Kamis, 25 Februari 2016

BERBUAT, TAK SEKADAR BERTOBAT

Telah lama manusia menghubungkan peristiwa kemalangan atau tragedi dengan dosa. Setidaknya kita bisa mengingat musibah dan kemalangan yang dialami Ayub. Sahabat-sahabatnya menuduh bahwa Ayub telah melakukan pelanggaran serius. Elifas pernah berkata kepada Ayub, “Siapa binasa dengan tidak bersalah?” (Ayub 4:7). Benarkah penderitaan itu adalah hukuman yang harus diterima oleh manusia berdosa? Bisa jadi! Peristiwa Adam dan Hawa yang diusir dari taman Eden membenarkan pernyataan ini. Sejak mereka melakukan pelanggaran, kehidupan mereka menjadi jauh dari damai sejahtera. Kemudian kita banyak belajar dari sejarah umat Israel. Sejak peristiwa keluaran dari Mesir, tampaknya Allah begitu serius memersiapkan Israel sebagai umat yang istimewa. Akibatnya, setiap pelanggaran atas ketidaktaatan diberi hukuman serius. Hukuman itu ada yang berupa hukuman mati, sakit-penyakit, tulah, kehidupan yang sulit, pembuangan, penganiayaan dan seterusnya, pendeka kata semua akibatnya itu menyengsarakan mereka. Allah bisa memakai penghukuman sebagai alat agar umat-Nya menyadari kesalahan dan berbalik kepada-Nya.

Pada pihak lain, tidak selamanya penderitaan dan kemalangan itu selalu terhubung dengan dosa. Dalam Alkitab yang sama, kita menemukan ada banyak orang-orang saleh – termasuk Ayub – yang TUHAN izinkan mengalami kemalangan dalam hidupnya. Dalam Perjanjian Baru, hampir semua rasul-rasul dan jemaat mula-mula mengalami penderitaan dan penganiayaan. Penderitaan mereka jelas bukan dari akibat melakukan dosa! Jika demikian tidaklah bijak kalau kita selalu menghubungkan penderitaan dan peristiwa tragis seseorang dengan dosa yang ia lakukan. Beberapa kali Yesus menjawab pemahaman iman seperti ini dengan menyatakan bahwa tidak semestinya para murid mengaitkan derita dengan dosa atau kesalahan. Yesus menolak anggapan bahwa orang buta sejak lahir disebabkan karena dosanya atau dosa orang tuanya (Yohanes 9:3,4). Penolakkan yang sama terjadi ketika murid-murid-Nya melaporkan dua peristiwa tragis yang menimpa orang-orang Galilea dan para pekerja yang sedang membangun saluran air dekat menara Siloam (Lukas 13:1-5). Yesus mengecam jika penderitaan seseorang dijadikan bahan penghakiman.

Sebagai penguasa Yerusalem waktu itu, Pilatus beritikad baik membangun saluran air bersih bagi penduduknya. Namun, maksud baik menjadi bumerang bagi dirinya oleh karena ia memutuskan bahwa biaya pembangunan dan perawatan saluran air itu uangnya diambil dari perbendaharaan Bait Suci. Sikap Pilatus ini memicu ketidaksukaan orang-orang Yahudi, khususnya Galilea. Kekacauan politik tidak bisa dihidari. Pilatus bertekad membungkam mereka. Caranya? Membunuh mereka pada saat mereka sedang melakukan ibadah di Bait Allah. Ia memersiapkan pasukan khusus. Pasukan itu menyamar dengan memakai jubah layaknya orang yang mau beribadah. Namun di balik jubah-jubah itu telah siap senjata untuk membunuh para penentangnya. Ketika tanda diberi, pasukan Pilatus yang menyamar ini mengeluarkan senjata mereka dan segera membunuh para demonstran panatik itu sehingga darah mereka tercampur dengan darah hewan korban. Mengerikan! Orang-orang memertanyakan, pastilah mereka ini berdosa sehingga kematiaannya begitu tragis bagaikan hewan korban. Bagaimana reaksi Yesus? Ia menjawab, “Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada semua dosa orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu? Tidak! Kata-Ku kepadamu.” (Lukas 13:2-3a).

