Sabtu, 05 Maret 2016

JALAN BARU DALAM PERTOBATAN

Sebuah kelajiman menjelang pemilihan umum pemimpin daerah maupun pimpinan nasional selalu saja ada fenomena menggelitik. Anomali banyak kita saksikan di mana-mana. Mendadak para calon yang mengikuti kompetisi itu menebar popularitas. Yang terbiasa naik Mercedes, Alphard, Pajero, atau Lamborgini, sementara diparkir dulu. Kini, rela naik bajaj, delman, go-jek, atau odong-odong menuju kantor KPU. Yang biasa nongkrong di kafe-kafe mewah dan hotel bintang lima kini rela berbaur  di tenda-tenda kaki lima, mentraktir buruh dan kuli panggul sambil menebar janji dan harapan meski senyum dan body language-nya terasa tidak wajar atau otentik. Yang biasa belanja di mall-mall mewah dalam dan luar negeri, kini ngedadak memborong dagangan kaki lima, entah belanjaannya dipakai, disimpan digudang atau dibagi-bagikan kepada para penggembira. Semua seolah tahu sama tahu: sedang cari dukungan! Ya, di sinilah fungsi rakyat miskin. Mereka berguna hanya lima tahun sekali, ketika suara mereka sangat dibutuhkan untuk pemenangan pemilu. Setelah usai pesta, seperti biasa mereka adalah sasaran empuk bagi yang kuat dan berkuasa!

Bukan hanya di ranah politik orang miskin diperalat. Dalam kaitan dengan lembaga-lembaga sosial pun kemiskinan selalu menjadi jualan eksotik. Tidak sedikit lembaga-lembaga swadaya masyarakat membuat proyek-proyek yang terkesan berpihak dan memerjuangkan hak-hak orang miskin dan di belakangnya justeru dengan cara itulah mereka menjual kemiskinan. Mereka menjadi orang-orang dengan bayaran murah untuk aksi-aksi demo. Tidak hanya berhenti pada tataran lembaga sosial, lembaga keagamaan pun yang katanya suci, tidak bebas dari pemanfaatan orang miskin. Banyak model-model pencarian dana berkedok amal yang sebenarnya adalah trik untuk mencari uang bagi para pegiatnya.

Menjual kemiskinan untuk kepentingan sendiri rupanya ada juga di sekitar murid Yesus. Adalah Yudas Iskaryot protes terhadap aksi Maria yang mengurapi Yesus dengan setengah kati minyak narwastu murni seharga tiga ratus dinar. Yudas mengatakan, “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?” (Yoh.12:5). Kedengarannya sangat baik dan indah. Bukankah motivasi ini adalah motivasi luhur, memerhatikan orang miskin! Niat orang membantu sesamanya yang miskin saya kira bukan dosa. Tuhan pun begitu banyak mengajarkan agar setiap orang yang punya berbagi dengan sesamanya yang tidak punya. Sayangnya, niat Yudas tidak tulus. Motivasinya tidak murni membantu orang miskin. Penulis Yohanes mengungkapkan niat sebenarnya dari seorang Yudas. “Hal itu dikatakannya bukan karena ia memerhatikan nasiborang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya.” (Yoh.13:6). Ternyata, seorang pencuri akan menghalalkan apa pun untuk mendapatkan uang, termasuk “menjual” kemiskinan. Yudas mencuri oleh karena ia ingin memenuhi nafsu kedagingannya.

Yudas dicobai dengan uang. Itulah dunia yang paling dekat dengan dirinya. Ia dipercaya sebagai bendahara namun ia gagal dalam mengemban tanggungjawab. Ia membiarkan dirinya dikuasai oleh keserakahan, bukan saja orang miskin yang ia jual, Tuhan dan gurunya pun rela ia jual! Berhati-hatilah, kita dicobai bukan dengan hal-hal yang jauh dari kita. Ia ada bahkan melekat dengan diri kita.

