Telah lama manusia menghubungkan peristiwa
kemalangan atau tragedi dengan dosa. Setidaknya kita bisa mengingat musibah dan
kemalangan yang dialami Ayub. Sahabat-sahabatnya menuduh bahwa Ayub telah
melakukan pelanggaran serius. Elifas pernah berkata kepada Ayub, “Siapa binasa dengan tidak bersalah?”
(Ayub 4:7). Benarkah penderitaan itu adalah hukuman yang harus diterima oleh
manusia berdosa? Bisa jadi! Peristiwa Adam dan Hawa yang diusir dari taman Eden
membenarkan pernyataan ini. Sejak mereka melakukan pelanggaran, kehidupan mereka
menjadi jauh dari damai sejahtera. Kemudian kita banyak belajar dari sejarah
umat Israel. Sejak peristiwa keluaran dari Mesir, tampaknya Allah begitu serius
memersiapkan Israel sebagai umat yang istimewa. Akibatnya, setiap pelanggaran
atas ketidaktaatan diberi hukuman serius. Hukuman itu ada yang berupa hukuman
mati, sakit-penyakit, tulah, kehidupan yang sulit, pembuangan, penganiayaan dan
seterusnya, pendeka kata semua akibatnya itu menyengsarakan mereka. Allah bisa
memakai penghukuman sebagai alat agar umat-Nya menyadari kesalahan dan berbalik
kepada-Nya.
Pada pihak lain, tidak selamanya penderitaan dan
kemalangan itu selalu terhubung dengan dosa. Dalam Alkitab yang sama, kita
menemukan ada banyak orang-orang saleh – termasuk Ayub – yang TUHAN izinkan
mengalami kemalangan dalam hidupnya. Dalam Perjanjian Baru, hampir semua
rasul-rasul dan jemaat mula-mula mengalami penderitaan dan penganiayaan.
Penderitaan mereka jelas bukan dari akibat melakukan dosa! Jika demikian
tidaklah bijak kalau kita selalu menghubungkan penderitaan dan peristiwa tragis
seseorang dengan dosa yang ia lakukan. Beberapa kali Yesus menjawab pemahaman
iman seperti ini dengan menyatakan bahwa tidak semestinya para murid mengaitkan
derita dengan dosa atau kesalahan. Yesus menolak anggapan bahwa orang buta
sejak lahir disebabkan karena dosanya atau dosa orang tuanya (Yohanes 9:3,4).
Penolakkan yang sama terjadi ketika murid-murid-Nya melaporkan dua peristiwa
tragis yang menimpa orang-orang Galilea dan para pekerja yang sedang membangun
saluran air dekat menara Siloam (Lukas 13:1-5). Yesus mengecam jika penderitaan
seseorang dijadikan bahan penghakiman.
Sebagai penguasa Yerusalem waktu itu, Pilatus
beritikad baik membangun saluran air bersih bagi penduduknya. Namun, maksud
baik menjadi bumerang bagi dirinya oleh karena ia memutuskan bahwa biaya
pembangunan dan perawatan saluran air itu uangnya diambil dari perbendaharaan
Bait Suci. Sikap Pilatus ini memicu ketidaksukaan orang-orang Yahudi, khususnya
Galilea. Kekacauan politik tidak bisa dihidari. Pilatus bertekad membungkam
mereka. Caranya? Membunuh mereka pada saat mereka sedang melakukan ibadah di
Bait Allah. Ia memersiapkan pasukan khusus. Pasukan itu menyamar dengan memakai
jubah layaknya orang yang mau beribadah. Namun di balik jubah-jubah itu telah
siap senjata untuk membunuh para penentangnya. Ketika tanda diberi, pasukan
Pilatus yang menyamar ini mengeluarkan senjata mereka dan segera membunuh para
demonstran panatik itu sehingga darah mereka tercampur dengan darah hewan
korban. Mengerikan! Orang-orang memertanyakan, pastilah mereka ini berdosa
sehingga kematiaannya begitu tragis bagaikan hewan korban. Bagaimana reaksi
Yesus? Ia menjawab, “Sangkamu orang-orang
Galilea ini lebih besar dosanya dari pada semua dosa orang Galilea yang lain,
karena mereka mengalami nasib itu? Tidak! Kata-Ku kepadamu.” (Lukas
13:2-3a).
Peristiwa selanjutnya yang tidak kalah menyeramkan
adalah ketika ada delapan belas orang yang ditimpa menara di dekat Siloam.
Mereka yang mati ini adalah para pekerja yang sedang membangun saluran air dari
proyek Pilatus yang dibenci orang Galilea itu. Setiap pekerja ini menerima upah
dari perbendaharaan Bait Suci itu yang memang terlarang digunakan untuk maksud
itu. Mungkin orang-orang yang menyaksikan tragedi itu akan berpikir bahwa
selayaknyalah mereka mendapat hukuman karena uang yang mereka terima adalah
hasil dari “merampok” Bait Allah. Namun, lagi-lagi Yesus menjawab, “Tidak! Kata-Ku kepadamu.”