Peristiwa selanjutnya yang tidak kalah menyeramkan adalah ketika ada delapan belas orang yang ditimpa menara di dekat Siloam. Mereka yang mati ini adalah para pekerja yang sedang membangun saluran air dari proyek Pilatus yang dibenci orang Galilea itu. Setiap pekerja ini menerima upah dari perbendaharaan Bait Suci itu yang memang terlarang digunakan untuk maksud itu. Mungkin orang-orang yang menyaksikan tragedi itu akan berpikir bahwa selayaknyalah mereka mendapat hukuman karena uang yang mereka terima adalah hasil dari “merampok” Bait Allah. Namun, lagi-lagi Yesus menjawab, “Tidak! Kata-Ku kepadamu.”

Yesus mengajak para murid-Nya untuk tidak tergoda menghakimi orang yang sedang tertimpa kemalangan. Ketimbang sibuk menuduh orang lain, lebih baik mengurus diri sendiri – bertobat! Hanya dengan bertobat mereka akan terhindar dari malapetaka besar. Rupa-rupanya, Yesus telah melihat bahwa satu generasi ke depan (tahun 70) Yerusalem akan ditimpa malapetaka besar. Ia tahu persis bahwa apabila orang Yahudi terus berjalan dengan pola kehidupan beragama seperti ini dan berusaha melakukan pemberontakan untuk memenuhi hasrat politik mereka, yaitu menjadi bangsa yang mengungguli dan mengalahkan penjajah Romawi, maka mereka sebenarnya sedang menuju  kepada pembunuhan diri secara nasional. Ia tahu bahwa pada akhirnya Roma akan menumpas mereka. Dengan demikian, apa yang dimaksudkan Yesus adalah bahwa jika orang-orang Yahudi tetap mencari dan mengukuhkan kerajaan duniawi dan menolak Kerajaan Allah maka akhirnya mereka akan menemui kebinasaan mereka sendiri. 

Ajakan Yesus sangat jelas; jika mereka tidak bertobat, mereka akan binasa! Jadi, tidak semestinya menyibukan diri dengan menuduh orang lain; seriuslah dengan diri sendiri. Apa makna hakiki dari kata “bertobat”? Kata ini pada kenyataannya mudah diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan. Bertobat, lebih dari sekedar kata-kata dan bukan hanya sekedar kapok lalu berhenti melakukan apa yang dianggap salah atau dosa.

Saya pernah ditraktir makan di sebuah resto yang terkenal dengan sambalnya yang pedas. Sang teman, memesan sambal yang paling pedas untuk dirinya. Dengan keringat bercucuran kepedesan, ketika makanan hampir habis, ia bergumam, “Tobat deh kali ini sambalnya pedas sekali!” Kata “tobat” disebut. Apakah ia benar-benar bertobat dan tidak lagi mau makan sambal pedas itu? Ternyata tidak! Sebagian besar orang ketika kepedesan menyantap sambal dan berkata “tobat”, dapat dipastikan akan kembali menikmati sambal pedas itu dan kemungkinan besar ia akan berkata lagi, “tobat pedesnya!” Banyak orang bertobat jenis ini, “tobat sambel” kata orang Betawi. Mengaku bertobat dan mau berhenti melakukan apa yang salah. Namun, kenyataannya seiring berjalannya waktu, trauma mulai menghilang, ia melakukan lagi perbuatan yang persis sama!

