Lucy Newton Boswell Negus, seorang penyair
berbakat dari Gereja Santo Paulus, Richmond, Virginia, Amerika Serikat
merangkum khotbah-khotbah John Shelby Spong menjadi sebuah syair yang indah.
Spong adalah seorang pendeta dan uskup Gereja Episkopal selama 45 tahun. Ia seorang
pakar yang banyak berbicara dan memertanyakan pemahaman tradisional Kristen yang
menyelubungi sejarah Yesus mulai dari kelahiran yang ajaibnya dari seorang
perawan hingga kenaikkannya ke sorga. Tampaknya, seperti para pemikir kritis
Yesus sejarah, Spong tidak puas lalu menggugat mujizat-mujizat spektakuler dan
keilahian Yesus. Bahkan tidak hanya berhenti di situ, ia juga mempertanyakan
apakah masih relevan dalam zaman modern ini percaya kepada konsep Allah
tradisional (Allah yang tinggal di singgasana sambil memerhatikan dan mencatat
apa yang dilakukan manusia. Jika manusia itu berkenan maka akan diberi-Nya
berkat, tetapi jika tidak maka petaka yang menjadi imbalannya.) Sikapnya ini,
tentu banyak menuai pro-kontra. Andrew Brown dari Sunday Independent, menyebutnya uskup yang atheis. Namun, ternyata
syair yang menyimpulkan khotbah-khotbah Spong berbeda dengan yang dipikirkan
oleh Andrew Brown dan kelompoknya. Dia masih Kristen! Simaklah syair ini:
Kuasa Kristus
Lihatlah dia!
Lihatlah bukan pada keilahiannya,
tapi lihatlah pada kebebasannya.
Lihatlah bukan pada kisah-kisah yang
dibesar-besarkan tentang kuasanya,
tapi lihatlah pada kemampuannya yang tidak
terbatas untuk memberi dirinya sendiri.
Lihatlah bukan pada mitologi abad pertama yang
menyelimuti dirinya,
tapi lihatlah pada keberaniannya untuk menjadi
dirinya sendiri,
pada kemampuannya untuk hidup, dan pada kualitas
kasihnya yang menyebar.
Hentikanlah pencarianmu yang gelisah!
Tenanglah dan ketahuilah bahwa ini adalah Allah:
Cintakasih ini,
Kebebasan ini,
Kehidupan ini,
Keberadaan ini,
Dan
Ketika engkau diterima, terimalah dirimu sendiri;
ketika engkau diampuni, ampunilah dirimu sendiri;
ketika engkau dikasihi, kasihilah dirimu sendiri;
genggamlah kuasa Kristus
dan beranilah menjadi
dirimu
sendiri!
Spong menggunakan istilah “mitologi” untuk
menyebut segala mujizat dan jalan hidup Yesus yang di luar kebiasaan manusia
pada umumnya. Sisi inilah yang tampaknya menjadi daya tarik dari kekristenan
dari dulu sampai hari ini. Tidak heran pada kelompok-kelompok Kristen tertentu
kemuliaan dan kekuasaan Yesus sebagai Tuhan begitu terasa kuat. Pengalaman-pengalaman
kesaksian spektakuler menjadi menu utama. Yesus bisa melakukan apa pun;
mengusir setan, menyembuhkan pelbagai penyakit, melipatgandakan makanan,
membaca pikiran orang, meredakan badai dan membangkitkan orang mati karena Ia
adalah Tuhan Sang Penguasa! Pemahaman ini sering membawa kita melupakan sisi
lain dari Yesus, yang adalah seorang anak manusia yang harus juga bergumul
dengan tugas panggilannya.
Adalah benar bahwa Yesus sosok manusia yang mulia.
Namun, harusnya kita dapat melihat apa yang membuatnya menjadi mulia atau
dimuliakan? Hari ini kita belajar melalui peristiwa transfigurasi ; Yesus yang berubah wujud menjadi berkilau
bermandikan cahaya (Lukas 9:28-43). Lukas mencatat, peristiwa itu didahului
oleh peringatan Yesus kepada para murid-Nya tentang penderitaan yang harus
ditanggung-Nya dan syarat-syarat mengikut Dia. Dari sini kita mendapat gambaran
bahwa Yesus tahu percis apa yang akan terjadi dan untuk itu Ia menyiapkan para
murid. Setelah pemberitahuan pertama itu, Ia membawa para murid naik ke atas
gunung untuk berdoa. Mereka yang diajak adalah Petrus, Yohanes dan Yakobus.
Peristiwa ini seolah menggambarkan bahwa Yesus sebagai seorang anak manusia
yang tahu akan tugas berat yang akan dijalani-Nya memerlukan kekuatan dari
Allah, Bapa-Nya.