Sebegitu kuatnyakah faktor penggoda itu? Dalam kasus Yudas Iskaryot, kita dapat meminjam hasil penelitian para ahli syaraf baru-baru ini. Para ahli syaraf memindai otak orang-orang "religius". Mereka diminta mengingat dan mengalami kembali saat-saat di mana mereka begitu dekat dengan Tuhan, baik dalam doa, ibadah atau meditasi. Orang-orang ini lalu diberi gelas, aroma dupa, ikon gambar-gambar lerigius. Area spesifik dalam otak "caudate nucleus" terlihat merespons ketika mereka merasa terhubung dengan yang Ilahi. Caudate nucleus bukanlah titik Allah, melainkan bagian otak yang aktif ketika kita terhubung dengan Yang Ilahi.
Penelitian dilanjutkan, para ahli neurologi ini memindai dan menganalisa kelompok lain. Kali ini dengan menggunakan benda-benda materi. Ketika orang-orang yang sedang diteliti itu disodorkan merek-merek ternama, seperti iPod, Harley-Davidson, Ferrari, dan lain-lain. Hasil pemindaian menunjukkan, ternyata bagian otak yang merespon dan mengalami sensasi, sama: "caudate nucleus".
Kenyataan itu membuat Martin Lindstrom menyimpulkan : Tidak ada perbedaan yang dapat dikenali antara cara orang merespons merek ternama dengan mereka yang merspons ikon, figur religius bahkan ketika mereka merasa terhubung dengan yang Ilahi. Pantaslah, Yesus mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan kekuatan dan daya tarik materi (mamon) karena dapat menempati "caudate nucleus" yang sama. Mamon dapat mengambil tempat Yang Ilahi, waspadalah!
Jika demikian apa yang harus kita lakukan? Mencuri, menjual orang miskin dan menjual Sang Guru adalah tindakan lahiriah. Kita pun dapat melakukan pelbagai tindakan kejahatan. Namun, akar kejahatan itu ada jauh di hati dan pikiran kita. Tidak ada cara lain yang paling ampuh untuk menghindarinya kecuali melakukan pertobatan. Pertobatan yang sesungguhnya, yakni mengarahkan hati dan diri kita hanya kepada Tuhan dalam bahasa ahli syaraf, “membuka lebar-lebar caudate nucleus untuk Tuhan, fokuskan kepada-Nya, nikmati dan alami hubungan yang intim dengan-Nya, dengan demikian akan semakin kecillah kemungkinan materi atau uang menguasai diri kita.”
Mungkinkah itu terjadi? Kenapa tidak! Paulus berhasil melakukannya. Benar, bukan uang yang menjadi godaan Paulus. Melainkan kebanggaan diri lahiriah akan keyakinan, jatidiri dan intelektualitasnya. Pertobatan itu menghasilkan pernyataan, “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus, Tuhanku, lebih mulia daripada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.” (Filipi 3:7-8).

Jalan baru dalam pertobatan tidak menjadi sulit bagi orang yang telah berhasil mengalami perjumpaan dengan Kristus. Segala sesuatu, bahkan yang paling berharga sekalipun tidak sulit untuk dilepaskan. Maka dalam pemahaman seperti inilah kita bisa mengerti mengapa Maria dapat mencurahkan minyak narwastu murni (yang untuk memerolehnya harus bekerja selama setahun penuh) mencurahkannya pada kaki Yesus lalu menyeka dengan rambutnya sendiri. Uang, harta dan kehormatannya di depan umum rasanya tidak sebanding dengan cita kasih Yesus yang dialaminya. Sebaliknya, hal ironis justeru diperlihatkan Yudas Iskaryot. 

Sekarang apa yang menjadi kebanggaan, keinginan dan impian terbesar dari hidup kita? Apakah kita sekarang sedang berusaha keras mendapatkannya? Ataukah kalau hal itu sudah ada dalam genggaman kita, kita sulit melepaskannya? Berhati-hatilah, jangan-jangan kita belum mendapatkan dan mengalami cinta-Nya yang begitu agung!

Rabu, 02 Maret 2016

SALING MENGAMPUNI DALAM KERAHIMAN ALLAH

Aksi sadis yang dilakukan oleh seorang oknum anggota kepolisian di Melawi, Kalimantan Barat, Jumat dini hari (26/2) menambah panjang kasus kekerasan yang berujung dengan kematian. Sang Brigadir Polisi ini dengan teganya memutilasi dua orang buah hatinya ketika mereka tidur. Entah apa pun alasan di balik pembantaian itu. Menurut ukuran akal sehat, tindakan itu adalah perbuatan biadab! Bayangkan anak-anak yang sedang lucu-lucunya dibantai dan dipotong-potong. Mestinya, sebagai orang tua, tugas utama adalah memelihara, merawat, menyayangi, melindungi, mendidik dan mengajarkan nilai-nilai cinta kasih dan kebenaran. Kenyataan kekerasan terhadap anak yang terus bertambah dengan tindakan-tindakan yang semakin keji dan tidak berprikemanusiaan menjadi tantangan bagi siapa pun orang tua untuk menghadirkan cinta kasih cerminan kasih Allah kepada umat-Nya.