Bertobat berbeda dengan “kapok”. Ada seorang penjahat, spesialis pencuri sepeda motor. Suatu hari bersama temannya ia menjalankan aksinya. Nahas, ketika mereka sedang melakukan aksinya di depan sebuah warnet, terekan CCTV. Segera para petugas keluar dan berusaha menangkap mereka. Ia lari menyelamatkan diri. Tetapi sang teman tertangkap, dihajar rame-rame dan kemudian dibakar! Sejak saat itu ia kapok tidak lagi mau mencuri sepeda motor. Sampai di sini si pencuri ini belum termasuk orang yang bertobat. Ia hanya kapok dan berhenti mencuri. Ia berhenti karena dampak dari tindakannya itu begitu mengerikan. Seorang yang suka berzinah, setelah tertular penyakit kelamin ia memutuskan berhenti berzinah, ini pun bukan berarti ia bertobat. Seorang koruptor, ketika tertangkap, wajahnya berkali-kali ditayangkan di televisi dan kemudian dipenjarakan. Ia mengaku tidak akan lagi melakukan tindakan korup, ini pun hanya kapok, belum bertobat. Seorang pecandu narkoba, direhabilitasi dengan terapi yang begitu menyakitkan, sesudah itu ia bertekad untuk tidak mau lagi menggunakan narkoba. Ini pun belum bisa disebut bertobat! Bertobat tidak sama dengan kapok. Kapok bisa menjadi pintu masuk hidup dalam pertobatan. Kalau begitu, apa artinya bertobat?

Metanoia adalah kata Yunani yang paling sering dirujuk untuk “tobat”. Secara umum bertobat berarti menyesal dan dengan sekuat tenaga memperbaiki kesalahan. Bertobat adalah sebuah tindakan sadar untuk berhenti melakukan apa yang disebut dosa dan kemudian berbalik kepada Allah dengan memperbaiki apa yang salah itu. Dalam Alkitab ada gambaran yang begitu jelas tentang orang yang bertobat. Pemungut  cukai, ketika ia mengalami perjumpaan dengan Yesus, ia menyatakan bahwa setengah dari hartanya akan dibagikan untuk orang miskin dan sekiranya ada yang diperasnya, ia akan mengembalikan empat kali lipat. Lihatlah, bahwa si pemungut cukai itu tidak sekedar berhenti memeras, hidup untuk memuaskan diri sendiri. Tetapi sekarang ia mau berbagi hartanya untuk orang miskin. Mengapa ia dapat melakukan itu? Kasih Allah di dalam Kristuslah yang telah mengubah hatinya! Kasih itulah yang membuatnya tahu bahwa Allah yang dikenalnya dalam Yesus tidak menyukai pemerasan! Pertobatan yang benar adalah ketika kita dengan sadar meninggalkan perbuatan kita – yang walaupun tampaknya menyenangkan –  bukan karena dampak buruk yang bisa terjadi dalam tindakan itu, tetapi karena kita tahu bahwa Tuhan tidak menyukainya dan dengan jalan demikian kita menyenangkan Tuhan.

Kamis, 18 Februari 2016

IKUTILAH TELADAN TOKOH MAN, SAAT HIDUP PENUH PERSOALAN

Sampai saat ini pertanyaan siapa tokoh utama di balik kematian Munir Said Thalib masih misterius. Pria kelahiran 1965 ini adalah sosok pejuang kemanusiaan. Pada 16 Aprl 1996 Munir mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras). Namanya bersinar ketika ia membela aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopasus yang dikomandani oleh Prabowo Subianto. Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Prabowo sebagai Danjen Kopasus dan diadilinya para anggota Tim Mawar. Atas perjuangannya yang tidak kenal lelah, Munir diganjar dengan The Right Livelihood Award dari Swedia pada tahun 2000, sebuah penghargaan bergengsi yang disebut sebagai Nobel alternative yang digagas oleh Yayasan The Right Livelihood Award Jacob von Uexkull, Stockholm, Swedia  di bidang pemajuan HAM dan control sipil terhadap militer di Indonesia. Masih banyak lagi kiprah Munir dalam membela hak paling mendasar dari manusia. Tentu saja kiprahnya membuat gerah para penguasa yang terbiasa menginjak-injak hak azasi manusia untuk memuluskan nafsu kekuasan mereka. Munir harus disingkirkan!

