Kamis, 11 Februari 2016

MENANG ATAS PENCOBAAN

Seorang ibu menceritakan bagaimana ia kini hidup sebatang kara dengan sakit yang sedang dideritanya. Suami telah berpulang tahun lalu akibat kecelakaan lalu-lintas. Anak satu-satunya sebagai tumpuan hidupnya, pergi entah ke mana. Kata orang-orang, sang anak mengikuti aliran keagamaan radikal. Kini, ia sendiri harus menjalani kemoterapi akibat kanker yang dideritanya. “Sabar dan tawakal ya Bu dalam menghadapi cobaan ini. Gusti Allah ora sare!” Begitu kata kerabat dan tetangga menghibur ibu ini. Apakah benar pencobaan itu hanya berbentuk kesulitan dan penderitaan dalam hidup?

Mari kita belajar dari pencobaan yang dialami oleh Yesus di padang gurun. Injil sinoptis menyebutkan ada tiga pencobaan yang dialami Yesus. Lukas mencatat urutan ketiga pencobaan itu sebagai berikut:

1.       Mengubah batu menjadi roti.
2.       Memperoleh kuasa duniawi.
3.       Menjatuhkan diri dari bubungan Bait Allah.

Setelah peristiwa baptisan di sungai Yordan, Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun, daerah yang hampir tidak didiami manusia. Roh yang membawa Yesus pastinya bukan roh jahat. Di sinilah terdapat kelit-kelindan antara prakarsa Roh Ilahi tetapi di sana juga ikut campur roh jahat, dalam hal ini Iblis ketika mencobai Yesus: Di satu pihak, dapat dikatakan bahwa adalah sesuai dengan kehendak Allah, bahwa Yesus dicobai dan diuji (bnd. Yakobus 1:2-3); dan di pihak lain, pada saat bersamaan Iblis juga berniat menggoda Yesus (bnd. Yakobus 1:13). Kemudian orang memisahkan antara pencobaan dan ujian dari motivasi awalnya. Pencobaan itu berasal dari si jahat dengan tujuan untuk menjatuhkan dan menggagalkan misi Yesus untuk penyelamatan dunia (“pencobaan”, Yun: peirazo) dan ujian itu merupakan prakarsa Allah untuk mengkonfirmasi dan meneguhkan Yesus (“ujian”, Yun: dokimion).

Bila ujian atau pencobaan dapat berkelit-kelindan dari prakarsa Allah dan peran Si Jahat, apa yang dapat kita pahami? Jawabnya, apa yang hendak mengasingkan atau memisahkan kita dari Allah, itu bukan berasal dari Allah, melainkan dari Iblis. Dan apa yang membuat kita tegar, kuat serta semakin dekat dengan Allah, pasti bukan dari Iblis! Namun, masalahnya ketika hal itu datang menimpa kita, bagaimana membedakannya? Benar, tidak mudah! Oleh karenanya kita tidak usah memecahkannya hingga memuaskan logika kita. Langkah bijak adalah: Melalui pencobaan itu, meskipun Iblis mengerahkan semua kekuatannya, kita percaya bahwa Allah tidak tinggal diam, Gusti ora sare. Sebaliknya, ketika kita menyadari bahwa Allah sedang mendidik kita melalui pelbagai peristiwa untuk semakin mengasihi-Nya, ingatlah bahwa Iblis dengan pelbagai cara dan dengan kekuasaannya akan mencoba merusak rancangan indah Allah itu. Di sinilah kita harus terus-menerus berhati-hati dan waspada dalam hidup!

Yesus berada di padang gurun itu selama empat puluh hari. Selama kurun waktu itu, Ia tidak makan apa-apa, artinya Yesus berpuasa dengan sangat keras. Pada akhirnya, Yesus menjadi lelah dan lemah. Iblis menganggap bahwa inilah waktu yang tepat untuk memulai serangan yang mematikan. Iblis seolah mengikuti terus rancangan Allah dari belakang. Iblis tahu dan ia menggunakan firman Allah. Sebelumnya, ketika pembaptisan di sungai Yordan, Allah berkata, “Engkalulah Anak-Ku…”(Luk.3:22). Sekarang, Iblis memakai kalimat itu. Ia berkata, “Jika Engkau (betul-betul) Anak Allah, suruhlah batu itu menjadi roti!” Dengan perkataan lain: “Sudah semestinya bahwa Engkau menggunakan kedudukan-Mu sebagai Anak Allah dan mempergunakan karunia yang telah diberikan Allah kepada-Mu, yakni kuasa untuk melakukan mujizat! Godaan untuk menggunakan kuasa dan mujizat bagi diri sendiri kelak juga terjadi di kayu salib (Lukas 23:35-39).

