Kamis, 21 Januari 2016

BACALAH DAN DENGARLAH

Saya dapat membayangkan apa yang terjadi dalam peristiwa pembacaan Taurat pada Hari Raya Pondok Daun ( Nehemia 8:1-19) dan membandingkannya dengan kisah-kisah film silat pada era kekaisaran Tiongkok. Adegan ini di setiap film silat Mandarin hampir sama. Jika seorang pembesar diiringi para pengawal tiba di sebuah rumah atau kerumunan orang banyak, ia turun dari kudanya lalu memerlihatkan meterai kerajaan dan menunjukkan sebuah gulungan surat dan berkata, “Titah Kaisar!” Maka reaksinya semua orang dengan gemetar akan sujud menyembah sampai ke tanah, mereka berteriak, “Hidup tuan ku kaisar, panjang umur, ribuan tahun usia!” Lalu sang utusan itu membuka gulungan titah Kaisar dan membacakan isinya. Mereka yang mendengarnya gemetar oleh karena kehadiran utusan yang membacakan dan titah itu merupakan kehadiran dan suara kaisar itu sendiri. Mereka serius dan gemetar mendengat titah itu oleh karena isinya menentukan hidup dan mati, baik dan buruknya nasib mereka.

Pemandangan serupa terjadi ketika Ezra membacakan beberapa bagian dari Taurat di depan pintu gerbang air dari pagi sampai tengah hari (Nehemia 8:4). Umat Israel memandang Ezra yang membawa Taurat merupakan tanda kehadiran Allah sendiri. Pada waktu Ezra membuka kitab itu, semua orang bangkit berdiri. Berbeda cara penghormatan rakyat Tiongkok terhadap kaisarnya, umat Israel menghormati Allah dengan berdiri. Mereka siap mendengar titah TUHAN. Mereka begitu antusias, serius dan gentar ketika berhadapan dengan Sabda Illahi yang sedang dibacakan itu.  Sebab Sabda Illahi itu menentukan baik-buruk, hidup-matinya mereka.

Selama kita memandang Kitab Suci adalah sarana Allah yang menyatakan diri-Nya dan menentukan baik-buruk, hidup-matinya kita maka otomatis kita akan memerlakukannya dengan serius dan hormat. Tidak sembarangan tetapi juga tidak memberhalakannya. Sama seperti dokter bedah syaraf membaca MRI (Magnetic Resonance Imaging) ketika akan membedah pasiennya, pasti MRI itu akan menjadi panduan utama dalam melakukan tindakannya. Seorang pelaut pasti tidak akan main-main dan memperlakukan kompas sembarangan, karena kompas itulah yang menentukan sampai tidaknya ia mengemudikan kapal untuk tiba di pelabuhan tujuan! Sayang, banyak di antara kita tidak serius memberlakukan Kitab Suci padahal rahasia keberhasilan hidup seseorang terdapat di dalamnya. Ketidakseriusan itu bisa terlihat bahwa kita jarang sekali memersiapkan dan menyisihkan waktu dan tempat yang baik. Kita sering membaca Kitab Suci itu secara multitasking, sambil mengerjakan ini dan itu! Berbeda sekali dengan Daud. Daud sangat serius dengan Taurat TUHAN karena ia menyakini bahwa Taurat TUHAN itu segalanya, “Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang-orang yang tidak berpengalaman. Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu murni, membuat mata bercahaya.” (Mzm.19:8,9).

Rupanya Ezra adalah seorang imam yang mengerti banyak tentang Taurat. Taurat itu dibacakannya dengan jelas, ia diberi keterangan-keterangan seperlunya, sehingga apa yang dibacanya dimengerti pendengarnya (Neh.8:9). Ezra tidak seperti kebanyakan pengkhotbah sekarang. Yang ia utamakan adalah membaca bagian Taurat dengan jelas dan hanya sedikit saja memberi keterangan untuk memperjelas dari teks yang dibacanya. Pengkhotbah masa kini cenderung kebalikannya, hanya membaca satu dua ayat, itu pun loncat sini loncat sana dan kemudian memberikan uraian dengan panjang lebar. Syukur kalau tidak ngelantur ke mana-mana. Umat masa kini pun lebih menyukai bacaan Alkitab pendek saja, gak usah panjang-panjang, membosankan dan memakan waktu lama, padahal masih ada acara lain menunggu! Kita lupa, bahkan enggan untuk membandingkan dengan Ezra ketika membacakan Taurat itu. Pembacaan itu dari pagi sampai siang namun umat tetap setia dan serius: Dengan penuh perhatian seluruh umat mendengarkan pembacaan kitab Taurat itu (8:4) dan semua orang itu menangis ketika mendengar kalimat-kalimat Taurat itu (8:10)! Bahkan selanjutnya mereka memelaah Taurat itu berhari-hari. Mengapa mereka bisa bertahan mendengarkannya? Saya yakin bukan karena Ezra membumbui pembacaan Taurat itu dengan dagelan dan lelucon atau pake multimedia yang bisa memutar film. Tetapi mereka mendengar suara TUHAN dan itu adalah mahapenting!

