Dewa Janus, dalam mitologi Romawi, dikenal sebagai
dewa Jalan, gerbang, pintu dan waktu. Namun, Janus juga dipercaya sebagai dewa
pertanian yang memberi kesuburan pada tanah. Janus digambarkan sebagai dewa
yang punya dua wajah yang menghadap ke dua arah. Satu wajah menghadap ke
belakang dan yang lain ke depan. Dengan begitu, Janus selalu memandang ke masa
lalu dan pada saat yang sama memandang ke masa depan. Dengan demikian Janus
dipuja sebagai waktu, dewa permulaan dan akhir. Bangsa Romawi bila ingin
memulai sesuatu pekerjaan maka biasanya memohon pertolongan kepada dewa ini.
Nama Januari, yaitu bulan yang mengawali kalender Gregorian, dalam bahasa Latin
iānuārius yang berarti “bulan dewa
Janus”.
Sejak lama, minimal
terekam dalam mitologi Romawi, manusia punya kesadaran untuk “menoleh ke
belakang” sebelum mengerjakan
atau melangkah ke “masa depan”. Januari dalam kalender yang kita pergunakan
adalah bulan pertama dalam sepanjang tahun, tanpa harus kita menyembahnya
sebagai dewa, ia memberi inspirasi buat kita untuk sejenak berhenti, merenung
tentang masa lalu yang telah ditapaki, tentu bukan untuk sekedar bernostalgia
dan hanyut dalam masa lalu, melainkan mengevaluasi masa lalu itu dan kemudian
menatap ke depan, merencanakan apa yang baik untuk kita lakukan.
Melihat dan mengevaluasi apa yang telah kita
jalani selama satu tahun ini akan bermuara pada dua kemungkinan. Pertama, kita
menjadi pesimis. Alasannya cukup banyak. Dalam konteks kita: kehidupan
perekonomian yang tidak mudah diduga. Nilai tukar rupiah terhadap dollar dan
mata uang asing lainnya cukup menguatirkan. Pelbagai tindakan kriminal semakin masiv
dengan intensitas tinggi. Soliditas pemerintahan dalam menjaga keutuhan NKRI
yang berwawasan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 masih tetap diragukan,
oleh karena gerakan-gerakan fundamentalis radikal yang mengatasnamakan agama
terus bertumbuh subur. Sweping-sweping oleh ormas-ormas tertentu seolah
dibiarkan dan aparat hanya menjadi penonton Tahun 2015 juga dikenal sebagai
tahun kegaduhan politik, terjadi kekisruhan antar lembaga negara. Alih-alih
mengurus rakyatnya, mereka sibuk memertahankan posisi dan menyerang lembaga
lain. Indikasi terhadap pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi terlihat gamlang
ketika DPR menyingkirkan orang-orang dengan track rekor mumpuni di bidang
pemberantasan korupsi. Pelanggaran Hak asasi manusia, termasuk di dalamnya
kekerasan terhadap perempuan dan anak terus terjadi. Daftar kekuatiran itu
masih dapat diperpanjang lagi sesuai kondisi di mana kita berada dan berkarya.
Kemungkinan kedua adalah kebalikan dari yang
pertama. Walaupun tak dapat disangkal ada begitu banyak faktor yang dapat
membuat kita pesimis. Namun, faktanya ada juga harapan-harapan baru yang mulai
tumbuh. Pembangunan infrastruktur yang mulai merata di pelbagai daerah.
Munculnya pemimpin-pemimpin muda yang berani menegakkan konstitusi dan
berkarakter baik. Penyelenggaraan tatanan negara dan pemerintahan yang mulai
transparan dan akuntabel. Munculnya kelas menengah yang mulai kritis terhadap
segala kebijakan dan kebebasan pers yang berperan sebagai kontrol terhadap
kebijakan penyelenggara negara. Pembenahan transportasi yang mulai menyentuh
akar permasalahan, ini semua mestinya menumbuhkan harapan baru. Namun, meskipun
demikian toh masa depan belum terjadi. Ia masih ada di depan kita.
Baik dan buruknya masa depan mestinya ditentukan
pada saat ini. Kita tidak mungkin akan menemukan dan mengalami masa depan yang
indah, bermoral dan sejahtera tanpa memperjuangkannya hari ini. Ibarat sebuah
kapal pesiar yang besar ia tidak akan dapat bersandar di dermaga pelabuhan
kalau jauh sebelumnya sang nahkoda tidak mengarahkan kemudi pada titik kordinat
di mana pelabuhan itu berada.