Bagaimana Yesus menang dari pencobaan pertama ini? Yesus melawan pencobaan itu dengan berpegang kepada fiman Allah. Ia mengutip Ulangan 8:3, “Manusia hidup bukan dari roti saja”. Yesus tidak mau menggunakan kuasa ilahi, Ia tidak mau menggenggam kedudukan-Nya sebagai “Anak Allah” apalagi menggunakannya untuk kepentingan sendiri, tetapi Ia mau menjadi “satu” dengan manusia dan mau hidup dalam ketergantungan sepenuhnya kepada Allah. Belajar dari kemenangan Yesus atas pencobaan terhadap kebutuhan manusia yang paling mendasar ini adalah ketergantungan total kepada Allah!

Gagal dari pencobaan pertama, Iblis menawarkan kemegahan dan kekuasaan duniawi. Ia di bawa ke sebuah tempat yang tinggi dan kepada-Nya diperlihatkan seluruh kerajaan dunia. Iblis mengajukan kompromi terhadap Yesus. Seolah Iblis berkata, “Baiklah kita kompromi saja, aku memberikan segala kekuasaann duniawi dan kemuliaannya, asal engkau sujud menyembah aku sebentar saja! Mungkin saja kita dapat menduga bahwa Yesus akan mengganggap remeh godaan ini oleh karena dia adalah Tuhan pemilik kuasa sebenarnya. Kita harus mengingat Yesus juga manusia dan Ia harus menjalankan misi Allah. Dilihat dari sisi manusiawi, bukankah tawaran kompromi Iblis ini menarik? Bukankah dengan memiliki kuasa duniawi Yesus akan mudah mendapatkan pengikut? Sebab orang-orang nasionalis dari kalangan Yahudi mengharapkan bahwa Mesias adalah seorang yang tanpil dan menaklukkan kuasa dunia!

Penolakkan kompromi itu berarti Yesus memilih jalan yang tidak mudah. Ia memilih jalan “Hamba Tuhan yang menderita”. Apa yang memampukan Yesus menolak godaan kompromi? Kembali, Yesus mengutip Ulangan 6:13, “Engkau harus takut akan TUHAN, Allahmu, kepada Dia haruslah engkau beribadah..” Yesus bersikap tegas, biarpun Iblis tidak meminta menyembahnya sebagai Tuhan, tetapi hanya sebentar saja bahkan hanya proforma saja memberi hormat kepadanya, Yesus menganggap setiap tanda penghormatan, bagaimanapun kecilnya, adalah bertentangan dengan sikap yang dituntut oleh firman Allah. Yesus tahu dan mengerti bahwa percaya kepada Allah menuntut ketaatan secara mutlak! Mengapa kita sering kalah terhadap pencobaan? Jawabnya, kita tidak seperti Yesus. Kita mudah kompromi dengan kilaunya harta dan kenikmatan dunia. Ada setumpuk alasan pembenaran bahwa kita gagal setia lalu kompromi!

Hebat juga si Iblis, inilah yang mungkin bisa kita pelajari darinya: tidak kenal menyerah! Kali ini Ia menggunakan lagi nas Alkitab membujuk Yesus untuk menjatuhkan diri dari bubungan Bait Allah. Lalu Iblis membisikan kepada-Nya: “Jika Engkau betul-betul Anak Allah, lakukanlah mujizat yang menimbulkan sensasi, sehingga orang banyak memuliakan Engkau sebagai Mesias! Perhatikan, sekarang Iblis mencoba menggoda Yesus supaya mau lebih maju dari kepercayaan itu dan mau melampaui batas-batas kepercayaan! Dengan jalan menjatuhkan diri tampaknya merupakan bukti dari kepercayaan itu. Tetapi sebenarnya adalah upaya untuk menantang dan memaksa Allah memberi pertolongan. Lagi-lagi Yesus menang atas cobaan itu dengan menggunakan firman Allah. Ulangan 6:16, “Jangan kamu mencobai TUHAN Allahmu…” Adalah senjata pamungkas Yesus lalu Iblis mengundurkan diri. Godaan popularitas sering kali menghampiri kita. Kita tergoda untuk melakukan hal-hal spektakuler lalu memaksa Tuhan untuk melakukannya.  

