Aksi sadis yang
dilakukan oleh seorang oknum anggota kepolisian di Melawi, Kalimantan Barat,
Jumat dini hari (26/2) menambah panjang kasus kekerasan yang berujung dengan
kematian. Sang Brigadir Polisi ini dengan teganya memutilasi dua orang buah
hatinya ketika mereka tidur. Entah apa pun alasan di balik pembantaian itu.
Menurut ukuran akal sehat, tindakan itu adalah perbuatan biadab! Bayangkan
anak-anak yang sedang lucu-lucunya dibantai dan dipotong-potong. Mestinya,
sebagai orang tua, tugas utama adalah memelihara, merawat, menyayangi, melindungi,
mendidik dan mengajarkan nilai-nilai cinta kasih dan kebenaran. Kenyataan
kekerasan terhadap anak yang terus bertambah dengan tindakan-tindakan yang
semakin keji dan tidak berprikemanusiaan menjadi tantangan bagi siapa pun orang
tua untuk menghadirkan cinta kasih cerminan kasih Allah kepada umat-Nya.
Orang tua seharusnya
menjadi sosok utama dan pertama dalam memberi gambaran tentang cinta kasih itu.
Alkitab begitu banyak menggambarkan hubungan Allah dan umat-Nya ibarat orang
tua terhadap anak-anaknya. Bapa, demikian sering disebut karena budaya mereka
yang patriakal (mestinya dalam tema “kerahiman Allah” mungkin lebih tepat peran
sang ibu. Mengapa? Oleh karena ibulah yang empunya rahim). Bapa dalam tradisi
Yahudi memegang peran utama dalam keluarga, dari padanyalah nak-anak mengenal
dan diajarkan tentang siapa Allah dan siapa jati diri mereka serta iman yang
harus mereka terima.
Dalam
perumpamaan tentang “anak yang hilang” (Lukas 15:11-32), Yesus menggunakan figur
bapa yang penuh kasih dan pengampunan terhadap kedua anaknya; si sulung dan si
bungsu. Pada kenyataannya, kedua anak sang bapa ini tidak memahami kasih sayang
bapa mereka. Si sulung, merasa tidak memiliki apa-apa yang dipunyai bapanya. Ia
melakukan segala sesuatu sebagai sebuah kewajiban. Ini terbukti ketika ia
menjadi marah lantaran sang bapa menerima kembali si bungsu bahkan dengan acara
berlebihan. Si sulung seolah berkata, “saya ini selalu setia melayani bapa
(bagaikan seorang budak terhadap tuannya) dan tidak pernah saya melanggar
perintah bapa, ini menunjukkan bahwa hubungan dengan bapanya berdasarkan
ketaatan kepada perintah dan larangan dari bapanya, bukan karena ia merasakan
cinta kasih bapanya dan membalasnya dengan cinta yang setimpal.” Sebaliknya, si
bungsu enggan berada bersama dengan bapanya, maka ia memilih untuk pergi dari
rumah bapanya, berkelana memuaskan hasrat hatinya.
Pesan kuat dari
perumpamaan tentang anak yang hilang bila dihubungkan dengan konteks di mana
perumpamaan ini disampaikan Yesus, yakni terhadap orang-orang Farisi yang
merasa keberatan ketika Yesus bercengkerama dengan para pemungut cukai dan
orang berdosa (Lukas 15:1) adalah tentang kasih, kemurahan dan pengampunan yang
di berikan Sang Bapa bagi siapa pun yang kembali kepada-Nya.
Suatu ketika si
bungsu meminta bagian warisannya. Tidak diceritakan bahwa ia membenci bapanya
atau bosan menyesuaikan diri dengan aturan-aturan di rumahnya. Namun, yang
terjadi dengannya kemudian bahwa ia hidup berfoya-foya dan akibatnya habislah
seluruh harta yang ada padanya. Ia bangkrut dan untuk bertahan hidup ia harus
bekerja di peternakan babi. Tidak hanya itu, ia berjuang melawan lapar dengan
berusaha memakan makanan babi! Ada sisi baik dari si bungsu ini. Kesengsaraan
yang dialaminya tidak membuatnya putus asa. Pada saat itulah ia teringat kepada
rumah bapanya, dan yang terutama kepada figure sang bapa. Pada waktu itulah
timbul kesadarannya untuk kembali kepada bapanya. Kini, ia insaf bahwa dirinya
telah hidup bertentangan dengan kehndak Allah (“berdosa terhadap sorga”). Ia pun menyadari telah merusak hubungan
yang baik dengan bapanya sehingga ia menyadari telah kehilangan kedudukannya
sebagai seorang anak.
Kesadaran ini membuatnya
berani untuk kembali kepada bapanya. Karena kesalahnnya yang besar dan fatal
itu, ia tidak berharap untuk dapat diakui lagi menjadi anak bapanya. Harapanya
sederhana saja: ia ingin menjadi seorang “upahan”. Kedudukan seorang upahan
lebih rendah dari pada seorang budak. Budak, sedikit banyak menjadi bagian dari
keluarga itu (bandingkan pada masa kini karyawan dengan pekerja outsourcing). Tekadnya itu segera
membuahkan tindakan. Apa pun yang terjadi nantinya, ia bertekad untuk pulang
kembali ke rumah bapanya.
