. Hembusan Roh itu mencairkan hati yang beku karena kesedihan, kekecewaan, prustasi, kematian dan sebagainya. Itulah syalom; damai sejahtera. Kebangkitan Yesus mempunyai dampak luar biasa bagi para murid. Mereka tidak saja meyakininya, melainkan telah menjadi pengalaman nyata. Mereka kini bangkit dari ketiadaan pengharapan menjadi manusia-manusia yang penuh pengharapan, begitu antusias, dan berani menjadi saksi kebangkitan itu. Bayangkan, dari manusia-manusia yang mengurung diri karena ketakutan, kini menjadi orang-orang yang berani berhadapan dengan Sanhedrin; Mahkamah Agama dan para pemimpin Yahudi.

Kisah Para Rasul 5:26-42 mencatat dengan cermat bagai mana para murid ini menyatakan iman mereka dan menyaksikan Yesus yang bangkit. Mereka tentu sadar akan ancaman yang sedang mereka hadapi. Dewan Sanhedrin sudah melarang dengan keras, agar mereka berhenti menyaksikan bahwa Yesus telah bangkit, “Dengan keras kami melarang kamu mengajar dalam nama itu. Namun ternyata, kamu telah memenuhi Yerusalem dengan ajaran kamu…” (Kis. 5:28). Bisa saja para imam dan penguasa Yahudi kembali mengerahkan kekuasaan mereka; memerintahkan untuk menangkap dan membunuh mereka. Namun, apa yang terjadi? Petrus yang sebelumnya tiga kali menyangkal Yesus karena ia takut dengan resiko yang harus dihadapinya, kini ia berkata, “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.” (Kis,5:29) Alih-alih para murid itu bungkam karena takut, mereka terus bersaksi, kata mereka, “Allah nenek moyang kita telah membangkitkan Yesus, yang kamu gantungkan pada kayu salib dan kamu bunuh. Dialah yang telah ditinggikan oleh Allah sendiri dengan tangan kanan-Nya menjadi pemimpin dan Juruselamat, supaya Israel dapat bertobat dan menerima pengampunan dosa. Dan kami adalah saksi dari segala sesuatu itu, kami dan Roh Kudus, yang dikaruniakan Allah kepada semua orang yang menaati Dia.” (Kis. 5:30-32)

Koq bisa, orang-orang yang tadinya begitu pesimis, kini begitu optimis bahkan menantang maut. Itulah kuasa kebangkitan. Kuasa hembusan Roh Kudus yang membangkitkan asa; yang mengalahkan sengat maut, yakni ketakutan. Apa yang terjadi, dialami oleh para murid adalah kebangkitan yang sesungguhnya. Tidak usah banyak dalil pun, sikap dan perbuatan mereka menunjukkan itu! Mereka mengalami damai sejahtera meskipun berhadapan dengan ancaman. Sukacita mereka begitu meluap, sama sekali tidak ada raut ketakutan!

Apakah saat ini kita sedang “mengunci pintu-pintu kamar” kita? Apakah saat ini hati kita membeku, pesimis dan kehilangan sukacita lantaran ada begitu banyak persoalan dan kekecewaan bertubi-tubi menghunjam kita? Pandanglah Yesus, Ia telah bangkit dan ingin menjamahmu. Ia ingin mengatakan, “Damai sejahtera bagimu!” Hanya satu langkah saja yang perlu kita ambil: bukalah hati kita, izinkan Ia menguasai hati kita, niscaya kita pun akan mengalami perubahan besar. Perubahan itu akan menuntun kita menjadi orang yang penuh pengharapan, dengan sendirinya orang akan melihat Kristus yang bangkit dalam kehidupan kita.


Jumat, 25 Maret 2016

KEMATIAN BUKAN AKHIR SEGALANYA

 Sabtu Sunyi 2016
 
“Kematian bukan akhir segalanya,” betulkah? Kalimat ini barangkali pernah atau beberapa kali kita dengar, khususnya pada saat kerabat atau kita mengalami kedukaan. Banyak kata-kata penghiburan baik yang bersifat obituari (mengenang segala kebaikan mediang) atau kutipan-kutipan ayat kitab suci. Kalimat penghiburan memang dibutuhkan agar kita tidak larut dalam perasaan dukacita. Namun, ketika kedukaan itu menimpa kita; orang yang begitu dekat dan sangat berpengaruh dalam hidup kita tiba-tiba meninggal. Rasanya sulit untuk mengaminkan “kematian bukan akhir dari segalanya”! Betapa tidak, sebab pada saat itu, terputuslah segala bentuk komunikasi. Kita tidak bisa lagi bertegur sapa, mengungkapkan rasa sayang, meminta perhatiannya, bersenda-gurau, pendek kata dia sudah pergi, sudah tiada! Tidak jarang pengalaman ditinggalkan orang yang begitu dicintai menimbulkan trauma, penolakan akan sebuah kenyataan, kehilangan, kesedihan yang panjang dan dukacita mendalam.

