Rabu, 30 Desember 2015

BERKAT ANAK-ANAK ALLAH DI TAHUN BARU

Dewa Janus, dalam mitologi Romawi, dikenal sebagai dewa Jalan, gerbang, pintu dan waktu. Namun, Janus juga dipercaya sebagai dewa pertanian yang memberi kesuburan pada tanah. Janus digambarkan sebagai dewa yang punya dua wajah yang menghadap ke dua arah. Satu wajah menghadap ke belakang dan yang lain ke depan. Dengan begitu, Janus selalu memandang ke masa lalu dan pada saat yang sama memandang ke masa depan. Dengan demikian Janus dipuja sebagai waktu, dewa permulaan dan akhir. Bangsa Romawi bila ingin memulai sesuatu pekerjaan maka biasanya memohon pertolongan kepada dewa ini. Nama Januari, yaitu bulan yang mengawali kalender Gregorian, dalam bahasa Latin iānuārius yang berarti “bulan dewa Janus”.


Sejak lama, minimal terekam dalam mitologi Romawi, manusia punya kesadaran untuk “menoleh ke belakang” sebelum mengerjakan atau melangkah ke “masa depan”. Januari dalam kalender yang kita pergunakan adalah bulan pertama dalam sepanjang tahun, tanpa harus kita menyembahnya sebagai dewa, ia memberi inspirasi buat kita untuk sejenak berhenti, merenung tentang masa lalu yang telah ditapaki, tentu bukan untuk sekedar bernostalgia dan hanyut dalam masa lalu, melainkan mengevaluasi masa lalu itu dan kemudian menatap ke depan, merencanakan apa yang baik untuk kita lakukan.

Melihat dan mengevaluasi apa yang telah kita jalani selama satu tahun ini akan bermuara pada dua kemungkinan. Pertama, kita menjadi pesimis. Alasannya cukup banyak. Dalam konteks kita: kehidupan perekonomian yang tidak mudah diduga. Nilai tukar rupiah terhadap dollar dan mata uang asing lainnya cukup menguatirkan. Pelbagai tindakan kriminal semakin masiv dengan intensitas tinggi. Soliditas pemerintahan dalam menjaga keutuhan NKRI yang berwawasan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 masih tetap diragukan, oleh karena gerakan-gerakan fundamentalis radikal yang mengatasnamakan agama terus bertumbuh subur. Sweping-sweping oleh ormas-ormas tertentu seolah dibiarkan dan aparat hanya menjadi penonton Tahun 2015 juga dikenal sebagai tahun kegaduhan politik, terjadi kekisruhan antar lembaga negara. Alih-alih mengurus rakyatnya, mereka sibuk memertahankan posisi dan menyerang lembaga lain. Indikasi terhadap pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi terlihat gamlang ketika DPR menyingkirkan orang-orang dengan track rekor mumpuni di bidang pemberantasan korupsi. Pelanggaran Hak asasi manusia, termasuk di dalamnya kekerasan terhadap perempuan dan anak terus terjadi. Daftar kekuatiran itu masih dapat diperpanjang lagi sesuai kondisi di mana kita berada dan berkarya.

Kemungkinan kedua adalah kebalikan dari yang pertama. Walaupun tak dapat disangkal ada begitu banyak faktor yang dapat membuat kita pesimis. Namun, faktanya ada juga harapan-harapan baru yang mulai tumbuh. Pembangunan infrastruktur yang mulai merata di pelbagai daerah. Munculnya pemimpin-pemimpin muda yang berani menegakkan konstitusi dan berkarakter baik. Penyelenggaraan tatanan negara dan pemerintahan yang mulai transparan dan akuntabel. Munculnya kelas menengah yang mulai kritis terhadap segala kebijakan dan kebebasan pers yang berperan sebagai kontrol terhadap kebijakan penyelenggara negara. Pembenahan transportasi yang mulai menyentuh akar permasalahan, ini semua mestinya menumbuhkan harapan baru. Namun, meskipun demikian toh masa depan belum terjadi. Ia masih ada di depan kita.

Baik dan buruknya masa depan mestinya ditentukan pada saat ini. Kita tidak mungkin akan menemukan dan mengalami masa depan yang indah, bermoral dan sejahtera tanpa memperjuangkannya hari ini. Ibarat sebuah kapal pesiar yang besar ia tidak akan dapat bersandar di dermaga pelabuhan kalau jauh sebelumnya sang nahkoda tidak mengarahkan kemudi pada titik kordinat di mana pelabuhan itu berada.