Orang tua seharusnya menjadi sosok utama dan pertama dalam memberi gambaran tentang cinta kasih itu. Alkitab begitu banyak menggambarkan hubungan Allah dan umat-Nya ibarat orang tua terhadap anak-anaknya. Bapa, demikian sering disebut karena budaya mereka yang patriakal (mestinya dalam tema “kerahiman Allah” mungkin lebih tepat peran sang ibu. Mengapa? Oleh karena ibulah yang empunya rahim). Bapa dalam tradisi Yahudi memegang peran utama dalam keluarga, dari padanyalah nak-anak mengenal dan diajarkan tentang siapa Allah dan siapa jati diri mereka serta iman yang harus mereka terima.

Dalam perumpamaan tentang “anak yang hilang” (Lukas 15:11-32), Yesus menggunakan figur bapa yang penuh kasih dan pengampunan terhadap kedua anaknya; si sulung dan si bungsu. Pada kenyataannya, kedua anak sang bapa ini tidak memahami kasih sayang bapa mereka. Si sulung, merasa tidak memiliki apa-apa yang dipunyai bapanya. Ia melakukan segala sesuatu sebagai sebuah kewajiban. Ini terbukti ketika ia menjadi marah lantaran sang bapa menerima kembali si bungsu bahkan dengan acara berlebihan. Si sulung seolah berkata, “saya ini selalu setia melayani bapa (bagaikan seorang budak terhadap tuannya) dan tidak pernah saya melanggar perintah bapa, ini menunjukkan bahwa hubungan dengan bapanya berdasarkan ketaatan kepada perintah dan larangan dari bapanya, bukan karena ia merasakan cinta kasih bapanya dan membalasnya dengan cinta yang setimpal.” Sebaliknya, si bungsu enggan berada bersama dengan bapanya, maka ia memilih untuk pergi dari rumah bapanya, berkelana memuaskan hasrat hatinya.

Pesan kuat dari perumpamaan tentang anak yang hilang bila dihubungkan dengan konteks di mana perumpamaan ini disampaikan Yesus, yakni terhadap orang-orang Farisi yang merasa keberatan ketika Yesus bercengkerama dengan para pemungut cukai dan orang berdosa (Lukas 15:1) adalah tentang kasih, kemurahan dan pengampunan yang di berikan Sang Bapa bagi siapa pun yang kembali kepada-Nya.

Suatu ketika si bungsu meminta bagian warisannya. Tidak diceritakan bahwa ia membenci bapanya atau bosan menyesuaikan diri dengan aturan-aturan di rumahnya. Namun, yang terjadi dengannya kemudian bahwa ia hidup berfoya-foya dan akibatnya habislah seluruh harta yang ada padanya. Ia bangkrut dan untuk bertahan hidup ia harus bekerja di peternakan babi. Tidak hanya itu, ia berjuang melawan lapar dengan berusaha memakan makanan babi! Ada sisi baik dari si bungsu ini. Kesengsaraan yang dialaminya tidak membuatnya putus asa. Pada saat itulah ia teringat kepada rumah bapanya, dan yang terutama kepada figure sang bapa. Pada waktu itulah timbul kesadarannya untuk kembali kepada bapanya. Kini, ia insaf bahwa dirinya telah hidup bertentangan dengan kehndak Allah (“berdosa terhadap sorga”). Ia pun menyadari telah merusak hubungan yang baik dengan bapanya sehingga ia menyadari telah kehilangan kedudukannya sebagai seorang anak.

Kesadaran ini membuatnya berani untuk kembali kepada bapanya. Karena kesalahnnya yang besar dan fatal itu, ia tidak berharap untuk dapat diakui lagi menjadi anak bapanya. Harapanya sederhana saja: ia ingin menjadi seorang “upahan”. Kedudukan seorang upahan lebih rendah dari pada seorang budak. Budak, sedikit banyak menjadi bagian dari keluarga itu (bandingkan pada masa kini karyawan dengan pekerja outsourcing). Tekadnya itu segera membuahkan tindakan. Apa pun yang terjadi nantinya, ia bertekad untuk pulang kembali ke rumah bapanya.