Kehidupan ini ada awal dan tentu ada akhirnya. Hidup
ini seperti sebuah perjalanan. Perjalanan Israel dari negeri perbudakan menuju
negeri perjanjian dapat menjadi ilustasi dari gambaran kehidupan kita. Allah
yang berperan sebagai pembebas bagi umat yang tertindas tidak serta merta membuat
umat itu langsung berada di negeri perjanjian. Mereka harus menelusuri padang
gurun selama empat puluh tahun lamanya. Ada pahit getir dalam perjalanan itu.
Tetapi juga tidak kalah ada kegembiraan dan pengharapan. Dalam setiap
perhentian mereka diajak untuk mengingat kembali kasih karunia TUHAN itu. Dalam
salah satu perhentian, TUHAN memerintahkan kepada Musa supaya berbicara kepada
Harun dan anak-anaknya untuk memberkati umat TUHAN itu. TUHAN sendiri memberi
formula berkat itu. Tentu formula itu bukan hanya sekedar mantera atau puisi
indah. Di dalamnya penuh makna, janji dan harapan serta kesediaan dan kemampuan
TUHAN untuk memenuhinya, kata-Nya: “TUHAN
memberkati engkau dan melindungi engkau, TUHAN melindungi engkau dengan
wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia. TUHAN menghadapkan wajah-Nya
kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera.” (Bilangan 6:24-26).
Rasanya tidak ada kata-kata berkat yang lebih baik
dari ini. “TUHAN memberkati” itu
berarti Dia bersedia mencurahkan dan memberikan apa yang terbaik untuk
kelangsungan kehidupan umat-Nya. “TUHAN
menyinari dengan wajah-Nya” hal ini berarti bahwa TUHAN kemurahan hati
TUHAN terarah kepada umat-Nya. “TUHAN
menghadapkan wajah-Nya” berarti mengungkapkan kasih dan bantuan ilahi.
Perhatian TUHAN diarahkan kepada orang yang bergantung kepada-Nya. “TUHAN melindungi” itu berarti Dia
bersedia menjadi benteng perlindungan bagi umat-Nya. Bayangkan jika TUHAN yang
menjadi pelindung, siapa yang bisa menembusnya? Selanjutnya “TUHAN memberikan kasih karunia” itu
artinya Dia memberikan apa yang terbaik untuk umat-Nya dan kalimat berkat itu
ditutup dengan “…memberi engkau damai
sejahtera” inilah kebutuhan manusia yang paling utama dan mendasar.
Bayangkan betapa luar biasanya TUHAN memberikan berkat kepada umat-Nya.
Kita meyakini, sebagaimana keyakinan Romawi bahwa
dunia ini ada yang memulai. Allah memulainya dengan ciptaan yang sungguh amat
baik. Manusia diciptakan dari debu dan tanah namun kemudian Allah memahkotainya
dengan hormat dan kemuliaan yang hampir menyamai Allah (Mazmur 8). Dengan
keyakinan itu mestinya manusia dapat membuktikan bahwa ia adalah makhluk mulia
yang dapat menciptakan tatanan yang baik baik segala ciptaan. Manusia sedari
awal sudah diberi modal diberi kuasa atas buatan tangan Tuhan yang lainnya
(Mazmur 8:7). Di sepanjang jalan kehidupan pun Dia menopangnya dengan berkat
dan anugerah. Namun sayangnya modal ini sering disalahgunakan manusia. Manusia
mencari kepuasan untuk dirinya dan tidak peduli dengan sesama dan ciptaan yang
lainnya. Akibatnya, kekacauan dan penderitaan yang terjadi. Manusia saling
menindas dan memangsa sehingga berlaku hukum rimba, “siapa yang kuat dia yang
menang.” Jelas, kalau Allah telah memulai segala sesuatu dengan baik maka Dia
tidak menginginkan segalanya berakhir dengan kekacauan dan kebinasaan.
Betapapun banyak tantangan yang kita bayangkan di masa
depan – seperti Israel dalam pengembaraan mereka di padang gurun, berkat TUHAN
melalui imam Harun dan keturunannya telah menghantar mereka sampai di negeri
perjanjian – berkat TUHAN itu lebih dari cukup menghantar kita dalam menapaki
hari-hari ke depan dalam tahun ini. Berkat TUHAN itu mestinya memampukan kita
untuk dapat menapaki tahun-tahun mendatang mewujudkan kehidupan yang lebih
baik. Mengembalikan manusia pada harkat semula seperti pada awal penciptaan.