Kamis, 04 Februari 2016

MENGALAMI KEMULIAAN ALLAH DALAM KRISTUS

Lucy Newton Boswell Negus, seorang penyair berbakat dari Gereja Santo Paulus, Richmond, Virginia, Amerika Serikat merangkum khotbah-khotbah John Shelby Spong menjadi sebuah syair yang indah. Spong adalah seorang pendeta dan uskup Gereja Episkopal selama 45 tahun. Ia seorang pakar yang banyak berbicara dan memertanyakan pemahaman tradisional Kristen yang menyelubungi sejarah Yesus mulai dari kelahiran yang ajaibnya dari seorang perawan hingga kenaikkannya ke sorga. Tampaknya, seperti para pemikir kritis Yesus sejarah, Spong tidak puas lalu menggugat mujizat-mujizat spektakuler dan keilahian Yesus. Bahkan tidak hanya berhenti di situ, ia juga mempertanyakan apakah masih relevan dalam zaman modern ini percaya kepada konsep Allah tradisional (Allah yang tinggal di singgasana sambil memerhatikan dan mencatat apa yang dilakukan manusia. Jika manusia itu berkenan maka akan diberi-Nya berkat, tetapi jika tidak maka petaka yang menjadi imbalannya.) Sikapnya ini, tentu banyak menuai pro-kontra. Andrew Brown dari Sunday Independent, menyebutnya uskup yang atheis. Namun, ternyata syair yang menyimpulkan khotbah-khotbah Spong berbeda dengan yang dipikirkan oleh Andrew Brown dan kelompoknya. Dia masih Kristen! Simaklah syair ini:

Kuasa Kristus

Lihatlah dia!
Lihatlah bukan pada keilahiannya,
tapi lihatlah pada kebebasannya.
Lihatlah bukan pada kisah-kisah yang dibesar-besarkan tentang kuasanya,
tapi lihatlah pada kemampuannya yang tidak terbatas untuk memberi dirinya sendiri.
Lihatlah bukan pada mitologi abad pertama yang menyelimuti dirinya,
tapi lihatlah pada keberaniannya untuk menjadi dirinya sendiri,
pada kemampuannya untuk hidup, dan pada kualitas kasihnya yang menyebar.

Hentikanlah pencarianmu yang gelisah!
Tenanglah dan ketahuilah bahwa ini adalah Allah:
Cintakasih ini,
Kebebasan ini,
Kehidupan ini,
Keberadaan ini,

Dan
Ketika engkau diterima, terimalah dirimu sendiri;
ketika engkau diampuni, ampunilah dirimu sendiri;
ketika engkau dikasihi, kasihilah dirimu sendiri;
genggamlah kuasa Kristus
dan beranilah menjadi
 dirimu sendiri!

Spong menggunakan istilah “mitologi” untuk menyebut segala mujizat dan jalan hidup Yesus yang di luar kebiasaan manusia pada umumnya. Sisi inilah yang tampaknya menjadi daya tarik dari kekristenan dari dulu sampai hari ini. Tidak heran pada kelompok-kelompok Kristen tertentu kemuliaan dan kekuasaan Yesus sebagai Tuhan begitu terasa kuat. Pengalaman-pengalaman kesaksian spektakuler menjadi menu utama. Yesus bisa melakukan apa pun; mengusir setan, menyembuhkan pelbagai penyakit, melipatgandakan makanan, membaca pikiran orang, meredakan badai dan membangkitkan orang mati karena Ia adalah Tuhan Sang Penguasa! Pemahaman ini sering membawa kita melupakan sisi lain dari Yesus, yang adalah seorang anak manusia yang harus juga bergumul dengan tugas panggilannya.

