Sampai saat ini pertanyaan siapa tokoh utama di
balik kematian Munir Said Thalib masih misterius. Pria kelahiran 1965 ini
adalah sosok pejuang kemanusiaan. Pada 16 Aprl 1996 Munir mendirikan Komisi
untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras). Namanya bersinar ketika ia
membela aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopasus yang dikomandani oleh Prabowo Subianto.
Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Prabowo
sebagai Danjen Kopasus dan diadilinya para anggota Tim Mawar. Atas perjuangannya yang tidak kenal lelah, Munir
diganjar dengan The Right Livelihood
Award dari Swedia pada tahun 2000, sebuah penghargaan bergengsi yang
disebut sebagai Nobel alternative yang digagas oleh Yayasan The Right Livelihood Award Jacob von
Uexkull, Stockholm, Swedia di bidang
pemajuan HAM dan control sipil terhadap militer di Indonesia. Masih banyak lagi
kiprah Munir dalam membela hak paling mendasar dari manusia. Tentu saja
kiprahnya membuat gerah para penguasa
yang terbiasa menginjak-injak hak azasi manusia untuk memuluskan nafsu kekuasan
mereka. Munir harus disingkirkan!
Penerbangan Garuda GA-974 adalah akhir dari
seluruh kiprah Munir. Dia mati dua jam sebelum pesawat itu mendarat di bandara
Schipol, Amsterdam pada 7 September 2004. Institut Forensik Belanda menemukan
jejak-jejak senyawa arsenikum setelah mereka melakukan visum terhadap jasad
Munir. Hal yang sama diaminkan oleh kepolisian Republik Indonesia. Kesimpulannya,
Munir dibunuh dengan menggunakan senyawa arsenic dalam makanan yang disajikan
kepadanya. Siapa pembunuhnya? Hakim memutuskan pada 20 Desember 2005 bahwa
Pollycarpus Budihari Priyanto bersalah dan dijatuhi hukuman 14 tahun penjara
atas terbunuhnya Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot
Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenic dalam makanan Munir, karena ia ingin
mendiamkan pengkritik pemerintah itu. Namun, kemudian banyak orang bertanya, “Mungkinkah
seorang Pollycarpus yang tidak berkepentingan dan bisa jadi tidak terusik oleh
kiprah Munir, merupakan otak pembunuhan keji itu? (Artikel lengkap
tentang Munir dapat dilihat : https://nusantaranews.wordpress.com/.../biografi-munir-seorang-pahlawa...)
Argumen kisah terbunuhnya Munir berhubungan erat
dengan kiprahnya dalam menegakkan dan membela Hak Azasi Manusia tidak
terbantahkan. Artinya, jika saja ia memilih diam dan tidak usah repot-repot
membela kepentingan orang-orang yang ditindas dan berusaha disingkirkan oleh
kekuasaan mata bisa saja kini ia masih hidup. Penguasa gerah dan tidak suka dengan kehadiran orang-orang seperti Munir,
maka cara yang paling mudah adalah meleyapkannya!
Yesus berada dalam wilayah kekuasaan Herodes
Antipas, tepatnya di Galilea atau Perea. Apa yang dilakukan Yesus membuat gerah Herodes. Sangat mungkin, Herodes
menginginkan Yesus hengkang dari wilayahnya. Di pihak lain, orang-orang Farisi
pun tidak menyukai Yesus ada di daerah itu. Bagi mereka, apa yang telah
dilakukan Yesus selama ini telah merusak reputasi mereka sebagai pemimpin agama
dan pemelihara tradisi Yudaisme. Dua kepentingan, politis dan agama inilah yang
kemudian mempertemukan, Farisi dan Herodes. Diam-diam mereka bersekongkol.
Orang-orang Farisi itu seolah berbuat ingin melindungi Yesus dari rancangan
pembunuhan Herodes, kata mereka, “Pergilah,
tinggalkanlah tempat ini, karena Herodes hendak membunuh Engkau.”(Lukas
13:31). Rupanya Yesus tahu rancangan mereka. Maka kemudian Ia menyuruh
orang-orang Farisi itu untuk kembali ke Herodes yang disebutnya sebagai srigala.
Srigala adalah gambaran seorang licik yang kurang berani dan kurang kuat untuk
berhadapan langsung. Yesus menyampaikan pesan – melalui orang-orang Farisi - kepada
srigala itu bahwa diri-Nya sedang
sibuk melakukan segala kebajikan (“Aku
mengusir setan dan menyembuhkan orang”) dan bahwa Aku tidak takut digertak,
tetapi akan seperti biasa melanjutkan pekerjaan-Ku pada hari ini dan besok
(artinya, dalam beberapa waktu yang singkat ke depan) sampai “pada hari ketiga”
(artinya, sampai batas waktu yang dikehendaki oleh Bapa untuk mengakhirinya).
Bentuk kata kerja yang dipakai adalah pasif
yang sebenarnya berbunyi “Aku disudahi/dinabisi”. Di sinilah kita mengerti
bahwa ini petunjuk kepada kematian Yesus ketika pekerjaan-Nya sungguh-sungguh
telah mencapai tujuan.
