Saya dapat membayangkan apa yang terjadi dalam
peristiwa pembacaan Taurat pada Hari Raya Pondok Daun ( Nehemia 8:1-19) dan membandingkannya dengan kisah-kisah
film silat pada era kekaisaran Tiongkok. Adegan ini di setiap film silat Mandarin
hampir sama. Jika seorang pembesar diiringi para pengawal tiba di sebuah rumah
atau kerumunan orang banyak, ia turun dari kudanya lalu memerlihatkan meterai
kerajaan dan menunjukkan sebuah gulungan surat dan berkata, “Titah Kaisar!”
Maka reaksinya semua orang dengan gemetar akan sujud menyembah sampai ke tanah,
mereka berteriak, “Hidup tuan ku kaisar, panjang umur, ribuan tahun usia!” Lalu
sang utusan itu membuka gulungan titah Kaisar dan membacakan isinya. Mereka
yang mendengarnya gemetar oleh karena kehadiran utusan yang membacakan dan
titah itu merupakan kehadiran dan suara kaisar itu sendiri. Mereka serius dan gemetar
mendengat titah itu oleh karena isinya menentukan hidup dan mati, baik dan
buruknya nasib mereka.
Pemandangan serupa terjadi ketika Ezra membacakan
beberapa bagian dari Taurat di depan pintu gerbang air dari pagi sampai tengah
hari (Nehemia 8:4). Umat Israel memandang Ezra yang membawa Taurat merupakan
tanda kehadiran Allah sendiri. Pada waktu Ezra membuka kitab itu, semua orang
bangkit berdiri. Berbeda cara penghormatan rakyat Tiongkok terhadap kaisarnya,
umat Israel menghormati Allah dengan berdiri. Mereka siap mendengar titah
TUHAN. Mereka begitu antusias, serius dan gentar ketika berhadapan dengan Sabda
Illahi yang sedang dibacakan itu. Sebab Sabda
Illahi itu menentukan baik-buruk, hidup-matinya mereka.
Selama kita memandang Kitab Suci adalah sarana
Allah yang menyatakan diri-Nya dan menentukan baik-buruk, hidup-matinya kita
maka otomatis kita akan memerlakukannya dengan serius dan hormat. Tidak sembarangan
tetapi juga tidak memberhalakannya. Sama seperti dokter bedah syaraf membaca
MRI (Magnetic Resonance Imaging) ketika
akan membedah pasiennya, pasti MRI itu akan menjadi panduan utama dalam
melakukan tindakannya. Seorang pelaut pasti tidak akan main-main dan memperlakukan
kompas sembarangan, karena kompas itulah yang menentukan sampai tidaknya ia
mengemudikan kapal untuk tiba di pelabuhan tujuan! Sayang, banyak di antara
kita tidak serius memberlakukan Kitab Suci padahal rahasia keberhasilan hidup
seseorang terdapat di dalamnya. Ketidakseriusan itu bisa terlihat bahwa kita
jarang sekali memersiapkan dan menyisihkan waktu dan tempat yang baik. Kita
sering membaca Kitab Suci itu secara multitasking,
sambil mengerjakan ini dan itu! Berbeda sekali dengan Daud. Daud sangat serius
dengan Taurat TUHAN karena ia menyakini bahwa Taurat TUHAN itu segalanya, “Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa;
peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang-orang yang tidak
berpengalaman. Titah TUHAN itu tepat, menyukakan hati; perintah TUHAN itu
murni, membuat mata bercahaya.” (Mzm.19:8,9).
Rupanya Ezra adalah seorang imam yang mengerti
banyak tentang Taurat. Taurat itu dibacakannya dengan jelas, ia diberi
keterangan-keterangan seperlunya, sehingga apa yang dibacanya dimengerti
pendengarnya (Neh.8:9). Ezra tidak seperti kebanyakan pengkhotbah sekarang.
Yang ia utamakan adalah membaca bagian Taurat dengan jelas dan hanya sedikit
saja memberi keterangan untuk memperjelas dari teks yang dibacanya. Pengkhotbah
masa kini cenderung kebalikannya, hanya membaca satu dua ayat, itu pun loncat
sini loncat sana dan kemudian memberikan uraian dengan panjang lebar. Syukur
kalau tidak ngelantur ke mana-mana. Umat masa kini pun lebih menyukai bacaan
Alkitab pendek saja, gak usah
panjang-panjang, membosankan dan memakan waktu lama, padahal masih ada acara
lain menunggu! Kita lupa, bahkan enggan untuk membandingkan dengan Ezra ketika membacakan
Taurat itu. Pembacaan itu dari pagi sampai siang namun umat tetap setia dan
serius: Dengan penuh perhatian seluruh umat mendengarkan pembacaan kitab Taurat
itu (8:4) dan semua orang itu menangis ketika mendengar kalimat-kalimat Taurat
itu (8:10)! Bahkan selanjutnya mereka memelaah Taurat itu berhari-hari. Mengapa mereka bisa bertahan mendengarkannya?