Apa yang terjadi menjelang sampai ke rumah bapanya itu? Ternyata gambaran selama ini tentang sang bapa meleset dari yang dipikirkannya. Cinta kasih bapanya itu jauh lebih besar dari apa yang dibayangkan dan harapannya hanya untuk menjadi tenaga upahan terlalu kecil. Sebab, sang bapa sudah lama menantikannya dan sekarang sedang berdiri hendak menyambutnya. Walaupun begitu hebat perubahan yang terjadi pada diri si bungsu ini – mungkin saja badannya sudah kurus kering, wajahnya terlihat lebih tua dari umurnya dan dibalut dengan pakaian compang-camping. Namun, sang bapa sudah mengenalinya dari kejauhan bahwa yang datang pulang itu adalah anaknya. Terharu karena belas kasihan, ia tergopoh-gopoh berlari mendapatkan anaknya itu. Ia membuka tangan lebar-lebar, memeluk dan menciumnya sebagai tanda penerimaan dan pengampunan. Ini dilakukannya sebelum si bungsu itu mengatakan sepatah kata pun!

Kini, setelah ada kesempatan bicara, si bungsu mengaku dosanya dan ia menyatakan bahwa dirinya tidak lagi layak dipandang sebagai anak. Ia memintanya untuk disamakan dengan seorang upahan. Namun, bapanya menolak! Dengan tegas sang bapa menyatakan kepada para hambanya, bahwa ia akan menyambut si bungsu itu sebagai anaknya yang telah kembali. Bahkan akan memulihkan kehormatannya sebagaimana dihormatinya seorang tamu agung. Ia akan mengenakan jubah tanda kehormatan, cincin sebagai tanda kedudukan, sepatu menunjukkan bahwa si bungsu adalah orang merdeka, bukan seorang budak. Bahkan saking gembiranya, sang bapa memerintahkan kepada para hambanya untuk mengadakan sebuah pesta. Semuanya ini terjadi karena sang bapa telah mendapatkan kembali anaknya yang hilang. Soalah anaknya itu telah mati dan kini hidup kembali.

Ternyata kegembiraan sang bapa justeru menjadi kehancuran bagi si sulung. Ia merasa bapanya berlebihan dalam menyambut si bungsu. Menurutnya, si bungsu seharusnya tidak kembali dan mati dalam kebinasaan bersama dengan hidupnya yang amuradul. Ia merasa diri lebih baik berada di rumah bapanya dengan melakukan semua yang diinginkan dari bapanya. Ternyata, si sulung gagal memahami cinta kasih bapa baik bagi dirinya sendiri maupun bagi adiknya.

Perumpamaan ini pertama-tama ditujukan kepada orang-orang seperti anak sulung itu, yakni mereka yang menjadi marah oleh karena mendengar Injil tentang kasih karunia Allah terhadap orang berdosa. Oleh karena Yesus memberi tempat terhadap para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Sebab mereka menyangka diri mereka sebagai orabg benar karena melakukan kehendak Tuhan melalui detil hukum Taurat karena itu mereka merasa layak untuk mendapat imbalan yang semestinya.

Bagai pedang bermata dua, perumpamaan ini bisa saja menunjuk kepada kita sebagai si bungsu. Apakah kita menyadari segala dosa-dosa kita dan mau kembali kepada-Nya. Kasih Allah jauh lebih besar dan agung dari yang dapat kita pikirkan. Ia pasti menyambut kita dengan gembira. Tinggal kini keberanian kita untuk datang kepada-Nya.

Setelah mengenal cinta kasih dan pengampunan Allah, inilah Injil yang sesungguhnya itu. Mestinya yang terjadi dalam kehidupan kita adalah mengucap syukur. Sehingga melakukan apa yang dikehendaki Bapa itu bukan sebagai sebuah kewajiban yang membebani, melainkan dengan sukacita sebagai jalan membalas cinta kasih itu. Kehidupan orang yang telah merasakan cinta dan pengampunan Bapa pasti tidak akan seperti si sulung yang merasa paling benar dan paling berhak menerima kasih Allah. Kita diampuni dan didamaikan dengan Allah bukan karena kesalehan atau pekerjaan baik kita melainkan melalui Kristus dengan tidak memerhitungkan pelanggaran kita (2 Korintus 5:19). Dengan demikian, kita menjadi manusia ciptaan baru. Yang lama sudah berlalu dan yang baru sudah datang. Apa yang baru itu? Setidaknya, dapat meneruskan pengampunan kasih Allah yang rahimi itu dengan sepenuh hati dalam kehidupan kita!