Apa yang terjadi
menjelang sampai ke rumah bapanya itu? Ternyata gambaran selama ini tentang
sang bapa meleset dari yang dipikirkannya. Cinta kasih bapanya itu jauh lebih
besar dari apa yang dibayangkan dan harapannya hanya untuk menjadi tenaga
upahan terlalu kecil. Sebab, sang bapa sudah lama menantikannya dan sekarang
sedang berdiri hendak menyambutnya. Walaupun begitu hebat perubahan yang
terjadi pada diri si bungsu ini – mungkin saja badannya sudah kurus kering,
wajahnya terlihat lebih tua dari umurnya dan dibalut dengan pakaian
compang-camping. Namun, sang bapa sudah mengenalinya dari kejauhan bahwa yang
datang pulang itu adalah anaknya. Terharu karena belas kasihan, ia
tergopoh-gopoh berlari mendapatkan anaknya itu. Ia membuka tangan lebar-lebar,
memeluk dan menciumnya sebagai tanda penerimaan dan pengampunan. Ini
dilakukannya sebelum si bungsu itu mengatakan sepatah kata pun!
Kini, setelah
ada kesempatan bicara, si bungsu mengaku dosanya dan ia menyatakan bahwa
dirinya tidak lagi layak dipandang sebagai anak. Ia memintanya untuk disamakan
dengan seorang upahan. Namun, bapanya menolak! Dengan tegas sang bapa
menyatakan kepada para hambanya, bahwa ia akan menyambut si bungsu itu sebagai
anaknya yang telah kembali. Bahkan akan memulihkan kehormatannya sebagaimana
dihormatinya seorang tamu agung. Ia akan mengenakan jubah tanda kehormatan, cincin
sebagai tanda kedudukan, sepatu menunjukkan bahwa si bungsu adalah orang
merdeka, bukan seorang budak. Bahkan saking gembiranya, sang bapa memerintahkan
kepada para hambanya untuk mengadakan sebuah pesta. Semuanya ini terjadi karena
sang bapa telah mendapatkan kembali anaknya yang hilang. Soalah anaknya itu
telah mati dan kini hidup kembali.
Ternyata
kegembiraan sang bapa justeru menjadi kehancuran bagi si sulung. Ia merasa
bapanya berlebihan dalam menyambut si bungsu. Menurutnya, si bungsu seharusnya
tidak kembali dan mati dalam kebinasaan bersama dengan hidupnya yang amuradul. Ia merasa diri lebih baik
berada di rumah bapanya dengan melakukan semua yang diinginkan dari bapanya.
Ternyata, si sulung gagal memahami cinta kasih bapa baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi adiknya.
Perumpamaan ini
pertama-tama ditujukan kepada orang-orang seperti anak sulung itu, yakni mereka
yang menjadi marah oleh karena mendengar Injil tentang kasih karunia Allah
terhadap orang berdosa. Oleh karena Yesus memberi tempat terhadap para pemungut
cukai dan orang-orang berdosa. Sebab mereka menyangka diri mereka sebagai orabg
benar karena melakukan kehendak Tuhan melalui detil hukum Taurat karena itu
mereka merasa layak untuk mendapat imbalan yang semestinya.
Bagai pedang
bermata dua, perumpamaan ini bisa saja menunjuk kepada kita sebagai si bungsu.
Apakah kita menyadari segala dosa-dosa kita dan mau kembali kepada-Nya. Kasih
Allah jauh lebih besar dan agung dari yang dapat kita pikirkan. Ia pasti
menyambut kita dengan gembira. Tinggal kini keberanian kita untuk datang
kepada-Nya.
Setelah mengenal cinta kasih dan pengampunan Allah,
inilah Injil yang sesungguhnya itu. Mestinya yang terjadi dalam kehidupan kita
adalah mengucap syukur. Sehingga melakukan apa yang dikehendaki Bapa itu bukan
sebagai sebuah kewajiban yang membebani, melainkan dengan sukacita sebagai
jalan membalas cinta kasih itu. Kehidupan orang yang telah merasakan cinta dan
pengampunan Bapa pasti tidak akan seperti si sulung yang merasa paling benar
dan paling berhak menerima kasih Allah. Kita diampuni dan didamaikan dengan
Allah bukan karena kesalehan atau pekerjaan baik kita melainkan melalui Kristus
dengan tidak memerhitungkan pelanggaran kita (2 Korintus 5:19). Dengan
demikian, kita menjadi manusia ciptaan baru. Yang lama sudah berlalu dan yang
baru sudah datang. Apa yang baru itu? Setidaknya, dapat meneruskan pengampunan
kasih Allah yang rahimi itu dengan sepenuh hati dalam kehidupan kita!