Dari pengalaman Yesus dicobai, kita mendapat gambaran bahwa ternyata pencobaan itu tidak datang hanya dalam bentuk-bentuk penderitaan, bencana yang mengerikan, dan kesulitan dalam kehidupan ini. Ingatlah bahwa Iblis adalah sosok pandai. Ia tahu dan hafal firman Allah, tidak hanya itu tetapi pandai memutarbalikkannya untuk menjatuhkan manusia. Tidak ada cara lain untuk menang dalam menghadapi pencobaan Iblis kecuali belajar menerapkan apa yang sudah Yesus lakukan dan sudah teruji menang, yakni: Mengandalkan dan bergantung total kepada Allah, tidak mengenal kompromi dengan kuasa jahat betapa pun tawarannya menggiurkan, tidak melakukan sensasi dan memaksa Allah melakukan apa yang kita ingini!

Selasa, 09 Februari 2016

ALLAH MEMPERBARUI

“Ingatlah jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.” (Matius 6;1).

Rasanya tidak ada kehidupan beragama tanpa disertai dengan ritual. Apa yang paling menonjol dalam ritual keagamaan? Jawaban yang paling sering muncul adalah sedekah atau beramal, berdoa atau sembahyang dan berpuasa. Ketiga disiplin rohani ini jika dilakukan dengan semestinya pasti mendatangkan kebajikan bagi siapa saja yang melakukannya. Namun, di balik upaya kesalehan itu ada bahaya yang sulit terditeksi, yakni: kesombongan! Kesombongan adalah dosa yang paling tidak terlihat. Godaan kesombongan selalu mengetuk pintu hati orang-orang kudus dan saleh setiap hari, serta memperlihatkan kehidupan yang terlihat terang di luar namun gelap di dalam. Andrew Murray menuliskan, “Tidak ada kebanggaan yang lebih membahayakan, tersembunyi dan busuk, daripada kebanggaan akan kekudusan diri.”

Kesombongan adalah satu-satunya dosa yang memerlukan kebaikan agar bisa terlihat eksis. Kesombongan bersembunyi di balik kebaikan dan inilah mengapa ia sulit untuk disadari. Sebenarnya dalam diri kita sudah terdapat semacam alarm. Kita bisa mengetes alarm ini. Perhatikan baik-baik: jika kita melakukan sesuatu kesalehan tanpa ada yang mengetahuinya, kemudian kita menjadi gelisah karena tidak mendapatkan apa yang kita inginkan – yakni pengakuan dan pujian. Alarm itu akan membuat kita gelisah. Di situlah mestinya kita waspada dan berusaha menentramkan jiwa yang gelisah itu. Caranya? Mudah, buang saja keinginan untuk disanjung! Sayangnya, kita sering tidak optimal mengupayakannya. Sebaliknya, berusaha menentramkan jiwa yang gelisah itu dengan mencari pujian ke sana ke mari.

Yesus memberi tanggapan atas ketiga kesalehan yang membuat orang menjadi sombong rohani. Pertama, Yesus menegur orang-orang yang memberikan sedekah kepada orang-orang miskin. Tidak ada yang salah memberi sedekah kepada orang miskin. Tindakan itu baik dan terpuji! Yesus tidak sedang melarang jika ada orang mengetahui pemberian Anda. Namun, yang terjadi di sini Yesus mempertanyakan apakah pemberian itu dicanangkan agar orang-orang memuji kita? Jika iya, maka sesungguhnya kita telah mendapatkan upahnya. Bukan dari Bapa di sorga tapi dari dunia ini!

Yesus mengkritik dan memberi solusi.  Katanya, ketika kita memberi sedekah, janganlah tangan kiri kita tahu apa yang diperbuat oleh tangan kanan. Beberapa pakar percaya bahwa yesus sedang mengacu pada kotak persembahan yang diletakkan di sisi kanan pintu masuk Bait Suci, yang berarti persembahan yang akan diberikan tangan kanan. Gambaran ini menunjukkan bahwa  kita harus melakukan perbuatan baik (memberikan uang kita kepada orang lain) dengan sikap tangan kiri tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kanan. Jika ada yang bertanya, “Hai, apakah kamu baru saja memberikan uang kepada orang miskin tadi?” Anda harus menjawab, “Hmm. Oh, ya? Saya tidak ingat!” Dan Anda memang benar-benar tidak mengingatnya. Di situlah Anda memberi kepada tersembunyi kepada Tuhan! Dan orang yang menerimanya tidak usah rikuh dan bersyukur kepada Anda melainkan ia akan bersyukur kepada Tuhan. Memberi kepada Tuhan dan Tuhan memberi kepada si miskin.