Kehidupan ini ada awal dan tentu ada akhirnya. Hidup ini seperti sebuah perjalanan. Perjalanan Israel dari negeri perbudakan menuju negeri perjanjian dapat menjadi ilustasi dari gambaran kehidupan kita. Allah yang berperan sebagai pembebas bagi umat yang tertindas tidak serta merta membuat umat itu langsung berada di negeri perjanjian. Mereka harus menelusuri padang gurun selama empat puluh tahun lamanya. Ada pahit getir dalam perjalanan itu. Tetapi juga tidak kalah ada kegembiraan dan pengharapan. Dalam setiap perhentian mereka diajak untuk mengingat kembali kasih karunia TUHAN itu. Dalam salah satu perhentian, TUHAN memerintahkan kepada Musa supaya berbicara kepada Harun dan anak-anaknya untuk memberkati umat TUHAN itu. TUHAN sendiri memberi formula berkat itu. Tentu formula itu bukan hanya sekedar mantera atau puisi indah. Di dalamnya penuh makna, janji dan harapan serta kesediaan dan kemampuan TUHAN untuk memenuhinya, kata-Nya: “TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau, TUHAN melindungi engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia. TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera.” (Bilangan 6:24-26).

Rasanya tidak ada kata-kata berkat yang lebih baik dari ini. “TUHAN memberkati” itu berarti Dia bersedia mencurahkan dan memberikan apa yang terbaik untuk kelangsungan kehidupan umat-Nya. “TUHAN menyinari dengan wajah-Nya” hal ini berarti bahwa TUHAN kemurahan hati TUHAN terarah kepada umat-Nya. “TUHAN menghadapkan wajah-Nya” berarti mengungkapkan kasih dan bantuan ilahi. Perhatian TUHAN diarahkan kepada orang yang bergantung kepada-Nya. “TUHAN melindungi” itu berarti Dia bersedia menjadi benteng perlindungan bagi umat-Nya. Bayangkan jika TUHAN yang menjadi pelindung, siapa yang bisa menembusnya? Selanjutnya “TUHAN memberikan kasih karunia” itu artinya Dia memberikan apa yang terbaik untuk umat-Nya dan kalimat berkat itu ditutup dengan “…memberi engkau damai sejahtera” inilah kebutuhan manusia yang paling utama dan mendasar. Bayangkan betapa luar biasanya TUHAN memberikan berkat kepada umat-Nya.

Kita meyakini, sebagaimana keyakinan Romawi bahwa dunia ini ada yang memulai. Allah memulainya dengan ciptaan yang sungguh amat baik. Manusia diciptakan dari debu dan tanah namun kemudian Allah memahkotainya dengan hormat dan kemuliaan yang hampir menyamai Allah (Mazmur 8). Dengan keyakinan itu mestinya manusia dapat membuktikan bahwa ia adalah makhluk mulia yang dapat menciptakan tatanan yang baik baik segala ciptaan. Manusia sedari awal sudah diberi modal diberi kuasa atas buatan tangan Tuhan yang lainnya (Mazmur 8:7). Di sepanjang jalan kehidupan pun Dia menopangnya dengan berkat dan anugerah. Namun sayangnya modal ini sering disalahgunakan manusia. Manusia mencari kepuasan untuk dirinya dan tidak peduli dengan sesama dan ciptaan yang lainnya. Akibatnya, kekacauan dan penderitaan yang terjadi. Manusia saling menindas dan memangsa sehingga berlaku hukum rimba, “siapa yang kuat dia yang menang.” Jelas, kalau Allah telah memulai segala sesuatu dengan baik maka Dia tidak menginginkan segalanya berakhir dengan kekacauan dan kebinasaan. 

Betapapun banyak tantangan yang kita bayangkan di masa depan – seperti Israel dalam pengembaraan mereka di padang gurun, berkat TUHAN melalui imam Harun dan keturunannya telah menghantar mereka sampai di negeri perjanjian – berkat TUHAN itu lebih dari cukup menghantar kita dalam menapaki hari-hari ke depan dalam tahun ini. Berkat TUHAN itu mestinya memampukan kita untuk dapat menapaki tahun-tahun mendatang mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Mengembalikan manusia pada harkat semula seperti pada awal penciptaan.

