Sebuah kelajiman
menjelang pemilihan umum pemimpin daerah maupun pimpinan nasional selalu saja
ada fenomena menggelitik. Anomali banyak kita saksikan di mana-mana. Mendadak
para calon yang mengikuti kompetisi itu menebar popularitas. Yang terbiasa naik
Mercedes, Alphard, Pajero, atau Lamborgini, sementara diparkir dulu.
Kini, rela naik bajaj, delman, go-jek, atau odong-odong menuju kantor KPU. Yang
biasa nongkrong di kafe-kafe mewah dan hotel bintang lima kini rela
berbaur di tenda-tenda kaki lima,
mentraktir buruh dan kuli panggul sambil menebar janji dan harapan meski senyum
dan body language-nya terasa tidak
wajar atau otentik. Yang biasa belanja di mall-mall mewah dalam dan luar
negeri, kini ngedadak memborong dagangan kaki lima, entah belanjaannya dipakai,
disimpan digudang atau dibagi-bagikan kepada para penggembira. Semua seolah
tahu sama tahu: sedang cari dukungan! Ya, di sinilah fungsi rakyat miskin.
Mereka berguna hanya lima tahun sekali, ketika suara mereka sangat dibutuhkan
untuk pemenangan pemilu. Setelah usai pesta, seperti biasa mereka adalah
sasaran empuk bagi yang kuat dan berkuasa!
Bukan hanya di
ranah politik orang miskin diperalat. Dalam kaitan dengan lembaga-lembaga
sosial pun kemiskinan selalu menjadi jualan eksotik. Tidak sedikit
lembaga-lembaga swadaya masyarakat membuat proyek-proyek yang terkesan berpihak
dan memerjuangkan hak-hak orang miskin dan di belakangnya justeru dengan cara
itulah mereka menjual kemiskinan. Mereka menjadi orang-orang dengan bayaran
murah untuk aksi-aksi demo. Tidak hanya berhenti pada tataran lembaga sosial,
lembaga keagamaan pun yang katanya suci, tidak bebas dari pemanfaatan orang
miskin. Banyak model-model pencarian dana berkedok amal yang sebenarnya adalah
trik untuk mencari uang bagi para pegiatnya.
Menjual
kemiskinan untuk kepentingan sendiri rupanya ada juga di sekitar murid Yesus.
Adalah Yudas Iskaryot protes terhadap aksi Maria yang mengurapi Yesus dengan
setengah kati minyak narwastu murni seharga tiga ratus dinar. Yudas mengatakan,
“Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual
tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?”
(Yoh.12:5). Kedengarannya sangat baik dan indah. Bukankah motivasi ini adalah
motivasi luhur, memerhatikan orang miskin! Niat orang membantu sesamanya yang
miskin saya kira bukan dosa. Tuhan pun begitu banyak mengajarkan agar setiap
orang yang punya berbagi dengan sesamanya yang tidak punya. Sayangnya, niat
Yudas tidak tulus. Motivasinya tidak murni membantu orang miskin. Penulis
Yohanes mengungkapkan niat sebenarnya dari seorang Yudas. “Hal itu dikatakannya bukan karena ia memerhatikan nasiborang-orang
miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang
yang disimpan dalam kas yang dipegangnya.” (Yoh.13:6). Ternyata, seorang
pencuri akan menghalalkan apa pun untuk mendapatkan uang, termasuk “menjual”
kemiskinan. Yudas mencuri oleh karena ia ingin memenuhi nafsu kedagingannya.
Yudas dicobai
dengan uang. Itulah dunia yang paling dekat dengan dirinya. Ia dipercaya
sebagai bendahara namun ia gagal dalam mengemban tanggungjawab. Ia membiarkan
dirinya dikuasai oleh keserakahan, bukan saja orang miskin yang ia jual, Tuhan
dan gurunya pun rela ia jual! Berhati-hatilah, kita dicobai bukan dengan hal-hal
yang jauh dari kita. Ia ada bahkan melekat dengan diri kita.
