Negeri ini tidak kurang amunisi kegaduhan. Setelah
beberapa bulan polemik “papa minta saham” yang menyita perhatian masyarakat.
Kini, genderang kegaduhan itu berbunyi kembali. Kegaduhan itu dipicu ketika
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah ruang kerja tersangka Dhamayanti
Wisnu Putranti, anggota DPR dari Komisi V. Penggeledahan itu memicu protes dan
kemarahan Fahri Hamzah, wakil ketua DPR. Ia marah lantaran KPK membawa pasukan
Brigade Mobil (Brimob) lengkap dengan senjata laras panjang. Tindakan KPK
dianggap berlebihan dan tidak menghormati Lembaga Negara yang mulia, yakni DPR.
Sebaliknya, KPK bersih keras bahwa apa yang dilakukan mereka adalah upaya
mengumpulkan bukti-bukti terkait kasus suap dari salah satu anggota DPR.
Sebagaimana penggeledahan terhadap siapa pun, KPK memandang penting penjagaan
untuk mengamankan proses penggeledahan. KPK mengacu kepada UU No.8 tahun 1981
tentang KUHP. Pasal 127 yang menyatakan, “Untuk
keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik dapat mengadakan
penjagaan atau penutupan.” Atas ketidakpuasan itu, DPR memanggil pimpinan
KPK dan Polri. Banyak pakar hukum, salah satunya Indriyanto Seno Adji
menyayangkan sikap pimpinan DPR yang dinilainya esprit de corps (setia kawan) berlebihan. Sehingga DPR terkesan
melindungi koruptor. Akibatnya timbul pembenaran atas persepsi bahwa korupsi
telah menyebar dan merata di kalangan institusi pemerintah, kenegaraan atau pun
swasta. Bahkan, korupsi sudah dianggap sebagai bagian hidup bangsa ini. Korupsi
individu sebagai bentuk konvensional sudah tertinggal (Seno Adji, Kompas 28 Jan 2016).
Dari dua kegaduhan yang akhir-akhir ini mengusik
lembaga negara kita dapat menunjukkan bahwa yang dipentingkan bukannya menyeret
orang yang bersalah ke ranah hukum melainkan hal-hal yang remeh-temeh, seperti legal standing saksi: siapa yang
menyampaikan, sah tidaknya rekaman menjadi alat bukti, dan kali ini
ketersinggungan Dewan yang terhormat lantaran digeledah dengan membawa senjata
laras panjang. Di sinilah kita menyadari bahwa orang-orang yang berjuang
menegakkan hukum akan berhadapan dengan kekuatan-kekuatan besar. Mereka akan
merusaha membukam, memberangus dan membinasakan orang-orang yang dengan setia
menegakkan hukum dan kebenaran. Maka tidak cukup hanya nyali dan niat saja
untuk membongkar segala bentuk kejahatan. Kepandaian, strategi, dan yang
terutama keyakinan bahwa Tuhan pasti menyertainya, mutlak diperlukan.
Yeremia, anak muda dari Anatot, sebelah Utara
Yerusalem tidak segan-segan mengeritik rezim korup dan penindas, raja Yoyakhim.
Yeremia 7 dan 26 menggambarkan bagaimana ia membuat gaduh Israel. Yeremia
mengatakan bahwa tidak ada gunanya percaya kepada Allah yang melindungi, bahkan
ia berani mengatakan bahwa Bait Allah pantas dihancurkan. Sama seperti kemah
suci di Silo, tempat tabut perjanjian disimpan pada zaman Samuel kalau cara
ibadah mereka munafik! Apa reaksi dari kecaman Yeremia? Umat dan para pembesar
marah. Mereka berusaha menangkap dan mengancamna (Yer 26:8). Para pemimpin
berkumpul di gerbang kota, di mana soal hukum biasanya dibicarakan dan mereka
siap mengadili sang nabi itu. Para imam dan pemimpin mengancam nabi untuk
dihukum mati! Peristiwa itu tentu membawa membuat Yeremia takut. Tetapi ia tidak
melarikan diri dari tugasnya. Nabi berbicara lagi (Yer.20-23), kali ini
ucapannya ditujukan khusus kepada para pemimpin, para imam dan nabi-nabi palsu.
Intinya, ia mengingatkan bahwa pelanggaran dan kejahatan yang mereka lakukan
akan membawa bangsanya kepada kehancuran. Atas kiprahnya itu, Yeremia ditahan
beberapa kali, ia dimasukkan dalam penjara bahkan dalam sebuah sumur (Yer.
37-39). Tantangan berat tidak menyurutkan Yeremia untuk berkarnya. Mengapa?
Setidaknya ia memahami bahwa TUHAN sendirilah yang telah membentuknya sejak
dari rahim ibunya. TUHAN sendirilah yang telah mengkhususkan dirinya menjadi utusan-Nya.
TUHAN sendirilah yang menaruh firman-Nya pada mulut Yeremia dan Ia berjanji
akan selalu menyertai Yeremia (Yeremia 1:4-10).
Bak pribahasa mengatakan, “buruk rupa, cermin
dibelah”. Yeremia, ia hadir bagaikan cermin yang memberitahukan rupa sebenarnya
dari bangsa Yehuda itu. Alih-alih, memperbaiki kesalahan justeru mereka
berusaha melenyapkan orang yang memberitahukannya. Tidak ada sedikit pun upaya
membenahi diri, mereka lebih suka mendengar senandung nina bobo Hananya, nabi palsu itu. Bukankah hal ini juga terjadi
dalam kehidupan negeri ini. Kisah Munir yang disingkirkan dengan racun sianida.