Melalui Taurat itu, TUHAN mencelikkan mata, menjernihkan hati, meringankan tangan, menguatkan kaki, mengangkat mereka dari kerendahan, mengampuni dosa mereka dan memberikan pengharapan. Mereka bukan sedang mendengarkan suara Ezra, melainkan mendengarkan suara Allah sendiri. Mereka bukan sedang mendengarkan tafsir dan pengajaran dari rekan-rekan Ezra, melainkan mendengarkan pengajaran dari Allah sendiri (Kuntadi, RK.21).

Firman Allah begitu penting dalam kehidupan manusia. Kita tidak asing lagi dengan ungkapan Yesus yang terkenal, “Manusia hidup bukan dari roti saja.” Roti, tentu penting. Tanpa roti atau makanan kita mati. Tetapi kematian yang mengerikan adalah bahwa manusia tidak tahu kehendak sang penciptanya. Tampaknya ia hidup, tubuhnya bergerak tapi spiritualnya mati. Ia tidak hanya membawa dirinya pada kematian kekal tetapi juga dapat menyengsarakan, menindas dan membinasakan manusia lainnya. Jadi Firman itu penting! Dalam pencobaan-Nya di padang gurun, membuktikan bahwa Yesus adalah orang yang membaca, tahu, mengerti dan bergantung kepada Firman Allah. Tiga kali Yesus dicobai dan tiga kali pula Yesus dapat mengatasi pencobaan itu dengan mengatakan, “ada tertulis” atau “Ada Firman:…”  Bagi Yesus Firman itu tepat guna, berdaya guna dan berhasil guna. Firman itu bukan sebagai “ayat hafalan” dalam benak-Nya.

Firman itu mendarah daging dalam diri-Nya. Sehingga ketika Yesus tampil sesudah dicobai dan membacakan Yesaya 61:18-19, Ia mengatakan, “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” (Luk.4:21). Tidak mungkin Yesus berani mengatakan itu kalau Ia sendiri tidak mengerti makna-Nya. Kini, Ia tampil (epifani) sebagai Firman hidup yang diperagakan sepanjang kehidupan-Nya. Kini, tidak hanya Ia tampil memproklamasikan diri sebagai orang yang diurapi yang membawa kabar baik bagi orang miskin, pembebasan bagi orang-orang tawanan, penglihatan bagi orang buta, pembebas orang tertindas dan untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang. Tetapi diri dan hidup-Nyalah yang akan memberi bukti bahwa untuk itulah Ia telah datang.

Jika Firman itu penting, maka membaca dan mendengarnya juga penting. Dalam kosa kata Yahudi, syema, “mendengar” mempunyai arti tidak mengizinkan adanya pemisahan tindakan dengan persepsi. Jika kita benar-benar mendengar perintah TUHAN, maka artinya tidak cukup gestur tubuh kita saja yang merespon memberi hormat, melainkan kita akan menaati, melaksanakannya dengan tepat. Jika tidak, berarti kita tidak mendengar. Mendengar firman berarti menjadikan firman itu “darah” dan “daging” dalam kehidupan kita.

Apa yang kita baca dan dengar itulah sebenarnya yang menjadi watak, karakter, cara kerja, visi, misi dan semua tindakan yang kita lakukan. Apa yang kita baca dan dengarkan itulah yang membuat kita jadi seperti sekarang ini. Jika yang kita baca dan dengarkan adalah ajaran-ajaran radikal dan kekerasan untuk mencapai tujuan maka kita akan tumbuh menjadi seorang teroris, sebaliknya ketika kita membaca dan mendengar cinta kasih dan pengampunan-Nya yang begitu dasyat maka kita akan tumbuh menjadi manusia yang penuh cinta kasih dan pembawa damai!

Kamis, 14 Januari 2016

TEMPAYAN KOSONG MENJADI PENUH

Tempayan kosong menjadi penuh. Peristiwa ini terjadi di Kana dalam sebuah pesta perkawinan yang dilakukan oleh Yesus atas permintaan Maria, ibu-Nya. Tempayan kosong lalu kemudian berisi air anggur perjamuan tidak terjadi dengan sendirinya. Ada sebuah proses!

