Seorang pilot yang ceroboh menerbangkan pesawat
bermesin tunggal yang perlengkapannya kurang memadai. Ia segera lepas landas.
Ia tidak begitu tahu cara mengoprasikan instrument pesawat – ia sekedar bisa
menerbangkannya. Pesawat itu tidak dilengkapi dengan lampu. Namun, sang pilot
menerbangkan pesawat itu ke sebuah landasan di pedesaan dan berencana mendarat
di sana sebelum petang. Sayangnya angina yang bertiup kencang memperlambat laju
pesawat itu sehingga ia terlambat tiba di sana. Matahari sudah terbenam di
balik pegunungan barat dan akibatnya ia tidak dapat melinat landasan dengan
jelas. Kendati demikian, ia berusaha membawa pesawatnya mendekati landasan.
Namun sayangnya ia tidak bisa menemukan batas-batas pendaratan itu. Sekarang ia
panic ketika melihat lindikator bahan bakar. Bahan bakar itu tinggal sedikit
lagi habis! Landasan itu tidak dilengkapi lampu dan ia tidak bisa menghubungi
siapa pun dari pesawat itu karena alat komunikasi tidak berfungsi. Ia mulai
terbang berputar-putar. Ia tahu bahwa salah satu putaran itu akan menjadi
kesempatan terakhir. Pesawatnya akan jatuh dan ia bisa tewas!
Di darat seorang laki-laki sedang duduk di beranda
rumahnya dan telinganya yang peka terganggu dengan dengung bising pesawat yang
terbang berputar-putar. “Orang itu pasti sedang berada dalam kesulitan,”
pikirnya. Dengan cepat ia mengendarai mobilnya menuju landasan pesawat dan
mulai menyorotkan lampu mobilnya ke atas dank e bawah, menunjukkan kepada pilot
yang tidak berpengalaman itu di mana ia harus mendarat. Di ujung landasan
pengemudi itu berputar, menyalakan lampu jauh, dan duduk di sana, seolah-olah
berkata, “Ini ujung landasan, lihatlah lampu-lampu ini!” Sang pilot sembrono
itu kini mulai bernapas lega, berkat lampu mobil itu kini ia dapat melihat
landasan itu. Perlahan ia mengarahkan peawatnya ke landasan. Dan akhirnya ia
dapat mendaratkan pesawatnya dengan selamat sebelum bahan bakarnya habis.
Banyak orang hidup seperti pilot dalam cerita kita
ini. Asal bisa menerbangkan pesawat, berada di udara merasakan sensasi terbang
itu dianggapnya sudah memuaskan hatinya. Soal bagaimana mendarat dengan
selamat, itu urusan belakangan. Sebagian besar orang menjalankan hidup dengan asal-asalan.
Tdak memerhatikan kaidah-kaidah hidup sesungguhnya. Hidup diartikan dengan menikmati
segala kesenangan. Perkara konsekuensinya itu soal lain. Bagaimana nanti, yang
penting happy saat sekarang! Bukankah
dunia di mana kita hadir di dalamnya terus-menurus menyeret kita untuk masuk
dalam motto hidup seperti itu. Lihatlah iklan-iklan di televise da media-media online. Secara tidak langsung
iklan-iklan itu berkata, “Kebahagiaan akan datang dari memiliki barang-barang,
seks, uang dan kuasa.”
Seorang model perempuan seksi sering dipajang
dalam iklan-iklan otomotif, seolah mau mengatakan para perempuan cantik ini
hanya tertarik dengan kendaraan yang mereka sedang iklankan. Seorang pria
tampan terlihat seolah penuh dengan kebanggaan dan kedamaian ketika ia menggunakan
parfum merek tertentu dan kemudian dapat memikat perempuan-perempuan cantik.
Semuanya jelas: Kemewahan yang mahal akan membuat Anda bahagia. Belum lagi
iklan-iklan proferti: perumahan mewah, kondominium, dan sejenisnya dengan
fasilitas prima ditambah embel-embel harga “hanya sekian ratus juta rupiah saja
sebulan!” Semua ini mau tidak mau menggiring kita menjauh dari kebenaran
hakiki. Konsep ini menawarkan bahwa kebahagiaan bersumber dari materi yang
disajikan.
Konsep-konsep yang sedang membombardir kita setiap
hari ini lambat laun menghancurkan jiwa kita. Akibatnya, nurani kita lambat-laun
dibutakan oleh keinginan kuat mengumpulkan kekayaan, memiliki kuasa yang besar,
menikmati hubungan seks bebas tanpa ikatan. Konsep ini dapat terus merembes
meracuni jiwa kita dalam beberapa cara, misalnya, “Jadilah orang nomor satu.” “Kamu
hanya dapat melakukannya sekali, jadi ambillah semua yang kamu bisa.” Secara negatif,
konsep budaya ini berkata, “Jangan menekan hawa nafsu; semua nafsu adalah baik.”