Penerbangan Garuda GA-974 adalah akhir dari seluruh kiprah Munir. Dia mati dua jam sebelum pesawat itu mendarat di bandara Schipol, Amsterdam pada 7 September 2004. Institut Forensik Belanda menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah mereka melakukan visum terhadap jasad Munir. Hal yang sama diaminkan oleh kepolisian Republik Indonesia. Kesimpulannya, Munir dibunuh dengan menggunakan senyawa arsenic dalam makanan yang disajikan kepadanya. Siapa pembunuhnya? Hakim memutuskan pada 20 Desember 2005 bahwa Pollycarpus Budihari Priyanto bersalah dan dijatuhi hukuman 14 tahun penjara atas terbunuhnya Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenic dalam makanan Munir, karena ia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah itu. Namun, kemudian banyak orang bertanya, “Mungkinkah seorang Pollycarpus yang tidak berkepentingan dan bisa jadi tidak terusik oleh kiprah Munir, merupakan otak pembunuhan keji itu? (Artikel lengkap tentang Munir dapat dilihat : https://nusantaranews.wordpress.com/.../biografi-munir-seorang-pahlawa...)

Argumen kisah terbunuhnya Munir berhubungan erat dengan kiprahnya dalam menegakkan dan membela Hak Azasi Manusia tidak terbantahkan. Artinya, jika saja ia memilih diam dan tidak usah repot-repot membela kepentingan orang-orang yang ditindas dan berusaha disingkirkan oleh kekuasaan mata bisa saja kini ia masih hidup. Penguasa gerah dan tidak suka dengan kehadiran orang-orang seperti Munir, maka cara yang paling mudah adalah meleyapkannya!

Yesus berada dalam wilayah kekuasaan Herodes Antipas, tepatnya di Galilea atau Perea. Apa yang dilakukan Yesus membuat gerah Herodes. Sangat mungkin, Herodes menginginkan Yesus hengkang dari wilayahnya. Di pihak lain, orang-orang Farisi pun tidak menyukai Yesus ada di daerah itu. Bagi mereka, apa yang telah dilakukan Yesus selama ini telah merusak reputasi mereka sebagai pemimpin agama dan pemelihara tradisi Yudaisme. Dua kepentingan, politis dan agama inilah yang kemudian mempertemukan, Farisi dan Herodes. Diam-diam mereka bersekongkol. Orang-orang Farisi itu seolah berbuat ingin melindungi Yesus dari rancangan pembunuhan Herodes, kata mereka, “Pergilah, tinggalkanlah tempat ini, karena Herodes hendak membunuh Engkau.”(Lukas 13:31). Rupanya Yesus tahu rancangan mereka. Maka kemudian Ia menyuruh orang-orang Farisi itu untuk kembali ke Herodes yang disebutnya sebagai srigala. Srigala adalah gambaran seorang licik yang kurang berani dan kurang kuat untuk berhadapan langsung. Yesus menyampaikan pesan – melalui orang-orang Farisi - kepada srigala itu bahwa diri-Nya sedang sibuk melakukan segala kebajikan (“Aku mengusir setan dan menyembuhkan orang”) dan bahwa Aku tidak takut digertak, tetapi akan seperti biasa melanjutkan pekerjaan-Ku pada hari ini dan besok (artinya, dalam beberapa waktu yang singkat ke depan) sampai “pada hari ketiga” (artinya, sampai batas waktu yang dikehendaki oleh Bapa untuk mengakhirinya). Bentuk kata kerja yang dipakai adalah pasif yang sebenarnya berbunyi “Aku disudahi/dinabisi”. Di sinilah kita mengerti bahwa ini petunjuk kepada kematian Yesus ketika pekerjaan-Nya sungguh-sungguh telah mencapai tujuan.

Yesus tidak menjadikan ancaman orang-orang yang ingin melenyapkan-Nya menjadi alasan untuk lari dari tugas dan tanggungjawab-Nya dalam menyelesaikan misi Bapa. Alih-alih ciut nyali-Nya, Ia semakin giat berpacu dengan waktu dalam melakukan tugas-Nya. Seolah Yesus menjawab ancaman itu, “Aku tidak takut dan tidak akan pergi tetapi akan menyudahi pekerjaan-Ku di tempat ini. Dan kemudian Aku akan menuju ke Yerusalem meninggalkan wilayah kekuasaan Herodes, bukan pula karena takut kepada Herodes, tetapi sesuai dengan rencana Allah. Jadi kalau Aku pergi ke Yerusalem maka memang harus ke sanalah Aku melanjutkan perjalanan-Ku beberapa waktu lagi (“hari ini dan besok”) sampai Aku pada hari yang ditentukan Allah akan tiba di Yerusalem dan dihabisi di sana!” Sebab Yerusalem adalah pusat Israel dan seolah-olah mewakili seluruh Israel. Di kota itu diam pucuk pimpinan Israel, di kota itu pula terdapat Bait Suci. Dan, Yesus menyamakan diri-Nya dengan para nabi. Nabi-nabi yang dibunuh justeru di pusat peradaban religi, dibunuh oleh orang-orang yang menganggap diri mereka dekat dengan TUHAN!