Selasa, 29 Desember 2015

MEMPERSAKSIKAN KRISTUS, SANG TERANG DUNIA


Namanya John Beeden, lima puluh tiga tahun. Ia seorang pria berkebangsaan Inggris yang tinggal di Kanada. Namanya menjadi buah bibir di seantero jagad khususnya Autralia. Ia sukses mengarungi Samudera Pasifik seorang diri. Mungkin sudah ada yang lebih dahulu melakukannya. Namun, yang membuat orang berdecak kagum adalah bahwa ia melakukannya seorang diri bukan dengan kapal modern yang bermesin andal dan alat navigasi canggih, melainkan dengan sebuah perahu dayung. Petualangan menantang maut itu ia mulai dari San Fransisco, Amerika Serikat, pada Juni yang lalu dan berakhir di pantai Cairns, timur laut Australia. Jaraknya 6.100 mil laut atau 11.297 km. Jarak panjang dan membahayakan itu ia tempuh selama 209 hari, itu berarti dua pertiga tahun ia habiskan berada di laut lepas seorang diri. Awalnya, Beeden merencanakan menempuhnya dalam waktu 140-180 hari, setengah tahun saja. Namun, cuaca buruk dan badai menghambat target waktu yang ditetapkan.


Mengarungi samudera raya dengan waktu panjang bukanlah pengalaman pertama Beeden, tiga tahun sebelumnya, ia mengarungi Samudera Altantik sejauh 2.600 mil laut atau 4.815 kilometer selama 53 hari. Artinya jika digabungkan, Beeden berhasil mengelilingi dunia seorang diri hanya dengan perahu dayungnya.  Ketika ia turun dari perahu dan disambut isterinya, ia mengatakan kepada para wartawan dan orang-orang yang menyambutnya di pantai Cairns, “Saya merasakan sensasi luar biasa dengan menjadi orang pertama yang mampu mencapai prestasi ini.” Perjalanan mengarungi dua samudera itu tentun beresiko tinggi. Beeden mengaku mengalami saat-saat ketika perjalanan itu nyaris merenggut nyawanya. “Terus terang, saya tidak menyangka bahwa perjalanannya bakal sesulit itu. Namun, saya merasa harus terus mendorong kemampuan saya sampai pada batasnya,” kata Beeden.


Banyak orang mengandaikan hidup ini adalah sebuah perjalanan mengarungi samudera raya. Simbol gereja kita, GKI : ada perahu, ombak dan lambang Alpha-Omega. Itu menandakan bahwa gereja pun ibarat sebuah perahu yang mengarungi samudera raya dan di situlah Sang Alpha-Omega selalu hadir. Ibarat sebuah perjalanan – seperti Beeden merancangkan sebuah perjalanan – tentu kita punya rencana mau ke mana, dengan menggunakan apa, dan target apa yang hendak dicapai. Pasti semua menghendaki perjalanan yang aman dan nyaman serta berhasil sampai tujuan dengan hasil yang berkelimpahan.

Ibarat sebuah etape, penghujung tahun adalah saatnya kita berhenti di sebuah pelabuhan. Bukan untuk berhura-hura. Namun, saat inilah momentum yang tepat untuk kita mengevaluasi kembali perjalanan hidup kita. Ibarat Beeden mencapai pantai Cairns, ia menyadari bahwa rencana dan targetnya tidak selalu pas dengan harapan semula. Ia tiba di pelabuhan itu terlambat dua bulan. Dua bulan bukan waktu yang singkat. Bisa jadi harapan yang kita canangkan semua, entah itu bisnis, studi, karier, dan sebagainya meleset. Beeden mengatakan badai dan cuaca buruk itulah yang telah menghambat perjalanannya. Tidak mustahil juga dalam perjalanan kehidupan kita, Tuhan mengizinkan ada badai; sakit-penyakit, ditinggalkan orang yang kita kasihi, bisnis menjadi terpuruk, hubungan keluarga retak, dan masih banyak lagi badai-badai itu. Namun, apakah itu membuat kita kehilangan arah dan pengharapan? Perjalanan itu akan menguji, apakah kita merupakan orang-orang yang tangguh – seperti Beeden yang mengerahkan seluruh daya dan kemampuannya – atau kita orang-orang cengeng yang mudah menyerah dan menyalahkan Tuhan, menyalahkan keadaan dan menyalahkan orang lain?

Walaupun terlambat, namun Beeden dapat merayakan perjalanan petualangannya itu. Walaupun banyak hambatan, melewati lembah air mata dan kesulitan, mestinya ketika kita sampai pada penghujung tahun ini kita juga dapat merayakan kehidupan ini dengan sukacita. Toh akhirnya Tuhan mengizinkan juga kita ada di penghujung tahun ini.

