Rabu, 02 Maret 2016

SALING MENGAMPUNI DALAM KERAHIMAN ALLAH

Aksi sadis yang dilakukan oleh seorang oknum anggota kepolisian di Melawi, Kalimantan Barat, Jumat dini hari (26/2) menambah panjang kasus kekerasan yang berujung dengan kematian. Sang Brigadir Polisi ini dengan teganya memutilasi dua orang buah hatinya ketika mereka tidur. Entah apa pun alasan di balik pembantaian itu. Menurut ukuran akal sehat, tindakan itu adalah perbuatan biadab! Bayangkan anak-anak yang sedang lucu-lucunya dibantai dan dipotong-potong. Mestinya, sebagai orang tua, tugas utama adalah memelihara, merawat, menyayangi, melindungi, mendidik dan mengajarkan nilai-nilai cinta kasih dan kebenaran. Kenyataan kekerasan terhadap anak yang terus bertambah dengan tindakan-tindakan yang semakin keji dan tidak berprikemanusiaan menjadi tantangan bagi siapa pun orang tua untuk menghadirkan cinta kasih cerminan kasih Allah kepada umat-Nya.

Orang tua seharusnya menjadi sosok utama dan pertama dalam memberi gambaran tentang cinta kasih itu. Alkitab begitu banyak menggambarkan hubungan Allah dan umat-Nya ibarat orang tua terhadap anak-anaknya. Bapa, demikian sering disebut karena budaya mereka yang patriakal (mestinya dalam tema “kerahiman Allah” mungkin lebih tepat peran sang ibu. Mengapa? Oleh karena ibulah yang empunya rahim). Bapa dalam tradisi Yahudi memegang peran utama dalam keluarga, dari padanyalah nak-anak mengenal dan diajarkan tentang siapa Allah dan siapa jati diri mereka serta iman yang harus mereka terima.

Dalam perumpamaan tentang “anak yang hilang” (Lukas 15:11-32), Yesus menggunakan figur bapa yang penuh kasih dan pengampunan terhadap kedua anaknya; si sulung dan si bungsu. Pada kenyataannya, kedua anak sang bapa ini tidak memahami kasih sayang bapa mereka. Si sulung, merasa tidak memiliki apa-apa yang dipunyai bapanya. Ia melakukan segala sesuatu sebagai sebuah kewajiban. Ini terbukti ketika ia menjadi marah lantaran sang bapa menerima kembali si bungsu bahkan dengan acara berlebihan. Si sulung seolah berkata, “saya ini selalu setia melayani bapa (bagaikan seorang budak terhadap tuannya) dan tidak pernah saya melanggar perintah bapa, ini menunjukkan bahwa hubungan dengan bapanya berdasarkan ketaatan kepada perintah dan larangan dari bapanya, bukan karena ia merasakan cinta kasih bapanya dan membalasnya dengan cinta yang setimpal.” Sebaliknya, si bungsu enggan berada bersama dengan bapanya, maka ia memilih untuk pergi dari rumah bapanya, berkelana memuaskan hasrat hatinya.

Pesan kuat dari perumpamaan tentang anak yang hilang bila dihubungkan dengan konteks di mana perumpamaan ini disampaikan Yesus, yakni terhadap orang-orang Farisi yang merasa keberatan ketika Yesus bercengkerama dengan para pemungut cukai dan orang berdosa (Lukas 15:1) adalah tentang kasih, kemurahan dan pengampunan yang di berikan Sang Bapa bagi siapa pun yang kembali kepada-Nya.

Suatu ketika si bungsu meminta bagian warisannya. Tidak diceritakan bahwa ia membenci bapanya atau bosan menyesuaikan diri dengan aturan-aturan di rumahnya. Namun, yang terjadi dengannya kemudian bahwa ia hidup berfoya-foya dan akibatnya habislah seluruh harta yang ada padanya. Ia bangkrut dan untuk bertahan hidup ia harus bekerja di peternakan babi. Tidak hanya itu, ia berjuang melawan lapar dengan berusaha memakan makanan babi! Ada sisi baik dari si bungsu ini. Kesengsaraan yang dialaminya tidak membuatnya putus asa. Pada saat itulah ia teringat kepada rumah bapanya, dan yang terutama kepada figure sang bapa. Pada waktu itulah timbul kesadarannya untuk kembali kepada bapanya. Kini, ia insaf bahwa dirinya telah hidup bertentangan dengan kehndak Allah (“berdosa terhadap sorga”). Ia pun menyadari telah merusak hubungan yang baik dengan bapanya sehingga ia menyadari telah kehilangan kedudukannya sebagai seorang anak.