Kedua, Yesus mengeritik praktek doa di sinagoge dan tikungan jalan raya. Orang Yahudi saleh bedoa tiga kali dalam sehari, terkadang di tempat-tempat umum. Pada jam embilan orang Yahudi akan pergi ke sinagoge untuk berdoa. Mereka berdoa dengan suara keras sambil berdiri. Semua orang tahu jika seseorang sedang berdoa. Berdoa tidak salah! Namun, dengan cara seperti itu Yesus mempertanyakan apa motivasi sebenarnya dalam berdoa? Apakah kita ingin dilihat orang ketika kita berdoa dan kemudia mereka berdecak kagum atas kesalehan kita? Motivasi inlah yang dipandang keliru oleh Yesus. Yesus mengajarkan, jika ingin berdoa, masuklah kamar, tutup dank unci pintunya dan berdoalah kepada Bapa yang ada di tempat tersembunyi, maka Bapamu akan melihat dan membalasnya kepadamu. Kalimat ini adalah permainan kata yang luar biasa. Ada orang-orang yang ingin dilihat oleh orang lain, tetapi Allah adalah pribadi yang tidak terlihat. Allah tidak hanya melihat dari tempat tersembunyi tetapi Dia sendiri juga tersembunyi. Dengan kata lain, Allah tidak suka pamer, Ia adalah pribadi yang tidak sombong. R.T. France mengatakan, “Allah itu tidak terlihat, berbeda dengan para penyembah-Nya yang terlihat (dan mungkin juga sangat ingin dilihat).” Doa adalah sesuatu yang sangat pribadi. “Kamar” yang dimaksud Yesus bisa jadi adalah gudang, karena pada zaman itu hanya gudanglah yang bisa dikunci.

Kita harus mengunci pintu untuk memastikan bahwa tidak ada yang melihat kita sedang berdoa. Privasi macam inilah yang membuat kita “tidak terlihat” oleh orang lain tetapi bisa bersekutu dengan Allah. John Chrysostom menulis, “Mengapa kita harus berdoa? Bukan untuk menyuruh Allah melakukan apa yang kita ingini, melainkan untuk menang bersama-Nya; untuk dekat  dengan-Nya, dalam keberlangsungan doa permohonan; untuk menjadi rendah hati; untuk mengingatkan dosa kita.” Doa yang seperti ini hanya bisa dilakukan dengan “rahasia.”

Ketiga, Yesus mengeritik orang-orang berpuasa. Ingat Yesus tidak melarang puasa! Orang Yahudi berpuasa dua kali dalam seminggu (Luk.18:12), biasanya pada hari Senin dan Kamis. Beberapa orang mengenakan jubah atau pakaian berkabung. Mereka menaruh debu dan abu pada wajah mereka sebagai symbol pengakuan dosa dan perkabungan sikap ini bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Yesus mengajarkan bahwa puasa harus dilakukan tanpa memberitahukan kepada orang lain. Ketika kita berpuasa mestinya tidak usah lagi memakai pakaian kabung dan abu supaya dilihat orang. Penampilan kita harus normal. Mencuci wajah dan memakai minyak adalah budaya umum zaman Yesus. Tidak ada orang yang berpuasa pada zaman Yesus sengaja mencuci muka dan memakai minyak. Membuat orang lain tahu bahwa kita sedang berpuasa menunjukkan motivasi kita adalah untuk membuat orang lain terkesan; terpesona, dan bukan mendisiplinkan diri untuk mendekatkan diri kepada Allah.

“Hiduplah untuk dilihat Allah.” Pepatah Puritan ini dengan tepat menggambarkan kehidupan Kerajaan Allah. Kalau mau jujur, kebanyakan kita hidup untuk dilihat orang banyak, sambil mengira-ngira apa yang dipikirkan atau dikatakan oleh orang lain tentang kita. Tetapi jarang sekali kita mengira-ngira apa yang dipikirkan dan dikatakan Allah mengenai kita. Ketika kita mencari hal yang di atas dengan segenap pikiran dan hati kita (lih. Kolose 3:1), kita menjadi tidak ingin lagi dinilai oleh orang banyak selain Allah. Apa yang kita lakukan bagi Allah menjadi lebih penting!

Jika demikian, seharusnya orang-orang yang merasa diri saleh itulah yang terlebih dahulu bertobat. Bertobat dari dosa yang paling tersembunyi, yakni memanipulasi kesalehan agama untuk kepentingan dan kebanggaan diri.  “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia,…” Kata nabi Yoel (Yoel 2:13). Sejak dulu TUHAN Allah membenci kedok dan kemunafikan! Tanggalkanlah semua itu, marilah kita melakukan pertobatan yang sesungguhnya dengan demikian kita memberikan diri untuk diperbarui Allah!