Sebegitu kuatnyakah faktor penggoda itu? Dalam
kasus Yudas Iskaryot, kita dapat meminjam hasil penelitian para ahli syaraf
baru-baru ini. Para ahli syaraf memindai
otak orang-orang "religius". Mereka diminta mengingat dan mengalami
kembali saat-saat di mana mereka begitu dekat dengan Tuhan, baik dalam doa,
ibadah atau meditasi. Orang-orang ini lalu diberi gelas, aroma dupa, ikon
gambar-gambar lerigius. Area spesifik dalam otak "caudate nucleus" terlihat merespons ketika mereka merasa
terhubung dengan yang Ilahi. Caudate nucleus bukanlah titik Allah, melainkan
bagian otak yang aktif ketika kita terhubung dengan Yang Ilahi.
Penelitian dilanjutkan,
para ahli neurologi ini memindai dan menganalisa kelompok lain. Kali ini dengan
menggunakan benda-benda materi. Ketika orang-orang yang sedang diteliti itu
disodorkan merek-merek ternama, seperti iPod, Harley-Davidson, Ferrari, dan
lain-lain. Hasil pemindaian menunjukkan, ternyata bagian otak yang merespon dan
mengalami sensasi, sama: "caudate nucleus".
Kenyataan itu membuat
Martin Lindstrom menyimpulkan : Tidak ada perbedaan yang dapat dikenali antara
cara orang merespons merek ternama dengan mereka yang merspons ikon, figur
religius bahkan ketika mereka merasa terhubung dengan yang Ilahi. Pantaslah,
Yesus mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan kekuatan dan daya tarik
materi (mamon) karena dapat menempati "caudate nucleus" yang sama.
Mamon dapat mengambil tempat Yang Ilahi, waspadalah!
Jika demikian apa
yang harus kita lakukan? Mencuri, menjual orang miskin dan menjual Sang Guru
adalah tindakan lahiriah. Kita pun dapat melakukan pelbagai tindakan kejahatan.
Namun, akar kejahatan itu ada jauh di hati dan pikiran kita. Tidak ada cara lain
yang paling ampuh untuk menghindarinya kecuali melakukan pertobatan. Pertobatan
yang sesungguhnya, yakni mengarahkan hati dan diri kita hanya kepada Tuhan
dalam bahasa ahli syaraf, “membuka lebar-lebar caudate nucleus untuk Tuhan, fokuskan
kepada-Nya, nikmati dan alami hubungan yang intim dengan-Nya, dengan demikian
akan semakin kecillah kemungkinan materi atau uang menguasai diri kita.”
Mungkinkah itu
terjadi? Kenapa tidak! Paulus berhasil melakukannya. Benar, bukan uang yang
menjadi godaan Paulus. Melainkan kebanggaan diri lahiriah akan keyakinan,
jatidiri dan intelektualitasnya. Pertobatan itu menghasilkan pernyataan, “Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan
bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap
rugi, karena pengenalan akan Kristus, Tuhanku, lebih mulia daripada semuanya.
Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah,
supaya aku memperoleh Kristus.” (Filipi 3:7-8).
Jalan baru dalam
pertobatan tidak menjadi sulit bagi orang yang telah berhasil mengalami
perjumpaan dengan Kristus. Segala sesuatu, bahkan yang paling berharga sekalipun
tidak sulit untuk dilepaskan. Maka dalam pemahaman seperti inilah kita bisa
mengerti mengapa Maria dapat mencurahkan minyak narwastu murni (yang untuk
memerolehnya harus bekerja selama setahun penuh) mencurahkannya pada kaki Yesus
lalu menyeka dengan rambutnya sendiri. Uang, harta dan kehormatannya di depan
umum rasanya tidak sebanding dengan cita kasih Yesus yang dialaminya.
Sebaliknya, hal ironis justeru diperlihatkan Yudas Iskaryot.
Sekarang
apa yang menjadi kebanggaan, keinginan dan impian terbesar dari hidup kita?
Apakah kita sekarang sedang berusaha keras mendapatkannya? Ataukah kalau hal
itu sudah ada dalam genggaman kita, kita sulit melepaskannya? Berhati-hatilah,
jangan-jangan kita belum mendapatkan dan mengalami cinta-Nya yang begitu agung!