Yesus mengajak para murid-Nya untuk tidak tergoda
menghakimi orang yang sedang tertimpa kemalangan. Ketimbang sibuk menuduh orang
lain, lebih baik mengurus diri sendiri – bertobat! Hanya dengan bertobat mereka
akan terhindar dari malapetaka besar. Rupa-rupanya, Yesus telah melihat bahwa
satu generasi ke depan (tahun 70) Yerusalem akan ditimpa malapetaka besar. Ia
tahu persis bahwa apabila orang Yahudi terus berjalan dengan pola kehidupan
beragama seperti ini dan berusaha melakukan pemberontakan untuk memenuhi hasrat
politik mereka, yaitu menjadi bangsa yang mengungguli dan mengalahkan penjajah
Romawi, maka mereka sebenarnya sedang menuju
kepada pembunuhan diri secara nasional. Ia tahu bahwa pada akhirnya Roma
akan menumpas mereka. Dengan demikian, apa yang dimaksudkan Yesus adalah bahwa
jika orang-orang Yahudi tetap mencari dan mengukuhkan kerajaan duniawi dan
menolak Kerajaan Allah maka akhirnya mereka akan menemui kebinasaan mereka
sendiri.
Ajakan Yesus sangat jelas; jika mereka tidak
bertobat, mereka akan binasa! Jadi, tidak semestinya menyibukan diri dengan
menuduh orang lain; seriuslah dengan diri sendiri. Apa makna hakiki dari kata “bertobat”?
Kata ini pada kenyataannya mudah diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan.
Bertobat, lebih dari sekedar kata-kata dan bukan hanya sekedar kapok lalu berhenti melakukan apa yang
dianggap salah atau dosa.
Saya pernah ditraktir makan di sebuah resto yang
terkenal dengan sambalnya yang pedas. Sang teman, memesan sambal yang paling
pedas untuk dirinya. Dengan keringat bercucuran kepedesan, ketika makanan hampir
habis, ia bergumam, “Tobat deh kali
ini sambalnya pedas sekali!” Kata “tobat” disebut. Apakah ia benar-benar
bertobat dan tidak lagi mau makan sambal pedas itu? Ternyata tidak! Sebagian
besar orang ketika kepedesan menyantap sambal dan berkata “tobat”, dapat
dipastikan akan kembali menikmati sambal pedas itu dan kemungkinan besar ia
akan berkata lagi, “tobat pedesnya!” Banyak orang bertobat jenis ini, “tobat
sambel” kata orang Betawi. Mengaku bertobat dan mau berhenti melakukan apa yang
salah. Namun, kenyataannya seiring berjalannya waktu, trauma mulai menghilang,
ia melakukan lagi perbuatan yang persis sama!
Bertobat berbeda dengan “kapok”. Ada seorang
penjahat, spesialis pencuri sepeda motor. Suatu hari bersama temannya ia
menjalankan aksinya. Nahas, ketika mereka sedang melakukan aksinya di depan
sebuah warnet, terekan CCTV. Segera
para petugas keluar dan berusaha menangkap mereka. Ia lari menyelamatkan diri.
Tetapi sang teman tertangkap, dihajar rame-rame dan kemudian dibakar! Sejak
saat itu ia kapok tidak lagi mau mencuri sepeda motor. Sampai di sini si
pencuri ini belum termasuk orang yang bertobat. Ia hanya kapok dan berhenti
mencuri. Ia berhenti karena dampak dari tindakannya itu begitu mengerikan.
Seorang yang suka berzinah, setelah tertular penyakit kelamin ia memutuskan
berhenti berzinah, ini pun bukan berarti ia bertobat. Seorang koruptor, ketika
tertangkap, wajahnya berkali-kali ditayangkan di televisi dan kemudian
dipenjarakan. Ia mengaku tidak akan lagi melakukan tindakan korup, ini pun
hanya kapok, belum bertobat. Seorang pecandu narkoba, direhabilitasi dengan
terapi yang begitu menyakitkan, sesudah itu ia bertekad untuk tidak mau lagi
menggunakan narkoba. Ini pun belum bisa disebut bertobat! Bertobat tidak sama
dengan kapok. Kapok bisa menjadi pintu masuk hidup dalam pertobatan. Kalau
begitu, apa artinya bertobat?
Metanoia adalah kata Yunani yang paling sering dirujuk untuk “tobat”.
Secara umum bertobat berarti menyesal dan dengan sekuat tenaga memperbaiki
kesalahan. Bertobat adalah sebuah tindakan sadar untuk berhenti melakukan apa
yang disebut dosa dan kemudian berbalik kepada Allah dengan memperbaiki apa
yang salah itu. Dalam Alkitab ada gambaran yang begitu jelas tentang orang yang
bertobat. Pemungut cukai, ketika ia
mengalami perjumpaan dengan Yesus, ia menyatakan bahwa setengah dari hartanya
akan dibagikan untuk orang miskin dan sekiranya ada yang diperasnya, ia akan
mengembalikan empat kali lipat. Lihatlah, bahwa si pemungut cukai itu tidak
sekedar berhenti memeras, hidup untuk memuaskan diri sendiri. Tetapi sekarang
ia mau berbagi hartanya untuk orang miskin. Mengapa ia dapat melakukan itu?
Kasih Allah di dalam Kristuslah yang telah mengubah hatinya! Kasih itulah yang
membuatnya tahu bahwa Allah yang dikenalnya dalam Yesus tidak menyukai
pemerasan! Pertobatan yang benar adalah ketika kita dengan sadar meninggalkan
perbuatan kita – yang walaupun tampaknya menyenangkan – bukan karena dampak buruk yang bisa terjadi
dalam tindakan itu, tetapi karena kita tahu bahwa Tuhan tidak menyukainya dan
dengan jalan demikian kita menyenangkan Tuhan.