Yesus dan bunda-Nya ada dalam pesta perjamuan di Kana. Ini menandakan bahwa si empunya hajat adalah kerabat dekat mereka. Sebagai kerabat, Maria tentu datang tidak hanya sebagai tamu biasa. Ia membantu melayani kebutuhan pesta itu. Maka tidaklah mengherankan kalau Maria mengetahui bahwa mereka kehabisan anggur. Anggur merupakan unsur penting perjamuan pesta dalam budaya mereka. Penggunaan anggur dalam tradisi Yahudi berbeda sekali dengan penggunaannya pada zaman modern. Anggur yang mereka gunakan bukanlah anggur berkadar alcohol tinggi sehingga dapat memabukkan orang yang meminumnya. Anggur itu adalah sari buah anggur baik yang segar maupun yang disimpan. Pada umumnya mereka menyajikan anggur dicampur dengan air. Apabila sari buah anggur itu disimpan lama dan mengalami permentasi maka komposisi campuran airnya akan lebih banyak. Hal ini dimaksudkan agar si peminum terhindar dari mabuk. Anggur permentasi yang mengandung alcohol tinggi  menurut Talmud tidak boleh disajikan.

Anggur merupakan salah satu unsur utama dalam sebuah jamuan pesta. Anggur melambangkan unsur dan pembangkit sukacita, curahan berkat dan kemakmuran. Kehabisan anggur menandakan ketiadaan berkat dan hal itu pasti sangat memalukan. Sama seperti dalam budaya kita, kehabisan makanan dalam sebuah pesta perkawinan merupakan aib. Dalam pesta itu ternyata hal yang penting itu habis. Tentu ada pelbagai sebab mengapa air anggur itu tidak cukup. Bisa jadi tuan rumah tidak punya cukup uang untuk menyediakan anggur karena mereka keluarga sederhana. Sangat mungkin juga pengunjung pesta itu di luar dugaan. Atau bisa jadi para pengunjung pesta itu mengambil anggur berlebihan. Yang jelas faktanya sekarang anggur itu habis! Maria, tentu tidak ingin kerabatnya menjadi malu. Pastilah saat itu Maria juga kebingungan kepada siapa ia harus minta tolong. Yusuf, suaminya tidak disebutkan ada di sana. Kini harapannya hanya pada anaknya, Yesus!

Sang ibu bersama tuan rumah sedang kebingungan, andalan satu-satunya sekarang adalah Yesus. Ia memohon kepada-Nya, “Mereka kehabisan anggur!” Namun, dijawab, “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba.” Terjemahan yang paling mendekati, “Hai wanita, mau apakah engkau daripada-Ku? Saat-Ku belum tiba.” Kita dapat membayangkan, “Koq kasar amat sih.” Atau “Ini anak sombong sekali!” Dalam konteks social waktu itu, sebutan “wanita” bukanlah sebutan yang kasar dan tidak hormat. Namun demikian, sebagai sebutan untuk ibu oleh seorang anak, cara ini memang tidak lazim. Ketidaklaziman bertambah lagi ketika Yesus memakai sebuah formula yang biasanya dipakai untuk dua orang yang sedang adu mulut, “Mau apa engkau?” Ungkapan ini kasar dan dalam budaya Semit menandakan penolakan. Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa Yesus menolak permintaan Maria. Apa yang akan Anda lakukan kalau permintaan Anda ditolak oleh sang anak padahal Anda tahu bahwa ia sanggup melakukannya? Saya jamin kalau tidak marah Anda pasti kecewa dan ngedumel.