Perasaan para murid tidaklah jauh berbeda dengan semua orang yang kehilangan orang yang dikasihinya. Apalagi mereka melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Yesus yang mereka cintai mengalami penderitaan berat, begitu buruk rupanya, luka-luka yang menganga bekas cambuk, lubang-lubang di tubuh bekas paku dan tusukan tombak dan kemudian mati di tiang salib itu. Kini, jasad itu diturunkan, dibalutkan kain kapan lalu dikuburkan. Bagi para murid tentu saja kematian jasad seperti ini begitu memilukan. Namun, tampaknya semua itu belum memuaskan orang-orang yang membenci-Nya. Mereka masih meminta kepada Pilatus agar kubur Yesus dijaga oleh tentara selama tiga hari(Matius 27:62-66). Mengapa? Mereka takut kalau para murid itu bikin berita sensasi; mencuri mayat Yesus lalu menyebarkan berita bohong bahwa Yesus bangkit dengan bukti kubur telah kosong. Tentu ada alasan mengapa para pemimpin Yahudi itu ngotot meminta kubur Yesus dijaga. Mereka mengingat ketika sebelum Yesus mati, Ia pernah mengatakan bahwa setelah tiga hari kematiannya, Ia akan bangkit (Matius 16:21). Pilatus menjawabnya permintaan mereka dengan memberi penjaga-penjaga untuk menjaga kubur Yesus itu. Dari permintaan para pemimpin Yahudi ini, sebenarnya kita mendapat gambaran; meskipun mereka tidak mengakui kemesiasan Yesus dan anjaran-Nya selalu ditentang, namun dalam hati mereka masih percaya – jangan-jangan ucapan Yesus ini benar – sebab kalau mereka sama sekali tidak percaya, buat apa kubur Yesus harus dijaga? Bukankah mereka sendiri telah membunuh Yesus sekaligus meyakinkannya dengan menusuk lambung Yesus (Yoh. 19:34)

Tentu para murid sangat terpukul. Bisa saja mereka putus asa dan menyelamatkan diri masing-masing. Ini terbukti, tak satupun murid terdekat Yesus yang hadir dalam pemakaman-Nya kecuali para perempuan : Maria Magdalena dan Maria yang begitu rupa larut dalam duka nestapa. Dalam situasi kesedihan mendalam seseorang mudah hilang kendali, prustasi dan kehilangan pegangan. Jalan pintas biasanya dipilih; menyakiti diri sendiri atau orang lain lalu kemudian menyalahkan Tuhan.

Ayub dalam menghadapi penderitaan berat pernah berpikir jalan kematian adalah jalan terbaik untuk mengakhiri penderitaan. Karena pikirnya manusia yang sudah mati tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. “Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi?” (Ayub 14:14a) Bukankah begitu banyak orang juga berpikir seperti Ayub? Lebih jauh dari itu mengambil jalan pintas. Apakah jalan ini menyelesaikan persoalan? Jelas tidak! Jalan pintas akan meninggalkan jejak betapa rentannya dan kita menyerah kalah pada kenyataan hidup! Namun, lihatlah ketika kita bisa mengatasi kesedihan, kekecewaan, penderitaan bahkan penganiayaan bukankah itu berarti kita sedang menabur benih kehidupan. Kelak anak cucu kita akan belajar tentang apa itu ketegaran, pengharapan dan iman. Untunglah Ayub tidak berhenti di situ. Ia meneruskan ayat 14 ini dengan, “Maka aku akan menaruh harap selama hari-hari pergumulanku, sampai tiba giliranku.” Ia menyadari bahwa kematian badani tidak dapat ditolak oleh siapa pun. Namun, kematian harapan dan semangat mestinya tidak terjadi bagi orang beriman.

Kegelisahan para murid akan kematian Sang Guru merupakan sebuah proses yang nantinya akan menemukan bahwa harapan mereka tidaklah sia-sia. Hanya bebrapa jam kegalauan menguasai mereka. Namun kemudian Tuhan menjawab dengan menampakkan diri kepada mereka. Ia tidak mati! Jadi, ketika kita dilanda dukacita mendalam, janganlah putus asa dan kehilangan arah. Benar kematian tubuh akan menghampiri semua makhluk hidup. Namun mestinya semangat, pengharapan dan iman itu mestinya terus membara. Lihatlah, para murid di kemudian hari mereka meneruskan karya atau pekerjaan Yesus sampai ke ujung-ujung bumi. Kristus tidak pernah mati, ajaran, teladan dan segenap hidup-Nya menjadi ispirasi bagi begitu banyak orang di sepanjang masa dan di segala tempat! Oleh karena itu, jangan menyerah: boleh saja kematian merenggut tubuh kita, namun pengharapan, iman dan semangat kita tidak boleh mati, ia harus terus membara menginspirasi anak, cucu dan keturunan kita. Kematian bukanlah akhir dari segalanya!