Adalah benar bahwa Yesus sosok manusia yang mulia. Namun, harusnya kita dapat melihat apa yang membuatnya menjadi mulia atau dimuliakan? Hari ini kita belajar melalui peristiwa transfigurasi ; Yesus yang berubah wujud menjadi berkilau bermandikan cahaya (Lukas 9:28-43). Lukas mencatat, peristiwa itu didahului oleh peringatan Yesus kepada para murid-Nya tentang penderitaan yang harus ditanggung-Nya dan syarat-syarat mengikut Dia. Dari sini kita mendapat gambaran bahwa Yesus tahu percis apa yang akan terjadi dan untuk itu Ia menyiapkan para murid. Setelah pemberitahuan pertama itu, Ia membawa para murid naik ke atas gunung untuk berdoa. Mereka yang diajak adalah Petrus, Yohanes dan Yakobus. Peristiwa ini seolah menggambarkan bahwa Yesus sebagai seorang anak manusia yang tahu akan tugas berat yang akan dijalani-Nya memerlukan kekuatan dari Allah, Bapa-Nya.

Pada saat Yesus berdoa itulah Ia mengalami perubahan rupa yang kemudian diikuti oleh pembicaraan Yesus bersama Musa dan Elia. Apa yang mereka bicarakan? Ayat 31 memberi gambaran, “Keduanya menampakkan diri dalam kemuliaan dan berbicara tentang tujuan kepergian-Nya yang akan digenapi-Nya di Yerusalem.” Jadi Musa dan Elia – kedua merupakan sosok yang begitu dimuliakan oleh orang Yahudi – bukan semata-mata datang untuk menambah spektakuler Yesus yang berubah rupa itu. Mereka hadir di situ untuk membicarakan tentang misi Yesus yang harus mati di Yerusalem. Apa reaksi dari ketiga murid Yesus? Petrus mewakili dua murid yang lain meminta kepada Yesus agar dirinya diperkenankan membuat tiga kemah, masing-masing untuk Yesus, Musa dan Elia (Ayat 32). Meski ayat itu tidak mencatat motivasi Petrus ingin membuat kemah-kemah itu, namun ungkapanya, “betapa bahagianya kami berada di tempat ini..” menunjukkan bahwa peristiwa Yesus yang berubah rupa dan hadirnya dua tokoh utama Perjanjian Lama setidaknya telah menimbulkan keterpesonaan dan kekaguman serta kebahagiaan tersendiri bagi Petrus, termasuk kedua temannya itu. Petrus merasakan aura dasyat yang menyelubungi mereka di atas gunung itu. Fokusnya pasti bukan ke arah topik pembicaraan tentang misi via dolorosa Yesus. Melainkan, kepada betapa indahnya suasana itu!

Ada perbedaan substansial antara apa yang dilakukan dan dipikirkan Yesus dengan sikap para murid. Yesus memikirkan dan memersiapkan jalan memenuhi misi Allah sedangkan para murid menikmati suasana indah dan memesona itu sehingga enggan beranjak dari gunung mistis itu. Kemuliaan yang dipikirkan dan dijalan Yesus adalah kemuliaan dengan jalan memenuhi semua tugas berat yang akan dipikul-Nya; menjadi mulia berarti taat sampai mati. Sementara para murid memandang kemuliaan itu ketika sosok figur-fugur suci dan suasana spektakuler menyelimuti mereka. Saya kira tepat seperti syair Negus: “…Lihatlah bukan pada kisah-kisah yang dibesar-besarkan tentang kuasanya, tapi lihatlah pada kemampuannya yang tidak terbatas untuk memberi dirinya sendiri.. Yesus menjadi mulia dan dimuliakan karena sedari awal Ia tahu untuk apa kehadiran-Nya di dunia ini dan Ia bersedia menerima tugas berat yang harus dipikul-Nya itu. Para murid gagal faham tetang sebuah kemuliaan, oleh karena itu di penghujung peristiwa trasfigurasi suara langit perlu menegaskan mereka kembali, “Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia.” (Luk.9:35). Suara ini hendak mengingatkan para murid akan apa yang baru saja mereka dengar dan saksikan. Para murid rupanya terkecoh oleh “bungkus” yang mereka saksikan. Mereka terpesona oleh kilauan cahaya tetapi makna substansinya kabur. Yang hakiki itu adalah peringatan Yesus dan pembicaraan-Nya bersama Musa dan Elia tentang kesengsaraan dan vonis kematiaan-Nya di Yerusalem. Sedangkan bungkusnya adalah kilauan cahaya itu!