Kesadaran ini membuatnya berani untuk kembali kepada bapanya. Karena kesalahnnya yang besar dan fatal itu, ia tidak berharap untuk dapat diakui lagi menjadi anak bapanya. Harapanya sederhana saja: ia ingin menjadi seorang “upahan”. Kedudukan seorang upahan lebih rendah dari pada seorang budak. Budak, sedikit banyak menjadi bagian dari keluarga itu (bandingkan pada masa kini karyawan dengan pekerja outsourcing). Tekadnya itu segera membuahkan tindakan. Apa pun yang terjadi nantinya, ia bertekad untuk pulang kembali ke rumah bapanya.

Apa yang terjadi menjelang sampai ke rumah bapanya itu? Ternyata gambaran selama ini tentang sang bapa meleset dari yang dipikirkannya. Cinta kasih bapanya itu jauh lebih besar dari apa yang dibayangkan dan harapannya hanya untuk menjadi tenaga upahan terlalu kecil. Sebab, sang bapa sudah lama menantikannya dan sekarang sedang berdiri hendak menyambutnya. Walaupun begitu hebat perubahan yang terjadi pada diri si bungsu ini – mungkin saja badannya sudah kurus kering, wajahnya terlihat lebih tua dari umurnya dan dibalut dengan pakaian compang-camping. Namun, sang bapa sudah mengenalinya dari kejauhan bahwa yang datang pulang itu adalah anaknya. Terharu karena belas kasihan, ia tergopoh-gopoh berlari mendapatkan anaknya itu. Ia membuka tangan lebar-lebar, memeluk dan menciumnya sebagai tanda penerimaan dan pengampunan. Ini dilakukannya sebelum si bungsu itu mengatakan sepatah kata pun!

Kini, setelah ada kesempatan bicara, si bungsu mengaku dosanya dan ia menyatakan bahwa dirinya tidak lagi layak dipandang sebagai anak. Ia memintanya untuk disamakan dengan seorang upahan. Namun, bapanya menolak! Dengan tegas sang bapa menyatakan kepada para hambanya, bahwa ia akan menyambut si bungsu itu sebagai anaknya yang telah kembali. Bahkan akan memulihkan kehormatannya sebagaimana dihormatinya seorang tamu agung. Ia akan mengenakan jubah tanda kehormatan, cincin sebagai tanda kedudukan, sepatu menunjukkan bahwa si bungsu adalah orang merdeka, bukan seorang budak. Bahkan saking gembiranya, sang bapa memerintahkan kepada para hambanya untuk mengadakan sebuah pesta. Semuanya ini terjadi karena sang bapa telah mendapatkan kembali anaknya yang hilang. Soalah anaknya itu telah mati dan kini hidup kembali.

Ternyata kegembiraan sang bapa justeru menjadi kehancuran bagi si sulung. Ia merasa bapanya berlebihan dalam menyambut si bungsu. Menurutnya, si bungsu seharusnya tidak kembali dan mati dalam kebinasaan bersama dengan hidupnya yang amuradul. Ia merasa diri lebih baik berada di rumah bapanya dengan melakukan semua yang diinginkan dari bapanya. Ternyata, si sulung gagal memahami cinta kasih bapa baik bagi dirinya sendiri maupun bagi adiknya.

Perumpamaan ini pertama-tama ditujukan kepada orang-orang seperti anak sulung itu, yakni mereka yang menjadi marah oleh karena mendengar Injil tentang kasih karunia Allah terhadap orang berdosa. Oleh karena Yesus memberi tempat terhadap para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Sebab mereka menyangka diri mereka sebagai orabg benar karena melakukan kehendak Tuhan melalui detil hukum Taurat karena itu mereka merasa layak untuk mendapat imbalan yang semestinya.