Saya yakin bukan karena Ezra membumbui pembacaan Taurat itu dengan dagelan dan
lelucon atau pake multimedia yang bisa memutar film. Tetapi mereka mendengar
suara TUHAN dan itu adalah mahapenting!
Melalui Taurat itu, TUHAN mencelikkan mata,
menjernihkan hati, meringankan tangan, menguatkan kaki, mengangkat mereka dari
kerendahan, mengampuni dosa mereka dan memberikan pengharapan. Mereka bukan
sedang mendengarkan suara Ezra, melainkan mendengarkan suara Allah sendiri.
Mereka bukan sedang mendengarkan tafsir dan pengajaran dari rekan-rekan Ezra,
melainkan mendengarkan pengajaran dari Allah sendiri (Kuntadi, RK.21).
Firman Allah begitu penting dalam kehidupan manusia.
Kita tidak asing lagi dengan ungkapan Yesus yang terkenal, “Manusia hidup bukan dari roti saja.” Roti, tentu penting. Tanpa
roti atau makanan kita mati. Tetapi kematian yang mengerikan adalah bahwa
manusia tidak tahu kehendak sang penciptanya. Tampaknya ia hidup, tubuhnya
bergerak tapi spiritualnya mati. Ia tidak hanya membawa dirinya pada kematian
kekal tetapi juga dapat menyengsarakan, menindas dan membinasakan manusia
lainnya. Jadi Firman itu penting! Dalam pencobaan-Nya di padang gurun,
membuktikan bahwa Yesus adalah orang yang membaca, tahu, mengerti dan
bergantung kepada Firman Allah. Tiga kali Yesus dicobai dan tiga kali pula
Yesus dapat mengatasi pencobaan itu dengan mengatakan, “ada tertulis” atau “Ada
Firman:…” Bagi Yesus Firman itu
tepat guna, berdaya guna dan berhasil guna. Firman itu bukan sebagai “ayat
hafalan” dalam benak-Nya.
Firman itu mendarah daging dalam diri-Nya. Sehingga
ketika Yesus tampil sesudah dicobai dan membacakan Yesaya 61:18-19, Ia
mengatakan, “Pada hari ini genaplah nas
ini sewaktu kamu mendengarnya.” (Luk.4:21). Tidak mungkin Yesus berani
mengatakan itu kalau Ia sendiri tidak mengerti makna-Nya. Kini, Ia tampil (epifani) sebagai Firman hidup yang
diperagakan sepanjang kehidupan-Nya. Kini, tidak hanya Ia tampil
memproklamasikan diri sebagai orang yang diurapi yang membawa kabar baik bagi
orang miskin, pembebasan bagi orang-orang tawanan, penglihatan bagi orang buta,
pembebas orang tertindas dan untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah
datang. Tetapi diri dan hidup-Nyalah yang akan memberi bukti bahwa untuk itulah
Ia telah datang.
Jika Firman itu penting, maka membaca dan
mendengarnya juga penting. Dalam kosa kata Yahudi, syema, “mendengar” mempunyai arti tidak mengizinkan adanya
pemisahan tindakan dengan persepsi. Jika kita benar-benar mendengar perintah
TUHAN, maka artinya tidak cukup gestur tubuh kita saja yang merespon memberi
hormat, melainkan kita akan menaati, melaksanakannya dengan tepat. Jika tidak,
berarti kita tidak mendengar. Mendengar firman berarti menjadikan firman itu “darah”
dan “daging” dalam kehidupan kita.
Apa yang kita baca dan dengar itulah sebenarnya
yang menjadi watak, karakter, cara kerja, visi, misi dan semua tindakan yang
kita lakukan. Apa yang kita baca dan dengarkan itulah yang membuat kita jadi
seperti sekarang ini. Jika yang kita baca dan dengarkan adalah ajaran-ajaran
radikal dan kekerasan untuk mencapai tujuan maka kita akan tumbuh menjadi seorang
teroris, sebaliknya ketika kita membaca dan mendengar cinta kasih dan
pengampunan-Nya yang begitu dasyat maka kita akan tumbuh menjadi manusia yang
penuh cinta kasih dan pembawa damai!