Bukankah kita seringkali terkecoh dengan bungkus ketimbang isinya. Keyakinan agama termasuk Kristen sering terjebak kepada kemuliaan semu. Inilah yang dikritik oleh Spong, bahwa keyakinan atau iman hanya sebatas meneruskan doktin tanpa berusa menggalinya. Pada umumnya kita sudah cukup puas dengan mengetahui pokok-pokok ajaran dan iman Kristen. Kita puas kalau sudah berdoa, baca kitab suci dan melakukan ibadah formal. Itu tidak salah dan harus dilakukan! Menjadi keliru kalau hanya berhenti di situ. Ingatlah peristiwa transfigurasi Yesus. Yang membuat Dia mulia bukan karena Dia naik ke atas gunung. Tetapi tekad-Nya untuk setia pada panggilan yang dijalani-Nya sampai tuntas. 

Kita juga bisa mengalami kemuliaan Allah. Caranya? Jelas, bukan dengan jalan naik ke atas gunung lalu mendirikan kemah seperti yang diusulkan oleh Petrus. Bukan pula dengan kemilaunya “berkat” kehidupan. Melainkan, dengan jalan seperti Yesus, yakni mengenal panggilan hidup di dalam Tuhan dan berusaha dengan optimal, bahkan dengan sukacita menjalaninya, meskipun hal tersebut berat, penuh tantangan dan derai air mata.

Kamis, 28 Januari 2016

MENGHADIRKAN KRISTUS DAN KASIH-NYA BERSAMA-SAMA

Negeri ini tidak kurang amunisi kegaduhan. Setelah beberapa bulan polemik “papa minta saham” yang menyita perhatian masyarakat. Kini, genderang kegaduhan itu berbunyi kembali. Kegaduhan itu dipicu ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah ruang kerja tersangka Dhamayanti Wisnu Putranti, anggota DPR dari Komisi V. Penggeledahan itu memicu protes dan kemarahan Fahri Hamzah, wakil ketua DPR. Ia marah lantaran KPK membawa pasukan Brigade Mobil (Brimob) lengkap dengan senjata laras panjang. Tindakan KPK dianggap berlebihan dan tidak menghormati Lembaga Negara yang mulia, yakni DPR. Sebaliknya, KPK bersih keras bahwa apa yang dilakukan mereka adalah upaya mengumpulkan bukti-bukti terkait kasus suap dari salah satu anggota DPR. Sebagaimana penggeledahan terhadap siapa pun, KPK memandang penting penjagaan untuk mengamankan proses penggeledahan. KPK mengacu kepada UU No.8 tahun 1981 tentang KUHP. Pasal 127 yang menyatakan, “Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan.” Atas ketidakpuasan itu, DPR memanggil pimpinan KPK dan Polri. Banyak pakar hukum, salah satunya Indriyanto Seno Adji menyayangkan sikap pimpinan DPR yang dinilainya esprit de corps (setia kawan) berlebihan. Sehingga DPR terkesan melindungi koruptor. Akibatnya timbul pembenaran atas persepsi bahwa korupsi telah menyebar dan merata di kalangan institusi pemerintah, kenegaraan atau pun swasta. Bahkan, korupsi sudah dianggap sebagai bagian hidup bangsa ini. Korupsi individu sebagai bentuk konvensional sudah tertinggal (Seno Adji, Kompas 28 Jan 2016).

Dari dua kegaduhan yang akhir-akhir ini mengusik lembaga negara kita dapat menunjukkan bahwa yang dipentingkan bukannya menyeret orang yang bersalah ke ranah hukum melainkan hal-hal yang remeh-temeh, seperti legal standing saksi: siapa yang menyampaikan, sah tidaknya rekaman menjadi alat bukti, dan kali ini ketersinggungan Dewan yang terhormat lantaran digeledah dengan membawa senjata laras panjang. Di sinilah kita menyadari bahwa orang-orang yang berjuang menegakkan hukum akan berhadapan dengan kekuatan-kekuatan besar. Mereka akan merusaha membukam, memberangus dan membinasakan orang-orang yang dengan setia menegakkan hukum dan kebenaran. Maka tidak cukup hanya nyali dan niat saja untuk membongkar segala bentuk kejahatan. Kepandaian, strategi, dan yang terutama keyakinan bahwa Tuhan pasti menyertainya, mutlak diperlukan.