Bagai pedang bermata dua, perumpamaan ini bisa saja menunjuk kepada kita sebagai si bungsu. Apakah kita menyadari segala dosa-dosa kita dan mau kembali kepada-Nya. Kasih Allah jauh lebih besar dan agung dari yang dapat kita pikirkan. Ia pasti menyambut kita dengan gembira. Tinggal kini keberanian kita untuk datang kepada-Nya.

Setelah mengenal cinta kasih dan pengampunan Allah, inilah Injil yang sesungguhnya itu. Mestinya yang terjadi dalam kehidupan kita adalah mengucap syukur. Sehingga melakukan apa yang dikehendaki Bapa itu bukan sebagai sebuah kewajiban yang membebani, melainkan dengan sukacita sebagai jalan membalas cinta kasih itu. Kehidupan orang yang telah merasakan cinta dan pengampunan Bapa pasti tidak akan seperti si sulung yang merasa paling benar dan paling berhak menerima kasih Allah. Kita diampuni dan didamaikan dengan Allah bukan karena kesalehan atau pekerjaan baik kita melainkan melalui Kristus dengan tidak memerhitungkan pelanggaran kita (2 Korintus 5:19). Dengan demikian, kita menjadi manusia ciptaan baru. Yang lama sudah berlalu dan yang baru sudah datang. Apa yang baru itu? Setidaknya, dapat meneruskan pengampunan kasih Allah yang rahimi itu dengan sepenuh hati dalam kehidupan kita!

Kamis, 25 Februari 2016

BERBUAT, TAK SEKADAR BERTOBAT

Telah lama manusia menghubungkan peristiwa kemalangan atau tragedi dengan dosa. Setidaknya kita bisa mengingat musibah dan kemalangan yang dialami Ayub. Sahabat-sahabatnya menuduh bahwa Ayub telah melakukan pelanggaran serius. Elifas pernah berkata kepada Ayub, “Siapa binasa dengan tidak bersalah?” (Ayub 4:7). Benarkah penderitaan itu adalah hukuman yang harus diterima oleh manusia berdosa? Bisa jadi! Peristiwa Adam dan Hawa yang diusir dari taman Eden membenarkan pernyataan ini. Sejak mereka melakukan pelanggaran, kehidupan mereka menjadi jauh dari damai sejahtera. Kemudian kita banyak belajar dari sejarah umat Israel. Sejak peristiwa keluaran dari Mesir, tampaknya Allah begitu serius memersiapkan Israel sebagai umat yang istimewa. Akibatnya, setiap pelanggaran atas ketidaktaatan diberi hukuman serius. Hukuman itu ada yang berupa hukuman mati, sakit-penyakit, tulah, kehidupan yang sulit, pembuangan, penganiayaan dan seterusnya, pendeka kata semua akibatnya itu menyengsarakan mereka. Allah bisa memakai penghukuman sebagai alat agar umat-Nya menyadari kesalahan dan berbalik kepada-Nya.

Pada pihak lain, tidak selamanya penderitaan dan kemalangan itu selalu terhubung dengan dosa. Dalam Alkitab yang sama, kita menemukan ada banyak orang-orang saleh – termasuk Ayub – yang TUHAN izinkan mengalami kemalangan dalam hidupnya. Dalam Perjanjian Baru, hampir semua rasul-rasul dan jemaat mula-mula mengalami penderitaan dan penganiayaan. Penderitaan mereka jelas bukan dari akibat melakukan dosa! Jika demikian tidaklah bijak kalau kita selalu menghubungkan penderitaan dan peristiwa tragis seseorang dengan dosa yang ia lakukan. Beberapa kali Yesus menjawab pemahaman iman seperti ini dengan menyatakan bahwa tidak semestinya para murid mengaitkan derita dengan dosa atau kesalahan. Yesus menolak anggapan bahwa orang buta sejak lahir disebabkan karena dosanya atau dosa orang tuanya (Yohanes 9:3,4). Penolakkan yang sama terjadi ketika murid-murid-Nya melaporkan dua peristiwa tragis yang menimpa orang-orang Galilea dan para pekerja yang sedang membangun saluran air dekat menara Siloam (Lukas 13:1-5). Yesus mengecam jika penderitaan seseorang dijadikan bahan penghakiman.