Berbeda dengan kebanyakan orang, Maria jauh dari marah dan kecewa. Ia memahami perkataan anak-Nya bahwa saatnya belum tiba. Saatnya belum tiba Yesus menampilkan tanda-tanda ajaib di hadapan public.  Maria harus juga turut menantikan saat –Nya itu. Tetapi ia melihat ada sebuah pengharapan dalam jawaban sang Anak. Maria yakin bahwa saat itu akan tiba. Oleh karena itu ia berpesan kepada para pelayan, “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!” Ternyata, entah apa alasannya, Yesus memberi perintah kepada para pelayan untuk mengisi tempayan dengan air sampai penuh. Mungkin saja para pelayan itu tidak mengerti apa yang diperintahkan Yesus. Namun, mereka menaati saja apa yang diperintahkan oleh Maria.
Tempayan air merupakan alat kelengkapan ritual pembasuhan. Orang akan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dengan air dari tempayan itu. Tempayan itu ada enam dan masing-masing berisi dua atau tiga gayung. Satu gayung berisi sekitar 40 liter, jadi satu tempayan diperkirakan berisi 80 – 120 liter. Sebuah jumlah yang cukup banyak. Setelah semuanya terisi, Yesus meminta sang pemimpin pesta untuk mencicipinya. “Setiap orang menghidangkan anggur yang baik dahulu dan sesudah orang puas meminum, barulah yang kurang baik; akan tetapi engkau menyimpan anggur yang baik sampai sekarang.” Komentar sang pemimpin pesta. Di tengah-tengah kecemasan ternyata Yesus mampu memberikan anggur itu dalam kelimpahan. Baik pemimpin pesta dan mempelai tidak mengetahu asal-usul anggur yang baik itu. Hanya Maria dan para pelayan yang mengerti. Peristiwa ini disebutkan sebagai tanda yang pertama yang dilakukan Yesus.

Kita juga dapat kehabisan “anggur”. Tempayan kita kosong! Kantong kita kosong, usaha seret, kita kehilangan sukacita, ketiadaan pengharapan dan kita bisa menjadi bahan olok-olokan orang lain. Tentu ada banyak penyebab mengapa tempayan kita kosong. Bisa karena keteledoran kita. Sangat mungkin disebabkan oleh tekanan dan penindasan dari orang lain. Atau itulah salib yang harus kita pikul. Dalam kondisi seperti ini, masih adakah yang dapat kita andalkan? Tentu! Lalu bagaimana caranya?

1.  Belajar dari Maria. Maria menaruh pengharapan kepada Yesus. Ia memohon Yesus melakukan sesuatu. Di balik permohonan dan doa, kita harus sadar bahwa jawaban doa itu tidak selamanya langsung terjadi. Biasanya dalam keadaan bermasalah kita menghendaki pertolongan itu datang dengan segera. Perhatian kita pada diri sendiri. Seolah-olah kitalah yang paling bermasalah dan menderita. Yesus menjawab kepada Maria bahwa saatnya belum tiba.

Belajar dari Maria berarti belajar sabar dan menahan diri sekaligus percaya bahwa Tuhan memberikan pertolongan tepat pada waktunya. Tidak pernah terlambat tetapi juga tidak terlalu cepat. Mungkin saja jawaban Tuhan mengecewakan, tidak sesuai dengan apa yang kita maui. Kalau kita merasa kecewa dengan jawaban Tuhan, coba bandingkan dengan jawaban yang diterima oleh Maria. Bukankah lebih menyakitkan?

2.    Setia melakukan perintah-Nya. Di tengah penolakkan Yesus, Maria tetap percaya maka ia memerintahkan agar para pelayan melakukan apa saja yang diperintahkan Yesus. Mujizat itu sulit terwujud kalau saja para pelayan itu membantah dan tidak mau mengerjakan perintah Yesus. Mungkin saja kita juga tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Namun, membantah dan tidak mau mengerjakan kehendak Tuhan pasti akan memperburuk keadaan. Kerjakan saja apa yang dikehendaki-Nya, pasti di ujungnya kita akan mengerti bahwa Tuhan akan mengisi “tempayan” kita.

3.   Jadikan hidup Anda berkat bagi orang lain. Anggur dalam perjamuan itu telah menjadi sukacita baik bagi mempelai maupun tamu yang datang.  Ketika Tuhan memenuhi tempayan kita mestinya bukan untuk diminum sendiri – bisa mabuk! Bagikanlah kepada banyak orang agar mereka juga memulikan Dia!

Penulis Injil Yohanes menutup kisah air menjadi anggur dengan menyatakan bahwa itulah yang pertama dari tanda-tanda yang dilakukan Yesus. Tanda berfungsi untuk menunjuk legitimasi kepada si pembuat-Nya. Seperti tanda lalu-lintas, ia berfungsi mengarahkan orang sampai ke tempat tujuan. Tidak pernah orang berhenti di hadapan tanda itu, memegangi dan memeluknya. Tanda diperlukan bagi orang untuk percaya. Namun, pada akhirnya, kita harus  meninggalkan tanda itu untuk menuju kepada si pembuat tanda, Yesus. Pada akhirnya perjumpaan dengan Si Pembuat tanda merupakan tujuan sebenarnya! Ketika pengalaman ini terjadi, tempayan itu tidak lagi merupakan hal yang utama.