Yeremia, anak muda dari Anatot, sebelah Utara Yerusalem tidak segan-segan mengeritik rezim korup dan penindas, raja Yoyakhim. Yeremia 7 dan 26 menggambarkan bagaimana ia membuat gaduh Israel. Yeremia mengatakan bahwa tidak ada gunanya percaya kepada Allah yang melindungi, bahkan ia berani mengatakan bahwa Bait Allah pantas dihancurkan. Sama seperti kemah suci di Silo, tempat tabut perjanjian disimpan pada zaman Samuel kalau cara ibadah mereka munafik! Apa reaksi dari kecaman Yeremia? Umat dan para pembesar marah. Mereka berusaha menangkap dan mengancamna (Yer 26:8). Para pemimpin berkumpul di gerbang kota, di mana soal hukum biasanya dibicarakan dan mereka siap mengadili sang nabi itu. Para imam dan pemimpin mengancam nabi untuk dihukum mati! Peristiwa itu tentu membawa membuat Yeremia takut. Tetapi ia tidak melarikan diri dari tugasnya. Nabi berbicara lagi (Yer.20-23), kali ini ucapannya ditujukan khusus kepada para pemimpin, para imam dan nabi-nabi palsu. Intinya, ia mengingatkan bahwa pelanggaran dan kejahatan yang mereka lakukan akan membawa bangsanya kepada kehancuran. Atas kiprahnya itu, Yeremia ditahan beberapa kali, ia dimasukkan dalam penjara bahkan dalam sebuah sumur (Yer. 37-39). Tantangan berat tidak menyurutkan Yeremia untuk berkarnya. Mengapa? Setidaknya ia memahami bahwa TUHAN sendirilah yang telah membentuknya sejak dari rahim ibunya. TUHAN sendirilah yang telah mengkhususkan dirinya menjadi utusan-Nya. TUHAN sendirilah yang menaruh firman-Nya pada mulut Yeremia dan Ia berjanji akan selalu menyertai Yeremia (Yeremia 1:4-10).


Bak pribahasa mengatakan, “buruk rupa, cermin dibelah”. Yeremia, ia hadir bagaikan cermin yang memberitahukan rupa sebenarnya dari bangsa Yehuda itu. Alih-alih, memperbaiki kesalahan justeru mereka berusaha melenyapkan orang yang memberitahukannya. Tidak ada sedikit pun upaya membenahi diri, mereka lebih suka mendengar senandung nina bobo Hananya, nabi palsu itu. Bukankah hal ini juga terjadi dalam kehidupan negeri ini. Kisah Munir yang disingkirkan dengan racun sianida. Para komisioner dan penyidik KPK yang justeru kompeten malah dicari-cari kesalahannya agar dapat dibungkam dan dijebloskan ke dalam penjara. Tidak terhitung lagi para wartawan dan jurnalis yang mengungkap fakta dan kebenaran harus berakhir dengan tragis!

Mempermasalahkan yang bukan esensi rupanya itu juga yang dihadapi Yesus. Lukas 4 mencatat, setelah Yesus dicobai di padang gurun lalu Ia kembali ke Galilea. Kedatangan-Nya disambut dan semua orang memuji-Nya (Luk. 4:14). Namun, pemandangan ini berbeda. Ketika Yesus tiba di Nazaret, pada hari Sabat itu Ia masuk ke rumah ibadat dan membacakan kitab nabi Yesaya (Yesaya 61:1-2). Pada akhir pembacaan Yesus mengatakan, “Pada hari ini genaplah nas ini pada waktu kamu mendengarnya.”(Luk.4:21). Semula orang-orang yang mendengar-Nya membenarkan Yesus. Mereka kagum dengan kata-kata Yesus. Namun, sejurus kemudian mereka mulai bertanya, “Bukankah, Ia ini anak Yusuf?” Seakan mereka lupa apa yang baru saja diajarkan Yesus. Bagi mereka yang penting itu bukan apa isi ajaran dan semua tanda-tanda yang menyertai Yesus, melainkan siapa yang berbicara! Orang-orang itu menuntut legal standing dari Yesus. Mereka tidak puas hanya karena orang yang berbicara itu adalah anak seorang tukang kayu yang masa kecil-Nya mereka tahu. Bukankah seringkali kita berpandangan sama seperti orang-orang Nazaret itu. Kita kurang menaruh minat apalagi menghargai dan bersyukur kepada orang-orang yang telah menyampaikan teguran dan kebenaran oleh karena kita memandang orang tersebut di bawah level kita. Sebaliknya, kita menjadi antusia dan mengapresiasi apabila yang menyampaikan itu orang terpandang, dan bependidikan tinggi.