Sebagai penguasa Yerusalem waktu itu, Pilatus beritikad baik membangun saluran air bersih bagi penduduknya. Namun, maksud baik menjadi bumerang bagi dirinya oleh karena ia memutuskan bahwa biaya pembangunan dan perawatan saluran air itu uangnya diambil dari perbendaharaan Bait Suci. Sikap Pilatus ini memicu ketidaksukaan orang-orang Yahudi, khususnya Galilea. Kekacauan politik tidak bisa dihidari. Pilatus bertekad membungkam mereka. Caranya? Membunuh mereka pada saat mereka sedang melakukan ibadah di Bait Allah. Ia memersiapkan pasukan khusus. Pasukan itu menyamar dengan memakai jubah layaknya orang yang mau beribadah. Namun di balik jubah-jubah itu telah siap senjata untuk membunuh para penentangnya. Ketika tanda diberi, pasukan Pilatus yang menyamar ini mengeluarkan senjata mereka dan segera membunuh para demonstran panatik itu sehingga darah mereka tercampur dengan darah hewan korban. Mengerikan! Orang-orang memertanyakan, pastilah mereka ini berdosa sehingga kematiaannya begitu tragis bagaikan hewan korban. Bagaimana reaksi Yesus? Ia menjawab, “Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada semua dosa orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu? Tidak! Kata-Ku kepadamu.” (Lukas 13:2-3a).

Peristiwa selanjutnya yang tidak kalah menyeramkan adalah ketika ada delapan belas orang yang ditimpa menara di dekat Siloam. Mereka yang mati ini adalah para pekerja yang sedang membangun saluran air dari proyek Pilatus yang dibenci orang Galilea itu. Setiap pekerja ini menerima upah dari perbendaharaan Bait Suci itu yang memang terlarang digunakan untuk maksud itu. Mungkin orang-orang yang menyaksikan tragedi itu akan berpikir bahwa selayaknyalah mereka mendapat hukuman karena uang yang mereka terima adalah hasil dari “merampok” Bait Allah. Namun, lagi-lagi Yesus menjawab, “Tidak! Kata-Ku kepadamu.”

Yesus mengajak para murid-Nya untuk tidak tergoda menghakimi orang yang sedang tertimpa kemalangan. Ketimbang sibuk menuduh orang lain, lebih baik mengurus diri sendiri – bertobat! Hanya dengan bertobat mereka akan terhindar dari malapetaka besar. Rupa-rupanya, Yesus telah melihat bahwa satu generasi ke depan (tahun 70) Yerusalem akan ditimpa malapetaka besar. Ia tahu persis bahwa apabila orang Yahudi terus berjalan dengan pola kehidupan beragama seperti ini dan berusaha melakukan pemberontakan untuk memenuhi hasrat politik mereka, yaitu menjadi bangsa yang mengungguli dan mengalahkan penjajah Romawi, maka mereka sebenarnya sedang menuju  kepada pembunuhan diri secara nasional. Ia tahu bahwa pada akhirnya Roma akan menumpas mereka. Dengan demikian, apa yang dimaksudkan Yesus adalah bahwa jika orang-orang Yahudi tetap mencari dan mengukuhkan kerajaan duniawi dan menolak Kerajaan Allah maka akhirnya mereka akan menemui kebinasaan mereka sendiri. 

Ajakan Yesus sangat jelas; jika mereka tidak bertobat, mereka akan binasa! Jadi, tidak semestinya menyibukan diri dengan menuduh orang lain; seriuslah dengan diri sendiri. Apa makna hakiki dari kata “bertobat”? Kata ini pada kenyataannya mudah diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan. Bertobat, lebih dari sekedar kata-kata dan bukan hanya sekedar kapok lalu berhenti melakukan apa yang dianggap salah atau dosa.