Pada saat Yesus berdoa itulah Ia mengalami
perubahan rupa yang kemudian diikuti oleh pembicaraan Yesus bersama Musa dan
Elia. Apa yang mereka bicarakan? Ayat 31 memberi gambaran, “Keduanya menampakkan diri dalam kemuliaan
dan berbicara tentang tujuan kepergian-Nya yang akan digenapi-Nya di Yerusalem.”
Jadi Musa dan Elia – kedua merupakan sosok yang begitu dimuliakan oleh orang
Yahudi – bukan semata-mata datang untuk menambah spektakuler Yesus yang berubah
rupa itu. Mereka hadir di situ untuk membicarakan tentang misi Yesus yang harus
mati di Yerusalem. Apa reaksi dari ketiga murid Yesus? Petrus mewakili dua
murid yang lain meminta kepada Yesus agar dirinya diperkenankan membuat tiga
kemah, masing-masing untuk Yesus, Musa dan Elia (Ayat 32). Meski ayat itu tidak
mencatat motivasi Petrus ingin membuat kemah-kemah itu, namun ungkapanya, “betapa bahagianya kami berada di tempat
ini..” menunjukkan bahwa peristiwa Yesus yang berubah rupa dan hadirnya dua
tokoh utama Perjanjian Lama setidaknya telah menimbulkan keterpesonaan dan
kekaguman serta kebahagiaan tersendiri bagi Petrus, termasuk kedua temannya
itu. Petrus merasakan aura dasyat yang menyelubungi mereka di atas gunung itu. Fokusnya
pasti bukan ke arah topik pembicaraan tentang misi via dolorosa Yesus.
Melainkan, kepada betapa indahnya suasana itu!
Ada perbedaan substansial antara apa yang
dilakukan dan dipikirkan Yesus dengan sikap para murid. Yesus memikirkan dan
memersiapkan jalan memenuhi misi Allah sedangkan para murid menikmati suasana
indah dan memesona itu sehingga enggan beranjak dari gunung mistis itu.
Kemuliaan yang dipikirkan dan dijalan Yesus adalah kemuliaan dengan jalan
memenuhi semua tugas berat yang akan dipikul-Nya; menjadi mulia berarti taat
sampai mati. Sementara para murid memandang kemuliaan itu ketika sosok figur-fugur
suci dan suasana spektakuler menyelimuti mereka. Saya kira tepat seperti syair
Negus: “…Lihatlah bukan pada kisah-kisah
yang dibesar-besarkan tentang kuasanya, tapi lihatlah pada kemampuannya yang
tidak terbatas untuk memberi dirinya sendiri.. Yesus menjadi mulia dan
dimuliakan karena sedari awal Ia tahu untuk apa kehadiran-Nya di dunia ini dan
Ia bersedia menerima tugas berat yang harus dipikul-Nya itu. Para murid gagal
faham tetang sebuah kemuliaan, oleh karena itu di penghujung peristiwa
trasfigurasi suara langit perlu menegaskan mereka kembali, “Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah
Dia.” (Luk.9:35). Suara ini hendak mengingatkan para murid akan apa yang
baru saja mereka dengar dan saksikan. Para murid rupanya terkecoh oleh “bungkus”
yang mereka saksikan. Mereka terpesona oleh kilauan cahaya tetapi makna
substansinya kabur. Yang hakiki itu adalah peringatan Yesus dan pembicaraan-Nya
bersama Musa dan Elia tentang kesengsaraan dan vonis kematiaan-Nya di Yerusalem.
Sedangkan bungkusnya adalah kilauan cahaya itu!
Bukankah kita seringkali terkecoh dengan bungkus
ketimbang isinya. Keyakinan agama termasuk Kristen sering terjebak kepada
kemuliaan semu. Inilah yang dikritik oleh Spong, bahwa keyakinan atau iman
hanya sebatas meneruskan doktin tanpa berusa menggalinya. Pada umumnya kita
sudah cukup puas dengan mengetahui pokok-pokok ajaran dan iman Kristen. Kita
puas kalau sudah berdoa, baca kitab suci dan melakukan ibadah formal. Itu tidak
salah dan harus dilakukan! Menjadi keliru kalau hanya berhenti di situ.
Ingatlah peristiwa transfigurasi Yesus. Yang membuat Dia mulia bukan karena Dia
naik ke atas gunung. Tetapi tekad-Nya untuk setia pada panggilan yang
dijalani-Nya sampai tuntas.
Kita juga bisa mengalami kemuliaan Allah. Caranya?
Jelas, bukan dengan jalan naik ke atas gunung lalu mendirikan kemah seperti
yang diusulkan oleh Petrus. Bukan pula dengan kemilaunya “berkat” kehidupan.
Melainkan, dengan jalan seperti Yesus, yakni mengenal panggilan hidup di dalam
Tuhan dan berusaha dengan optimal, bahkan dengan sukacita menjalaninya,
meskipun hal tersebut berat, penuh tantangan dan derai air mata.