Seperti halnya Yeremia, walaupun Yesus hendak dihakimi dan dijerumuskan dari tebing yang tinggi. Namun, Ia tidak menyerah atau trauma dan kemudian meninggalkan misi-Nya. Ia pergi dari Nazaret menuju ke Kapernaum dan terus berkeliling dari kampung ke kampung untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah sampai akhir hidup-Nya.

Sebagai orang-orang yang mengenal Allah melalui cinta kasih Kristus mestinya dapat meneruskan kepedulian Allah terhadap dunia ini dengan “Menghadirkan Kristus dan kasih-Nya bersama-sama” pada konteks di mana saat ini kita berada tentu bukan perkara mudah. Kemunafikan terus terjadi, sandiwara dan pencitraan menjadi jualan yang terus-menerus dijajakan. Hedonisme dan keserakahan semakin dipuja. Kejahatan semakin berebak baik varian, intensitas dan “kualitasnya”. Menghadirkan Kristus dan kasih-Nya bersama-sama tidak cukup hanya dengan ngomong doang! Tidak pula pas dengan sekedar membeberkan kisah kesaksian. Bukan pula dengan doktrin-doktrin klasik yang jlimet. Menghadirkan Kristus berarti membuat Dia bisa dikenali dan disapa. Identitas paling kuat yang melekat pada diri-Nya adalah kasih! Menghadirkan Yesus tanpa kualitas kasih yang ada pada diri-Nya adalah omong kosong. Paulus mengingatkan sekali pun ia bisa ini dan itu tetapi tanpa kasih ibarat gong yang berkumandang dan canang yang bergemerincing.

Kini dan di sinilah peran kita. Membuat cinta kasih Yesus itu hidup kembali. Tidak ada cara lain, kecuali kita memperagakannya. Bagi kebanyakan orang, kasih hanyalah sebuah perasaan emosional. Bagi pengikut Yesus, tidak! Kata Yunani agapao mengacu bukan kepada perasaan melainkan kepada sebuah tindakan. Mengasihi (agapau) berarti “menghendaki sesuatu yang baik buat orang lain”. Kasih yang sesungguhnya tidak melibatkan emosi dalam hal ini rasa suka (contohnya: kalau aku suka, maka aku memberi) . Agape selalu menginginkan kebaikan bagi orang lain tanpa mengambil keuntungan buat diri sendiri dan memperlihatkan keinginan itu dengan sebuah tindakan nyata. Inilah poin pentingnya. Jika kita menggunakan emosi, mengasihi musuh menjadi tindakan yang mustahil. Mengapa? Karena saya tidak akan pernah merasakan cinta atau suka kepada orang yang menyakiti saya. Yesus tidak pernah meminta para murid untuk merasakan cinta tetapi untuk melakukan tindakan kasih kepada semua orang, termasuk musuh sekalipun. Mudah bagi kita untuk mengasihi orang yang mencintai kita, bahkan pemungut cukai pun bisa. Tetapi sulit bagi kita untuk mengasihi orang yang telah melukai kita. Mudah bagi kita untuk mendoakan orang yang mengasihi kita, tetapi sulit jika mereka menyakiti kita. Akan tetapi ini dapat kita lakukan. Jika kita dapat melakukannya, maka kita dapat menghadirkan Yesus kini dan di sini!