Saya pernah ditraktir makan di sebuah resto yang terkenal dengan sambalnya yang pedas. Sang teman, memesan sambal yang paling pedas untuk dirinya. Dengan keringat bercucuran kepedesan, ketika makanan hampir habis, ia bergumam, “Tobat deh kali ini sambalnya pedas sekali!” Kata “tobat” disebut. Apakah ia benar-benar bertobat dan tidak lagi mau makan sambal pedas itu? Ternyata tidak! Sebagian besar orang ketika kepedesan menyantap sambal dan berkata “tobat”, dapat dipastikan akan kembali menikmati sambal pedas itu dan kemungkinan besar ia akan berkata lagi, “tobat pedesnya!” Banyak orang bertobat jenis ini, “tobat sambel” kata orang Betawi. Mengaku bertobat dan mau berhenti melakukan apa yang salah. Namun, kenyataannya seiring berjalannya waktu, trauma mulai menghilang, ia melakukan lagi perbuatan yang persis sama!

Bertobat berbeda dengan “kapok”. Ada seorang penjahat, spesialis pencuri sepeda motor. Suatu hari bersama temannya ia menjalankan aksinya. Nahas, ketika mereka sedang melakukan aksinya di depan sebuah warnet, terekan CCTV. Segera para petugas keluar dan berusaha menangkap mereka. Ia lari menyelamatkan diri. Tetapi sang teman tertangkap, dihajar rame-rame dan kemudian dibakar! Sejak saat itu ia kapok tidak lagi mau mencuri sepeda motor. Sampai di sini si pencuri ini belum termasuk orang yang bertobat. Ia hanya kapok dan berhenti mencuri. Ia berhenti karena dampak dari tindakannya itu begitu mengerikan. Seorang yang suka berzinah, setelah tertular penyakit kelamin ia memutuskan berhenti berzinah, ini pun bukan berarti ia bertobat. Seorang koruptor, ketika tertangkap, wajahnya berkali-kali ditayangkan di televisi dan kemudian dipenjarakan. Ia mengaku tidak akan lagi melakukan tindakan korup, ini pun hanya kapok, belum bertobat. Seorang pecandu narkoba, direhabilitasi dengan terapi yang begitu menyakitkan, sesudah itu ia bertekad untuk tidak mau lagi menggunakan narkoba. Ini pun belum bisa disebut bertobat! Bertobat tidak sama dengan kapok. Kapok bisa menjadi pintu masuk hidup dalam pertobatan. Kalau begitu, apa artinya bertobat?

Metanoia adalah kata Yunani yang paling sering dirujuk untuk “tobat”. Secara umum bertobat berarti menyesal dan dengan sekuat tenaga memperbaiki kesalahan. Bertobat adalah sebuah tindakan sadar untuk berhenti melakukan apa yang disebut dosa dan kemudian berbalik kepada Allah dengan memperbaiki apa yang salah itu. Dalam Alkitab ada gambaran yang begitu jelas tentang orang yang bertobat. Pemungut  cukai, ketika ia mengalami perjumpaan dengan Yesus, ia menyatakan bahwa setengah dari hartanya akan dibagikan untuk orang miskin dan sekiranya ada yang diperasnya, ia akan mengembalikan empat kali lipat. Lihatlah, bahwa si pemungut cukai itu tidak sekedar berhenti memeras, hidup untuk memuaskan diri sendiri. Tetapi sekarang ia mau berbagi hartanya untuk orang miskin. Mengapa ia dapat melakukan itu? Kasih Allah di dalam Kristuslah yang telah mengubah hatinya! Kasih itulah yang membuatnya tahu bahwa Allah yang dikenalnya dalam Yesus tidak menyukai pemerasan! Pertobatan yang benar adalah ketika kita dengan sadar meninggalkan perbuatan kita – yang walaupun tampaknya menyenangkan –  bukan karena dampak buruk yang bisa terjadi dalam tindakan itu, tetapi karena kita tahu bahwa Tuhan tidak menyukainya dan dengan jalan demikian kita menyenangkan Tuhan.