“Peraturan dibuat untuk dilanggar.” “Jangan terbelenggu oleh komitmenmua.” Bukankah
ini semua membawa manusia hidup dalam kebutaan moral. Manusia menjadi “gelap
mata” sehingga apa pun akan diusahakan untuk mendapatkan apa yang diingininya. Paulus
mengingatkan, “Janganlah kamu disesatkan
orang dengan kata-kata hampa, karena hal-hal yang demikian mendatangkan murka
Allah.” (Efesus 5:4)
Bagai pilot konyol, kehidupan seperti ini akan
menyeret manusia menuju lembah kebinasaan. Apa yang paling dibutuhkan manusia
dalam kondisi seperti ini? Manusia membutuhkan pertolongan dan pertolongan itu
adalah “Terang” sebab kalau tidak, ia akan binasa. Sejalan dengan itu Yohanes
1:4 mengatakan, “Dalam Dia ada hidup dan
hidup itu adalah terang manusia.” Manusia membutuhkan terang untuk bisa
hidup (hidup utuh, penuh, bermakna dan indah). Tak pelak lagi bahwa terang itu
sangat penting, sehingga pada kisah penciptaan, Allah pertama-tama menciptakan
terang. Terang menjadi prakondisi yang diperlukan oleh seluruh ciptaan tak
terkecuali manusia.
Ternyata terang itu bukan saja mempunyai arti
harafiah, misalnya terang sinar matahari atau benda-benda penerang lainnya
sehingga kita bisa melihat benda dan situasi di sekitar kita. Namun terang juga
menunjukkan makna simbolik bahwa terang adalah kondisi di mana manusia memahami
dan mengerti kebenaran. Dengan terang itu manusia dapat membedakan mana yang
benar dan mana yang keliru. Terang itu memampukan manusia menimbang mana yang
adil dan mana yang tidak; mana yang jahat dan mana yang baik. Dengan terang itu
manusia memahami dan mengenal Sang Pencipta dengan kehendak-Nya. Namun, apa yang terjadi? Ternyata manusia lebih
memilih menghindari Sang Terang itu. Manusia pertama memilih memberontak dengan
melanggar perintah-Nya demi memuaskan hasrat mereka.
Sang Pencipta tidak tinggal diam. Dia tidak
membiarkan manusia binasa dengan kehilangan Terang Hidup. Maka Ia berprakarsa
menghadirkan Sang Terang itu. Dari mana sumber Terang itu? Yohanes sebelum
berbicara tentang Terang itu, ia mengatakan asal-usulnya, “Pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah...”
(Yoh.1:1) Artinya, Firman itu dekat dengan Allah atau berorientasi pada Allah
bahkan Firman itu adalah Allah sendiri. Kemudian Firman itu berperan dalam penciptaan
bahwa segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan yang dijadikan dalam Sang Firman
itu adalah hidup. Hidup bukan sekedar bernafas, melainkan berpengertian. Hidup
yang bersumber pada Firman tersebut merupakan terang manusia.
Kini Sang Firman, yang adalah juga Sang Terang itu
masuk ke dalam sejarah kehidupan manusia, “Ia
menjadi manusia dan diam di antara kita,…sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih
karunia dan kebenaran.” (Yoh.1:14). Dialah Yesus Kristus! Tentang itu
Yohanes datang untuk memberi kesaksian. Firman itu “ada” sejak awal mulanya. Ia
telah ada sebelum proses penciptaan semesta alam terjadi dengan demikian
Yohanes menjadi saksi praeksistensi Sang Firman yang telah menjadi manusia itu.
Dengan demikian Yesus Kristus adalah Firman yang dari semula bersama-sama
dengan Allah, bahkan yang adalah Allah sendiri yang juga adalah Sang Terang
dunia dan menjadi manusia. Di dalam Yesus nyatalah Firman yang utuh, terlihat
kasat mata, diperagakan dan menjadi hidup! Di dalam Yesus Kristus menjadi nyata
gambaran Sang Bapa oleh karena Dia dengan sempurna menampilkan gambaran Sang
Bapa itu dengan utuh. Maka Dia berani menyatakan, “….Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana
engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami.” (Yohanes 14:9).
Seperti kisah pilot konyol itu, seorang lelaki
berupaya mengusahakan dengan lampu mobilnya agar landasan terlihat jelas dan si
pilot itu bisa mendarat. Allah Bapa telah menyediakan “Terang” melalui
Firman-Nya yang telah menjadi manusia itu. Dia memperagakan, bahkan menyatakan
diri juga sebagai “jalan dan hidup dan kebenaran” tinggal respon kita. Apakah
kita membiarkan diri terus terombang-ambing tidak tahu arah karena dibutakan
oleh nafsu dunia dan pelbagai tawaran dunia ini? Ataukah kita membuka diri
untuk kehadiran Sang Terang itu dalam hati kita sehingga menerangi seluruh
kehidupan kita. Pastilah ketika kita memiliki Terang itu, kegelapan tidak akan
mungkin menguasai kita karena Terang itu akan menghalaunya. Nafsu serakah,
keinginan daging dan pemuasan diri perlahan akan sirna, seiring dengan
datangnya Sang Terang itu dalam kehidupan kita. Memiliki Terang Kristus membuat
kita menjadi saksi-Nya di manapun kita berada. Bahkan kita dapat menelanjangi
kegelapan (Efesus 5:11).