Para komisioner dan penyidik KPK yang justeru kompeten malah dicari-cari
kesalahannya agar dapat dibungkam dan dijebloskan ke dalam penjara. Tidak
terhitung lagi para wartawan dan jurnalis yang mengungkap fakta dan kebenaran
harus berakhir dengan tragis!
Mempermasalahkan yang bukan esensi rupanya itu
juga yang dihadapi Yesus. Lukas 4 mencatat, setelah Yesus dicobai di padang
gurun lalu Ia kembali ke Galilea. Kedatangan-Nya disambut dan semua orang
memuji-Nya (Luk. 4:14). Namun, pemandangan ini berbeda. Ketika Yesus tiba di
Nazaret, pada hari Sabat itu Ia masuk ke rumah ibadat dan membacakan kitab nabi
Yesaya (Yesaya 61:1-2). Pada akhir pembacaan Yesus mengatakan, “Pada hari ini genaplah nas ini pada waktu
kamu mendengarnya.”(Luk.4:21). Semula orang-orang yang mendengar-Nya
membenarkan Yesus. Mereka kagum dengan kata-kata Yesus. Namun, sejurus kemudian
mereka mulai bertanya, “Bukankah, Ia ini anak Yusuf?” Seakan mereka lupa apa
yang baru saja diajarkan Yesus. Bagi mereka yang penting itu bukan apa isi
ajaran dan semua tanda-tanda yang menyertai Yesus, melainkan siapa yang
berbicara! Orang-orang itu menuntut legal
standing dari Yesus. Mereka tidak puas hanya karena orang yang berbicara
itu adalah anak seorang tukang kayu yang masa kecil-Nya mereka tahu. Bukankah
seringkali kita berpandangan sama seperti orang-orang Nazaret itu. Kita kurang
menaruh minat apalagi menghargai dan bersyukur kepada orang-orang yang telah
menyampaikan teguran dan kebenaran oleh karena kita memandang orang tersebut di
bawah level kita. Sebaliknya, kita menjadi
antusia dan mengapresiasi apabila yang menyampaikan itu orang terpandang, dan
bependidikan tinggi.
Seperti halnya Yeremia, walaupun Yesus hendak
dihakimi dan dijerumuskan dari tebing yang tinggi. Namun, Ia tidak menyerah
atau trauma dan kemudian meninggalkan misi-Nya. Ia pergi dari Nazaret menuju ke
Kapernaum dan terus berkeliling dari kampung ke kampung untuk memberitakan
Injil Kerajaan Allah sampai akhir hidup-Nya.
Sebagai orang-orang yang mengenal Allah melalui
cinta kasih Kristus mestinya dapat meneruskan kepedulian Allah terhadap dunia
ini dengan “Menghadirkan Kristus dan kasih-Nya bersama-sama” pada konteks di
mana saat ini kita berada tentu bukan perkara mudah. Kemunafikan terus terjadi,
sandiwara dan pencitraan menjadi jualan yang terus-menerus dijajakan. Hedonisme
dan keserakahan semakin dipuja. Kejahatan semakin berebak baik varian,
intensitas dan “kualitasnya”. Menghadirkan Kristus dan kasih-Nya bersama-sama
tidak cukup hanya dengan ngomong doang!
Tidak pula pas dengan sekedar membeberkan kisah kesaksian. Bukan pula dengan
doktrin-doktrin klasik yang jlimet.
Menghadirkan Kristus berarti membuat Dia bisa dikenali dan disapa. Identitas
paling kuat yang melekat pada diri-Nya adalah kasih! Menghadirkan Yesus tanpa
kualitas kasih yang ada pada diri-Nya adalah omong kosong. Paulus mengingatkan
sekali pun ia bisa ini dan itu tetapi tanpa kasih ibarat gong yang berkumandang
dan canang yang bergemerincing.
Kini dan di sinilah peran kita. Membuat cinta kasih
Yesus itu hidup kembali. Tidak ada cara lain, kecuali kita memperagakannya.
Bagi kebanyakan orang, kasih hanyalah sebuah perasaan emosional. Bagi pengikut
Yesus, tidak! Kata Yunani agapao mengacu
bukan kepada perasaan melainkan kepada sebuah tindakan. Mengasihi (agapau) berarti “menghendaki sesuatu
yang baik buat orang lain”. Kasih yang sesungguhnya tidak melibatkan emosi
dalam hal ini rasa suka (contohnya: kalau aku suka, maka aku memberi) . Agape
selalu menginginkan kebaikan bagi orang lain tanpa mengambil keuntungan buat
diri sendiri dan memperlihatkan keinginan itu dengan sebuah tindakan nyata. Inilah
poin pentingnya. Jika kita menggunakan emosi, mengasihi musuh menjadi tindakan
yang mustahil. Mengapa? Karena saya tidak akan pernah merasakan cinta atau suka kepada orang yang menyakiti saya. Yesus
tidak pernah meminta para murid untuk merasakan cinta tetapi untuk melakukan
tindakan kasih kepada semua orang, termasuk musuh sekalipun. Mudah bagi kita
untuk mengasihi orang yang mencintai kita, bahkan pemungut cukai pun bisa. Tetapi
sulit bagi kita untuk mengasihi orang yang telah melukai kita. Mudah bagi kita
untuk mendoakan orang yang mengasihi kita, tetapi sulit jika mereka menyakiti
kita. Akan tetapi ini dapat kita lakukan. Jika kita dapat melakukannya, maka
kita dapat menghadirkan Yesus kini dan di sini!