Yesus tidak menjadikan ancaman orang-orang yang
ingin melenyapkan-Nya menjadi alasan untuk lari dari tugas dan
tanggungjawab-Nya dalam menyelesaikan misi Bapa. Alih-alih ciut nyali-Nya, Ia
semakin giat berpacu dengan waktu dalam melakukan tugas-Nya. Seolah Yesus
menjawab ancaman itu, “Aku tidak takut dan tidak akan pergi tetapi akan
menyudahi pekerjaan-Ku di tempat ini. Dan kemudian Aku akan menuju ke Yerusalem
meninggalkan wilayah kekuasaan Herodes, bukan pula karena takut kepada Herodes,
tetapi sesuai dengan rencana Allah. Jadi kalau Aku pergi ke Yerusalem maka
memang harus ke sanalah Aku melanjutkan perjalanan-Ku beberapa waktu lagi (“hari
ini dan besok”) sampai Aku pada hari yang ditentukan Allah akan tiba di
Yerusalem dan dihabisi di sana!” Sebab Yerusalem adalah pusat Israel dan
seolah-olah mewakili seluruh Israel. Di kota itu diam pucuk pimpinan Israel, di
kota itu pula terdapat Bait Suci. Dan, Yesus menyamakan diri-Nya dengan para
nabi. Nabi-nabi yang dibunuh justeru di pusat peradaban religi, dibunuh oleh
orang-orang yang menganggap diri mereka dekat dengan TUHAN!
Dari kisah Yesus berhadapan dengan ancaman kita
bisa belajar beberapa hal:
1. Ancaman
dijawab dengan fokus pada tugas panggilan. Yesus tetap mengerjakan apa yang seharusnya
Ia kerjakan. Ia terus mengusir setan dan menyembuhkan orang-orang sakit dan
memberitakan Injil Kerajaan Allah. Dengan kata lain, Yesus menjawab ancaman
dengan kualitas pekerjaan dan pelayanan yang mumpuni – seolah-olah ancama itu
tidak ada!
2. Yesus
melihat hidup-Nya sebagai sebuah perjalanan. Perjalanan mengerjakan misi
Bapa-Nya, dan misi itu harus berhasil kendatipun dibayar dengan derita dan
nyawa.
3. Yesus
tidak pernah menyesali tantangan dan kehidupan yang sulit bahkan kematian yang
dijalani-Nya kelak di Yerusalem. Ia menyadari bahwa mengemban tugas Bapa berarti berhadapan
dengan kesulitan dan masalah.
Dalam kehidupan yang kita jalani hampir mustahil
kita tidak berhadapan dengan masalah dan kesulitan. Orang bijak mengatakan
hanya ada dua hal akan terjadi setelah seseorang mengalami kesulitan, ancaman
dan tantangan. Pertama, orang itu akan jatuh, habis dan tidak berdaya. Kedua, bisa
menjadikannya sebagai orang yang besar. Yesus telah memberi teladan bahwa
ancaman tidak selamanya harus menghancurkan kehidupan kita. Kesulitan bahkan
kematian yang dialami-Nya justeru membesarkan nama-Nya.
Paulus berhasil menerapkannya. Penjara boleh
membatasi gerak langkahnya namun tidak mampu membatasi karya dan kebebasannya
untuk bersukacita. Salah satu hasil karyanya dalam penjara adalah surat Filipi.
Surat Filipi sering disebut “Injil Sukacita” oleh karena di dalamnya terdapat
banyak ungkapan dan ajakan untuk bersukacita. Menjadi pertanyaan besar, “Mengapa
seseorang yang sedang terpenjara begitu banyak diwarnai oleh sukacita?”
Jawabnya, karena Paulus tahu dan sadar akan tujuan dan jalan hidupnya dalam
rancangan Allah dan bahwa Allah mengasihinya. Itulah yang memampukannya untuk
terus setia mengerjakan misi Allah dengan memberitakan Injil Yesus Kristus.
Dengan keyakinan ini ia mengajak agar setiap orang percaya, khususnya bagi
mereka yang menghadapi kesulitan, Paulus meminta untuk mengikuti teladannya, “Ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka,
yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu” (Filipi 3:17).
Jadi kalau Alkitab mengungkapkan tokoh-tokoh teladan
iman, itu bukan berarti bahwa mereka adalah orang-orang hebat, super dan telah
dirancang oleh Allah sedemikian rupa hingga menjadi semacam tokoh “super hero”.
Bukan begitu! Mereka juga sama dengan kita, manusia rentan yang bisa digertak,
diancam, dipenjarakan, bahkan dibunuh. Yang membedakan mereka adalah cara
pandang terhadap kesulitan hidup dan ketekunan serta iman mereka dalam
menghadapi masalah atau ancaman hidup. Kedekatan dan pengenalan yang utuh akan
TUHAN membuat mereka bisa mengalahkan apa pun yang menjadi kendala dalam hidup
mereka. Bagaimana dengan kita?