Dengan keberanian, pengetahuan tentang kelautan, kemampuan fisik dan tekad yang kuat, akhirnya dunia mengakui dan menghormati John Beeden sebagai penakluk samudera raya. Beeden mempersaksikan dirinya kepada dunia tentang jati diri dan kemampuannya. Sebagai anak-anak Tuhan, apa yang dapat kita persaksikan kepada dunia ini setelah setahun kita mengarungi samudera kehidupan?

Sebagai anak-anak Tuhan, arah tujuan hidup kita mestinya sudah jelas, yakni mempersaksikan Kristus sebagai terang dunia. Baru beberapa hari ini kita merayakan Natal. Tema Natal kita adalah tentang kepedulian Allah terhadap manusia yang tertindas oleh kuasa dosa. Jika Allah begitu peduli sehingga Ia sendiri memberikan Anak-Nya yang Tunggal agar dunia, di dalamnya termasuk Anda dan saya, diselamatkan maka selayaknyalah kita meneruskan berita itu, meneruskan terang kebenaran ini bagi orang lain. Dengan kata lain tidak menahan atau menghalanginya hanya untuk diri sendiri.

Sang Terang dunia itu telah hadir. Pernyataan diri Yesus sebagai terang sudah dimulai dari prolog Injil Yohanes. Dalam Yohanes 1:4 dinyatakan bahwa Yesus telah menjadi terang, Ia adalah kekuatan yang membebaskan dunia dari kungkungan kegelapan yang menguasainya. Terang itu menjadi terang hidup oleh karena menyelamatkan manusia dari kegelapan. Yesuslah terang dunia yang membawa keselamatan itu. Setiap orang yang berjalan di dalam Dia, tidak akan berjalan di dalam kegelapan. Dalam Yohanes pasal 8 Yesus kembali berbicara tentang jati diri-Nya. Yesus mengatakan, “Akulah terang dunia”. Ia tidak mengatakan, “Aku adalah terang dunia.” Kata “AKu” memperoleh tekanan yang kuat dalam kalimat “Akulah terang dunia.” Artinya kalimat itu mau menyatakan bahwa Terang dunia yang sejati adalah Yesus sendiri. “Aku” dalam kalimat itu tidak lagi menjadi subyek, tetapi predikat. Oleh karena itu, yang dibutuhkan bukanlah pertama-tama menganalisis tentang apakah arti terang itu. Yang dibutuhkan adalah mengerti bahwa terang yang dibutuhkan oleh dunia dan dengannya dunia diselamatkan, keluar dari kegelapan dan kematian adalah Yesus sendiri. Orang yang mengikuti-Nya mustahil akan berjalan dalam kegelapan.

Bayangkan kalau Beeden tidak punya kompas dan tidak dapat membacanya, mustahil ia akan sampai di pelabuhan. Kompas adalah penunjuk arah yang jelas dan terang itu sudah datang. Dialah Yesus yang memandu bahkan Dia sendiri nahkodanya. Jika kita mengikuti-Nya mustahil tersesat atau kehilangan arah. Terang itu sudah datang! Apakah kita, sementara sedang mengarungi samudera kehidupan ini, sama seperti orang-orang Farisi yang terus disibukan dengan perdebatan tentang kesahihan Sang Terang itu ataukah justeru yang lebih bijak dan masuk akal adalah mengikuti Sang Terang itu?

Teman seperjalanan dalam kehidupan kita banyak. Tidak terhitung jumlahnya. Bisa jadi mereka tidak tahu arah hidupnya mau ke mana. Di sinilah peran kita sebagai “anak-anak terang” yakni meneruskan pancaran terang itu agar orang lain juga dapat merasakannya. Memancarkan terang tentu bukan dengan membawa lilin ke mana-mana tetapi dengan melakukan kehendak, ajaran dan teladan-Nya. Hidup yang mempunyai integritas moral yang tinggi dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi pelbagai kesulitan. Sebaliknya, sebaliknya, menutup Terang itu dengan menjadi batu sandungan bagi orang lain. Terang itu sering tertutup atau ditutup justeru oleh orang-orang yang mengaku mengenal Sang Terang. Mereka menutup dengan kata-kata munafik, sapaan basa-basi, dan hati yang tegar melihat penderitaan sesama yang kesemuanya itu cerminan dari sikap egois.

Selamat mengakhiri satu tahun lagi perjalanan kita. Tuhan memberkati!