Dari kisah Yesus berhadapan dengan ancaman kita bisa belajar beberapa hal:

1.   Ancaman dijawab dengan fokus pada tugas panggilan. Yesus tetap mengerjakan apa yang seharusnya Ia kerjakan. Ia terus mengusir setan dan menyembuhkan orang-orang sakit dan memberitakan Injil Kerajaan Allah. Dengan kata lain, Yesus menjawab ancaman dengan kualitas pekerjaan dan pelayanan yang mumpuni – seolah-olah ancama itu tidak ada!

2.     Yesus melihat hidup-Nya sebagai sebuah perjalanan. Perjalanan mengerjakan misi Bapa-Nya, dan misi itu harus berhasil kendatipun dibayar dengan derita dan nyawa.

3.   Yesus tidak pernah menyesali tantangan dan kehidupan yang sulit bahkan kematian yang dijalani-Nya kelak di Yerusalem. Ia menyadari bahwa  mengemban tugas Bapa berarti berhadapan dengan kesulitan dan masalah.

Dalam kehidupan yang kita jalani hampir mustahil kita tidak berhadapan dengan masalah dan kesulitan. Orang bijak mengatakan hanya ada dua hal akan terjadi setelah seseorang mengalami kesulitan, ancaman dan tantangan. Pertama, orang itu akan jatuh, habis dan tidak berdaya. Kedua, bisa menjadikannya sebagai orang yang besar. Yesus telah memberi teladan bahwa ancaman tidak selamanya harus menghancurkan kehidupan kita. Kesulitan bahkan kematian yang dialami-Nya justeru membesarkan nama-Nya.

Paulus berhasil menerapkannya. Penjara boleh membatasi gerak langkahnya namun tidak mampu membatasi karya dan kebebasannya untuk bersukacita. Salah satu hasil karyanya dalam penjara adalah surat Filipi. Surat Filipi sering disebut “Injil Sukacita” oleh karena di dalamnya terdapat banyak ungkapan dan ajakan untuk bersukacita. Menjadi pertanyaan besar, “Mengapa seseorang yang sedang terpenjara begitu banyak diwarnai oleh sukacita?” Jawabnya, karena Paulus tahu dan sadar akan tujuan dan jalan hidupnya dalam rancangan Allah dan bahwa Allah mengasihinya. Itulah yang memampukannya untuk terus setia mengerjakan misi Allah dengan memberitakan Injil Yesus Kristus. Dengan keyakinan ini ia mengajak agar setiap orang percaya, khususnya bagi mereka yang menghadapi kesulitan, Paulus meminta untuk mengikuti teladannya, “Ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu” (Filipi 3:17).

Jadi kalau Alkitab mengungkapkan tokoh-tokoh teladan iman, itu bukan berarti bahwa mereka adalah orang-orang hebat, super dan telah dirancang oleh Allah sedemikian rupa hingga menjadi semacam tokoh “super hero”. Bukan begitu! Mereka juga sama dengan kita, manusia rentan yang bisa digertak, diancam, dipenjarakan, bahkan dibunuh. Yang membedakan mereka adalah cara pandang terhadap kesulitan hidup dan ketekunan serta iman mereka dalam menghadapi masalah atau ancaman hidup. Kedekatan dan pengenalan yang utuh akan TUHAN membuat mereka bisa mengalahkan apa pun yang menjadi kendala dalam hidup mereka. Bagaimana dengan kita?