Sabtu Sunyi 2016
“Kematian bukan akhir segalanya,” betulkah? Kalimat ini barangkali
pernah atau beberapa kali kita dengar, khususnya pada saat kerabat atau kita
mengalami kedukaan. Banyak kata-kata penghiburan baik yang bersifat obituari
(mengenang segala kebaikan mediang) atau kutipan-kutipan ayat kitab suci.
Kalimat penghiburan memang dibutuhkan agar kita tidak larut dalam perasaan
dukacita. Namun, ketika kedukaan itu menimpa kita; orang yang begitu dekat dan
sangat berpengaruh dalam hidup kita tiba-tiba meninggal. Rasanya sulit untuk
mengaminkan “kematian bukan akhir dari segalanya”! Betapa tidak, sebab pada
saat itu, terputuslah segala bentuk komunikasi. Kita tidak bisa lagi bertegur
sapa, mengungkapkan rasa sayang, meminta perhatiannya, bersenda-gurau, pendek
kata dia sudah pergi, sudah tiada!
Tidak jarang pengalaman ditinggalkan orang yang begitu dicintai menimbulkan
trauma, penolakan akan sebuah kenyataan, kehilangan, kesedihan yang panjang dan
dukacita mendalam.
Perasaan para murid
tidaklah jauh
berbeda dengan semua orang yang kehilangan orang yang dikasihinya. Apalagi mereka melihat
dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Yesus yang mereka cintai mengalami penderitaan berat, begitu buruk
rupanya, luka-luka yang menganga
bekas cambuk, lubang-lubang di tubuh bekas paku dan tusukan tombak dan kemudian mati di tiang salib itu. Kini, jasad itu diturunkan, dibalutkan kain kapan
lalu dikuburkan. Bagi para murid
tentu saja kematian jasad seperti ini begitu memilukan.
Namun, tampaknya semua itu belum memuaskan orang-orang yang membenci-Nya.
Mereka masih meminta kepada Pilatus agar kubur Yesus dijaga oleh tentara selama
tiga hari(Matius 27:62-66). Mengapa? Mereka takut kalau para murid itu bikin
berita sensasi; mencuri mayat Yesus lalu menyebarkan berita bohong bahwa Yesus
bangkit dengan bukti kubur telah kosong. Tentu ada alasan mengapa para pemimpin Yahudi itu ngotot meminta kubur Yesus
dijaga. Mereka mengingat ketika sebelum Yesus mati, Ia pernah mengatakan bahwa
setelah tiga hari kematiannya, Ia akan bangkit (Matius 16:21). Pilatus menjawabnya permintaan
mereka dengan memberi penjaga-penjaga untuk menjaga kubur
Yesus itu. Dari permintaan para
pemimpin Yahudi ini, sebenarnya kita mendapat gambaran; meskipun mereka tidak
mengakui kemesiasan Yesus dan anjaran-Nya selalu ditentang, namun dalam hati
mereka masih percaya – jangan-jangan ucapan Yesus ini benar – sebab kalau
mereka sama sekali tidak percaya, buat apa kubur Yesus harus dijaga? Bukankah
mereka sendiri telah membunuh Yesus sekaligus meyakinkannya dengan menusuk
lambung Yesus (Yoh. 19:34)
Tentu para murid sangat terpukul. Bisa saja mereka
putus asa dan menyelamatkan diri masing-masing. Ini terbukti, tak satupun murid
terdekat Yesus yang hadir dalam pemakaman-Nya kecuali para perempuan : Maria
Magdalena dan Maria yang begitu rupa larut dalam duka nestapa. Dalam situasi
kesedihan mendalam seseorang mudah hilang kendali, prustasi dan kehilangan
pegangan. Jalan pintas biasanya dipilih; menyakiti diri sendiri atau orang lain
lalu kemudian menyalahkan Tuhan.
Ayub dalam menghadapi penderitaan berat pernah berpikir
jalan kematian adalah jalan terbaik untuk mengakhiri penderitaan. Karena pikirnya
manusia yang sudah mati tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. “Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi?”
(Ayub 14:14a) Bukankah begitu banyak orang juga berpikir seperti Ayub? Lebih
jauh dari itu mengambil jalan pintas. Apakah jalan ini menyelesaikan persoalan?
Jelas tidak! Jalan pintas akan meninggalkan jejak betapa rentannya dan kita
menyerah kalah pada kenyataan hidup! Namun, lihatlah ketika kita bisa mengatasi
kesedihan, kekecewaan, penderitaan bahkan penganiayaan bukankah itu berarti kita
sedang menabur benih kehidupan. Kelak anak cucu kita akan belajar tentang apa
itu ketegaran, pengharapan dan iman. Untunglah Ayub tidak berhenti di situ. Ia
meneruskan ayat 14 ini dengan, “Maka aku
akan menaruh harap selama hari-hari pergumulanku, sampai tiba giliranku.”
Ia menyadari bahwa kematian badani tidak dapat ditolak oleh siapa pun. Namun,
kematian harapan dan semangat mestinya tidak terjadi bagi orang beriman.
Kegelisahan para murid akan kematian Sang Guru merupakan sebuah proses
yang nantinya akan menemukan bahwa harapan mereka tidaklah sia-sia. Hanya
bebrapa jam kegalauan menguasai mereka. Namun kemudian Tuhan menjawab dengan
menampakkan diri kepada mereka. Ia tidak mati! Jadi, ketika kita dilanda
dukacita mendalam, janganlah putus asa dan kehilangan arah. Benar kematian
tubuh akan menghampiri semua makhluk hidup. Namun mestinya semangat,
pengharapan dan iman itu mestinya terus membara. Lihatlah, para murid di
kemudian hari mereka meneruskan karya atau pekerjaan Yesus sampai ke
ujung-ujung bumi. Kristus tidak pernah mati, ajaran, teladan dan segenap
hidup-Nya menjadi ispirasi bagi begitu banyak orang di sepanjang masa dan di
segala tempat! Oleh karena itu, jangan menyerah: boleh saja kematian merenggut
tubuh kita, namun pengharapan, iman dan semangat kita tidak boleh mati, ia
harus terus membara menginspirasi anak, cucu dan keturunan kita. Kematian
bukanlah akhir dari segalanya!